49. Apakah Meninggalkan dan Mengorbankan Diri untuk Menerima Berkat itu Benar?

Aku memiliki tekanan darah tinggi dan ini penyakit turunan dalam keluargaku. Pada tahun 2013, aku juga mulai mengalami sakit kepala parah yang kambuh tiap satu atau dua hari. Ketika rasa sakit itu menyerang, aku tidak bisa melakukan apa-apa; sekujur tubuhku terasa lemas, aku bahkan tidak bisa berdiri, dan sakit kepala itu disertai dengan sakit gigi serta rasa mual. Bahkan setelah pergi ke rumah sakit besar, penyakitku tidak dapat didiagnosis. Kadang-kadang rasa sakitnya sangat parah hingga aku merasa ingin membenturkan kepalaku ke tembok dan berharap ingin mati, tetapi saat melihat istri dan anakku yang baru lahir, aku pun bertahan. Kemudian, ibuku menyebarkan Injil Tuhan Yang Mahakuasa tentang akhir zaman kepadaku, dan aku menaruh harapan kepada Tuhan dengan berpikir bahwa karena Tuhan itu mahakuasa, jika aku percaya kepada-Nya dengan sepenuh hati, mungkin Tuhan akan memberkatiku dan menyembuhkan penyakitku. Setelah aku mulai percaya kepada Tuhan, kondisiku sedikit membaik. Suatu hari, aku membaca firman Tuhan ini: "Siapa pun di antara engkau semua yang dengan tulus mengorbankan diri untuk-Ku, Aku pasti akan sangat memberkatimu" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 55"). Aku sangat senang dan menjadi makin yakin bahwa asalkan aku bekerja keras untuk berkorban bagi Tuhan, aku akan diberkati oleh-Nya di masa depan. Kemudian, aku melepaskan pekerjaanku yang gajinya tinggi untuk mengabdikan diri penuh waktu pada tugasku, dan tidak peduli sebesar apa pun penderitaan atau kesukaran yang kutanggung, aku bersedia dan senang melakukannya. Selama tahun-tahun itu, sakit kepalaku menjadi jauh lebih baik dan tidak kambuh sesering dahulu. Beberapa tahun kemudian, ketika aku sedang melaksanakan tugas yang jauh dari rumah, aku bertemu dengan seorang saudari yang bekerja sebagai dokter. Dia mengatakan kepadaku bahwa sakit kepalaku disebabkan oleh neuralgia trigeminal dan meresepkan sejumlah obat yang harganya hanya sepuluh yuan lebih. Tak kusangka bahwa neuralgia trigeminalku secara ajaib sembuh setelah minum obat itu selama dua bulan. Penyakit kronis yang kuderita selama bertahun-tahun telah hilang dan aku sangat bersukacita. Aku tahu bahwa dari luar kelihatannya aku sembuh karena pengobatan itu, tetapi sebenarnya itu adalah kasih karunia Tuhan yang telah diberikan kepadaku. Sepertinya pengorbanan bagi Tuhan memang mendatangkan upah sehingga aku menjadi lebih berdedikasi untuk melaksanakan tugasku.

Pada bulan Juli 2023, kepalaku mulai sering terasa berat dan tidak jernih, kadang aku juga sakit kepala dan pusing. Awalnya, aku tidak terlalu memikirkannya, mengira bahwa karena aku memiliki tekanan darah tinggi, pusing sesekali itu hal yang normal. Namun, setelah lebih dari sebulan tanpa peningkatan, gejalanya makin memburuk hingga aku hanya bisa melaksanakan tugasku di pagi hari. Pada sore dan malam hari, kepalaku terasa pusing dan nyeri dan tangan kiriku mati rasa. Ketika pusingnya makin parah, aku berbaring sejenak untuk beristirahat. Suatu hari, setelah keluar dari kamar mandi, aku merasa sangat pusing sehingga aku segera bersandar ke dinding dan memejamkan mata, tetapi tak kusangka, tak lama kemudian aku pingsan. Ketika aku sadar, aku merasakan sakit yang luar biasa di bagian belakang kepalaku dan menyadari bahwa aku terbaring di lantai semen. Setelah saudara laki-lakiku membantuku berdiri, aku menyadari bahwa kusen pintuku patah saat aku jatuh dan ada benjolan besar di bagian belakang kepalaku. Kupikir, "Untung saja aku jatuh membentur kusen pintu terlebih dahulu; jika bagian belakang kepalaku langsung menghantam tanah, akibatnya pasti tidak terbayangkan!" Jadi, aku pergi ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan dan diagnosisnya adalah stroke infark. Aku terkejut dan bertanya kepada dokter, "Bagaimana mungkin aku mengidap stroke infark di usia yang semuda ini? Bukankah itu penyakit orang lansia? Apa mungkin ada kesalahan?" Dokter berulang kali mengonfirmasi bahwa itu adalah stroke infark dan mengatur agar aku dirawat di rumah sakit. Dia mengatakan bahwa untuk seseorang yang mengalami penyumbatan di pembuluh darah kecil di usia yang begitu muda, jika tidak segera ditangani, itu bisa menyebabkan penyumbatan di pembuluh darah utama, yang akan sangat berbahaya. Kata-kata dokter itu seperti batu yang sangat membebani hatiku. Aku sudah melihat banyak lansia terkena stroke infark—beberapa di antaranya mengalami kelumpuhan parah di satu sisi tubuh, ucapannya tidak jelas, mulutnya mencong, matanya tidak simetris, serta memiliki gangguan fungsi mental. Aku takut menjadi seperti mereka dan berpikir, "Jika akhirnya aku seperti itu, bagaimana aku bisa makan dan minum firman Tuhan serta melaksanakan tugasku? Tanpa melaksanakan tugasku, bagaimana aku bisa mendapatkan keselamatan?" Pemikiran ini membuatku merasa cemas dan diperlakukan tidak adil, dan aku mulai mengeluh, "Selama bertahun-tahun, aku telah meninggalkan keluarga dan karierku. Meskipun kerabat dan teman-teman mengejek dan memfitnahku, aku tidak pernah melepaskan imanku kepada Tuhan. Aku telah melalui begitu banyak masa sulit untuk melaksanakan tugasku, jadi mengapa Tuhan tidak melindungiku? Mengapa Dia membiarkanku terkena penyakit ini? Jika aku tidak sakit, bukankah aku bisa melaksanakan tugasku dengan lebih baik lagi?" Terutama selama aku dirawat di rumah sakit, aku adalah yang termuda di antara hampir seratus pasien, dan ketika pasien di dekatku mengetahui bahwa aku mengidap penyakit ini, mereka terkejut dan berkata, "Bisa dimengerti jika lansia mengidap penyakit ini, tetapi bagaimana mungkin orang semuda kau mengidap stroke infark?" Mendengar hal ini membuatku merasa lebih buruk lagi. Saat melihat beberapa pasien di ICU yang pingsan akibat stroke infark mendadak, dengan tabung oksigen terpasang dan dalam kondisi sadar, lalu tidak sadar, aku khawatir apakah aku akan berakhir seperti itu jika aku pingsan lagi. Kupikir, "Bagaimana bisa aku sesial ini hingga akhirnya mengidap penyakit seperti ini?" Aku merasa cemas dan gelisah. Setelah masa perawatan, kondisiku mulai terkendali. Setelah pulang ke rumah, aku fokus untuk menjaga kesehatanku karena aku takut terlalu memaksakan diri dan pikiranku tidak lagi tertuju pada tugasku.

Suatu malam, saat aku sedang berbaring di tempat tidur, aku merenungkan bagaimana aku tidak begitu memperhatikan tugasku dalam beberapa hari terakhir ini karena aku fokus untuk menjaga kesehatanku dan aku merasa sedikit bersalah. Keesokan harinya, aku berdoa ke hadapan Tuhan, "Tuhan Yang Mahakuasa, sejak aku mengetahui bahwa aku menderita stroke infark, aku selalu khawatir penyakitku akan kambuh dan membuatku pingsan lagi. Aku takut jika aku terjatuh dengan parah dan nyawaku terancam, aku tidak akan bisa mendapatkan keselamatan. Akibatnya, aku tidak berada dalam keadaan yang benar untuk melaksanakan tugasku dan aku lebih mementingkan untuk menjaga kesehatanku. Tuhan, kumohon kepada-Mu, berilah aku iman dan bimbinglah aku untuk mencari kebenaran agar aku dapat mengatasi keadaanku." Setelah berdoa, aku teringat akan firman Tuhan yang disampaikan oleh seorang saudari kepadaku sebelum aku masuk rumah sakit: "Masa hidup setiap orang telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan. Suatu penyakit mungkin mematikan dari sudut pandang medis, tetapi dari sudut pandang Tuhan, jika hidupmu masih harus terus berlanjut dan waktumu belum tiba, maka engkau tidak akan mati sekalipun engkau menginginkannya. Jika engkau menerima amanat dari Tuhan dan misimu belum diselesaikan, maka engkau tidak akan mati, bahkan jika engkau terkena penyakit yang seharusnya mematikan—Tuhan belum akan mengambilmu. Meskipun engkau tidak berdoa, mencari kebenaran, dan tidak memperhatikan merawat penyakitmu, atau sekalipun pengobatanmu tertunda, engkau tidak akan mati. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang menerima amanat penting dari Tuhan: Jika misi mereka belum selesai, penyakit apa pun yang menimpa mereka, mereka tidak akan langsung mati; mereka akan hidup sampai saat terakhir misi tersebut diselesaikan. Apakah engkau memiliki kepercayaan ini? Jika tidak memiliki kepercayaan ini, engkau hanya akan memanjatkan doa-doa yang dangkal kepada Tuhan dengan berkata, 'Tuhan! Aku telah menyelesaikan amanat yang Kauberikan kepadaku. Aku ingin menghabiskan hari-hari terakhirku dalam kesetiaan kepada-Mu, agar aku tidak akan meninggalkan penyesalan. Engkau harus melindungiku!' Meskipun engkau berdoa seperti ini, jika engkau tidak berinisiatif untuk mencari kebenaran, engkau tidak akan memiliki kemauan dan kekuatan untuk menunjukkan kesetiaanmu. Karena engkau tidak benar-benar mau membayar harga, engkau sering menggunakan alasan semacam ini dan cara ini untuk berdoa kepada Tuhan dan bertransaksi dengan-Nya—seperti inikah orang yang mengejar kebenaran? Jika penyakitmu disembuhkan, akankah engkau benar-benar mampu melaksanakan tugasmu dengan baik? Belum tentu. Sebenarnya, entah engkau bertransaksi agar sembuh dari penyakitmu atau agar engkau bisa hidup lebih lama, atau karena engkau memiliki niat atau tujuan tertentu, dari sudut pandang Tuhan, jika engkau mampu melaksanakan tugasmu dan engkau masih berguna, jika Tuhan telah menentukan bahwa engkau masih akan digunakan, maka engkau tidak akan mati. Engkau tidak akan mati meskipun engkau menginginkannya. Namun, jika engkau menimbulkan masalah, dan melakukan segala macam perbuatan jahat, dan sangat menyinggung watak Tuhan, engkau akan segera mati; umurmu akan dipersingkat. Masa hidup setiap orang ditentukan oleh Tuhan sebelum penciptaan dunia ini. Jika mereka mampu tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan, maka entah mereka menderita penyakit atau tidak, dan entah kesehatan mereka baik atau buruk, mereka akan hidup sesuai jumlah tahun yang ditentukan oleh Tuhan sejak semula. Apakah engkau memiliki iman seperti ini? Jika engkau hanya mengakuinya dari segi doktrin, berarti engkau tidak memiliki kepercayaan sejati, dan tidak ada gunanya mengucapkan perkataan yang terdengar menyenangkan; jika engkau menegaskan dari lubuk hatimu bahwa Tuhan akan melakukan hal ini, cara dan jalan penerapanmu akan berubah dengan sendirinya" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Dengan membaca firman Tuhan, aku memahami bahwa hidup dan mati seseorang serta masa hidup mereka, semuanya telah ditetapkan oleh Tuhan. Ketika misi seseorang di bumi telah selesai, maka berakhirlah masa hidupnya, dan saat itulah kehidupan mereka berakhir. Jika misi seseorang belum selesai, tidak peduli seberapa serius penyakitnya, hidupnya tidak akan berakhir. Aku menyadari bahwa waktu kematian seseorang tidak ada hubungannya dengan penyakit yang dideritanya, melainkan ditentukan oleh ketetapan Tuhan. Aku teringat akan beberapa saudara-saudari yang didiagnosa menderita penyakit yang sangat serius, dan para dokter telah menyatakan bahwa waktu hidup mereka tidak lama, tetapi pada akhirnya, penyakit mereka secara ajaib disembuhkan. Aku juga mendengar cerita tentang anak laki-laki yang meninggal hanya karena flu. Hal ini menunjukkan kepadaku bahwa hidup dan mati seseorang tidak ada hubungannya dengan tingkat keparahan penyakitnya, tetapi ditentukan oleh ketetapan Tuhan. Namun, aku tidak memahami hal ini dengan jelas. Setelah mengetahui bahwa aku menderita stroke infark, aku hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran, takut jika kondisiku memburuk, aku mungkin pingsan lagi, dan bahwa terjatuh dengan parah dapat membahayakan nyawaku, menyebabkanku kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keselamatan. Aku bahkan mengeluh mengapa Tuhan tidak melindungiku dan membiarkanku terkena penyakit seperti itu. Akibatnya, motivasi untuk melaksanakan tugasku pun berkurang dan aku menjadi hanya fokus pada menjaga kesehatanku, yang menyingkapkan bahwa aku tidak memiliki iman sejati kepada Tuhan. Kini aku memahami bahwa yang bisa kulakukan adalah menenangkan hatiku, tekun melaksanakan tugasku dengan baik, dan memercayakan hidup serta matiku kepada Tuhan, membiarkan Dia mengatur segalanya. Ketika aku berpikir seperti ini, aku tidak lagi merasakan kesedihan dan kekhawatiran yang sama seperti sebelumnya, aku pun bisa mencurahkan hati saat melaksanakan tugasku.

Lalu, aku membaca firman Tuhan ini: "Ada orang-orang yang beranggapan bahwa percaya kepada Tuhan haruslah mendatangkan kedamaian dan sukacita, dan jika mereka menghadapi situasi tertentu, mereka hanya perlu berdoa kepada Tuhan dan Tuhan akan mendengarkan, memberi mereka kasih karunia dan berkat, serta memastikan semuanya berjalan dengan damai dan lancar bagi mereka. Tujuan mereka percaya kepada Tuhan adalah untuk mencari kasih karunia, memperoleh berkat, dan menikmati kedamaian dan kebahagiaan. Karena pandangan inilah mereka meninggalkan keluarga atau berhenti dari pekerjaan mereka untuk mengorbankan diri bagi Tuhan dan mampu menanggung kesukaran dan membayar harga. Mereka yakin bahwa asalkan mereka meninggalkan segala sesuatu, mengorbankan diri bagi Tuhan, menanggung kesukaran, dan bekerja dengan tekun, memperlihatkan perilaku yang sangat baik, mereka akan memperoleh berkat dan perkenanan Tuhan, dan kesulitan apa pun yang mereka hadapi, asalkan mereka berdoa kepada Tuhan, Dia akan menyelesaikannya dan membuka jalan bagi mereka dalam segala hal. Inilah sudut pandang yang dimiliki mayoritas orang yang percaya kepada Tuhan. Orang-orang merasa bahwa sudut pandang ini sah dan benar. Kemampuan banyak orang untuk mempertahankan iman mereka kepada Tuhan selama bertahun-tahun tanpa melepaskan iman mereka berkaitan secara langsung dengan sudut pandang ini. Mereka berpikir, 'Aku telah berkorban begitu banyak untuk Tuhan, perilakuku begitu baik, dan aku tidak melakukan perbuatan jahat apa pun; Tuhan pasti akan memberkatiku. Karena aku telah banyak menderita dan membayar harga yang mahal untuk setiap tugas, melakukan segala sesuatu berdasarkan firman dan tuntutan Tuhan tanpa melakukan kesalahan apa pun, Tuhan seharusnya memberkatiku; Dia seharusnya memastikan bahwa semuanya berjalan lancar bagiku, dan bahwa aku harus sering memiliki kedamaian dan sukacita di hatiku, serta menikmati hadirat Tuhan.' Bukankah ini adalah gagasan dan imajinasi manusia? Dari sudut pandang manusia, orang menikmati kasih karunia dari Tuhan dan menerima keuntungan, jadi adalah masuk akal jika harus sedikit menderita untuk ini, dan adalah layak untuk menukar penderitaan ini dengan berkat-berkat dari Tuhan. Ini adalah mentalitas bertransaksi dengan Tuhan. Namun, dari sudut pandang kebenaran dan dari sudut pandang Tuhan, ini pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pekerjaan Tuhan maupun standar yang Tuhan tuntut dari manusia. Ini sepenuhnya angan-angan, hanya gagasan dan imajinasi manusia tentang kepercayaan kepada Tuhan. Baik itu berkaitan dengan bertransaksi maupun menuntut sesuatu dari Tuhan, atau mengandung gagasan dan imajinasi manusia, apa pun itu, tak satu pun dari hal-hal ini yang sesuai dengan tuntutan Tuhan, dan semua ini juga tidak memenuhi prinsip dan standar Tuhan untuk memberkati manusia. Secara khusus, pemikiran dan sudut pandang transaksional ini menyinggung watak Tuhan, tetapi orang tidak menyadarinya. Ketika apa yang Tuhan lakukan tidak sesuai dengan gagasan manusia, di dalam hatinya, mereka dengan segera mengembangkan keluhan dan kesalahpahaman tentang Dia. Mereka bahkan merasa diperlakukan tidak adil, lalu mulai berdebat dengan Tuhan, dan mereka bahkan mungkin menghakimi dan mengutuk-Nya. Apa pun gagasan dan kesalahpahaman yang orang miliki, dari sudut pandang Tuhan, Dia tidak pernah bertindak atau memperlakukan siapa pun berdasarkan gagasan atau keinginan manusia. Tuhan selalu melakukan apa yang ingin Dia lakukan, berdasarkan cara-Nya sendiri dan berdasarkan pada esensi watak-Nya sendiri. Tuhan memiliki prinsip dalam cara-Nya memperlakukan setiap orang; tidak ada yang Dia lakukan kepada setiap orang yang didasarkan pada gagasan, imajinasi, atau preferensi manusia—ini adalah aspek pekerjaan Tuhan yang paling bertentangan dengan gagasan manusia. Ketika Tuhan mengatur suatu lingkungan bagi manusia yang sepenuhnya bertentangan dengan gagasan dan imajinasi mereka, di dalam hatinya, mereka membentuk gagasan, penghakiman, dan kutukan terhadap Tuhan, dan bahkan mungkin menyangkal-Nya. Dapatkah Tuhan memuaskan kebutuhan mereka? Sama sekali tidak. Tuhan tidak akan pernah mengubah cara-Nya dalam bekerja dan keinginan-Nya berdasarkan gagasan manusia. Jadi, siapakah yang perlu berubah? Manusia. Manusia perlu melepaskan gagasan mereka, menerima, tunduk, dan mengalami lingkungan yang diatur oleh Tuhan, serta mencari kebenaran untuk meluruskan gagasan mereka sendiri, bukannya mengukur apa yang Tuhan lakukan terhadap gagasan mereka untuk melihat apakah itu benar atau salah. Ketika orang bersikeras berpaut pada gagasan mereka, mereka mengembangkan penentangan terhadap Tuhan. Ini terjadi secara alami. Di manakah sumber penentangan itu? Itu terletak pada fakta bahwa apa yang biasanya manusia miliki di dalam hati mereka tanpa diragukan lagi adalah gagasan dan imajinasi mereka dan bukan kebenaran. Oleh karena itu, ketika dihadapkan pada pekerjaan Tuhan yang tidak sesuai dengan gagasan manusia, orang mampu menentang Tuhan dan menghakimi-Nya. Ini membuktikan bahwa manusia pada dasarnya tidak memiliki hati yang tunduk kepada Tuhan, watak rusak mereka masih jauh dari ditahirkan, dan mereka pada dasarnya hidup berdasarkan watak rusak mereka. Mereka masih sangat jauh dari memperoleh keselamatan" (Firman, Jilid 5, Tanggung Jawab para Pemimpin dan Pekerja, "Tanggung Jawab para Pemimpin dan Pekerja (16)"). "Ada orang-orang yang tidak mencari kebenaran, seperti apa pun lingkungan yang mereka hadapi. Sebaliknya, mereka menilai semua lingkungan yang Tuhan atur berdasarkan gagasan, imajinasi mereka, dan apakah itu menguntungkan mereka atau tidak. Pertimbangan mereka selalu berkisar pada kepentingan mereka sendiri; mereka selalu peduli tentang seberapa besar keuntungan yang bisa mereka dapatkan, seberapa banyak kepentingan mereka yang dapat dipenuhi dalam hal-hal yang bersifat materi, uang, serta kenikmatan daging; dan mereka selalu mengambil keputusan serta memperlakukan segala sesuatu yang Tuhan atur berdasarkan faktor-faktor ini. Dan pada akhirnya, setelah memeras otak, mereka memilih untuk tidak tunduk pada lingkungan yang Tuhan atur, tetapi melepaskan diri darinya dan menghindarinya. Karena penentangan, penolakan dan penghindarannya, mereka menjauhkan diri dari firman Tuhan, kehilangan pengalaman hidup, dan menderita kerugian, yang menyebabkan hati mereka terasa sakit dan tersiksa. Makin mereka menolak lingkungan seperti itu, makin banyak dan makin besar penderitaan yang mereka tanggung. Ketika situasi seperti itu muncul, iman kecil yang mereka miliki kepada Tuhan pada akhirnya hancur. Pada saat ini, semua gagasan yang mendominasi hati mereka muncul seketika: 'Aku telah begitu lama mengorbankan diriku bagi tuhan, tetapi aku tidak menyangka tuhan akan memperlakukanku seperti ini. Tuhan tidak adil, dia tidak mengasihi manusia! Tuhan berkata bahwa mereka yang sungguh-sungguh mengorbankan diri bagi-Nya pasti akan sangat diberkati. Aku telah sungguh-sungguh mengorbankan diriku bagi tuhan, aku telah meninggalkan keluarga serta karierku, menanggung kesukaran, dan bekerja keras; mengapa tuhan tidak memberiku banyak berkat? Di mana berkat tuhan itu? Mengapa aku tidak dapat merasakan atau melihatnya? Mengapa tuhan memperlakukan manusia dengan tidak adil? Mengapa tuhan tidak menepati perkataannya? Orang-orang berkata bahwa tuhan itu setia, tetapi mengapa aku tidak dapat merasakannya? Belum lagi dalam hal lainnya, di lingkungan ini saja, aku sama sekali tidak merasa bahwa tuhan itu setia!' Karena manusia memiliki gagasan, mereka mudah ditipu dan disesatkan oleh gagasan tersebut. Bahkan ketika Tuhan mengatur lingkungan agar orang berubah dalam watak mereka dan bertumbuh dalam hidup mereka, orang merasa sulit untuk menerimanya dan salah paham terhadap Tuhan. Mereka beranggapan bahwa ini bukanlah berkat Tuhan dan Tuhan tidak menyukai mereka. Mereka yakin bahwa mereka telah dengan sungguh-sungguh mengorbankan diri bagi Tuhan, tetapi Tuhan belum menepati janji-janji-Nya. Dengan demikian, orang-orang yang tidak mengejar kebenaran ini dengan begitu mudahnya tersingkap melalui satu ujian berupa lingkungan kecil tersebut" (Firman, Jilid 5, Tanggung Jawab para Pemimpin dan Pekerja, "Tanggung Jawab para Pemimpin dan Pekerja (16)"). Tuhan menyingkapkan bahwa manusia memiliki gagasan tertentu dalam iman mereka kepada-Nya: Mereka mengira bahwa asalkan mereka meninggalkan segala hal dan mengorbankan diri bagi Tuhan serta menanggung penderitaan dan membuat persembahan bagi-Nya, maka Tuhan akan memberkati mereka, menjaga dan melindungi mereka serta memberi mereka ketenangan pikiran dan sukacita. Ketika Tuhan tidak memenuhi keinginan manusia sesuai dengan gagasan mereka, mereka berdebat dengan-Nya, salah memahami-Nya, dan mengeluh tentang-Nya. Ini persis dengan yang telah kulakukan. Ketika aku pertama kali mulai percaya kepada Tuhan, aku berpikir bahwa asalkan aku percaya kepada Tuhan dengan sepenuh hati dan bersedia menderita kesukaran serta membayar harga dalam melaksanakan tugasku, Tuhan akan memberkatiku dengan membuat kesehatanku membaik. Didorong oleh sudut pandang ini, aku telah meninggalkan keluarga dan karierku selama bertahun-tahun untuk melaksanakan tugasku, dan bahkan ketika neuralgia trigeminalku menyebabkan sakit kepala yang parah, atau ketika tekanan darah tinggiku menyebabkan pusing, muntah, dan sekujur tubuhku lemas, aku tidak pernah menunda tugasku. Aku sering menghibur diriku dengan pemikiran bahwa Tuhan akan memikirkan penderitaan dan pengorbananku serta menjaga dan melindungiku, dan bahwa di masa depan Dia akan menganugerahkan berkat-berkat yang besar kepadaku. Namun, ketika aku mengetahui bahwa diriku menderita stroke infark, aku merasa diperlakukan tidak adil. Aku berpikir bahwa Tuhan tidak memberkatiku dengan tubuh yang sehat, tetapi malah membiarkanku terkena penyakit ini, dan alih-alih menerima berkat, aku malah menderita kemalangan. Hal ini membuatku dipenuhi dengan kesalahpahaman dan keluhan terhadap Tuhan, dan aku bahkan berdebat dengan-Nya, "Jika aku punya tubuh yang sehat, bukankah aku dapat melaksanakan tugasku dengan lebih baik lagi?" Aku menyadari bahwa selama bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, aku hanya mencoba tawar-menawar dengan Tuhan dan menuntut banyak hal dari-Nya. Ketika Tuhan menyembuhkan penyakitku, aku melaksanakan tugasku dengan tekun dan semangat, tetapi ketika Tuhan tidak memenuhi keinginanku, motivasiku untuk melaksanakan tugasku dan mengorbankan diriku bagi-Nya pun berkurang. Aku hanyalah orang hina yang hanya ingin menguntungkan diriku sendiri, dengan penuh semangat mengejar berkat sambil menghindari kesukaran. Aku benar-benar sangat egois! Usahaku jelas-jelas untuk diriku sendiri dan demi mendapatkan berkat, tetapi dengan sombongnya aku mengaku bahwa itu demi menyenangkan Tuhan dan melaksanakan tugasku. Sungguh tidak tahu malu!

Lalu, aku membaca sebuah bagian di mana Tuhan menyingkapkan dan menelaah keadaan orang-orang yang percaya kepada-Nya semata-mata untuk mendapatkan berkat. Tuhan berfirman: "Apa masalah terbesar dalam hubungan mereka dengan Tuhan? Masalahnya adalah mereka sama sekali tidak pernah menganggap diri mereka makhluk ciptaan dan tidak pernah sedikit pun menganggap Tuhan sebagai Sang Pencipta yang harus disembah. Sejak awal mereka percaya kepada Tuhan, mereka memperlakukan Tuhan sebagai pohon uang, sebagai sumber kekayaan; mereka menganggap-Nya sebagai sosok Boddhisatwa yang menyelamatkan mereka dari penderitaan serta bencana, dan menganggap diri mereka pengikut Boddhisatwa, pengikut berhala ini. Mereka mengira bahwa percaya kepada Tuhan itu sama seperti percaya kepada Buddha, di mana dengan hanya makan makanan vegetarian, melafalkan kitab suci, sering membakar dupa dan bersujud, mereka bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan. Dengan demikian, semua kisah yang berkembang setelah mereka percaya kepada Tuhan terjadi di dalam alam gagasan dan imajinasi mereka. Mereka sama sekali tidak memperlihatkan perwujudan makhluk ciptaan yang menerima kebenaran dari Sang Pencipta, juga tidak memperlihatkan ketundukan yang seharusnya makhluk ciptaan miliki terhadap Sang Pencipta; mereka justru hanya terus menuntut, terus memperhitungkan, dan tak henti-hentinya meminta. Semua ini pada akhirnya menyebabkan hancurnya hubungan mereka dengan Tuhan. Hubungan semacam ini bersifat transaksional dan tidak pernah dapat bertahan; cepat atau lambat, orang-orang semacam ini akan tersingkap" (Firman, Jilid 5, Tanggung Jawab para Pemimpin dan Pekerja, "Tanggung Jawab para Pemimpin dan Pekerja (16)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku merasa sangat malu. Apa yang Tuhan gambarkan persis seperti sudut pandang dan pengejaranku sendiri. Mereka yang menyembah Buddha atau Kwan Im memperlakukan keduanya sebagai sumber kekayaan dan perlindungan. Untuk mendapatkan promosi, menjadi kaya, dan menjaga kesehatan keluarga mereka, mereka bersujud, membakar dupa, menjadi vegetarian, dan melafalkan kitab suci Buddha untuk menukarnya dengan hal-hal yang mereka inginkan. Pengejaran mereka sepenuhnya untuk keuntungan pribadi. Begitu pula, setelah mulai percaya kepada Tuhan, aku secara keliru berpikir bahwa asalkan orang mengorbankan diri mereka sendiri dan membuat persembahan untuk percaya kepada Tuhan, mereka akan diberi upah, dalam arti Tuhan akan menjaga dan melindungi mereka serta menganugerahkan mereka kasih karunia yang tiada habisnya. Aku telah memperlakukan Tuhan sebagai jimat, pemberi kasih karunia, dan ketenangan pikiran. Ketika aku didiagnosis menderita stroke infark, aku mengeluh bahwa Tuhan tidak menjaga atau melindungiku. Aku berdebat dan menuntut, tidak menunjukkan ketundukan sedikit pun kepada Tuhan, dan dengan demikian sepenuhnya gagal memperlakukan-Nya sebagai Tuhan. Apa bedanya sudut pandangku tentang kepercayaan dengan orang-orang yang menyembah Buddha atau Kwan Im? Pekerjaan utama Tuhan di akhir zaman termasuk mengungkapkan kebenaran untuk menghakimi dan menghajar manusia agar dapat menyucikan dan menyelamatkan mereka. Bukannya mengejar kebenaran, aku malah memperlakukan Tuhan seperti Buddha atau Kwan Im, percaya bahwa Dia akan menganugerahkan manfaat kepada orang-orang berdasarkan kontribusi dan upaya lahiriah mereka. Hal ini jelas mencerminkan sudut pandang pengikut yang bukan orang percaya dan, lebih dari itu, merupakan bentuk penghujatan terhadap Tuhan! Aku juga teringat akan kisah dalam Alkitab tentang 5.000 orang yang mengikuti Tuhan Yesus ke atas gunung. Mereka bukannya ingin mendengarkan ajaran-Nya, tetapi mereka mencari berkat dan kasih karunia. Sebagai orang-orang yang ingin makan roti hingga kenyang, mereka hanya menganggap Tuhan sebagai seorang dermawan, dan Tuhan Yesus tidak mengakui iman orang-orang seperti itu. Kepercayaanku kepada Tuhan juga untuk mencari keuntungan dan manfaat dari-Nya. Ini bukanlah iman yang sejati, melainkan sudut pandang pengikut yang bukan orang percaya yang berusaha untuk makan roti hingga kenyang, dan pada akhirnya, aku pun pasti akan ditolak dan disingkirkan oleh Tuhan. Aku merasa takut di dalam hati dan datang ke hadapan Tuhan untuk berdoa, "Ya Tuhan, selama bertahun-tahun aku percaya kepada-Mu, aku telah memperlakukan-Mu sebagai seseorang yang aku tuntut untuk mendapatkan kasih karunia, sudut pandangku dalam memercayai-Mu sama dengan mereka yang menyembah Buddha dan Kwan Im, yang juga menuntut kasih karunia dan berkat dari-Mu. Sudut pandang ini salah dan aku bersedia untuk bertobat serta mengubah keadaan."

Kemudian, aku membaca bagian dari firman Tuhan: "Tuhan berfirman: 'Siapa pun dari kalian yang dengan tulus mengorbankan diri untuk-Ku, Aku pasti akan memberkatimu dengan berlimpah'—bukankah perkataan ini adalah kebenaran? Perkataan ini seratus persen adalah kebenaran. Di dalamnya, tidak terkandung sikap yang gampang marah ataupun tipu daya. Perkataan ini bukanlah kebohongan atau ide yang terdengar muluk-muluk, apalagi semacam teori rohani—itu adalah kebenaran. Apa esensi dari perkataan kebenaran ini? Bahwa engkau harus tulus ketika mengorbankan dirimu bagi Tuhan. Apa artinya 'tulus'? Artinya adalah dengan sukarela dan tanpa ketidakmurnian; tidak dimotivasi oleh uang atau ketenaran, dan tentu saja bukan demi niat, keinginan, dan tujuanmu sendiri. Engkau mengorbankan diri bukan karena engkau dipaksa, atau karena engkau dihasut, dibujuk, atau ditarik, melainkan, itu berasal dari dalam dirimu, dengan sukarela; itu lahir dari hati nurani dan nalar. Inilah yang dimaksud dengan tulus. Dalam hal kerelaan untuk mengorbankan dirimu bagi Tuhan, inilah yang dimaksud dengan tulus. Lalu, bagaimana sikap tulus diwujudkan secara nyata saat engkau mengorbankan dirimu bagi Tuhan? Engkau tidak menunjukkan kepalsuan atau melakukan penipuan, tidak menggunakan tipu daya untuk menghindari pekerjaan, dan tidak melakukan segala sesuatu dengan sikap asal-asalan; engkau mencurahkan segenap hati dan pikiranmu, melakukan semua yang mampu kaulakukan, dan sebagainya; ada terlalu banyak detail untuk disebutkan di sini! Singkatnya, bersikap tulus mengandung penerapan prinsip-prinsip kebenaran. Terdapat standar dan prinsip di balik tuntutan Tuhan terhadap manusia" (Firman, Jilid 5, Tanggung Jawab para Pemimpin dan Pekerja, "Tanggung Jawab para Pemimpin dan Pekerja (16)"). Dari fiman Tuhan, aku memahami makna sebenarnya dari kata-kata "Kepada mereka yang dengan tulus mengorbankan diri untuk-Ku, Aku pasti akan sangat memberkatimu." Pernyataan ini ditujukan kepada mereka yang berdedikasi untuk mengejar kebenaran dan melaksanakan tugas mereka untuk memuaskan Tuhan. Mereka tidak mencari keuntungan pribadi atau salah paham dan mengeluh tentang Tuhan ketika menghadapi musibah. Mereka dapat dengan rela meninggalkan segala hal dan mengorbankan diri untuk Tuhan, dan orang-orang seperti itu berkenan kepada Tuhan dan pasti akan menerima berkat-Nya di masa depan. Sebagai contoh, lihatlah Ayub: Dia selalu mengikuti jalan Tuhan, sering berdoa kepada Tuhan, dan mempersembahkan kurban. Bahkan ketika kekayaan dan anak-anaknya dirampas serta dia menderita luka yang menyakitkan, Ayub tidak menyalahkan Tuhan. Sebaliknya, dia berkata, "Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" (Ayub 1:21). Ayub benar-benar menyembah Tuhan. Dia tidak memperlakukan Tuhan sebagai objek tuntutan, apalagi memandang penyembahan dan pengorbanannya yang rutin sebagai modal untuk mendapatkan kasih karunia dan berkat. Ketika dia kehilangan segalanya, dia tetap tidak mengeluh tentang Tuhan. Iman dan ketundukannya yang tulus pada akhirnya mendatangkan berkat dari Tuhan. Ketika melihat diriku sendiri, aku menyadari bahwa aku tidak memahami firman Tuhan dengan benar. Dengan kelirunya aku percaya bahwa asalkan aku mampu meninggalkan banyak hal, mengorbankan diriku sendiri, menanggung penderitaan, dan membayar harga untuk imanku, pada akhirnya aku akan menerima berkat, kedamaian, dan kesehatan. Caraku mengejar justru adalah kebalikan dari cara Ayub. Aku menggunakan persembahan dan pengorbanan diriku sebagai sarana untuk menuntut kasih karunia dan berkat dari Tuhan, percaya kepada-Nya semata-mata demi keinginan egois dan keuntungan pribadiku. Ketika dihadapkan dengan penyakit, aku bahkan mengeluh tentang Tuhan. Aku sungguh merasa malu karena aku sama sekali tidak sebanding dengan Ayub. Sekarang aku memahami bahwa sebagai makhluk ciptaan, aku harus percaya kepada Tuhan dan menyembah-Nya. Melaksanakan tugas adalah tanggung jawabku, hal ini sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan serta tidak ada hubungannya dengan menerima berkat atau menderita kemalangan. Bahkan ketika dihadapkan pada kesulitan dan penyakit, aku harus tetap tunduk kepada Tuhan dan tetap teguh dalam kesaksianku.

Pada bulan Maret 2024, stroke infarkku kambuh lagi. Tangan kiriku terasa mati rasa dan aku terus-menerus pusing. Aku khawatir jika aku jatuh lagi dan itu parah, aku tidak akan bisa melaksanakan tugasku—lalu bagaimana aku bisa mengejar keselamatan? Melihat saudara-saudara di sekitarku yang semuanya lebih sehat dariku, aku merasa iri, dan kupikir, "Mengapa aku tidak bisa memiliki tubuh yang sehat seperti orang lain?" Ketika aku memikirkan hal-hal ini, aku menyadari bahwa aku mengeluh lagi, dan aku membaca firman Tuhan ini: "Berkat, kasih karunia, upah, mahkota—bagaimana semua hal tersebut diberikan dan kepada siapa, itu semua terserah Tuhan. Mengapa terserah Tuhan? Karena semua itu adalah milik Tuhan, bukan aset milik bersama antara manusia dan Tuhan untuk dibagi rata. Itu adalah milik Tuhan, dan Tuhan memberikannya kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Jika Tuhan tidak berkehendak memberikannya kepadamu, engkau tetap harus tunduk kepada-Nya. Jika engkau berhenti memercayai Tuhan karena alasan tersebut, apa yang bisa diselesaikan? Apakah engkau akan berhenti menjadi makhluk ciptaan? Apakah engkau dapat lepas dari kedaulatan-Nya? Tuhan tetap berdaulat atas segala sesuatu, dan ini adalah fakta yang tidak akan pernah berubah. Identitas, status, dan esensi Tuhan tidak akan pernah bisa disamakan dengan identitas, status, dan esensi manusia, dan ini juga tidak akan pernah berubah—Tuhan akan selamanya menjadi Tuhan, dan manusia akan selamanya menjadi manusia. Jika seseorang mampu memahami hal ini, apa yang seharusnya dilakukan? Mereka harus tunduk kepada kedaulatan dan pengaturan Tuhan—ini cara paling rasional untuk menyikapi segala sesuatu. Tidak ada cara lain" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Dua Belas). Firman Tuhan membangunkanku tepat pada waktunya. Aku harus melihat identitas dan statusku dengan jelas. Aku hanyalah makhluk ciptaan, sedangkan Tuhan adalah Sang Pencipta. Namun, aku terus ingin mendikte bagaimana seharusnya Tuhan bertindak dan memperlakukanku—ini bukanlah tanpa alasan. Aku takut jika aku tidak bisa melaksanakan tugasku karena stroke infarkku kambuh, aku akan kehilangan kesempatan untuk diselamatkan, jadi aku menuntut agar Tuhan memberiku tubuh yang sehat, sama seperti saudara-saudara yang lain. Ini juga merupakan wujud dari kurangnya ketundukan! Aku harus tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan, berusaha keras untuk melaksanakan tugasku—inilar nalar yang seharusnya kumiliki. Jadi, aku datang ke hadapan Tuhan dan berdoa, "Ya Tuhan, tidak peduli seberapa parah kambuhnya stroke infarkku, Aku mohon, ya Tuhan, jagalah aku agar tidak mengeluh, dan tetap berpegang teguh pada tugasku." Beberapa hari kemudian, aku pergi ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Dokter mengatakan bahwa kondisiku cukup terkontrol dengan baik dan aku hanya perlu minum obat secara normal. Aku sangat bahagia saat mendengar kabar ini. Tidak disangka sudah lebih dari tujuh bulan sejak perawatan terakhirku dan aku masih bisa melaksanakan tugasku dengan normal—ini semua karena kasih karunia Tuhan dan aku benar-benar bersyukur atas belas kasih Tuhan.

Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Ketika Tuhan mengatur agar seseorang menderita suatu penyakit, entah berat atau ringan, tujuan Dia melakukannya bukanlah untuk membuatmu merasakan seluk-beluk jatuh sakit, kerugian yang penyakit itu timbulkan pada dirimu, ketidaknyamanan dan kesulitan yang disebabkan penyakit itu terhadapmu, dan segala macam perasaan yang kaurasakan karena penyakit tersebut—tujuan Dia bukanlah agar engkau merasakan penyakit melalui sakitnya dirimu. Sebaliknya, tujuan Dia adalah agar engkau memetik pelajaran dari penyakit, belajar bagaimana memahami maksud Tuhan, belajar memahami watak rusak yang kauperlihatkan dan sikapmu yang keliru terhadap Tuhan saat engkau sakit dan belajar bagaimana tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan, sehingga engkau mampu benar-benar tunduk kepada Tuhan dan mampu tetap teguh dalam kesaksianmu—inilah yang terpenting. Tuhan ingin menyelamatkanmu dan mentahirkanmu melalui penyakit. Hal apa tentang dirimu yang ingin Tuhan tahirkan? Dia ingin mentahirkanmu dari semua keinginan dan tuntutanmu yang berlebihan terhadap Tuhan, dan bahkan mentahirkanmu dari berbagai perhitungan, penilaian, dan perencanaan yang kaubuat dengan segala cara untuk bertahan hidup dan untuk terus hidup. Tuhan tidak memintamu untuk membuat rencana, Dia tidak memintamu untuk menilai, dan Dia tidak mengizinkanmu memiliki keinginan yang berlebihan terhadap-Nya; Dia hanya memintamu untuk tunduk kepada-Nya dan, dalam penerapanmu dan pengalaman akan ketundukan, untuk engkau mengetahui sikapmu sendiri terhadap penyakit, dan mengetahui sikapmu terhadap kondisi tubuh yang Dia berikan kepadamu, serta keinginan pribadimu. Setelah engkau mengetahui hal-hal ini, engkau akan mampu memahami betapa bermanfaatnya lingkungan penyakit yang telah Tuhan aturkan bagimu atau kondisi tubuh yang telah Dia berikan kepadamu; dan engkau akan mampu menyadari betapa bermanfaatnya pengaturan itu untuk mengubah watakmu, untuk engkau memperoleh keselamatan, dan untuk jalan masuk kehidupanmu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). Aku membaca bagian firman Tuhan ini berulang kali dan merasa bahwa penyakit ini mengandung maksud Tuhan yang tulus. Tuhan bermaksud untuk menyelamatkanku dan membantuku memahami diriku sendiri, yang mengarah pada perubahan dalam watakku. Ketika pertama kali percaya kepada Tuhan, aku berniat untuk mendapatkan berkat. Selama bertahun-tahun, aku tidak memiliki pemahaman nyata tentang niatku untuk mendapatkan berkat. Karena Tuhan itu kudus, watak rusakku akan menghalangiku untuk diselamatkan jika tidak diatasi sebelum pekerjaan Tuhan berakhir. Penyakit ini menyingkapkan keinginanku untuk mendapatkan berkat, dan tuntutan serta gagasanku terhadap Tuhan, mendorongku untuk mencari kebenaran, bertobat, dan berubah. Ini adalah keselamatan dari Tuhan bagiku. Namun, aku tidak memahami maksud Tuhan dan memendam kesalahpahaman dan keluhan terhadap-Nya. Ini seperti seorang anak yang menempuh jalan untuk melakukan kejahatan. Ketika orang tua menggunakan tindakan tegas untuk membantu anak itu memperbaiki jalannya, niat mereka adalah untuk kebaikan anak. Namun, jika anak tidak memahami isi hati orang tua dan merasa bahwa orang tuanya tidak peduli padanya, anak menjadi tidak bernalar dan mengecewakan orang tua. Bukankah aku hanya anak kecil yang tidak tahu diri dan tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah? Terlepas dari kesalahpahaman dan keluhanku, Tuhan masih membimbingku dalam keheningan melalui firman-Nya, menolongku untuk bangkit dari keadaan negatif dan pemberontakanku. Makin aku memikirkannya, makin aku merasa malu dan bersalah. Mulai sekarang, terlepas dari apakah penyakitku membaik atau memburuk, meskipun itu membahayakan nyawaku, aku tidak ingin salah paham atau mengeluh tentang Tuhan lagi. Aku bersedia untuk tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan.

Setelah mengalami penyakit ini, aku mendapatkan sejumlah pemahaman tentang niatku untuk mencari berkat dan memiliki penghargaan sejati akan usaha Tuhan yang sungguh-sungguh untuk menyelamatkan manusia. Aku bersyukur atas bimbingan Tuhan yang menuntunku pada pencapaian ini!

Sebelumnya:  47. Apa yang Tersembunyi di Balik Kebohongan

Selanjutnya:  50. Cara Memperlakukan Kebaikan karena Dibesarkan oleh Orang Tua

Konten Terkait

29. Pertobatan Seorang Perwira

Oleh Saudara Zhen Xin, TiongkokTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Sejak penciptaan dunia hingga saat ini, segala yang Tuhan lakukan dalam...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger