89. Setelah Tertangkapnya Aku

Suatu siang di bulan November 2002, aku sedang menyiapkan makanan di rumah, tetapi tiba-tiba aku mendengar serangkaian ketukan cepat di pintu. Aku membuka pintu dan mendapati empat pria dan seorang wanita berdiri di luar. Salah satu dari mereka mendatangiku dan bertanya, "Apakah kau Wang Le? Apakah kau percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa?" Sebelum aku sempat menjawab, dia segera menunjukkan kartu identitasnya, dan berkata, "Kami dari Biro Keamanan Umum. Seseorang melaporkan bahwa kau percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan merupakan seorang pemimpin gereja. Kami di sini untuk melakukan penyelidikan." Sebelum aku sempat menjawab, lima orang itu menerobos masuk ke rumahku dan mulai menggeledah halaman dan kamar-kamar. Mereka menemukan tanda terima persembahan senilai 50 yuan, satu salinan Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia, dua kaset, serta sebuah alat perekam kecil, dan berkata kepadaku dengan kasar, "Ini buktinya!" Setelah mengatakan ini, mereka memaksaku untuk masuk ke dalam mobil polisi dan membawaku pergi.

Di kantor polisi, polisi membawaku ke ruang interogasi di lantai dua dan memborgolku, menggantung tanganku di pipa radiator, dan aku hanya bisa berdiri dengan berjinjit. Karena menopang seluruh beban tubuhku, pergelangan tanganku mulai terasa sakit yang tak tertahankan. Aku tak sengaja mendengar seorang polisi berkata, "Kali ini kita telah menangkap seorang pemimpin," dan aku merasa sangat gugup, lalu berpikir, "Mereka tahu bahwa aku adalah pemimpin, jadi mereka pasti akan menyiksaku untuk mendapatkan informasi tentang saudara-saudariku. Bagaimana jika aku tidak sanggup menanggung siksaan itu?" Aku tidak berani berpikir lebih jauh dan segera berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk memberiku iman serta hikmat, dan agar aku tetap teguh dalam kesaksianku. Aku digantung seperti ini selama lebih dari empat jam, tidak dapat menjejakkan kaki di tanah, dengan borgol yang makin ketat. Tanganku tergencet hingga menjadi lebam, dan rasa sakitnya tak tertahankan, dan kakiku juga menjadi bengkak dan mati rasa. Aku merasa hampir tidak dapat bertahan dan mulai merasa hatiku lemah, tidak tahu berapa lama lagi aku akan tergantung di sana. Aku tidak berani membiarkan hatiku menjauh dari Tuhan bahkan untuk sesaat. Aku memikirkan firman Tuhan ini: "Terhadap mereka yang tidak menunjukkan kepada-Ku sedikit pun kesetiaan selama masa-masa kesukaran, Aku tidak akan lagi berbelas kasihan, karena belas kasihan-Ku hanya sampai sejauh ini. Lagi pula, Aku tidak suka siapa pun yang pernah mengkhianati Aku, terlebih lagi, Aku tidak suka bergaul dengan mereka yang mengkhianati kepentingan teman-temannya. Inilah watak-Ku, terlepas dari siapa pun orangnya. Aku harus memberi tahu engkau hal ini: siapa pun yang menghancurkan hati-Ku tidak akan menerima pengampunan dari-Ku untuk kedua kalinya, dan siapa pun yang telah setia kepada-Ku akan selamanya berada di hati-Ku" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Persiapkan Perbuatan Baik yang Cukup demi Tempat Tujuanmu"). Firman Tuhan membuatku menyadari bahwa watak Tuhan tidak menoleransi pelanggaran, dan jika aku mengkhianati saudara-saudariku dan mengkhianati Tuhan, aku tidak akan pernah menerima pengampunan Tuhan dan pasti akan dibenci serta disingkirkan oleh-Nya. Aku bertekad bahwa sekeras apa pun polisi menyiksaku, aku tidak akan pernah menjadi Yudas!

Sekitar pukul 7 malam, kepalaku pusing, seluruh tubuhku merasakan sakit yang luar biasa, dan aku mengalami kesulitan bernapas. Polisi melihat bahwa aku hampir pingsan dan akhirnya melepaskan salah satu lenganku, dan akhirnya aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Pada saat ini, seorang polisi berteriak kepadaku, "Baiklah, katakan saja, kepada siapa uang persembahan gereja itu diberikan? Di mana tempat tinggal orang yang ada di kwitansi itu?" Setelah melihat bahwa aku tidak mengatakan apa-apa, dia melanjutkan, "Bahkan jika kau tidak bicara, kami sudah memeriksamu dengan saksama. Kami telah membuntuti dan menyelidikimu selama beberapa waktu!" Dia kemudian mengambil selembar kertas dari meja, dan membacakan rincian tentang berapa lama aku telah percaya pada Tuhan, di mana tempat tinggalku, tugas apa saja yang kulaksanakan, dan informasi lainnya. Aku berpikir, "Bagaimana mereka tahu begitu banyak? Apakah ada seseorang yang mengkhianatiku sebagai Yudas?" Pikiran ini membuatku sangat cemas, dan aku segera menundukkan kepala, merenungkan bagaimana cara menanggapinya. Petugas itu menatapku dengan saksama, dan mengeluarkan selembar foto, bertanya apakah aku mengenal orang di foto itu. Aku melirik foto itu dan berkata, "Aku tidak mengenalnya." Dia berkata sambil tersenyum palsu, "Apakah kau yakin tidak mengenalnya? Tahukah kau siapa yang melaporkanmu hari ini? Orang yang ada di foto itu." Aku melihat bahwa orang di foto itu adalah orang jahat yang telah diusir dari gereja. Petugas itu kemudian menyebutkan nama seorang saudari lain, menanyakan apakah aku mengenalnya, dan aku menjawab bahwa aku juga tidak mengenalnya. Petugas itu membentak dan berkata, "Biar kuberi tahu sesuatu. Bahkan jika kau tidak mengatakan apa pun, materi keagamaan yang kami temukan di rumahmu dan para saksi yang kami miliki sudah cukup untuk menghukummu dengan tiga tahun pendidikan ulang melalui kerja paksa. Kami memberimu kesempatan untuk mengaku, dan makin cepat kau mengaku, makin cepat kau bisa pulang!" Pada saat ini, seorang polisi wanita memberi isyarat agar dia melepaskan lenganku lainnya yang masih tergantung, dan dengan berpura-pura khawatir, dia menyerahkan secangkir air kepadaku, memegang tanganku dan berkata, "Sayang, mari kita duduk di sofa dan mengobrol. Kulihat kedua anakmu sangat lucu, dan mereka masih dalam masa pertumbuhan. Sebagai seorang ibu, kau harus memenuhi tanggung jawabmu dan memastikan mereka mendapatkan makanan bergizi, karena jika mereka tidak makan dengan baik, itu akan memengaruhi pendidikan mereka. Kita para ibu memiliki banyak tanggung jawab. Suamimu adalah pria yang baik, bekerja keras di luar sana untuk mendapatkan uang, membiarkanmu tinggal di rumah untuk mengurus anak-anak. Bagaimana kau bisa tega mengabaikan anak-anak yang baik seperti itu? Tidakkah kau merasa berutang budi kepada mereka?" Perkataan polisi wanita itu membuatku merasa sedikit lemah, dan aku merasa belum merawat anak-anakku dengan baik dan benar-benar berutang budi kepada mereka. Melihatku tidak mengatakan apa pun, petugas perempuan itu menghampiriku, menepuk bahuku, dan berkata, "Sayang, sebaiknya kau mengaku saja. Katakan apa yang kau ketahui, dan kami akan segera memulangkanmu, dan kau akan bisa pulang untuk mengurus anak-anakmu." Dia juga berkata, "Kau tidak memahami hukum, jadi kau mungkin berpikir bahwa mengaku akan makin memberatkanmu, tetapi sebenarnya tidak seperti itu. Selama kau memberi tahu kami apa yang kauketahui, kami bisa saja merekam pernyataanmu, dan kau bisa pulang." Aku berpikir, "Ini semua hanyalah kebohongan dan tipu daya. Kau mengatakan ini hanya untuk membuatku mengkhianati Tuhan, dan aku tidak akan tertipu! Namun jika aku benar-benar dijatuhi hukuman tiga tahun pendidikan ulang dengan kerja paksa, apa yang akan terjadi pada anak-anakku? Mereka masih sangat kecil, bagaimana mereka bisa hidup tanpa ada aku yang merawat mereka?" Pikiran-pikiran ini membuatku merasa sangat tertekan, jadi aku berdoa dalam hati kepada Tuhan. Aku mengingat firman Tuhan ini: "Siapa yang dapat sungguh-sungguh dan sepenuhnya mengorbankan diri mereka sendiri bagi-Ku dan mempersembahkan seluruh keberadaan mereka bagi-Ku? Engkau semua setengah hati; pikiranmu berputar-putar, memikirkan rumah, dunia luar, makanan dan pakaian. Walaupun engkau berada di sini di hadapan-Ku, melakukan banyak hal bagi-Ku, jauh di lubuk hatimu engkau masih sedang memikirkan istrimu, anak-anakmu, dan orang tuamu di rumah. Apakah semua ini adalah hartamu? Mengapa engkau tidak memercayakannya ke dalam tangan-Ku? Apakah engkau tidak memiliki iman yang cukup kepada-Ku? Atau apakah engkau takut Aku akan membuat pengaturan yang tidak pantas bagimu?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 59"). Ya, Tuhan berkuasa atas segalanya. Takdir dan penderitaan anak-anakku telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, dan tidak seorang pun dapat mengubahnya. Aku harus memercayakan anak-anakku ke tangan Tuhan. Benar-benar tercela jika polisi menggunakan kasih sayang untuk membujukku supaya mengkhianati Tuhan! Lingkungan ini adalah ujian dari Tuhan, dan Dia mengamati pilihan-pilihan yang kubuat. Itu juga merupakan kesempatan bagiku untuk bersaksi bagi Tuhan, dan aku harus tetap teguh dalam kesaksianku untuk memuaskan Tuhan. Saat menyadari hal ini, aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, "Ya Tuhan! Aku bersedia memercayakan anak-anakku sepenuhnya ke tangan-Mu. Kumohon, tolong aku mengatasi kelemahan daging dan tetap teguh dalam kesaksianku untuk mempermalukan Iblis." Setelah berdoa, aku memperoleh iman, dan tak peduli bagaimana polisi berusaha mencobaiku, aku tetap diam. Saat melihatku tidak mengatakan apa pun, ekspresi petugas wanita itu langsung berubah. Dia menarikku dari sofa, menatapku tajam, dan berkata, "Aku sudah berusaha bersikap baik, tetapi kau tidak mau mendengarkan. Kau baru saja membuat keadaan menjadi jauh lebih buruk bagi dirimu sendiri! Biar kutunjukkan bagaimana aku akan menanganimu!" Sambil berkata demikian, dia mulai menjambak rambutku, menariknya dan mengumpat, "Sepertinya kau hanya minta dihajar!" Pada saat itu, seorang petugas laki-laki mengambil sebuah buku firman Tuhan dan menamparkannya ke wajahku, mengumpat kepadaku sambil memukulku, "Katakan saja! Sudah berapa tahun kau menjadi pemimpin? Kepada siapa persembahan gereja itu diberikan? Ceritakan apa yang kauketahui. Jika kau tidak mengaku, akan kupastikan kau menghabiskan sisa hidupmu di penjara, dan tidak akan pernah melihat suami dan anak-anakmu lagi!" Dengan tenang, aku berkata, "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan." Ekspresi polisi itu berubah muram, dan dia meninju pipiku, kemudian dia mulai menghujani wajahku dengan pukulan bertubi-tubi seolah telah kehilangan akal. Tidak terhitung berapa kali dia menamparku. Salah satu gigiku tanggal, darah mengalir dari hidung dan sudut mulutku, lalu kepalaku berdenyut-denyut dan bengkak. Aku merasa pusing dan bingung, terhuyung-huyung, dan aku baru bisa berdiri dengan stabil setelah bersandar ke dinding. Aku merasa tidak sanggup menahannya lebih lama lagi, berpikir, "Jika ini terus berlanjut, apakah pada akhirnya mereka akan memukuliku sampai mati? Bahkan jika aku tidak terbunuh, jika aku lumpuh, bagaimana aku akan menjalani sisa hidupku? Mungkin sebaiknya kukatakan saja sesuatu yang tidak penting?" Namun, saat aku hendak berbicara, tiba-tiba aku teringat akan nasib Yudas karena mengkhianati Tuhan Yesus. Aku merasa takut, dan segera berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, dagingku begitu lemah, tolong jaga hatiku, berikan aku iman serta kekuatan, dan bimbinglah aku agar bisa tetap teguh dalam kesaksianku." Setelah berdoa, aku teringat akan satu lagu pujian yang berjudul, "Aku Ingin Melihat Hari Kemuliaan Tuhan": "Dengan kepercayaan Tuhan di dalam hatiku, aku tidak akan pernah bertekuk lutut kepada Iblis. Meskipun kepala kita bisa terguling dan darah kita tumpah, tetapi keberanian umat Tuhan tidak dapat digoyahkan. Aku akan memberikan kesaksian yang gemilang bagi Tuhan, dan mempermalukan setan serta Iblis. Kesulitan dan penderitaan digariskan oleh Tuhan, dan aku akan setia serta tunduk kepada-Nya sampai mati. Tidak akan pernah lagi aku membuat Tuhan menitikkan air mata atau khawatir. Aku akan memberikan kasih dan kesetiaanku kepada Tuhan dan menyelesaikan misiku untuk memuliakan Tuhan" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru). Lagu pujian ini memberiku iman dan kekuatan. Aku tidak boleh menjadi orang lemah yang tidak punya nyali. Penderitaan ini adalah berkat dari Tuhan, dan betapa pun kejamnya polisi menyiksaku, aku akan tetap teguh dalam kesaksianku dan tidak akan pernah menyerah pada Iblis! Aku merasa bahwa Tuhan ada di sisiku, membantu dan membimbingku setiap saat, menjadi batu karangku, dan hatiku sangat tersentuh. Setelah melihatku tidak mengatakan apa pun, polisi menendang punggung bawahku dengan keras, membuatku menjerit kesakitan. Punggung bawahku terasa seperti patah. Aku meringkuk di lantai, tidak bisa bergerak. Meski sakit, aku menatap polisi dengan marah dan berkata, "Aku percaya kepada Tuhan hanya untuk mengejar kebenaran dan menjadi orang baik, dan selama ini aku tidak melakukan hal apa pun yang melanggar hukum, jadi kenapa kau memukuliku seperti ini?" Petugas itu berkata sambil menggertakkan gigi, "Aku memukulimu karena kau percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Melihatmu saja sudah menjijikkan. Kau dan orang-orang sepertimu semua adalah penjahat politik!" Aku berkata, "Dalam beriman, kami hanya berkumpul dan membaca firman Tuhan. Kami sama sekali tidak terlibat dalam politik. Kau mengabaikan orang-orang yang menggunakan narkoba dan mereka yang menipu serta memperdaya orang lain, tetapi kau mengejar kami yang percaya kepada Tuhan. Apakah benar-benar ada hukum?" Petugas itu menjawab, "Para pecandu dan penipu hanya melakukannya demi kepentingan mereka sendiri, tetapi kalian berbeda. Jika kami tidak menangkap kalian, tidak seorang pun akan mendengarkan Partai Komunis lagi jika mereka mengikuti kalian untuk percaya kepada Tuhan!" Pada saat ini, kapten Brigade Keamanan Nasional menunjuk ke arahku dan berkata kepada petugas lainnya, "Jika dia tidak mengaku, misi kita tidak akan selesai, dan kita tidak akan mendapatkan bonus. Kita tidak bisa melepaskannya begitu saja; terus pukuli dia sampai dia bicara!" Dua petugas kemudian mulai menghujani wajahku dengan pukulan, membuat bibirku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Mereka terus memukuli dan memakiku, "Jika kau tidak mengaku, aku akan memukulmu sampai kau buta, tuli, bisu, dan membuatmu lumpuh seumur hidup! Aku akan membuatmu ingin mati saja!" Setelah lebih dari sepuluh menit, kedua petugas yang memukuliku itu kelelahan, terengah-engah, dan duduk di sofa sambil merokok. Kemudian mereka mencoba membujukku dengan menyinggung suami dan anak-anakku, mengancam bahwa jika aku tidak mengaku, aku akan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Aku berpikir, "Lamanya hukumanku bukan kau yang menentukan, itu ada di tangan Tuhan. Bahkan jika aku dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, aku harus tetap teguh dalam kesaksianku!" Hingga larut malam itu, polisi masih belum mendapatkan informasi apa pun dariku tentang gereja, dan mereka meninggalkan ruang interogasi dengan perasaan putus asa. Aku disiksa selama lebih dari sepuluh jam hari itu, tanpa setetes air atau sesuap makanan pun. Sekujur tubuhku lemah dan sakit, dan kakiku tidak kuat untuk berdiri. Kemudian malam itu, dua petugas menyeretku ke dalam mobil dan membawaku ke pusat penahanan.

Saat kami tiba, sudah pukul 2 pagi, dan polisi memberi tahu petugas wanita yang sedang bertugas bahwa aku adalah anggota Kilat dari Timur, dan memerintahkan mereka agar meminta narapidana utama "mengurusku dengan baik". Setibanya aku di sel, salah satu petugas wanita membisikkan sesuatu yang tidak kudengar kepada kepala narapidana. Kepala narapidana itu berteriak untuk membangunkan narapidana lain yang sedang tidur dan melemparku ke tanah. Dia berteriak kepada mereka, "Hajar dia! Dia anggota Kilat dari Timur." Enam narapidana bergegas maju. Beberapa orang menendangku, ada yang menarik rambutku, dan yang bisa kulakukan hanyalah menutupi kepalaku dengan tangan, meringkuk, dan membiarkan mereka memukuliku. Kepala narapidana itu berdiri di samping dan memakiku, "Siapa yang menyuruhmu bergabung dengan Kilat dari Timur? Mengapa Tuhanmu tidak datang menyelamatkanmu? Jika kau berhenti percaya kepada Tuhan, kami akan berhenti memukulmu." Setelah dipukuli dan menggeliat di lantai, aku menyadari bahwa ketika polisi memberi tahu kepala narapidana untuk "mengurusku dengan baik", itu berarti polisi meminta mereka menyiksaku. Aku membenci setan-setan ini dari lubuk hatiku! Mereka memukuliku selama lebih dari setengah jam, dan kemudian kepala narapidana itu menyuruhku duduk di dekat toilet saat tugas malam. Aku telah disiksa dengan sangat kejam sampai-sampai bahkan tidak punya kekuatan untuk mengangkat kepalaku. Aku hanya bisa bergerak perlahan dan bersandar di dinding toilet. Tepat saat aku tertidur, kudengar orang-orang bangun untuk menggunakan toilet dari waktu ke waktu, dan beberapa orang menendangku setelah mereka selesai buang air kecil. Bau dari toilet membuatku ingin muntah. Sejak aku kecil, orang tuaku selalu bersikap sangat baik padaku, dan setelah aku menikah, suamiku pun bersikap baik padaku. Tidak ada yang pernah memperlakukanku seperti ini. Hanya karena aku percaya kepada Tuhan, aku menjadi sasaran siksaan dan penghinaan yang keji ini. Aku merasa sangat dirugikan. Aku tidak tahu apakah mereka akan terus memukuliku, berapa lama aku harus tinggal di tempat ini, atau apakah aku akan sanggup menanggungnya. Makin aku memikirkannya, makin buruk perasaanku, dan aku tidak bisa menahan tangisku. Pada saat itu, aku teringat pada lagu pujian, "Berusahalah Mengasihi Tuhan Tidak Peduli Seberapa Besar Penderitaanmu": "Selama akhir zaman ini engkau semua harus memberi kesaksian bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan hingga akhir napasmu, engkau harus setia kepada Tuhan dan tunduk pada pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Ketika merenungkan firman Tuhan, aku menyadari bahwa ketika aku tidak mengalami penangkapan dan penganiayaan, aku selalu merasa bahwa imanku kepada Tuhan sangat kuat, dan aku selalu menjadi yang terdepan dalam segala hal di gereja. Dalam melaksanakan tugas, aku dapat menanggung penderitaan yang tidak mampu ditanggung oleh orang lain, dan selalu menganggap diriku sebagai orang yang paling mengasihi Tuhan. Namun sekarang, setelah ditangkap dan disiksa, aku menyadari betapa kecilnya tingkat pertumbuhanku. Dengan sedikit penderitaan dan penghinaan, aku ingin melarikan diri dari lingkungan ini, menunjukkan bahwa aku tidak memiliki ketaatan, dan imanku kepada Tuhan sangatlah kecil. Aku juga ingat bahwa setiap kali aku lemah, Tuhan menggunakan firman-Nya untuk membimbing dan menuntunku, membantuku memahami tipu daya Iblis berulang kali. Kasih Tuhan sungguh besar. Aku bertekad dalam hati, "Selama aku masih bernapas, aku tidak akan pernah menyerah kepada Iblis!"

Keesokan paginya saat fajar menyingsing, kepala narapidana itu bangun, pergi ke toilet, dan menendangku, menyuruhku bangun dan membersihkan toilet. Setelah disiksa oleh polisi selama lebih dari sepuluh jam, sekujur tubuhku terasa sangat sakit, dan aku bahkan tidak punya kekuatan untuk berbicara, apalagi membersihkan toilet. Melihatku tidak bergerak, kepala narapidana itu memanggil narapidana lain untuk memukuliku lagi. Aku dipukuli hingga terkapar ke lantai, hampir tidak sadarkan diri. Seorang tahanan kasus pembunuhan berkata dengan kejam, "Jangan biarkan dia lolos begitu saja. Suruh dia bangun dan membersihkan toilet!" Setelah dia mengatakan ini, beberapa narapidana menyeretku ke toilet, dan memaksakan tanganku masuk ke kloset. Saat menunduk, aku melihat kloset itu penuh dengan kotoran, dan bau busuk membuatku merasa mual dan muntah. Para narapidana berdiri di satu sisi, menutupi hidung mereka dan tertawa terbahak-bahak. Tawa mereka mengerikan dan menyeramkan, terdengar seperti berasal dari neraka. Mereka tidak berhenti mempermalukanku di sana. Pembunuh itu mencengkeram lenganku, memaksaku mencuci kloset dengan tanganku, dan memperingatkanku, "Jika kau tidak membersihkan toilet ini sampai kinclong, aku akan membunuhmu! Tidak ada yang peduli jika orang-orang percaya seperti kalian dipukuli sampai mati di sini!" Setelah membersihkan toilet, mereka menyuruhku berlutut dan mengepel lantai, dan begitu aku selesai mengepel bagian depan, kepala narapidana sengaja mengotori lagi area yang baru saja kubersihkan, kemudian memerintahkanku, "Kembalilah dan pel lantainya lagi. Kalau tidak bersih, jangan harap kau bisa makan!" Aku tidak punya pilihan selain kembali dan mengepelnya lagi. Saat makan, tepat saat aku hendak meraih bakpao, kepala narapidana menyambarnya, mencabiknya menjadi beberapa bagian, melemparkannya ke lantai, dan menendang potongan-potongannya, sambil berkata, "Jika kau tidak mengaku dengan benar, kau pikir kau pantas makan roti? Kau hanya pantas mati kelaparan!" Begitulah keadaannya, dan para narapidana menyuruhku membersihkan toilet serta mengepel lantai setiap hari, dan pada malam hari, mereka tidak membiarkanku tidur.

Pada pagi hari keempat, polisi datang untuk menginterogasiku lagi. Saat itu adalah puncak musim dingin, dan begitu aku memasuki ruang interogasi, polisi merobek jaket berlapis katun yang kukenakan dan berkata dengan agresif, "Jika kau tidak mengaku, kami akan membuatmu membeku sampai mati hari ini!" Aku hanya mengenakan sweter tipis dan sekujur tubuhku menggigil. Polisi menyeretku ke tembok dan menggantungku pada radiator; jari-jari kakiku hampir tidak menyentuh lantai. Setelah sekitar satu jam, kapten Brigade Keamanan Nasional masuk, menurunkanku dari radiator, tersenyum kepadaku, dan berkata, "Aku tidak pernah memukul orang, aku ingin kau keluar dan mengatakan yang sebenarnya. Apakah kau akan menulis pengakuan dosamu sendiri, atau kau ingin mendiktekannya untukku? Kami telah menyelidiki situasimu lagi selama beberapa hari terakhir. Kau adalah pemimpin, dan sekarang kami memiliki saksi dan bukti untuk membuktikannya, tetapi kami ingin kau mengakuinya sendiri. Jika kau mengaku, kami akan segera memulangkanmu ke keluargamu." Seorang polisi wanita juga duduk di depanku, mendukung perkataan mereka, dan berkata, "Kami sudah pergi ke rumahmu, suamimu tampak menyedihkan, dan anak-anakmu menangis memanggil-manggil ibu mereka. Bagaimana mungkin kau, sebagai seorang ibu, tega meninggalkan mereka? Apakah kau layak menjadi seorang ibu? Cepatlah dan beri tahu kami apa yang terjadi di gereja, dan kami akan segera memulangkanmu agar kau bisa bersatu kembali dengan keluargamu." Hal-hal yang dikatakan polisi itu membuatku merasa sangat bimbang, "Haruskah aku mengaku saja, supaya aku bisa pulang dan mengurus anak-anakku?" Kemudian aku teringat pada akhir hidup Yudas dan menyadari bahwa ini adalah rencana licik Iblis. Polisi mencoba menggunakan kasih sayang untuk membuatku mengkhianati Tuhan. Cara-cara mereka sungguh tercela! Aku tidak mampu mengurus anak-anakku dan memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ibu gara-gara mereka. Melaksanakan tugasku dan percaya kepada Tuhan adalah hal yang sangat wajar dan dapat dibenarkan, dan aku tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum, tetapi mereka telah menangkap dan menyiksaku tanpa alasan yang bagus, dan sekarang mereka berpura-pura menjadi orang baik, mengatakan bahwa aku bukanlah ibu yang baik karena tidak mengurus anak-anakku. Mereka memutarbalikkan fakta dan menyebut hitam itu putih, dan putih itu hitam! Anak-anakku adalah titik kelemahanku, jadi aku harus lebih banyak berdoa dan mengandalkan Tuhan. Aku tidak dapat mengkhianati Tuhan karena kasih sayangku dan menjadi seorang Yudas yang tak berhati nurani. Saat melihatku tidak mengatakan apa pun, kapten Brigade Keamanan Nasional berbicara kepadaku dengan nada yang sangat lembut, "Apakah pantas menderita demi imanmu kepada Tuhan Yang Mahakuasa? Orang-orang telah memberi tahu kami tentang kepercayaanmu kepada Tuhan; bukankah bodoh jika kau tidak mengaku dan masih menutupi orang lain?" Aku berkata dengan tegas, "Apa yang telah mereka katakan atau tidak, itu tidak ada hubungannya denganku. Aku tidak tahu apa-apa dan tidak mengenal siapa pun!" Begitu aku mengatakan ini, kapten tersebut menggebrak meja dengan marah, "Jika kau tidak mengaku, kau benar-benar akan dihukum tiga tahun pendidikan ulang melalui kerja paksa. Kami menangkapmu untuk mengubahmu, jadi berhentilah bersikeras melakukan hal yang salah. Cepatlah akui apa yang kau ketahui! Semua yang telah kau makan dan minum hari ini disediakan oleh Partai Komunis, kan?" Saat mendengar ini, aku membantahnya dengan tegas, "Tuhan yang kami percayai adalah Tuhan sejati yang unik yang menciptakan langit dan bumi dan segala sesuatu. Empat musim, musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin, semuanya diatur oleh Tuhan; segala sesuatu yang kaumakan dan minum disediakan oleh Tuhan, kan? Tanpa penyediaan dan pemeliharaan ciptaan Tuhan bagi umat manusia, dapatkah kau hidup sampai sekarang?" Begitu aku selesai bicara, raut wajahnya berubah karena marah. Dia menunjukku dan berkata sambil menggertakkan giginya, "Aku sudah bicara banyak kepadamu hari ini, dan kau tidak mendengarkan sepatah kata pun. Sepertinya kau sudah tidak ada harapan lagi untuk diselamatkan!" Akhirnya, dia pergi dengan amarah yang berkobar. Tak lama kemudian, dua polisi datang, dan begitu mereka masuk, mereka menggantungku kembali ke radiator. Seorang polisi memukul punggungku dengan tongkat kejut, dan aku tanpa sadar berusaha menghindar, tetapi setiap gerakan menyebabkan gigi borgol menusuk dagingku dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Petugas itu memaki sambil memukuliku, "Apakah kau masih ingin menjadi martir? Bahkan jika kami tidak memukulimu sampai mati hari ini, kami akan menjatuhimu hukuman penjara seumur hidup!" Dia kemudian menjambak rambutku dan menghantamkan kepalaku ke dinding. Aku terhuyung-huyung dan pusing karena benturan itu, lalu langsung muncul benjolan besar di dahiku, dan mataku membengkak parah. Kemudian dia menjambak rambutku lagi dan mulai meninjuku seolah-olah dia sedang memukul karung pasir. Aku menjerit kesakitan, merasa seperti tulang-tulangku patah dan seolah-olah dadaku tersumbat, membuatku sulit bernapas. Dia memukulku sambil mengumpat, berkata, "Kau sudah diperlakukan seperti dewa. Mari kita lihat apakah mulutmu lebih kuat dari tinjuku. Dengan cara apa pun, kami akan membuatmu membuka mulut hari ini!" Setelah mengatakan itu, dia meninju kepalaku dengan keras, semuanya menjadi gelap, dan aku langsung kehilangan kesadaran. Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu hingga aku terbangun. Polisi itu berteriak kepadaku, "Masih berpura-pura mati? Jika kau tidak mengaku, aku akan membawamu keluar dan menjadikanmu makanan anjing-anjing penjaga!" Aku tahu bahwa hidup atau matiku ada di tangan Tuhan. Tanpa seizin Tuhan, polisi tidak dapat melakukan apa pun kepadaku. Bahkan jika mereka menyiksa tubuhku dan mengambil nyawaku, jiwaku ada di tangan Tuhan. Pemikiran ini membuatku merasa tidak takut lagi. Aku bertekad, "Sekalipun aku dipukuli sampai mati, aku akan tetap teguh dalam kesaksianku. Aku tidak akan pernah menjadi seorang Yudas!"

Aku digantung di radiator selama tiga hari tiga malam. Karena digantung di sana begitu lama, kedua kaki dan telapak kakiku membengkak. Rasa sakit dari pinggang sampai kakiku menjadi tak tertahankan, jadi aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan. Aku khawatir tidak akan mampu menahan siksaan ini. Tuhan! Tolong ambillah nyawaku. Lebih baik aku mati daripada menjadi seorang Yudas." Setelah berdoa, aku merasakan hawa dingin di sekujur tubuhku. Kaki dan telapak kakiku tidak bisa merasakan, dan aku tidak merasakan sakit apa pun lagi. Aku menyaksikan perbuatan ajaib Tuhan, saat Dia menghilangkan rasa sakitku, dan aku terus bersyukur kepada Tuhan dalam hatiku. Keesokan paginya, ketika polisi melihat bahwa aku masih tidak mengatakan apa pun, mereka berteriak kepadaku, "Menurutmu berapa lama lagi kau bisa bertahan? Lihatlah wajahmu—begitu bengkak, dan kamu bahkan tidak terlihat seperti manusia! Agar tidak menghindari gereja, kau harus melalui semua ini, menelantarkan suami dan anak-anakmu. Apakah menurutmu itu sepadan?" Dia menambahkan, "Jika kau tidak peduli dengan hidupmu sendiri, itu lain hal. Namun, pikirkanlah anak-anak dan suamimu; mereka sedang menunggumu pulang. Akui saja dengan jujur, dan kau tidak harus menderita rasa sakit ini lagi." Setelah mendengar kata-kata ini, aku merasakan kemarahan yang luar biasa, dan pikirku, "Sudah jelas bahwa kaulah yang menghalangiku untuk percaya kepada Tuhan, menangkapku, memecah belah keluargaku, dan membuatku tidak mungkin pulang. Kau bahkan menggunakan penyiksaan untuk menyiksaku, kemudian kau menuduhku meninggalkan anak-anak dan suamiku demi imanku. Ini benar-benar memutarbalikkan kebenaran! Seperti pencuri yang berteriak 'Berhenti pencuri!'" Aku teringat akan firman Tuhan: "Selama ribuan tahun, negeri ini telah menjadi negeri yang najis. Negeri ini tak tertahankan kotornya, penuh kesengsaraan, hantu merajalela di mana-mana, menipu dan menyesatkan, membuat tuduhan tak berdasar, dengan buas dan kejam, menginjak-injak kota hantu ini, dan meninggalkannya penuh dengan mayat; bau busuk menyelimuti negeri ini dan memenuhi udara dengan pekatnya, dan tempat ini dijaga ketat. Siapa yang bisa melihat dunia di balik langit? ... Nenek moyang dari zaman kuno? Pemimpin yang dikasihi? Mereka semuanya menentang Tuhan! Tindakan ikut campur mereka membuat segala sesuatu di kolong langit ini menjadi gelap dan kacau! Kebebasan beragama? Hak dan kepentingan yang sah bagi warga negara? Semua itu hanya tipu muslihat untuk menutupi dosa!" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)"). Partai Komunis mengaku bahwa mereka menjunjung tinggi kebebasan berkeyakinan, tetapi secara internal, partai ini dengan kejam menindas, menangkap, dan menganiaya orang-orang Kristen, dengan tujuan menghancurkan pekerjaan Tuhan, membuat orang-orang tidak percaya kepada Tuhan atau tidak menyembah-Nya, dan mengendalikan semua orang untuk menaatinya, dan akhirnya binasa bersamanya. Setelah mengalami kekejaman dan penyiksaan Partai Komunis, aku melihat esensi jahatnya yang sebenarnya. Partai Komunis adalah setan yang menentang Tuhan dan menyakiti orang-orang, dan aku merasakan kebencian yang mendalam terhadapnya. Aku bertekad untuk memberontak dan menolak naga merah yang sangat besar itu. Saat memikirkan hal ini, aku melupakan rasa sakit di pergelangan tanganku, dan sangat ingin berlutut serta mencurahkan isi hatiku kepada Tuhan. Pada saat itu, tubuhku tiba-tiba merosot, dan secara ajaib, borgol di tanganku terbuka. Aku berlutut di lantai, menangis dan berdoa dalam hati, "Tuhan! Aku telah melihat perbuatan-Mu yang luar biasa. Meskipun dagingku lemah, Engkau selalu berada di sisiku, mengawasi dan melindungiku, Kasih-Mu begitu nyata!" Kapten Brigade Keamanan Nasional tercengang melihat kejadian ini. Setelah aku selesai berdoa, tepat ketika dua polisi hendak maju untuk memborgolku lagi, kapten itu berteriak dengan gugup, "Jangan bergerak, mundur!" Kedua polisi itu begitu takut sampai-sampai mereka tidak berani bergerak. Kapten itu kemudian memerintahkan, "Dia berdoa dan mengutuki kita; cepat mundur!" Kedua polisi itu mundur sedikit, berdiri di sana tanpa berani bergerak, dan menatapku dengan pandangan kosong. Selama sekitar setengah jam, ruangan itu tetap sunyi. Kemudian, salah satu polisi mengambil borgol itu dan bertanya, "Bagaimana borgol itu bisa terbuka? Mungkinkah Tuhan yang dia percayai benar-benar ada? Borgol ini tidak rusak! Aku tidak percaya. Mari kita borgol dia lagi dan gantung dia!" Setelah mengatakan itu, mereka memborgolku lagi dan menggantungku. Kedua petugas itu kemudian mengayunkan tubuhku seperti ayunan tali, dan setiap kali aku diayunkan, borgol itu menusuk dagingku. Tanganku terasa seperti terkoyak, dengan rasa sakit yang menusuk, dan aku tidak dapat menahan diri untuk tidak berteriak. Para petugas itu berdiri di samping, menyeringai dan berkata, "Kau masih menangis? Bukankah Tuhanmu seharusnya melakukan mukjizat? Kau masih merasakan sakit? Kami akan mematahkan lenganmu hari ini!" Melihat bagaimana setan-setan ini senang menyiksa orang, aku pun berhenti menangis, dan bertekad, "Sekalipun mereka menyiksaku sampai mati, aku harus tetap teguh dalam kesaksianku!" Akhirnya, polisi menyadari bahwa mereka tidak akan mendapatkan bukti apa pun dariku, dan berkata dengan putus asa, "Kami telah menginterogasinya selama tiga hari tiga malam, tetapi itu tak membuahkan hasil apa pun. Jadi, mengingat bahwa dia sudah setengah mati, mari kita beri dia tiga tahun pendidikan ulang melalui kerja paksa!" Polisi kemudian membawaku kembali ke pusat penahanan.

Saat aku kembali ke sel, para narapidana tercengang melihatku dipukuli seperti ini, dan mereka berbicara di antara mereka sendiri dengan tidak percaya, "Bagaimana mereka bisa memukuli seseorang seperti ini? Kami para pembunuh dan pecandu mungkin pantas dipukuli seperti ini, tetapi dia hanya orang percaya, dia tidak melakukan hal ilegal dan malah dipukuli seperti ini. Sungguh mengerikan dunia ini!" Seorang narapidana berkata kepadaku, "Kau punya keberanian yang cukup besar untuk percaya kepada Tuhan. Dari kata-kata dan tindakanmu, jelas bahwa kau adalah orang baik. Aku telah membunuh orang, jadi aku tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk percaya kepada Tuhan dalam kehidupan ini, tetapi di kehidupan selanjutnya, aku juga akan percaya kepada Tuhan dan menjadi orang baik." Saat mendengar para narapidana mengatakan hal-hal ini, aku tahu bahwa itu bukanlah kebaikanku sendiri, melainkan pengaruh firman Tuhan yang membimbingku.

Polisi tidak bisa mendapatkan apa pun selama menginterogasiku dan akhirnya menjatuhkan hukuman tiga tahun pendidikan ulang melalui kerja paksa. Ketika mengetahui bahwa aku harus menjalani hukuman tiga tahun lagi, aku merasa sangat lemah, tidak tahu kapan semua ini akan berakhir, jadi aku berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk membimbingku agar tetap teguh dalam kesaksianku. Aku teringat pada sebuah lagu pujian dari firman Tuhan "Hanya Mereka dengan Iman Murni Mendapatkan Perkenanan Tuhan": "Ketika Musa memukul gunung batu, dan air yang dianugerahkan oleh Yahweh memancar keluar, itu karena imannya. Ketika Daud memainkan kecapi untuk memuji Yahweh—dengan hatinya yang dipenuhi dengan sukacita—itu karena imannya. Ketika Ayub kehilangan ternaknya yang memenuhi pegunungan dan segala kekayaan yang tak terkira jumlahnya, dan tubuhnya dipenuhi dengan barah yang busuk, itu karena imannya. Ketika dia dapat mendengar suara Yahweh, dan melihat kemuliaan Yahweh, itu karena imannya" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Fakta Sesungguhnya di Balik Pekerjaan Penaklukan (1)"). Aku teringat kepada Ayub, Daud, dan Musa, yang karena iman mereka, menyaksikan perbuatan-perbuatan Tuhan yang luar biasa. Hari ini, aku mengalami semua kesukaran ini karena imanku kepada Tuhan. Hal ini diizinkan oleh Tuhan dan aku bersedia tunduk dan mengalaminya.

Pada bulan Juni 2003, polisi memindahkanku ke kamp kerja paksa. Selama berada di kamp kerja paksa, aku bangun setiap hari pukul 5 pagi, bekerja selama tujuh belas hingga delapan belas jam sehari, dan sering kali harus bekerja lembur hingga pukul dua atau tiga pagi. Jika aku tidak melaksanakan pekerjaan dengan baik, aku akan dihukum berdiri, hukumanku diperpanjang, dan tidak boleh beristirahat sampai pekerjaan selesai. Setiap malam sebelum tidur, aku harus menghafal peraturan kamp, dan jika tidak bisa menghafalnya, aku tidak diperbolehkan tidur. Pekerjaan fisik yang sangat melelahkan dan dalam jangka panjang, ditambah dengan tekanan mental, membuat kepalaku terasa pusing setiap hari, ditambah dengan tekanan darah tinggi, rasa nyeri yang sering muncul pada jantungku, panik saat terkejut, dan herniasi diskus, aku merasakan sakit yang luar biasa, tetapi polisi hanya memberiku obat, sebelum memaksaku terus bekerja. Di kamp kerja paksa, kami seperti budak, sepenuhnya berada di bawah kekuasaan mereka, tanpa hak asasi manusia atau kebebasan. Satu-satunya hal yang menghiburku adalah bahwa ada lebih dari sepuluh saudari yang percaya kepada Tuhan di kamp kerja paksa, dan kami sering kali saling menyelipkan catatan secara diam-diam untuk membagikan firman Tuhan dan lagu-lagu pujian, saling menyemangati. Seorang saudari diam-diam memberikan surat kepadaku, dan ketika aku melihat surat dari saudara-saudari dan firman Tuhan yang disalin dengan tulisan tangan, aku merasa sangat bahagia dan tersentuh. Aku membaca bagian firman Tuhan ini: "Bahwa Petrus dapat mengikut Yesus Kristus, itu karena imannya. Bahwa dia bersedia disalibkan demi Aku dan menjadi kesaksian yang mulia, itu juga karena imannya. Ketika Yohanes melihat gambar mulia Anak Manusia, itu karena imannya. Ketika dia melihat penglihatan akan akhir zaman, itu terlebih lagi karena imannya" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Fakta Sesungguhnya di Balik Pekerjaan Penaklukan (1)"). Aku begitu tersentuh hingga tidak dapat menahan tangis. Tuhan mengetahui kelemahanku, dan terlebih lagi, kebutuhan jiwaku. Dia telah mengatur agar saudari itu mengirimkan surat yang menyemangati dan membantuku, dan Dia membimbing serta menuntunku dengan firman-Nya, memberiku iman dan kekuatan. Aku merasakan betapa besarnya kasih Tuhan, dan penderitaan itu tidak terasa seburuk sebelumnya.

Pada bulan September 2005, aku dibebaskan dan pulang ke rumah. Akibat penyiksaan itu, aku menderita penyakit jantung dan tekanan darah tinggi yang parah, dan saat turun hujan, lengan, pinggang, dan kakiku sangat sakit, dan karena telah diborgol dalam waktu yang lama, pergelangan tanganku masih tidak dapat mengangkat benda berat. Meskipun aku dibebaskan dari penjara setelah dijatuhi hukuman, polisi terus mengirim orang untuk melacak dan memantauku, dan mereka meminta kerabat serta tetanggaku untuk mengawasi pergerakanku setiap saat. Secara berkala, mereka mengirim orang ke rumahku untuk menanyakan apakah aku masih percaya kepada Tuhan, dan jika aku sedang tidak ada di rumah, mereka menanyakan ke mana aku pergi. Aku tidak dapat melaksanakan tugasku dengan normal atau menghadiri pertemuan, yang menyebabkanku sangat stres. Setelah ditangkap dan dianiaya secara pribadi oleh Partai Komunis, aku menyaksikan ketercelaan dan kekejaman Partai Komunis, dan dengan jelas mengenali esensi jahatnya yaitu menentang dan membenci Tuhan. Aku membenci dan menolaknya dari lubuk hatiku, dan di saat yang sama, aku bersyukur kepada Tuhan karena telah membimbingku selangkah demi selangkah untuk memahami tipu daya Iblis, yang memperkuat imanku, dan memberiku kemampuan untuk mengatasi bahaya dari roh jahat dan keluar dari sarang setan dalam keadaan hidup-hidup. Aku benar-benar merasakan kasih dan keselamatan dari Tuhan, dan bertekad melakukan yang terbaik untuk melaksanakan tugasku dengan baik dan membalas kasih Tuhan.

Sebelumnya:  88. Pelajaran Pahit yang Dipetik dari Menjadi Penyenang Orang

Selanjutnya:  90. Aku Telah Merasakan Sukacitanya Bersikap Jujur

Konten Terkait

44. Aku Telah Pulang

Oleh Saudara Chu Keen Pong, MalaysiaAku telah percaya kepada Tuhan selama lebih dari sepuluh tahun dan melayani di gereja selama dua tahun,...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger