52. Mengatasi Kebrengsekan untuk Melaksanakan Tugas Seseorang

Aku sering bepergian ke berbagai tempat untuk mengambil gambar dan video yang digunakan dalam produksi video gereja. Saat pertama kali mulai, aku mampu dengan hati-hati memilih materi-materi berdasarkan prinsip, tetapi seiring waktu, jumlah materi bertambah. Terkadang aku memotret sepanjang hari sehingga setibanya di rumah, aku sangat kelelahan, dan melihat begitu banyaknya materi yang perlu dipilah, aku merasa sangat enggan melakukannya. Karena dalam memilih materi, diperlukan penilaian berdasarkan prinsip-prinsip dan pertimbangan terhadap nilai dari masing-masing materi, khususnya tiap foto harus ditinjau satu per satu, aku tidak ingin menghabiskan begitu banyak waktu dan tenaga untuk melakukannya, karena kurasa itu terlalu melelahkan. Jadi kemudian, ketika menyaring materi, aku hanya melihat sekilas. Selama latarnya tidak terlalu berantakan dan tampak baik, aku menganggapnya sudah cukup bagus. Ketika tidak yakin tentang materi tertentu, aku menyerahkannya saja kepada pengawas. Dengan cara ini, aku tidak perlu menilai materi itu berdasarkan prinsip atau berusaha terlalu keras. Aku ingat suatu kali, setelah selesai mengambil gambar, aku hanya melihat sekilas materi tersebut, menyaring yang bagus-bagus, lalu menyerahkannya kepada pengawas. Pengawas meninjau dan mengatakan bahwa sepertiga materi yang kuserahkan tidak memenuhi standar. Entah penempatan gambarnya berantakan, tidak fokus, atau komposisinya buruk, dan dia juga mengatakan bahwa dibandingkan yang lain, materi yang kuserahkan membutuhkan waktu dua kali lebih lama untuk meninjaunya. Ketika mendengar ini, aku merasa malu dan bersalah. Namun, aku tidak memiliki banyak pengetahuan tentang masalah-masalahku. Ketika memotret materi yang memerlukan standar lebih tinggi, aku masih saja bersikap asal-asalan. Untuk memotret gambar seperti ini diperlukan pengendalian sudut yang tepat, serta penyesuaian arah pengambilan gambar secara terus-menerus. Aku menganggap semua itu terlalu menguras mental. Asalkan hasilnya sekilas kelihatan benar, itu sudah cukup. Karena aku tidak bersungguh-sungguh dalam pekerjaanku, beberapa materi tidak sesuai dengan prinsip dan tidak dapat digunakan, bahkan beberapa gambar tidak fokus. Pekerjaan yang seharusnya dapat diselesaikan dalam sekali jalan pun harus diulang kembali. Tak lama kemudian, aku dipangkas dengan tegas. Pengawas menyinggung perilakuku dalam melaksanakan tugas akhir-akhir ini dan memangkasku karena melaksanakan tugas sesukaku dan dengan sikap yang asal-asalan. Materi yang kupotret selalu harus diperbaiki ulang, membuang banyak tenaga dan sumber daya. Dia mengatakan bahwa aku mengacaukan dan mengganggu pekerjaan fotografi serta mendesakku untuk dengan sungguh-sungguh merenungkan secara mendalam sikapku terhadap tugas. Setelah pengawas pergi, aku sangat sedih dan merasa bersalah. Jadi, aku datang ke hadapan Tuhan dan berdoa kepada-Nya. Aku meminta Tuhan untuk membimbingku agar aku dapat mengenali diriku dan menyelesaikan keadaanku yang bersikap asal-asalan dalam melaksanakan tugas.

Kemudian, aku mencari firman Tuhan yang secara khusus berkaitan dengan masalahku. Aku membaca firman Tuhan ini: "Jika engkau tidak melaksanakan tugasmu dengan segenap hatimu, dan tidak mencari prinsip-prinsip kebenaran, jika engkau kacau atau bingung, hanya melaksanakan tugas dengan cara paling mudah yang dapat kaulakukan, mentalitas seperti apakah ini? Ini berarti engkau melaksanakan tugasmu dengan asal-asalan. Jika engkau tidak setia pada tugasmu, jika engkau tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap tugasmu, ataupun berkomitmen untuk melakukan yang terbaik, akan mampukah engkau melaksanakan tugasmu dengan benar? Akan mampukah engkau melaksanakan tugasmu sesuai dengan standar yang dapat diterima? Dan jika engkau tak mampu melaksanakan tugasmu sesuai standar yang dapat diterima, akan mampukah engkau masuk ke dalam kenyataan kebenaran? Sama sekali tidak. Jika setiap kali melaksanakan tugasmu, engkau tidak rajin, engkau tidak ingin berusaha, dan hanya bersikap asal-asalan, masa bodoh seolah-olah engkau sedang bermain gim, bukankah ini masalah? Apa yang dapat kauperoleh dengan melaksanakan tugasmu dengan cara seperti ini? Pada akhirnya, orang akan melihat bahwa saat engkau melaksanakan tugasmu, engkau tidak memiliki rasa tanggung jawab, bersikap asal-asalan dan sekadar melaksanakannya—dan dalam hal ini, engkau menghadapi risiko disingkirkan. Tuhan memeriksa seluruh proses saat engkau melaksanakan tugasmu, dan apa yang akan Tuhan katakan? (Orang ini tidak layak mendapatkan amanat dan kepercayaan-Nya.) Tuhan akan berkata bahwa engkau tidak dapat dipercaya, dan bahwa engkau harus disingkirkan. Jadi, apa pun tugas yang engkau laksanakan, entah tugas penting atau tugas biasa, jika engkau tidak melaksanakan pekerjaan yang dipercayakan kepadamu dengan sepenuh hati atau memenuhi tanggung jawabmu, dan jika engkau tidak memandang tugasmu sebagai amanat dari Tuhan, atau menganggapnya sebagai tugas dan kewajibanmu sendiri, selalu melakukan tugas dengan cara asal-asalan, maka ini akan menjadi masalah. 'Tidak dapat dipercaya'—tiga kata ini akan mendefinisikan caramu dalam melaksanakan tugasmu. Maksudnya adalah pelaksanaan tugasmu itu tidak memenuhi standar, dan engkau telah disingkirkan, dan Tuhan berkata bahwa karaktermu tidak memenuhi standar. Jika suatu hal dipercayakan kepadamu, tetapi sikapmu terhadap hal tersebut seperti ini dan caramu menanganinya seperti ini, akankah engkau diberi amanat untuk tugas berikutnya pada masa mendatang? Dapatkah hal yang penting dipercayakan kepadamu? Sama sekali tidak, kecuali engkau menunjukkan pertobatan sejati. Namun, di lubuk hati-Nya, Tuhan akan selalu menyimpan ketidakpercayaan dan ketidakpuasan terhadapmu. Ini akan menjadi masalah, bukan? Engkau akan kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugasmu, dan engkau mungkin tidak akan diselamatkan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Sering Membaca Firman Tuhan dan Merenungkan Kebenaran, Barulah Ada Jalan ke Depan"). Firman Tuhan mengungkapkan keadaanku dengan tepat. Dalam melaksanakan tugasku, aku hanya melakukannya setengah hati dan tidak pernah sepenuh hati dalam melakukan berbagai hal. Aku bertindak asal-asalan dan tidak bertanggung jawab. Orang seperti ini memiliki karakter yang buruk, tidak dapat dipercaya, dan tidak bisa diandalkan. Hari ini, aku beruntung telah menerima Injil Tuhan pada akhir zaman dan dapat melaksanakan tugas di gereja. Ini adalah pengangkatan yang luar biasa dari Tuhan. Namun, dalam melaksanakan tugasku, aku mencari jalan pintas dan melakukan hal-hal dengan setengah hati. Aku tidak pernah mau membayar harga atau bertindak sesuai dengan prinsip. Saat memilih materi, aku hanya melakukannya secara asal-asalan, Ketika merasa tidak yakin, aku tidak mencari prinsip untuk menilainya dengan saksama, melainkan langsung menyerahkannya kepada pengawas. Hal ini membuat pengawas harus menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk meninjau dan menyaring materi yang kupotret serta menunjukkan masalah pada materi tersebut. Ini memberinya beban yang tidak perlu. Saat dihadapkan dengan pertanyaan dari pengawas, aku hanya merasa sedikit bersalah, tetapi setelah itu, aku tidak merenungkan diriku. Ketika memotret materi yang perlu memiliki standar lebih tinggi, aku terus mencari jalan pintas dan tidak mengikuti prinsip yang ditetapkan oleh rumah Tuhan. Setiap kali, aku hanya mengejar hasil yang "cukup baik". Hal ini menyebabkan banyak materi tidak sesuai dengan prinsip. Hal ini tidak hanya menambah pekerjaan yang perlu ditinjau pengawas, tetapi aku juga harus mengulang pekerjaan, sehingga beberapa materi yang sangat dibutuhkan mengalami keterlambatan akibat pengerjaan ulang. Aku tidak benar-benar melaksanakan tugasku sama sekali. Aku berbuat jahat serta menciptakan kekacauan dan gangguan. Gereja telah memercayakan tugas ini kepadaku, tetapi aku mencari jalan pintas dan bersikap asal-asalan. Aku sama sekali tidak mempertimbangkan efektivitas pekerjaan. Aku menyadari bahwa aku sama sekali tidak memiliki hati yang takut akan Tuhan dan bukan seseorang yang layak dipercaya atau bisa diandalkan.

Kemudian, saat membaca persekutuan Tuhan tentang sikap Nuh terhadap amanat Tuhan, aku mendapatkan lebih banyak pemahaman tentang diriku. Tuhan berfirman: "Nuh hanya pernah mendengar sedikit firman, dan pada zaman itu, Tuhan belum mengungkapkan banyak firman, sehingga Nuh tentunya tidak memahami banyak kebenaran. Dia tidak memahami ilmu sains modern atau pengetahuan modern. Dia adalah manusia yang sangat biasa, bagian dari umat manusia yang biasa-biasa saja. Namun, di satu sisi, dia tidak seperti siapa pun: dia tahu bahwa dia harus menaati firman Tuhan, dia tahu bagaimana mengikuti dan menaati firman Tuhan, dia tahu apa posisi manusia yang semestinya, dan dia mampu untuk benar-benar percaya dan tunduk pada firman Tuhan—tidak lebih. Beberapa prinsip sederhana ini cukup untuk memampukan Nuh menyelesaikan semua yang telah Tuhan percayakan kepadanya, dan dia bertekun dalam tugas ini bukan hanya selama beberapa bulan, ataupun beberapa tahun, ataupun beberapa dekade, tetapi selama lebih dari satu abad. Bukankah angka ini mencengangkan? Siapa yang mampu melakukan tugas ini selain Nuh? (Tak seorang pun.) Dan mengapa tidak ada yang mampu? Ada orang-orang yang berkata bahwa ini karena mereka tidak memahami kebenaran—tetapi itu tidak sesuai dengan fakta. Berapa banyak kebenaran yang Nuh pahami? Mengapa Nuh mampu melakukan semua ini? Orang-orang percaya pada zaman sekarang telah membaca banyak firman Tuhan, mereka memahami beberapa kebenaran—lalu mengapa mereka tidak mampu melakukan hal ini? Ada orang-orang yang berkata bahwa ini karena watak manusia yang rusak—tetapi bukankah Nuh memiliki watak yang rusak? Mengapa Nuh mampu mencapai hal ini, tetapi orang-orang zaman sekarang tidak mampu mencapainya? (Karena orang-orang zaman sekarang tidak memercayai firman Tuhan, mereka tidak memperlakukan atau menaatinya sebagai kebenaran.) Dan mengapa mereka tidak mampu memperlakukan firman Tuhan sebagai kebenaran? Mengapa mereka tidak mampu menaati firman Tuhan? (Mereka tidak memiliki hati yang takut akan Tuhan.) Jadi, jika orang tidak memiliki pemahaman akan kebenaran dan belum mendengar banyak kebenaran, bagaimana agar hati yang takut akan Tuhan muncul dalam diri mereka? (Mereka harus memiliki kemanusiaan dan hati nurani.) Benar. Dalam kemanusiaan seseorang, ada dua hal paling berharga yang harus ada: yang pertama adalah hati nurani, dan yang kedua adalah nalar kemanusiaan yang normal. Memiliki hati nurani dan nalar kemanusiaan yang normal adalah standar minimum untuk menjadi manusia; itu adalah standar minimum yang paling dasar untuk mengukur seseorang. Namun ini tidak ditemukan dalam diri manusia zaman sekarang, sehingga sebanyak apa pun kebenaran yang mereka dengar dan pahami, memiliki hati yang takut akan Tuhan tidak tercapai oleh mereka. Jadi, apa perbedaan mendasar antara orang-orang zaman sekarang dengan Nuh? (Mereka tidak memiliki kemanusiaan.) Dan apa esensi orang yang tidak memiliki kemanusiaan seperti ini? (Mereka adalah binatang buas dan setan-setan.) 'Binatang buas dan setan-setan' kedengarannya sangat tidak bagus, tetapi ini sesuai dengan kenyataan; cara yang lebih sopan untuk mengatakannya adalah bahwa mereka tidak memiliki kemanusiaan. Orang yang tidak memiliki kemanusiaan dan nalar bukanlah manusia, mereka bahkan lebih rendah daripada binatang buas. Bahwa Nuh mampu menyelesaikan amanat Tuhan adalah karena ketika Nuh mendengar firman Tuhan, dia mampu menyimpannya di dalam hatinya; baginya, amanat Tuhan adalah pekerjaannya seumur hidup, imannya tidak tergoyahkan, kehendaknya tidak berubah selama seratus tahun. Itu karena dia memiliki hati yang takut akan Tuhan, dia adalah manusia sejati, dan dia adalah orang yang paling bernalar sehingga Tuhan memercayakan pembangunan bahtera itu kepadanya. Orang yang memiliki kemanusiaan dan nalar seperti Nuh sangat jarang, tentunya sangat sulit menemukan seseorang yang seperti Nuh" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Lampiran Dua (Bagian Satu)). Nuh melaksanakan amanat Tuhan tanpa mencari jalan pintas dan tanpa setengah-setengah, tetap teguh dalam usahanya selama 120 tahun, dan akhirnya, dia membangun bahtera serta memenuhi amanat Tuhan. Nuh memiliki hati nurani dan nalar. Dia adalah seseorang yang memiliki kemanusiaan. Namun, aku kemudian berpikir tentang diriku. Ketika memilih materi, aku hanya melihat sekilas dan bersikap asal-asalan. Aku tidak memikirkan tentang bagaimana melaksanakan tugasku dengan baik, yaitu memeriksa materi mana yang tidak selaras dengan prinsip, mencari tahu di mana kekuranganku dan apa yang perlu kuperbaiki, atau memikirkan cara memenuhi tanggung jawabku. Sebaliknya, aku menganggap tugasku sebagai beban dan menyerahkan tugas yang lebih rumit kepada pengawas. Sementara itu, aku mencari cara untuk bersantai. Di mana letak kemanusiaanku? Aku melaksanakan tugas dengan usaha seminimal mungkin, tanpa sama sekali mempertimbangkan tuntutan rumah Tuhan atau dampak dari perilakuku terhadap pekerjaan. Sikap yang kumiliki terhadap pekerjaanku ini bahkan lebih buruk daripada sikap orang tidak percaya yang bekerja untuk bosnya. Aku memikirkan betapa banyak penyiraman dan pemeliharaan yang telah kunikmati dari firman Tuhan, serta bagaimana Tuhan telah memberikan semua yang kubutuhkan untuk bertahan hidup, tetapi aku masih gagal memenuhi tanggung jawabku sebagai makhluk ciptaan. Semua yang kubawa ke dalam pekerjaan gereja adalah kekacauan dan gangguan. Dalam hati, aku merasa sangat menyesal dan berdoa kepada Tuhan, bersedia mengubah sikapku yang asal-asalan dan melaksanakan tugasku dengan baik. Setelah itu, aku mulai lebih sadar untuk menghindari masalah-masalah umum dalam tugasku. Aku juga menjadi lebih berhati-hati dalam memilih materi.

Beberapa waktu kemudian, pengawas menugaskanku untuk merekam sebuah video. Aku sangat senang ketika pertama kali menerima penugasan itu dan berkata dalam hati, "Kali ini aku harus mempersiapkan diri dengan baik dan menghasilkan karya yang bagus." Namun, aku masih kurang terampil dan perlu menghabiskan waktu untuk melakukan riset serta belajar. Pada awalnya, aku mampu secara proaktif belajar dan berlatih, tetapi setelah beberapa hari, video yang kurekam masih belum ideal. Aku pun perlu menghabiskan lebih banyak waktu dan usaha untuk mempelajari dan melakukan riset. Aku mulai merasa semua ini terlalu merepotkan, jadi aku hanya melakukan beberapa penyesuaian kecil pada hasil mentahnya dan menyebutnya "cukup baik". Setelah menyelesaikannya, aku menunjukkannya kepada saudara yang bekerja bersamaku. Dia memperhatikan bahwa video itu tidak mulus dan memiliki beberapa masalah transisi, lalu dia menyarankan agar aku merekam ulang bagian-bagian tersebut. Aku merasa hal itu terlalu merepotkan, jadi kukatakan kepadanya, "Batas waktu video ini sangat ketat, mari kita serahkan saja apa adanya. Bagaimanapun, inilah yang terbaik yang bisa kulakukan dengan keterampilanku saat ini." Karena melihat aku bersikeras, saudara itu tidak memaksakannya lebih lanjut. Kemudian, pengawas berkata kepadaku, "Kau bersikap asal-asalan dalam melaksanakan tugasmu, sikapmu brengsek, dan kerjamu sangat ceroboh. Kau tidak diperlukan lagi dalam tugas ini!" Meskipun itu hanya komentar singkat, tetapi rasanya seperti pisau yang menusuk hatiku. Aku merasa label sebagai orang yang bersikap asal-asalan masih melekat kuat padaku. Aku tidak mengerti—aku sudah dengan sadar mencoba mengatasi sikapku yang asal-asalan, lantas mengapa tidak ada perubahan dan aku masih bersikap asal-asalan dalam melaksanakan tugasku? Aku berdoa kepada Tuhan dan memohon agar Dia membimbingku sehingga aku dapat memahami akar masalahku. Kemudian, aku membaca satu bagian firman Tuhan dan akhirnya memperoleh beberapa kejelasan tentang masalahku. Tuhan berfirman: "Ada sesuatu dalam watak rusak yang membuat orang menangani segala sesuatu dengan sembrono dan tidak bertanggung jawab: Itu adalah sesuatu yang sering orang sebut sebagai keberengsekan. Dalam semua yang mereka lakukan, mereka melakukannya sampai mencapai titik 'itu sepertinya sudah benar' dan 'seperti ini sudah cukup'; ini adalah sikap 'mungkin', 'boleh jadi', dan 'tidak 100%'; mereka melakukan sesuatu dengan sikap asal-asalan, puas dengan melakukan hal yang minimal, dan puas dengan menggertak; mereka merasa bahwa menanggapi segala sesuatu dengan serius atau dengan teliti itu tidak ada gunanya, apalagi mencari prinsip-prinsip kebenaran. Bukankah ini sesuatu yang ada di dalam watak yang rusak? Apakah itu perwujudan dari kemanusiaan yang normal? Tidak. Jika menyebutnya kecongkakan, itu benar, dan menyebutnya tidak bermoral juga sepenuhnya tepat, tetapi kata yang paling sempurna untuk menyebutnya adalah 'berengsek'. Kebanyakan orang memiliki keberengsekan dalam diri mereka, hanya tarafnya saja yang berbeda. Dalam segala hal, mereka ingin melakukan segala sesuatu dengan sikap yang asal-asalan serta ceroboh, dan ada aroma kelicikan dalam segala sesuatu yang mereka lakukan. Mereka menipu orang lain saat ada kesempatan, sebisa mungkin mengambil jalan pintas, sebisa mungkin menghemat waktu. Di dalam hatinya, mereka berpikir, 'Selama aku tidak tersingkap, tidak menyebabkan masalah, dan selama aku tidak dimintai pertanggungjawaban, aku bisa bekerja dengan asal-asalan. Aku tidak perlu melakukannya dengan sangat baik, itu terlalu merepotkan!' Orang semacam itu tidak mau belajar sampai menjadi ahli, dan mereka tidak berupaya keras atau menderita serta membayar harga dalam pembelajaran mereka. Mereka hanya ingin mendapatkan pemahaman yang dangkal tentang suatu pelajaran dan kemudian menyebut diri mereka ahli dalam pelajaran itu, meyakini bahwa mereka telah menguasai semua yang perlu diketahui, lalu mengandalkan ini untuk melakukan apa pun dengan ala kadarnya. Bukankah ini sikap yang orang miliki terhadap orang lain, peristiwa dan hal-hal? Apakah ini sikap yang baik? Tidak. Sederhananya, itu adalah sikap yang 'asal-asalan'. Keberengsekan semacam ini ada dalam diri semua manusia yang rusak. Orang yang memiliki keberengsekan dalam kemanusiaan mereka menganut pandangan dan sikap yang 'asal-asalan' dalam apa pun yang mereka lakukan. Apakah orang-orang seperti itu mampu melaksanakan tugas mereka dengan baik? Tidak. Apakah mereka mampu melakukan segala sesuatu berdasarkan prinsip? Bahkan lebih tidak mungkin lagi" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Delapan (Bagian Dua)). Ternyata penyebab aku sering tidak serius atau tidak mengikuti prinsip dalam melaksanakan tugasku, serta melakukan berbagai hal dengan setengah hati, hanya mengejar hasil yang "cukup baik" atau "hampir benar", adalah karena kebrengsekanku yang begitu parah. Ketika mengingatnya lagi, aku menyadari bahwa aku selalu bersikap asal-asalan dalam melaksanakan tugasku, sebisa mungkin mencari jalan pintas. Aku tidak memiliki prinsip dalam caraku melakukan berbagai hal. Aku tidak pernah ingin berusaha untuk sungguh-sungguh memikirkan sesuatu atau mengejar hasil terbaik, berpikir bahwa selama aku tidak menimbulkan masalah besar atau diberhentikan, segala sesuatu baik-baik saja. Aku sekadar bertahan di rumah Tuhan, bermalas-malasan. Misalnya, saat memotret materi, jika aku lebih berusaha dan lebih memikirkan prinsip-prinsipnya, aku pasti bisa melakukan pekerjaan dengan baik. Namun, aku puas dengan hasil yang hanya "cukup" atau "cukup baik". Aku bahkan menggunakan ketidakpahamanku akan prinsip sebagai alasan untuk menyerahkan materi yang tidak kuketahui cara menilainya kepada pengawas. Ketika pengawas memintaku untuk merekam sebuah video, meski aku jelas mengetahui ada masalah dengan video itu dan saudara yang menjadi rekan kerjaku menyarankan untuk merekam ulang, aku tetap tidak mau berusaha lebih keras atau membayar harga dan menganggap apa yang kukerjakan sudah cukup baik. Aku hanya ingin bekerja seenaknya lalu selesai. Aku menyadari bahwa kebrengsekanku sangat parah dan aku selalu berusaha mengambil jalan pintas dalam melaksanakan tugasku. Hal ini menghasilkan materi yang tidak memenuhi standar dan menunda kemajuan pekerjaan. Melaksanakan tugasku dengan keburukan seperti ini benar-benar merugikan orang lain dan diriku!

Setelah itu, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Caramu memperlakukan amanat Tuhan sangatlah penting, dan ini adalah hal yang sangat serius. Jika engkau tidak dapat menyelesaikan apa yang telah Tuhan percayakan kepada manusia, engkau tidak layak untuk hidup di hadirat-Nya dan engkau harus dihukum. Adalah sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan bahwa manusia harus menyelesaikan amanat apa pun yang Tuhan percayakan kepada mereka. Ini adalah tanggung jawab tertinggi manusia, dan sama pentingnya dengan hidup mereka sendiri. Jika engkau tidak memperlakukan amanat Tuhan dengan serius, artinya engkau sedang mengkhianati Dia dengan cara yang paling serius. Dalam hal ini, engkau lebih menyedihkan daripada Yudas dan harus dikutuk. Manusia harus mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana memperlakukan apa yang Tuhan percayakan kepada mereka dan, setidaknya, mereka harus memahami bahwa amanat yang Tuhan percayakan kepada manusia adalah peninggian dan kemurahan khusus dari Tuhan, dan semua ini adalah hal-hal yang paling mulia. Segala sesuatu yang lain dapat ditinggalkan. Meskipun seseorang harus mengorbankan nyawanya sendiri, dia tetap harus memenuhi amanat Tuhan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Cara Mengenal Natur Manusia"). "Di luarnya, ada orang-orang yang sepertinya tidak memiliki masalah serius apa pun selama mereka melaksanakan tugas mereka. Mereka tidak melakukan apa pun yang terang-terangan jahat; mereka tidak menyebabkan gangguan atau kekacauan, atau menempuh jalan antikristus. Dalam melaksanakan tugas mereka, tidak ada kesalahan besar atau masalah prinsip apa pun yang muncul, tetapi tanpa menyadarinya, dalam beberapa tahun saja, tersingkaplah bahwa mereka sama sekali tidak menerima kebenaran, bahwa mereka adalah salah satu dari pengikut yang bukan orang percaya. Mengapa demikian? Orang lain tidak dapat melihat adanya masalah, tetapi Tuhan memeriksa lubuk hati orang-orang ini, dan Dia melihat masalah tersebut. Mereka selalu bersikap asal-asalan dan tidak mau bertobat dalam pelaksanaan tugas mereka. Seiring berjalannya waktu, mereka secara alami tersingkap. Apa arti tetap tidak bertobat? Itu artinya meskipun mereka telah melaksanakan tugas mereka selama ini, mereka selalu memiliki sikap yang salah terhadap tugas mereka, sikap asal-asalan, sikap sembrono, dan mereka tidak pernah bertanggung jawab, apalagi mencurahkan segenap hati untuk tugas mereka. Mereka mungkin mengerahkan sedikit upaya, tetapi mereka hanya melakukannya dengan asal-asalan. Mereka tidak mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk tugas mereka dan pelanggaran mereka tidak ada habisnya. Di mata Tuhan, mereka tidak pernah bertobat; mereka selalu bersikap asal-asalan, dan tidak pernah ada perubahan sedikit pun dalam diri mereka—artinya, mereka tidak melepaskan kejahatan di tangan mereka dan bertobat kepada-Nya. Tuhan tidak melihat ada sikap pertobatan di dalam diri mereka dan Dia tidak melihat pembalikan dalam sikap mereka. Mereka terus saja bersikap seperti itu dalam hal tugas mereka dan amanat Tuhan. Secara keseluruhan, tidak ada perubahan dalam watak mereka yang keras kepala dan keras hati ini, dan selain itu, mereka tidak pernah merasa berutang kepada Tuhan, tidak pernah merasa bahwa sikap asal-asalan mereka merupakan pelanggaran atau perbuatan jahat. Di dalam hati mereka tidak ada perasaan berutang, tidak ada rasa bersalah, tidak ada penyesalan, apalagi menyalahkan diri sendiri. Dan, seiring berjalannya waktu, Tuhan melihat bahwa orang semacam ini tidak dapat diselamatkan. Apa pun yang Tuhan katakan, dan sebanyak apa pun khotbah yang mereka dengar atau sebanyak apa pun kebenaran yang mereka pahami, hati mereka tidak tergerak dan sikap mereka tidak berubah atau berbalik. Tuhan melihat ini dan berkata: 'Tidak ada harapan bagi orang ini. Tidak ada apa pun yang Kukatakan menyentuh hati mereka, dan tidak ada apa pun yang Kukatakan mengubah mereka. Tidak ada cara untuk mengubah mereka. Orang ini tidak layak untuk melakukan tugas mereka dan mereka tidak layak untuk berjerih payah di rumah-Ku.' Mengapa Tuhan mengatakan ini? Karena ketika mereka melaksanakan tugas dan bekerja, mereka secara konsisten bersikap asal-asalan. Sebanyak apa pun mereka dipangkas, dan sebanyak apa pun kesabaran yang diberikan kepada mereka, itu tidak ada efeknya dan tidak dapat membuat mereka sungguh-sungguh bertobat dan berubah. Itu tidak dapat membuat mereka melakukan tugas mereka dengan baik, itu tidak memungkinkan mereka untuk mulai menempuh jalan mengejar kebenaran. Jadi, orang ini tidak dapat diselamatkan. Ketika Tuhan menetapkan bahwa seseorang tidak dapat diselamatkan, apakah Dia akan tetap memegang erat orang ini? Tidak. Tuhan akan melepaskan mereka" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memahami bahwa sebagai makhluk ciptaan, menerima amanat Tuhan serta melaksanakan tugas kita sebagai makhluk ciptaan adalah sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan. Kita harus dengan sepenuh hati dan sungguh-sungguh memenuhi tugas ini. Jika kita memperlakukan tugas kita dengan sikap ceroboh dan sembrono, itu sama saja dengan mengkhianati Tuhan dan pantas menerima hukuman. Meskipun aku melaksanakan tugasku di gereja, aku tidak benar-benar berkomitmen untuk melaksanakannya dengan baik. Aku selalu bersikap asal-asalan, memilih cara tercepat dan termudah dalam mengerjakan berbagai hal. Bahkan ketika mengetahui adanya masalah, aku mengabaikannya dan berpura-pura tidak melihat. Hal ini akhirnya menyebabkan kekacauan dan gangguan dalam pekerjaan. Aku bahkan tidak berjerih payah dengan cara yang sesuai standar. Pengawas telah memangkas dan mengingatkanku agar aku melaksanakan tugasku dengan baik, tetapi aku tetap keras kepala, bertindak sesuai menuruti watakku yang rusak. Aku benar-benar keras kepala! Aku selalu memperlakukan tugasku dengan sikap sembrono dan tidak bertanggung jawab. Jika aku tidak berbalik, pada akhirnya aku pasti akan disingkirkan oleh Tuhan. Aku merenungkan bagaimana saudara yang menjadi rekan kerjaku begitu sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya dan selalu merenungkan prinsip-prinsip dengan cermat. Dia selalu berulang kali memeriksa kembali materinya, memastikan tidak ada masalah sebelum mengirimkannya. Dengan demikian, hasil tugasnya pun baik dan memiliki sangat sedikit kesalahan atau penyimpangan. Namun, saat melaksanakan tugasku, aku selalu perlu mengerjakan ulang segala sesuatu dan masalah terus muncul. Aku menyadari bahwa aku bukan orang yang dapat dipercaya serta tidak memiliki integritas dan martabat.

Kemudian, dalam firman Tuhan, aku menemukan jalan untuk melaksanakan tugasku dengan baik. Aku membaca firman Tuhan yang mengatakan: "Saat ini, kesempatanmu untuk melaksanakan tugas tidak banyak, jadi engkau harus memanfaatkannya sebisa mungkin. Justru ketika dihadapkan dengan suatu tugaslah engkau harus mengerahkan dirimu; pada saat itulah, engkau harus mempersembahkan dirimu, mengorbankan dirimu untuk Tuhan, dan ketika engkau dituntut untuk membayar harganya. Jangan menahan apa pun, menyimpan rencana apa pun, memberi ruang bagimu untuk mengatur siasat, atau mencadangkan jalan keluar untuk dirimu sendiri. Jika engkau memberi kelonggaran, membuat perhitungan, atau bersikap licin dan malas, engkau pasti akan melakukan pekerjaan dengan buruk" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Jalan Masuk Kehidupan Dimulai dengan Pelaksanaan Tugas"). "Ketika orang melaksanakan tugas mereka, mereka sebenarnya sedang melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Jika engkau melakukannya di hadapan Tuhan, jika engkau melaksanakan tugasmu dengan hati yang tulus dan sikap yang jujur, serta tunduk kepada Tuhan, bukankah sikap ini jauh lebih tepat? Jadi, bagaimana seharusnya engkau menerapkan sikap ini dalam kehidupanmu sehari-hari? Engkau harus membuat 'menyembah Tuhan dengan hati dan kejujuran' menjadi kenyataanmu. Setiap kali engkau ingin kendur dan bersikap asal-asalan, setiap kali engkau ingin bertindak dengan cara yang licik dan malas, dan setiap kali engkau teralihkan atau lebih suka bersenang-senang, engkau harus berpikir: 'Dengan berperilaku seperti ini, apakah aku tidak dapat dipercaya? Apakah aku sedang bersikap sepenuh hati dalam melakukan tugasku? Apakah aku sedang bersikap tidak setia dengan melakukan hal ini? Dengan melakukan hal ini, apakah aku gagal untuk hidup sesuai dengan amanat yang telah Tuhan percayakan kepadaku?' Beginilah caranya engkau harus merenungkan dirimu sendiri. Jika engkau akhirnya menyadari bahwa engkau selalu bersikap asal-asalan dalam tugasmu, dan engkau tidak setia, dan bahwa engkau telah menyakiti Tuhan, apa yang harus kaulakukan? Engkau harus berkata, 'Pada saat itu, aku merasa ada sesuatu yang salah di sini, tetapi aku tidak menganggapnya masalah; aku mengabaikannya saja dengan ceroboh. Baru sekarang kusadari bahwa aku sebenarnya telah bersikap asal-asalan, bahwa aku belum memenuhi tanggung jawabku. Aku benar-benar tidak memiliki hati nurani dan nalar!' Engkau telah menemukan masalahnya dan mulai sedikit mengenal dirimu sendiri—jadi sekarang, engkau harus berbalik! Sikapmu dalam melakukan tugasmu salah. Engkau ceroboh dalam melakukannya, seperti halnya dengan pekerjaan tambahan, dan engkau tidak mengerahkan segenap hatimu ke dalamnya. Jika engkau kembali bersikap asal-asalan seperti ini, engkau harus berdoa kepada Tuhan dan membiarkan Dia mendisiplinkan dan menghajar dirimu. Engkau haruslah memiliki keinginan seperti itu dalam melaksanakan tugasmu. Hanya dengan cara demikianlah engkau dapat sungguh-sungguh bertobat. Engkau dapat membalikkan dirimu hanya jika hati nuranimu bersih dan sikapmu terhadap pelaksanaan tugasmu berubah" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Sering Membaca Firman Tuhan dan Merenungkan Kebenaran, Barulah Ada Jalan ke Depan"). Melalui firman Tuhan, aku menyadari bahwa tugas kita harus dilaksanakan di hadapan Tuhan dan untuk melaksanakannya dengan baik dibutuhkan sikap jujur. Ketika merasakan desakan untuk mengambil jalan pintas atau bersikap asal-asalan, kita harus merenungkan apakah kita telah dengan rajin dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas kita, juga apakah tindakan kita layak mendapatkan kepercayaan Tuhan. Dengan lebih banyak merenungkan diri sendiri, kita dapat mengurangi sikap asal-asalan kita. Hal ini juga akan mengurangi munculnya kerugian dalam pekerjaan. Singkatnya, kita harus sepenuhnya memanfaatkan kemampuan kita dengan berupaya sebaik mungkin. Inilah cara kita untuk melaksanakan tugas dengan baik.

Pada bulan Mei tahun 2024, aku mengawasi beberapa pekerjaan teknis. Karena masih baru dalam tugas ini, aku kurang memiliki keterampilan teknis. Ketika menghadapi masalah yang dilaporkan oleh saudara-saudari, aku hanya memiliki gambaran umum tentang apa yang terjadi dan tidak memahami detailnya dengan jelas. Hal ini mengharuskanku untuk memecahkan masalah dan menemukan penyebabnya satu per satu. Kadang-kadang, ketika ada banyak masalah, aku merasa tergoda untuk kembali bersikap asal-asalan, tetapi aku mampu dengan sadar memberontak terhadap dorongan tersebut. Aku ingat suatu kali, salah satu peralatan seorang saudari mengalami kerusakan, lalu dia bertanya kepadaku penyebabnya. Aku tidak terlalu akrab dengan peralatan itu, jadi butuh waktu dan usaha untuk benar-benar mencari tahu dan memecahkan masalahnya. Terpikir olehku untuk menjawab seadanya menurut sepemahamanku. Namun, setelah menulis jawaban tersebut, aku merasa tidak enak karena menyadari bahwa aku bersikap asal-asalan lagi. Aku teringat bagaimana sebelumnya pendekatanku yang asal-asalan terhadap tugasku telah menyebabkan kerugian bagi pekerjaan. Aku tahu bahwa jika aku terus bersikap asal-asalan, itu tidak akan menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Pada akhirnya, itu akan membuat pengerjaan ulang bolak-balik dilakukan serta memengaruhi penggunaan peralatan saudari itu, yang akan menunda pekerjaan. Aku perlu sebaik mungkin menjelaskan masalahnya secara tuntas sebelum menanggapi saudari tersebut. Setelah itu, kujalankan proses pemecahan masalah dan menemukan penyebabnya. Dengan menerapkan seperti ini, aku merasa tenang. Kemudian, ketika menghadapi masalah yang tidak dapat kutangani, aku mencari saran dari saudara-saudari dan baru menjawab setelah memastikan solusinya. Setelah menerapkan seperti ini selama beberapa waktu, sikapku terhadap tugasku berubah dan keterampilan teknisku meningkat secara signifikan. Meskipun saat ini aku tidak memilki pemahaman yang mendalam tentang watakku yang rusak, aku bersedia mengandalkan Tuhan untuk mengatasi kebrengsekanku dan melaksanakan tugasku sesuai standar.

Sebelumnya:  50. Mengapa Aku Begitu Egoistis?

Selanjutnya:  53. Melepaskan diri dari Penjara Keluargaku

Konten Terkait

4. Ujian bagi Keturunan Moab

Oleh Saudari Zhuan Yi, TiongkokTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Semua pekerjaan yang dilakukan sekarang ini bertujuan agar manusia dapat...

44. Aku Telah Pulang

Oleh Saudara Chu Keen Pong, MalaysiaAku telah percaya kepada Tuhan selama lebih dari sepuluh tahun dan melayani di gereja selama dua tahun,...

23. Di Ujung Tanduk

Oleh Zhang Hui, TiongkokTahun 2005, tak lama setelah menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman, aku membagikan Injil dengan...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger