95. Cara Memperlakukan Orang Tua Sesuai dengan Maksud Tuhan

Saat aku masih kecil, aku sering mendengar nenekku berkata, "Lihatlah anak dari keluarga si anu, sungguh orang yang tidak tahu berterima kasih, sungguh anak yang tidak berbakti. Orang tuanya bersusah payah membesarkannya, tetapi dia tidak menunjukkan bakti anak kepada orang tua. Langit akan menegakkan keadilan!" Dia mengajariku untuk memperlakukan orang tuaku dengan baik dan berbakti kepada mertuaku ketika aku dewasa nanti. Dia juga berkata bahwa bakti anak kepada orang tua sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan. Jika orang tidak berbakti, berarti orang itu melakukan pengkhianatan besar dan tidak memiliki hati nurani. Jadi, di dalam hatiku saat masih muda, aku percaya bahwa terlepas dari cara orang tuaku memperlakukanku, aku harus berbakti kepada mereka, dan jika aku tidak berbakti, berarti aku melakukan pengkhianatan besar dan akhirnya dihukum oleh langit. Sejak masih kecil, aku sangat mendengarkan orang tuaku, dan setelah mulai bekerja serta menghasilkan uang, aku berusaha sebaik mungkin untuk berbakti kepada orang tuaku. Ketika mereka sakit, aku menemani dan merawat mereka setiap aku punya waktu, dan pada hari libur, aku membelikan mereka berbagai macam hadiah. Melihat orang tuaku bahagia dan puas membuatku sangat bahagia. Pada tahun 2001, aku menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman. Setelah beberapa waktu, aku mulai melaksanakan tugasku di gereja, tetapi aku tetap meluangkan waktu untuk pulang dan mengunjungi orang tuaku. Lebih dari sepuluh tahun kemudian, karena pengkhianatan seorang Yudas, polisi datang ke rumahku untuk menangkapku. Dengan perlindungan Tuhan, aku berhasil melarikan diri, tetapi karena aku pergi terburu-buru, ada banyak hal yang tidak sempat kujelaskan kepada orang tuaku. Ibu mertuaku yang sudah lanjut usia masih harus merawat anakku, dan memikirkan orang tuaku serta ibu mertuaku yang terkena dampak dari situasi ini saja membuatku merasa seolah-olah telah menyebabkan masalah. Aku memikirkan seluruh upaya yang telah orang tuaku lakukan untuk membesarkanku dan betapa sulitnya menyediakan makanan, pakaian, dan pendidikan untukku. Kini, ketika mereka makin tua, mereka membutuhkan anak-anak mereka untuk merawat mereka dan berada di sisi mereka, tetapi aku tidak hanya gagal memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang putri, tetapi juga melibatkan mereka, membuat mereka mengkhawatirkan dan mencemaskanku. Aku bertanya-tanya, apakah orang tuaku dan para tetangga akan mengatakan bahwa aku tidak memiliki hati nurani serta kemanusiaan, dan menyebutku sebagai putri yang tidak berbakti? Saat itu, karena pengawasan naga merah yang sangat besar, aku tidak berani menelepon ke rumah. Aku tidak tahu bagaimana situasi orang tuaku, dan itu membuatku cemas. Saat aku melaksanakan tugasku, hatiku tidak bisa tenang, dan pikiranku terkadang melayang-layang. Hal ini memengaruhi kemajuan pekerjaanku. Aku tahu bahwa aku harus segera membalikkan keadaan ini, jadi aku berdoa kepada Tuhan, memercayakan segalanya kepada-Nya, dan memohon bimbingan-Nya.

Selama saat teduhku, aku membaca sebuah bagian dari firman Tuhan: "Karena dipengaruhi oleh budaya tradisional Tiongkok, gagasan tradisional di benak orang Tionghoa adalah mereka yakin bahwa orang haruslah berbakti kepada orang tua mereka. Siapa pun yang tidak berbakti kepada orang tua adalah anak yang durhaka. Gagasan ini telah ditanamkan dalam diri orang sejak masa kanak-kanak, dan diajarkan di hampir setiap rumah tangga, serta di setiap sekolah dan masyarakat pada umumnya. Orang yang pikirannya dipenuhi hal-hal seperti itu akan beranggapan, 'Berbakti kepada orang tua lebih penting dari apa pun. Jika aku tidak berbakti, aku tidak akan menjadi orang yang baik—aku akan menjadi anak yang durhaka dan akan dicela oleh masyarakat. Aku akan menjadi orang yang tidak punya hati nurani.' Benarkah pandangan ini? Orang-orang telah memahami begitu banyak kebenaran yang Tuhan ungkapkan—pernahkah Tuhan menuntut orang untuk berbakti kepada orang tua mereka? Apakah ini adalah salah satu kebenaran yang harus dipahami oleh orang yang percaya kepada Tuhan? Tidak. Tuhan hanya mempersekutukan beberapa prinsip. Dengan prinsip apa firman Tuhan menuntut orang untuk memperlakukan orang lain? Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, bencilah apa yang Tuhan benci: inilah prinsip yang harus dipatuhi. Tuhan mengasihi orang yang mengejar kebenaran dan mampu mengikuti kehendak-Nya; orang-orang ini jugalah yang harus kita kasihi. Orang yang tidak mampu mengikuti kehendak Tuhan, yang membenci dan memberontak terhadap Tuhan—orang-orang ini dibenci oleh Tuhan, dan kita juga harus membenci mereka. Inilah yang Tuhan tuntut untuk manusia lakukan. ... Iblis menggunakan budaya tradisional dan gagasan moralitas semacam ini untuk mengikat pemikiran, pikiran, dan hatimu, membuatmu tak mampu menerima firman Tuhan; engkau telah dikuasai oleh hal-hal dari Iblis ini, dan dibuat tak mampu untuk menerima firman Tuhan. Ketika engkau ingin menerapkan firman Tuhan, hal-hal ini menyebabkan gangguan di dalam dirimu, dan menyebabkanmu menentang kebenaran dan tuntutan Tuhan, membuatmu tidak berdaya untuk melepaskan diri dari belenggu budaya tradisional ini. Setelah berjuang selama beberapa waktu, engkau berkompromi: engkau lebih memilih untuk menganggap gagasan tradisional tentang moralitas adalah benar dan sesuai dengan kebenaran dan karena itu engkau menolak atau meninggalkan firman Tuhan. Engkau tidak menerima firman Tuhan sebagai kebenaran dan engkau sama sekali tidak berpikir bagaimana agar engkau diselamatkan, merasa engkau masih hidup di dunia ini, dan hanya bisa bertahan hidup jika engkau mengandalkan hal-hal ini. Karena tidak mampu menanggung kritikan masyarakat, engkau lebih suka memilih melepaskan kebenaran dan firman Tuhan, menyerahkan dirimu kepada gagasan tradisional tentang moralitas dan pengaruh Iblis, lebih memilih untuk menyinggung Tuhan dan tidak menerapkan kebenaran. Katakan kepada-Ku, bukankah manusia begitu menyedihkan? Apakah mereka tidak butuh diselamatkan oleh Tuhan? Ada orang-orang yang telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, tetapi masih tidak mengerti masalah tentang berbakti. Mereka sebenarnya tidak memahami kebenaran. Mereka tidak akan pernah mampu menerobos penghalang hubungan duniawi ini; mereka tidak memiliki keberanian ataupun iman, apalagi tekad, jadi mereka tidak mampu mengasihi dan menaati Tuhan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mengenali Pandangannya yang Keliru Barulah Orang Dapat Benar-Benar Berubah"). Saat aku merenungkan firman Tuhan, aku tiba-tiba menyadari bahwa selama ini aku selalu hidup dalam keadaan merasa berutang dan bersalah kepada orang tuaku, dan ini karena pemikiran tradisional Iblis yang telah berakar kuat di hatiku. Seperti yang sering diajarkan nenekku, "Kau harus berbakti kepada orang tuamu, dan jika tidak, kau akan melakukan pengkhianatan besar," "Kau harus menunjukkan bakti kepada orang tuamu. Jika tidak, langit akan menghukummu." Aku selalu menjadikan kata-kata ini sebagai prinsipku dalam berperilaku. Sejak kecil, aku berusaha mendengarkan kata-kata orang tuaku dan tidak membuat mereka marah. Setelah mulai menghasilkan uang, aku melakukan yang terbaik untuk berbakti kepada orang tuaku. Pada hari raya, aku membelikan mereka berbagai macam hadiah. Ketika mereka jatuh sakit, aku membawa mereka ke rumah sakit untuk berobat. Melihat orang tuaku bahagia membuatku juga bahagia. Ketika aku diburu oleh naga merah yang sangat besar dan terpaksa melarikan diri dari rumah, selain tidak dapat merawat orang tuaku, aku juga melibatkan mereka, membuat mereka mengkhawatirkanku. Aku merasa berutang kepada mereka dan tidak bisa fokus dalam melaksanakan tugasku, yang akhirnya menyebabkan tertundanya pekerjaanku. Aku tahu bahwa sebagai makhluk ciptaan, tugasku adalah tanggung jawab yang benar-benar tidak dapat kuhindari, tetapi aku tetap hidup berdasarkan sudut pandang yang keliru seperti "Bakti anak kepada orang tua adalah kebajikan yang harus diutamakan di atas segalanya" dan "Jangan bepergian jauh saat orang tuamu masih hidup". Karena aku tidak bisa berbakti kepada orang tuaku, hati nuraniku merasa tidak nyaman, dan saat aku melaksanakan tugasku, pikiranku terus melayang-layang. Aku menyadari betapa aku sudah dirugikan oleh budaya tradisional.

Dalam pencarianku, aku membaca beberapa firman Tuhan: "Apakah berbakti kepada orang tua adalah kebenaran? (Bukan.) Berbakti kepada orang tua adalah hal yang benar dan positif, tetapi mengapa kita mengatakan bahwa itu bukan kebenaran? (Karena orang tidak berbakti kepada orang tua mereka dengan prinsip dan tidak mampu mengenali orang seperti apa orang tua mereka sebenarnya.) Cara seseorang memperlakukan orang tuanya ada kaitannya dengan kebenaran. Jika orang tuamu percaya kepada Tuhan dan memperlakukanmu dengan baik, haruskah engkau berbakti kepada mereka? (Ya.) Bagaimana engkau berbakti? Engkau memperlakukan mereka secara berbeda dari saudara-saudari. Engkau melakukan semua yang mereka katakan, jika mereka sudah tua, engkau harus tetap berada di sisi mereka untuk merawatnya, yang membuatmu tidak dapat pergi keluar untuk melaksanakan tugasmu. Apakah benar melakukan hal tersebut? (Tidak.) Apa yang sebaiknya kaulakukan pada saat seperti itu? Hal ini bergantung pada situasinya. Jika engkau masih mampu merawat mereka sambil melaksanakan tugasmu di dekat rumah, dan orang tuamu tidak keberatan dengan imanmu kepada Tuhan, engkau harus memenuhi tanggung jawabmu sebagai seorang putra atau putri dan membantu orang tuamu dalam beberapa pekerjaan. Jika mereka sakit, rawatlah; jika ada sesuatu yang mengganggu mereka, hiburlah; jika kondisi keuanganmu memungkinkan, belikan mereka suplemen gizi yang sesuai dengan anggaranmu. Namun, apa yang harus kaulakukan jika engkau sibuk dengan tugasmu, tidak ada yang menjaga orang tuamu, dan mereka juga percaya kepada Tuhan? Kebenaran apa yang harus kauterapkan? Karena berbakti kepada orang tua bukanlah kebenaran, melainkan hanya merupakan tanggung jawab dan kewajiban manusia, lalu apa yang harus kaulakukan jika kewajibanmu itu bertentangan dengan tugasmu? (Prioritaskan tugasku; utamakan tugas.) Kewajiban seseorang belum tentu merupakan tugas orang tersebut. Memilih untuk melaksanakan tugas artinya menerapkan kebenaran, sedangkan memenuhi kewajiban bukan. Jika engkau berada dalam kondisi seperti ini, engkau dapat memenuhi tanggung jawab atau kewajiban ini, tetapi jika lingkunganmu saat ini tidak memungkinkanmu untuk melakukannya, apa yang harus kaulakukan? Engkau harus berkata, 'Aku harus melaksanakan tugasku—yaitu menerapkan kebenaran. Berbakti kepada orang tuaku artinya hidup berdasarkan hati nuraniku dan itu tidak sesuai dengan menerapkan kebenaran.' Jadi, engkau harus memprioritaskan dan menjunjung tinggi tugasmu. Jika sekarang engkau tidak memiliki tugas, dan tidak bekerja jauh dari rumah, dan tinggal dekat dengan orang tuamu, maka carilah cara untuk merawat mereka. Berupayalah sebaik mungkin untuk membantu mereka dengan hidup sedikit lebih baik dan mengurangi penderitaan mereka. Namun, ini juga tergantung pada orang seperti apakah orang tuamu. Apa yang harus kaulakukan jika orang tuamu memiliki kemanusiaan yang buruk, jika mereka selalu menghalangimu agar tidak percaya kepada Tuhan, dan jika mereka terus memaksamu agar tidak percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasmu? Kebenaran apa yang harus kauterapkan? (Penolakan.) Pada saat seperti ini, engkau harus menolak mereka. Engkau telah memenuhi kewajibanmu. Orang tuamu tidak percaya kepada Tuhan, jadi engkau tidak berkewajiban untuk menunjukkan rasa hormat kepada mereka. Jika mereka percaya kepada Tuhan, artinya mereka adalah keluarga, orang tuamu. Jika mereka tidak percaya kepada Tuhan, artinya engkau dan mereka menempuh jalan yang berbeda: mereka percaya kepada Iblis dan menyembah raja setan, dan mereka menempuh jalan Iblis, mereka adalah orang-orang yang menempuh jalan yang berbeda dengan orang yang percaya kepada Tuhan. Engkau dan mereka bukan lagi sebuah keluarga. Mereka menganggap orang-orang yang percaya kepada Tuhan sebagai lawan dan musuh mereka, jadi engkau tidak memiliki kewajiban lagi untuk merawat mereka dan harus sepenuhnya memutuskan ikatanmu dengan mereka. Manakah yang adalah kebenaran: berbakti kepada orang tua atau melaksanakan tugas? Tentu saja, melaksanakan tugas adalah kebenaran. Melaksanakan tugas di rumah Tuhan bukan sekadar memenuhi kewajiban dan melakukan apa yang seharusnya orang lakukan. Ini adalah tentang melaksanakan tugas makhluk ciptaan. Ini adalah amanat Tuhan; ini adalah kewajibanmu, tanggung jawabmu. Inilah tanggung jawab yang sebenarnya, yaitu memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu di hadapan Sang Pencipta. Ini adalah tuntutan Sang Pencipta terhadap manusia, dan ini adalah masalah hidup yang penting. Sedangkan menunjukkan rasa hormat kepada orang tua, itu hanyalah tanggung jawab dan kewajiban seorang putra atau putri. Itu tentu saja tidak diamanatkan oleh Tuhan, apalagi sesuai dengan tuntutan Tuhan. Oleh karena itu, antara menunjukkan rasa hormat kepada orang tua dan melaksanakan tugas, tidak diragukan lagi bahwa hanya melaksanakan tugaslah yang merupakan penerapan kebenaran. Melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan adalah kebenaran, dan itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Menunjukkan rasa hormat kepada orang tua berarti berbakti kepada manusia. Ketika orang menghormati orang tuanya, itu bukan berarti dia sedang melaksanakan tugasnya, juga bukan berarti dia sedang menerapkan kebenaran" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Apa yang Dimaksud dengan Kenyataan Kebenaran?"). "Bagaimana seharusnya engkau memperlakukan amanat Tuhan adalah hal yang sangat penting. Ini adalah hal yang sangat serius. Jika engkau tidak mampu menyelesaikan apa yang telah Tuhan percayakan kepadamu, engkau tidak layak untuk hidup di hadirat-Nya dan engkau harus menerima hukumanmu. Adalah sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan bahwa manusia memenuhi amanat yang Tuhan percayakan kepada mereka. Ini adalah tanggung jawab tertinggi manusia, dan sama pentingnya dengan nyawa mereka sendiri. Jika engkau memperlakukan amanat Tuhan dengan menganggapnya remeh, ini adalah pengkhianatan yang paling serius terhadap Tuhan. Dalam hal ini, engkau lebih tercela daripada Yudas, dan harus dikutuk. Orang haruslah memperoleh pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana cara memperlakukan amanat Tuhan dan setidaknya, mereka harus memahami bahwa amanat yang Tuhan percayakan kepada manusia adalah peninggian-Nya terhadap manusia, kasih karunia-Nya yang khusus terhadap manusia, ini adalah hal yang paling mulia, dan segala sesuatu yang lain dapat ditinggalkan—bahkan nyawanya sendiri—tetapi amanat Tuhan harus dipenuhi" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Cara Mengenal Natur Manusia"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memahami prinsip-prinsip dalam memperlakukan orang tua. Ketika bakti seseorang kepada orang tuanya berbenturan dengan tugasnya, orang itu harus mengutamakan tugasnya, karena hal terpenting dalam hidupnya adalah melaksanakan tugasnya dengan baik. Bakti kepada orang tua mencakup pemenuhan tanggung jawab dan kewajiban, tetapi betapa pun baiknya seseorang melakukan hal-hal tersebut, itu bukanlah menerapkan kebenaran. Hanya dengan melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan, orang akan dianggap menerapkan kebenaran. Karena tugas adalah amanat dari Sang Pencipta kepada makhluk ciptaan, tugas merupakan tanggung jawab tertinggi dan sepenuhnya wajar serta dapat dibenarkan untuk dilaksanakan. Aku tidak memahami kebenaran dan menganggap bakti kepada orang tuaku sebagai prinsip dalam berperilaku. Ketika aku sibuk dengan tugasku atau ketika aku sedang diburu, melarikan diri, dan aku tidak bisa merawat orang tuaku, aku merasa berutang kepada orang tuaku dan menganggap diriku sebagai putri yang tidak berbakti. Setelah membaca firman Tuhan, barulah aku menyadari bahwa sudut pandangku ini salah. Aku beruntung telah mendengar suara Tuhan. Aku telah menerima keselamatan dari Tuhan pada akhir zaman, banyak makan dan minum firman-Nya, dan mulai memahami beberapa kebenaran, tetapi aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk membalas kasih Tuhan. Aku benar-benar tidak memiliki kemanusiaan dan hati nurani! Sekarang aku tahu bahwa melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan adalah prioritas utama dan sama pentingnya dengan hidupku sendiri, dan bahwa aku harus melakukan yang terbaik untuk menyelesaikannya, karena jika aku tidak melaksanakannya, berarti aku melakukan pengkhianatan besar. Setelah itu, hatiku menjadi tenang, dan aku mampu berfokus pada tugasku.

Pada pertengahan Mei 2020, aku diam-diam pergi ke rumah orang tuaku. Ayahku bersikap baik saat pertama kali melihatku, tetapi tidak lama kemudian, ekspresinya tiba-tiba berubah, dan dia mulai memarahiku. Dia mencecarku dengan pertanyaan tentang apa saja yang telah kulakukan selama beberapa tahun terakhir, dan dia juga mengatakan bahwa dia sakit parah dua tahun lalu serta hampir kehilangan nyawanya, tetapi dia tidak melihatku sama sekali. Karena khawatir aku dan suamiku akan ditangkap saat memberitakan Injil, dia tidak bisa tidur di malam hari serta mengalami banyak tekanan mental. Dia bahkan menyebutku sebagai anak yang tidak tahu berterima kasih dan tidak berbakti. Dia semula berharap aku akan merawatnya di masa tuanya, tetapi setelah semua yang dia lakukan untukku, aku hampir membuatnya mati karena marah... Saat mendengar kata-katanya, aku merasa hatiku seperti ditusuk jarum. Aku merasa bahwa ayahku telah bekerja sangat keras untuk membesarkanku, memberiku makanan dan pakaian, serta membiayai pendidikanku, dan bahwa aku tidak hanya gagal berbakti, tetapi juga membuatnya khawatir tentangku. Bahkan ketika dia sakit parah, aku tidak hadir untuk merawatnya atau berada di sisinya. Aku sungguh tidak berbakti! Aku merasa sangat berutang kepada orang tuaku. Saat aku mendengarkannya, air mata mengalir di wajahku, dan aku benar-benar ingin tinggal di rumah lebih lama agar aku bisa merawat orang tuaku dengan baik serta menebus rasa berutang di dalam hatiku. Saat itu, hatiku tidak bisa tenang dalam waktu yang lama, jadi aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, meminta-Nya untuk melindungi hatiku agar tidak terganggu. Setelah berdoa, hatiku menjadi sangat tenang, dan aku teringat akan firman Tuhan yang telah kumakan dan kuminum. Aku memahami dengan jelas di dalam hatiku bahwa berbakti kepada orang tua bukanlah menerapkan kebenaran, bahwa memenuhi tugas sebagai makhluk ciptaan adalah apa yang dimaksud dengan menerapkan kebenaran, dan bahwa menelantarkan tugas agar bisa tetap tinggal bersama orang tua serta memenuhi tanggung jawab sebagai putra ataupun putri merupakan pengkhianatan terhadap Tuhan, dan itu adalah pengkhianatan besar. Setelah itu, aku menjelaskan kepada ayahku dengan tenang, dan sikapnya perlahan melunak. Aku segera pergi setelah menyelesaikan apa yang harus kukerjakan.

Setelahnya, setiap kali aku memikirkan kata-kata ayahku, hatiku terasa sangat sakit. Aku bisa menerima jika orang lain tidak memahamiku, tetapi mengapa ayahku harus berkata seperti itu kepadaku? Selama periode itu, meskipun aku menghabiskan hari-hariku untuk melaksanakan tugasku, hatiku terasa berat, rasanya seperti memikul beban berat, dan aku selalu dipenuhi rasa bersalah. Saat aku hidup dalam emosi negatif ini, hatiku terasa gelap serta tertekan, dan efisiensiku dalam melaksanakan tugasku menurun drastis. Keadaan ini mungkin berlangsung selama satu atau dua bulan sebelum aku perlahan-lahan menyesuaikan diri dengan keadaanku. Kemudian, setelah aku membaca kebenaran yang Tuhan persekutukan bahwa orang tua bukanlah krediturmu, aku mulai melihat hubungan antara orang tua dan anak dengan lebih jelas dan membebaskan diri dari perasaan yang membuatku tertekan ini. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Manusia memiliki napas dan nyawa ini, dan sumber serta asal mula hal-hal ini bukanlah orang tua mereka. Hanya saja, cara manusia dihasilkan adalah dengan orang tua yang melahirkan mereka—pada dasarnya, Tuhan-lah yang mengaruniakan hal-hal ini kepada manusia. Oleh karena itu, orang tuamu bukanlah penguasa atas hidupmu, penguasa atas hidupmu adalah Tuhan. Tuhan menciptakan umat manusia, Dia menciptakan nyawa umat manusia, dan Dia memberikan napas kehidupan kepada umat manusia, yang merupakan asal mula nyawa manusia. Oleh karena itu, bukankah kalimat 'Orang tuamu bukanlah penguasa atas hidupmu' mudah dipahami? Napasmu diberikan kepadamu bukan oleh orang tuamu, terlebih lagi kelangsungan hidupmu, itu bukan diberikan oleh orang tuamu. Tuhan memelihara dan mengendalikan setiap hari dalam hidupmu. Orang tuamu tidak dapat memutuskan bagaimana kehidupanmu setiap harinya, apakah setiap harinya bahagia dan berjalan lancar, siapa yang kautemui setiap harinya, atau di lingkungan apa engkau hidup setiap harinya. Hanya saja Tuhan menjagamu melalui orang tuamu—orang tuamu hanyalah orang-orang yang Tuhan utus untuk menjagamu. ... Sederhananya, mereka hanyalah makhluk ciptaan biasa. Hanya saja, dari sudut pandangmu, mereka memiliki identitas istimewa, mereka melahirkanmu dan membesarkanmu, mereka adalah tuanmu, dan orang tuamu. Namun, dari sudut pandang Tuhan, mereka hanyalah manusia biasa, mereka hanyalah salah satu dari antara manusia yang rusak, dan tidak ada yang istimewa mengenai mereka. Mereka bahkan bukan penguasa atas hidup mereka sendiri, jadi bagaimana mungkin mereka dapat menjadi penguasa atas hidupmu? Meskipun mereka melahirkanmu, mereka tidak tahu dari mana hidupmu berasal, dan mereka tidak dapat memutuskan kapan, pada jam berapa, dan di tempat mana hidupmu akan tiba, atau akan seperti apa kehidupanmu kelak. Mereka tidak tahu apa pun mengenai hal-hal ini. Bagi mereka, mereka hanya menunggu dengan pasif, menunggu kedaulatan Tuhan dan pengaturan-Nya. Entah mereka merasa bahagia mengenainya atau tidak, entah mereka memercayainya atau tidak, bagaimanapun juga, semua ini diatur dan berada dalam tangan Tuhan. Orang tuamu bukanlah penguasa atas hidupmu, bukankah hal ini mudah untuk dipahami? (Ya.)" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). "Dengan membesarkanmu, orang tuamu hanya memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka, dan sudah seharusnya tidak dibayar, dan ini tidak boleh menjadi semacam transaksi. Jadi, engkau tidak perlu memperlakukan orang tuamu atau memperlakukan hubunganmu dengan mereka berdasarkan gagasan membalas jasa mereka. Jika engkau memperlakukan orang tuamu, membayar mereka, dan memperlakukan hubunganmu dengan mereka berdasarkan gagasan tersebut, ini tidak manusiawi. Sekaligus, kemungkinan besar engkau juga akan menjadi terkekang dan terikat oleh perasaan dagingmu, dan akan sulit bagimu untuk keluar dari keterikatan ini, bahkan sampai-sampai engkau mungkin akan tersesat. Orang tuamu bukanlah krediturmu, jadi engkau tidak berkewajiban untuk mewujudkan semua harapan mereka. Engkau tidak perlu memikul beban untuk memenuhi harapannya. Artinya, mereka boleh saja memiliki harapan sendiri. Engkau memiliki pilihanmu sendiri, memiliki jalan hidup dan takdir yang telah Tuhan tetapkan untukmu yang tidak ada kaitannya dengan orang tuamu. Jadi, ketika salah satu dari orang tuamu berkata: 'Engkau anak yang tidak berbakti, sudah bertahun-tahun tidak pulang untuk menengokku, dan sudah berhari-hari engkau tidak meneleponku. Aku sakit dan tidak ada yang merawatku. Aku benar-benar telah membesarkanmu dengan sia-sia. Engkau memang anak yang tidak peduli dan tidak tahu berterima kasih!' jika engkau tidak memahami kebenaran bahwa 'Orang tuamu bukanlah krediturmu', mendengar perkataan ini akan menyakitkan bagimu bagaikan pisau menghunjam jantung, dan hati nuranimu akan dibebani rasa bersalah. Setiap kata dengan sendirinya akan tertanam di hatimu dan membuatmu merasa malu menghadapi orang tuamu, merasa berutang kepada orang tuamu, dan dipenuhi perasaan bersalah terhadap mereka. Ketika orang tuamu mengatakan bahwa engkau anak yang tidak peduli dan tidak tahu berterima kasih, engkau akan benar-benar merasa: 'Mereka memang benar. Mereka membesarkanku hingga usia ini, dan mereka belum dapat menikmati keberhasilanku. Sekarang mereka sakit dan menginginkanku berada di sisi tempat tidur mereka, melayani dan menemaninya. Mereka membutuhkanku untuk membalas kebaikan mereka, dan aku tidak ada di sana. Memang benar, aku ini anak yang tidak peduli!' Engkau akan menggolongkan dirimu sendiri sebagai orang yang tidak peduli. Apakah itu masuk akal? Apakah engkau orang yang tidak peduli? Jika engkau selama ini tidak meninggalkan rumahmu untuk melaksanakan tugas di tempat lain, dan engkau berada di sisi orang tuamu, dapatkah engkau menghindarkan mereka dari sakit? (Tidak.) Dapatkah engkau mengatur hidup dan matinya orang tuamu? Dapatkah engkau mengatur kaya atau miskinnya orang tuamu? (Tidak.) Apa pun penyakit yang orang tuamu derita, itu bukanlah karena mereka terlalu lelah dalam membesarkanmu, atau karena mereka merindukanmu; mereka tentunya tidak akan terjangkit salah satu penyakit yang parah, serius, dan berpotensi mematikan karena dirimu. Itu adalah nasib mereka dan tidak ada kaitannya dengan dirimu. Betapa pun berbaktinya dirimu, yang terbaik yang dapat kaulakukan adalah sedikit mengurangi penderitaan dan beban daging mereka, sedangkan mengenai kapan mereka sakit, penyakit apa yang akan mereka derita, kapan mereka meninggal, dan di mana mereka meninggal—apakah semua hal ini ada kaitannya dengan dirimu? Tidak. Jika engkau berbakti, jika engkau bukan orang yang tidak peduli, dan engkau menghabiskan sepanjang hari dengan mereka, mengawasi mereka, apakah mereka tidak akan sakit? Apakah mereka tidak akan mati? Jika mereka harus sakit, bukankah mereka pasti akan sakit? Jika mereka harus mati, bukankah mereka pasti akan mati? Bukankah benar demikian? ... Sekalipun orang tuamu menyebutmu anak yang tidak peduli, setidaknya engkau sedang melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan di hadapan Sang Pencipta. Asalkan engkau bukanlah orang yang tidak peduli di mata Tuhan, itu sudah cukup. Tidak penting apa yang manusia katakan. Apa yang orang tuamu katakan mengenai dirimu belum tentu benar dan apa yang mereka katakan tidak ada gunanya. Engkau harus menjadikan firman Tuhan sebagai landasanmu. Jika Tuhan menganggapmu makhluk ciptaan yang memadai, tidaklah penting jika manusia menyebutmu orang yang tidak peduli, perkataan itu tidak akan berdampak apa pun. Hanya saja, orang akan terdampak oleh kata-kata hinaan seperti itu karena pengaruh hati nurani mereka, atau ketika mereka tidak memahami kebenaran dan tingkat pertumbuhan mereka kecil, serta suasana hati mereka akan menjadi sedikit buruk dan merasa sedikit tertekan, tetapi ketika mereka kembali ke hadapan Tuhan, semua ini akan dapat dibereskan, dan tidak akan lagi menimbulkan masalah bagi mereka" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). "Sebagai anak, engkau harus mengerti bahwa orang tuamu bukanlah krediturmu. Ada banyak hal yang harus kaulakukan dalam hidup ini. Semuanya adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh makhluk ciptaan yang telah dipercayakan kepadamu oleh Tuhan Sang Pencipta dan tidak ada kaitannya dengan membalas kebaikan orang tuamu. Menunjukkan bakti kepada orang tuamu, membalas budi dan kebaikan mereka. Semua ini tidak ada kaitannya dengan misi hidupmu. Dapat juga dikatakan bahwa tidaklah wajib bagimu untuk menunjukkan baktimu kepada orang tuamu, membalas budi, atau memenuhi tanggung jawabmu kepada mereka. Sederhananya, engkau dapat melakukannya dan memenuhi sedikit tanggung jawabmu jika keadaanmu memungkinkan; apabila tidak memungkinkan, engkau tidak perlu memaksakan diri untuk melakukannya. Ketika engkau tidak mampu memenuhi tanggung jawab berbakti kepada orang tuamu, itu bukan sesuatu yang mengerikan, ini hanya akan sedikit bertentangan dengan hati nuranimu, moralitas manusia, dan gagasan manusia. Namun setidaknya, hal ini tidak bertentangan dengan kebenaran, dan Tuhan tidak akan menghukummu karenanya. Setelah engkau memahami kebenaran, hati nuranimu tidak akan menuduhmu dalam hal ini" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa Tuhan adalah sumber kehidupan bagi segala sesuatu, dan hidupku berasal dari Tuhan. Aku menghirup napas yang diberikan oleh Tuhan serta menikmati pasokan firman Tuhan, dan aku juga telah menikmati begitu banyak kasih karunia Tuhan. Aku tahu bahwa aku harus memenuhi tugasku sebagai makhluk ciptaan dan membalas kasih Tuhan, dan inilah yang dimaksud dengan memiliki hati nurani serta kemanusiaan. Dari luar, orang tuaku tampak telah melahirkan serta membesarkanku, dan mereka bekerja keras untuk membesarkanku, memberiku makanan, pakaian, serta pendidikan, padahal sebenarnya, semua ini telah diatur dan ditentukan oleh Tuhan. Orang tua sekadar memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka. Ini tidak dapat disebut sebagai kebaikan, dan aku tidak perlu membayar kembali atau membalasnya. Aku telah hidup berdasarkan pemikiran dan pandangan Iblis tanpa mencari kebenaran, memperlakukan orang tuaku seolah-olah mereka adalah krediturku, berpikir bahwa karena orang tuaku telah bekerja keras untuk membesarkanku, aku harus membalas kebaikan mereka. Ketika ayahku sakit parah, aku tidak hadir untuk merawatnya. Hal ini membuatku merasa seperti orang yang tidak tahu berterima kasih dan anak yang tidak berbakti. Hatiku sering dipenuhi rasa bersalah. Meskipun tampaknya aku sedang melaksanakan tugasku, rasa bersalah ini berdampak pada efisiensi pekerjaanku. Dengan makan dan minum firman Tuhan, aku menyadari bahwa sebagai makhluk ciptaan, aku datang ke dunia ini bukan untuk berbakti kepada orang tuaku, dan yang lebih penting bagiku adalah menyelesaikan misiku dan memenuhi tugasku sebagai makhluk ciptaan. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh orang yang memiliki hati nurani dan kemanusiaan. Aku juga memahami bahwa harus ada prinsip-prinsip yang berkaitan dengan cara memperlakukan orang tuaku. Jika kondisinya memungkinkan, aku dapat memenuhi tanggung jawab dan kewajibanku sebagai seorang putri dan merawat orang tuaku, tetapi jika tidak, aku tidak perlu merasa bersalah, tidak perlu pula merasa terbebani oleh hal ini saat melaksanakan tugasku. Sesungguhnya, hubungan antara orang tua dan anak hanyalah ikatan biologis. Tidak ada seorang pun yang berutang apa pun kepada siapa pun. Jika aku menelantarkan tugasku agar dapat pulang ke rumah dan menjadi putri yang berbakti demi membalas kebaikan orang tuaku, atau jika aku merasa bersalah serta putus asa karena tidak mampu berbakti kepada orang tuaku dan dengan demikian menunda tugasku, aku benar-benar tidak memiliki hati nurani dan kemanusiaan!

Lalu aku membaca beberapa firman Tuhan: "Engkau menempuh jalan yang benar, engkau telah memilih untuk melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan dan datang ke hadapan Tuhan Sang Pencipta untuk menerima keselamatan dari Tuhan. Itulah satu-satunya jalan yang benar di dunia ini. Engkau telah mengambil pilihan yang tepat. Sekalipun orang-orang yang tidak percaya, termasuk orang tuamu, tidak memahami dirimu atau merasa dikecewakan olehmu, ini tidak boleh memengaruhi pilihanmu untuk menempuh jalan percaya kepada Tuhan atau tekadmu untuk melaksanakan tugasmu, ini juga tidak boleh memengaruhi imanmu kepada Tuhan. Engkau harus bertahan, karena engkau sedang menempuh jalan yang benar. Terlebih dari itu, engkau harus melepaskan pengharapan orang tuamu. Pengharapan orang tua tidak boleh menjadi beban bagimu saat engkau menempuh jalan yang benar. Engkau sedang menempuh jalan yang benar, engkau telah mengambil pilihan yang tepat dalam hidup ini; jika orang tuamu tidak mendukungmu, jika mereka selalu memarahimu karena menganggapmu anak yang tidak peduli dan tidak tahu berterima kasih, maka engkau terlebih lagi harus mengetahui diri mereka yang sebenarnya, dan melepaskan mereka secara emosional, serta tidak dikekang oleh mereka. Jika mereka tidak mendukung, memberi semangat, atau menghiburmu, engkau akan baik-baik saja. Engkau tidak akan diuntungkan atau dirugikan, baik engkau mendapatkan hal-hal ini dari mereka ataupun tidak. Hal yang terpenting adalah pengharapan Tuhan terhadapmu. Tuhan sedang mendorongmu, membekalimu, dan membimbingmu. Engkau tidak sendirian. Tanpa pengharapan orang tuamu, engkau tetap dapat melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, dan berdasarkan hal ini, engkau akan tetap merupakan orang yang baik. Melepaskan pengharapan orang tuamu bukan berarti engkau tidak lagi memiliki etika atau moral, dan tentu saja bukan berarti engkau telah mengabaikan kemanusiaan, atau moralitas dan keadilanmu. Alasan engkau tidak memenuhi pengharapan orang tuamu adalah karena engkau memilih hal-hal yang positif, dan engkau memilih untuk melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Tidak ada yang salah dengan melakukan hal ini, ini adalah jalan yang paling benar. Engkau harus bertahan dan tetap teguh dalam kepercayaanmu. Mungkin saja engkau tidak akan mendapatkan dukungan dari orang tuamu, apalagi restu mereka, karena engkau percaya kepada Tuhan dan sedang melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, tetapi ini tidak masalah. Ini tidak penting, engkau tidak kehilangan apa pun. Hal yang terpenting adalah saat engkau memilih untuk menempuh jalan percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, Tuhan mulai memiliki pengharapan dan harapan yang besar terhadapmu. Sementara hidup di dunia ini, jika orang hidup terlepas dari teman dan kerabat, mereka tetap dapat hidup dengan baik. Tentu saja, mereka juga dapat hidup dengan normal setelah terlepas dari orang tua mereka. Hanya jika mereka terlepas dari bimbingan dan berkat Tuhan, barulah mereka akan terjerumus ke dalam kegelapan. Dibandingkan dengan pengharapan Tuhan terhadap manusia dan bimbingan-Nya, pengharapan orang tua benar-benar tidak penting dan tidak ada artinya" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). "Di dunia ini, orang seperti apa yang paling layak untuk dihormati? Bukankah mereka yang menempuh jalan yang benar? Apa yang dimaksud dengan 'jalan yang benar' di sini? Bukankah itu berarti mengejar kebenaran dan menerima keselamatan dari Tuhan? Bukankah orang-orang yang menempuh jalan yang benar adalah mereka yang mengikuti dan tunduk kepada Tuhan? (Ya.) Jika engkau adalah orang seperti ini, atau engkau berusaha keras untuk menjadi orang seperti ini, dan orang tuamu tidak memahamimu, bahkan selalu mengutukmu. Jika, saat engkau merasa lemah, depresi, dan tidak tahu harus berbuat apa, mereka bukan saja tidak mendukung, menghibur, atau memberimu semangat, mereka malah sering kali menuntutmu untuk pulang agar engkau berbakti kepada mereka, menghasilkan banyak uang dan merawat mereka, tidak mengecewakan mereka, memungkinkan mereka untuk turut menikmati keberhasilanmu, dan menjalani kehidupan yang baik bersamamu. Bukankah orang tua seperti ini seharusnya kauabaikan? (Ya.) Apakah orang tua seperti ini layak kauhormati? Apakah mereka layak menerima baktimu? Apakah mereka layak menerima pemenuhan tanggung jawabmu terhadap mereka? (Tidak.) Mengapa tidak? Karena mereka muak akan hal-hal positif, bukankah ini kenyataannya? (Ya.) Karena mereka membenci Tuhan, bukankah ini kenyataannya? (Ya.) Karena mereka memandang rendah dirimu yang menempuh jalan yang benar, bukankah ini kenyataannya? (Ya.) Mereka memandang rendah orang yang melakukan hal yang benar; mereka mencemooh dan memandang rendah dirimu karena engkau mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugasmu. Orang tua macam apa mereka? Bukankah mereka orang tua yang hina dan keji? Bukankah mereka orang tua yang egois? Bukankah mereka orang tua yang jahat? (Ya.) Engkau telah dimasukkan dalam daftar orang yang dicari dan diburu oleh si naga merah yang sangat besar karena kepercayaanmu kepada Tuhan, engkau telah melarikan diri, tidak bisa pulang ke rumah, dan bahkan ada orang-orang yang harus pergi ke luar negeri. Semua kerabat, kawan, dan teman sekelasmu menganggapmu telah menjadi buronan, dan karena kabar bohong dan gosip eksternal ini, orang tuamu menganggapmu telah membuat mereka menderita secara tidak adil, dan mempermalukan mereka. Mereka bukan saja tidak memahami, mendukung, atau berempati terhadapmu, mereka bukan saja tidak mencela orang-orang yang menyebarkan kabar bohong tersebut, dan mencela mereka yang memandang rendah dan mendiskriminasi dirimu, orang tuamu juga membencimu, mengatakan hal yang sama tentang dirimu seperti yang dikatakan orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan, dan mereka yang berkuasa tersebut. Bagaimana menurutmu orang tua yang seperti ini? Apakah mereka orang yang baik? (Tidak.) Lalu, apakah engkau semua akan tetap merasa berutang kepada mereka? (Tidak.) ... Ada orang tua yang sering berkata: 'Membesarkanmu lebih buruk daripada memelihara anjing. Ketika orang memelihara anjing, anjing itu sangat dekat denganmu dan anjing itu tahu mengibaskan ekornya saat melihat tuannya. Apa yang bisa kami harapkan dengan membesarkanmu? Kau menghabiskan sepanjang hari untuk percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasmu, kau tidak berbisnis, kau tidak bekerja, kau bahkan tidak menginginkan penghidupan yang mapan, dan pada akhirnya semua tetangga kita mulai menertawakan kita. Apa yang bisa kudapatkan darimu? Aku belum memperoleh satu hal baik pun darimu, sama sekali belum menikmati keberhasilan apa pun.' Seandainya engkau mengikuti tren jahat dunia sekuler, dan berusaha untuk berhasil di sana, orang tuamu mungkin akan mendukungmu, memberimu semangat, dan menghiburmu jika engkau menderita, jatuh sakit, atau merasa sedih. Namun, mereka tidak merasa senang atau bahagia akan fakta bahwa engkau percaya kepada Tuhan dan berkesempatan untuk diselamatkan. Sebaliknya, mereka membenci dan mengutukmu. Berdasarkan esensi mereka, orang tua ini adalah musuhmu dan musuh bebuyutanmu, mereka bukan jenis orang yang sama denganmu, dan mereka tidak menempuh jalan yang sama denganmu. Meskipun di luarnya, engkau dan orang tuamu terlihat seperti keluarga, berdasarkan esensi, pengejaran, preferensi, jalan yang ditempuh, dan berbagai sikapmu dan sikap orang tuamu dalam memperlakukan hal-hal positif, Tuhan, dan kebenaran, mereka bukan jenis orang yang sama dengan dirimu. Oleh karena itu, sebanyak apa pun engkau berkata, 'Ada harapan bagiku untuk diselamatkan, aku telah mulai menempuh jalan yang benar dalam hidup ini,' mereka tidak akan tergerak, dan mereka tidak akan merasa bahagia untukmu, atau bersukacita karenamu. Sebaliknya, mereka akan merasa malu. Secara emosional, orang tua ini adalah keluargamu, tetapi berdasarkan esensi natur mereka dan orang tuamu, mereka bukanlah keluargamu, melainkan musuhmu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Setelah membaca firman Tuhan ini, hatiku menjadi lebih cerah. Tuhan telah mempersekutukan dengan jelas prinsip-prinsip dalam memperlakukan orang tua. Bukan berarti bahwa orang harus menaati semua yang dikatakan orang tua begitu saja, tetapi orang harus bisa membedakan orang seperti apa mereka. Aku ingat bagaimana dalam melaksanakan tugasku, kadang aku terpengaruh oleh kata-kata ayahku. Ini karena aku tidak bisa membedakan perkataannya yang keliru serta menyesatkan, dan karena aku tidak memandang orang-orang atau hal-hal, serta tidak berperilaku berdasarkan firman Tuhan. Ayahku ingin aku mencari uang agar bisa berbakti kepada mereka dan menafkahi mereka di masa tua, serta mendatangkan kehormatan bagi mereka. Sebelumnya, ketika aku masih di rumah, aku membawakan rokok dan minuman keras berkualitas baik serta makanan enak saat mengunjungi ayahku pada hari raya. Ketika dia sakit, aku menemaninya ke rumah sakit untuk berobat dan dia memujiku karena aku taat serta bijaksana, menyebutku sebagai putri yang berbakti. Namun, sekarang ketika aku tidak bisa pergi mengunjunginya, dan karena kebutuhan fisiknya tidak terpenuhi, dia merasa tidak puas denganku. Aku tidak bisa pulang karena sedang diburu oleh naga merah yang sangat besar, tetapi dia tidak membenci naga merah yang sangat besar itu. Sebaliknya, dia merasa bahwa aku telah mempermalukannya, mengutukku sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih dan putri yang tidak berbakti, serta melontarkan kepadaku segala kata-kata kasar yang terpikirkan olehnya. Dia bahkan mengesampingkan ikatan kami sebagai ayah dan putri. Ayahku tidak melakukan semua ini demi kebaikanku. Jika dia benar-benar peduli padaku, dia seharusnya mendukungku dalam menempuh jalan hidup yang benar, yaitu percaya kepada Tuhan dan mengejar kebenaran. Sebaliknya, selain tidak mendukungku, dia juga menghinaku, dan suatu ketika, dia bahkan pernah melompat ke sungai untuk mencoba bunuh diri dan menggunakannya untuk memaksaku. Aku melihat naturnya yang sebenarnya, yang membenci kebenaran dan membenci Tuhan, bahwa esensinya adalah esensi setan yang menentang Tuhan, dan bahwa dia adalah musuh Tuhan. Seorang ayah seperti itu tidak pantas untuk kukhawatirkan atau menerima baktiku. Namun, aku tidak memiliki pemahaman tentang esensi ayahku dan aku selalu merasa telah mengecewakannya. Aku benar-benar orang bodoh yang bingung, tidak bisa membedakan antara benar dan salah! Setelah melihat dengan jelas esensi ayahku, aku tidak lagi merasa berutang kepadanya.

Dengan membaca firman Tuhan, aku belajar bagaimana memperlakukan orang tua, dan aku juga memahami bahwa aku hanya bisa menempuh jalan yang benar dalam hidup dengan melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan dan mengejar kebenaran, dan bahwa aku harus menempuh jalan ini tanpa keraguan. Setelah itu, aku melepaskan perasaan terbebani dalam hatiku dan melaksanakan tugasku dengan sepenuh hati. Seiring waktu, efisiensiku dalam melaksanakan tugas meningkat pesat. Aku dapat memiliki pemahaman dan keuntungan ini semua karena pencerahan dan bimbingan dari firman Tuhan. Syukur kepada Tuhan!

Sebelumnya:  94. Aku Tidak Lagi Khawatir Menjadi Tua

Selanjutnya:  96. Aku Telah Membuang Perasaan Negatif yang Tertekan

Konten Terkait

4. Ujian bagi Keturunan Moab

Oleh Saudari Zhuan Yi, TiongkokTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Semua pekerjaan yang dilakukan sekarang ini bertujuan agar manusia dapat...

84. Iman yang Tak Terhancurkan

Oleh Saudara Meng Yong, TiongkokPada Desember 2012, beberapa saudara-saudari dan aku naik mobil menuju suatu tempat untuk mengabarkan...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger