61. Sebuah Pilihan Di Tengah Penganiayaan Keluarga
Dahulu aku memiliki keluarga yang harmonis. Kami menjalani kehidupan tanpa mengkhawatirkan makanan maupun pakaian. Namun, pada tahap awal kehamilan keduaku, tanpa sadar aku meminum obat tradisional Tiongkok untuk melancarkan peredaran darah yang hampir menyebabkan keguguran, tetapi kemudian, lewat sarana medis, aku berhasil melahirkan putraku. Meskipun aku dan putraku selamat, aku membaca di Internet bahwa mengonsumsi obat selama kehamilan cenderung menyebabkan anak mengalami kekerdilan. Hal ini menjadi beban berat di hatiku. Setiap kali aku melihat anak-anak lain yang lebih muda, tetapi lebih tinggi daripada anakku, hatiku terasa sangat pedih, dan aku sering kali hidup dalam keadaan menyalahkan diri sendiri. Entah berapa banyak air mata yang kuteteskan karena masalah ini. Pada bulan Oktober 2013, seorang kerabatku bersaksi tentang pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa di akhir zaman kepadaku, dan dia menunjukkan satu bagian dari firman Tuhan Yang Mahakuasa yang berjudul "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia." Ada satu pasal tertentu yang meninggalkan kesan mendalam padaku. Tuhan berfirman: "Dari saat engkau lahir dengan menangis ke dalam dunia ini, engkau mulai memenuhi tanggung jawabmu. Demi rencana Tuhan dan penentuan-Nya, engkau memainkan peranmu dan memulai perjalanan hidupmu. Apa pun latar belakangmu, dan apa pun perjalanan yang akan kautempuh, bagaimanapun juga, tak seorang pun dapat lolos dari pengaturan dan penataan Surga, dan tak seorang pun dapat mengendalikan nasibnya sendiri, karena hanya Dia yang berdaulat atas segala sesuatu yang mampu melakukan pekerjaan semacam itu" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan). Firman Tuhan sangat menyentuh hatiku. Aku jadi mengetahui bahwa kehidupan manusia berasal dari Tuhan, bahwa anak seperti apa yang dimiliki seseorang bukan ditentukan oleh dirinya sendiri, dan semua itu adalah bagian kedaulatan serta pengaturan Tuhan. Pada saat itu, aku tak kuasa menahan tangis, dan aku mencurahkan segala duka serta kekhawatiranku kepada Tuhan. Aku merasakan kelegaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kemudian, lewat membaca firman Tuhan, aku juga memahami bahwa jenis kelamin, penampilan, dan tinggi badan seseorang di dunia ini semuanya sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan dan tidak dipengaruhi oleh keadaan eksternal. Jika Tuhan telah menentukan bahwa anakku sehat, sekalipun aku mengonsumsi obat, kesehatannya tidak akan terpengaruh. Aku merasa bahwa firman Tuhan merupakan obat yang melenyapkan masalah batinku, dan aku merasa sangat tenang serta lega.
Enam bulan setelah menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa di akhir zaman, aku mulai melaksanakan tugasku di gereja. Awalnya, suamiku tidak menentang hal ini. Namun, pada bulan Mei 2014, dia melihat di TV dan Internet semua propaganda negatif yang disebarkan oleh PKT untuk memfitnah, menghujat, serta mencemarkan nama baik Gereja Tuhan Yang Mahakuasa, dan dia mulai menghalangiku untuk beriman. Dia bahkan menghancurkan pemutar MP5 yang kugunakan untuk membaca firman Tuhan, dan berkata, "Lihat apa yang mereka katakan di Internet. Negara menentang imanmu kepada Tuhan Yang Mahakuasa, dan polisi akan menangkapmu. Jika kau ditangkap, itu akan sangat memalukan! Internet juga mengatakan bahwa orang-orang yang percaya kepada Tuhan meninggalkan keluarga mereka dan tidak hidup normal." Aku membantah, "Selama ini sejak aku mulai percaya kepada Tuhan, apakah aku telah meninggalkan keluargaku atau berhenti hidup secara normal? Pertemuan kami hanya terdiri dari kami membaca firman Tuhan bersama-sama, dan kau telah melihatnya dengan mata kepalamu sendiri. Kami tidak melakukan hal yang ilegal, jadi apakah sah bagi polisi untuk menangkap kami? Polisi tidak menindak orang-orang yang mencuri, merampok, berjudi, maupun terlibat dalam prostitusi, tetapi mereka secara khusus menangkap orang-orang yang percaya. Bukankah ini membalikkan mana yang benar dan salah?" Namun, tidak peduli apa pun yang kukatakan, suamiku tidak mau mendengarkan. Kemudian dia terus-menerus menganiayaku karena imanku kepada Tuhan, dan kapan pun dia tidak senang, dia mengungkit imanku kepada Tuhan. Setiap kali dia pulang kerja dan melihatku tidak ada di rumah, dia akan meledak marah dan berteriak, "Bagaimana kita bisa terus hidup seperti ini? Jika kau terus beriman seperti ini, aku akan menelepon polisi!" Dia sering pulang dalam keadaan mabuk di malam hari dan berteriak kepadaku, mengobrak-abrik barangku untuk mencari buku-buku firman Tuhan, sambil mengancam akan menghancurkannya. Dia bahkan menjambak rambutku dan menyeretku ke tanah, sambil memaksaku pergi pada tengah malam. Aku marah sekali, sambil berpikir, "Imanku kepada Tuhan hanyalah tentang aku berkumpul bersama saudara-saudariku untuk makan dan minum firman Tuhan, tetapi suamiku memperlakukanku seperti ini—dia benar-benar seperti setan!" Dalam keadaan marah, aku juga berpikir ingin pergi, tetapi saat aku memikirkan kedua anakku yang masih kecil, dan bagaimana aku tidak ingin pernikahan yang telah susah payah kubangun hancur seperti ini, aku bertahan. Namun, di luar dugaan, penganiayaan suamiku terhadapku makin menjadi-jadi.
Pada tanggal 16 Februari 2016, setelah makan siang, aku bersiap untuk pergi mengikuti pertemuan, dan suamiku berteriak, "Kau mau keluar lagi? Kau tidak menjalani kehidupan normal!" Aku menjawab, "Apa maksudmu aku tidak menjalani kehidupan normal? Aku tidak menunda-nunda apa pun di rumah. Aku sudah memasak dan merapikan rumah. Aku juga butuh waktuku sendiri." Tepat saat aku mau membuka pintu, dia tiba-tiba menguncinya dan menghalangiku pergi, mengancamku dengan ponselnya, sambil berkata, "Jika kau keluar lagi, aku akan menelepon polisi!" Lalu dia menekan nomor darurat 110. Aku merasa sangat gugup. Melihatnya mau menekan tombol panggil berwarna hijau, aku buru-buru berkata, "Jika kau membuat panggilan itu hari ini, kau tahu apa yang akan terjadi setelahnya? Ada balasan bagi orang yang berbuat jahat!" Tangannya yang memegang ponsel sempat gemetar sejenak, lalu dia membatalkan panggilannya, dan berkata dengan marah, "Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi! Aku tidak akan pergi kerja hari ini. Kau harus membuat pilihan hari ini! Aku akan menelepon ayahmu dan ibuku untuk membicarakan perceraian kita!" Lalu dia menelepon orang tuaku dan ibunya. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan aku merasa sangat lemas. Ketika melihat foto keluarga di dinding, mau tidak mau aku berpikir, "Tidak mudah bagi kami untuk mencapai titik ini. Kehidupan kami sebelumnya sulit, dan kami jarang bisa bersama karena pekerjaan suamiku. Namun, kini dia punya pekerjaan tetap, kami sudah pindah ke rumah yang lebih besar, kehidupan kami bebas dari kekhawatiran, dan putra-putri kami keduanya cerdas serta sehat. Kami sudah benar-benar berhasil dalam hal keluarga dan karier. Jika kami bercerai, aku akan kehilangan semua ini. Meskipun aku menghadapi penganiayaan karena percaya kepada Tuhan, setidaknya keluargaku utuh dan anak-anakku mempunyai ayah dan ibu. Bagaimana mungkin kami bisa bercerai begitu saja? Aku sungguh tidak ingin semuanya sampai seperti itu." Aku menyesal tidak mencegahnya menelepon orang tuaku. Andai aku mengatakan sesuatu yang menenangkan dan setuju untuk tidak keluar sementara waktu, mungkin dia tidak akan membahas perceraian. Aku tidak tahu bagaimana cara melalui semua ini, jadi aku berdoa kepada Tuhan, berharap Dia akan membimbingku. Pada saat itu, aku teringat apa yang Tuhan Yesus katakan: "Tidak seorang pun yang telah memegang bajak dan menoleh ke belakang, layak bagi kerajaan Tuhan" (Lukas 9:62). Rasanya bagaikan seberkas cahaya telah menembus hatiku, yang saat itu juga menjadi terang, dan aku berpikir, "Bukankah aku hanya memikirkan dagingku? Antara keluarga dan imanku, aku takut kehilangan keluargaku dan menyesal tidak mengatakan sesuatu yang menenangkan kepada suamiku. Aku berkompromi dengannya dan mencoba mempertahankan keluargaku dengan mengkhianati Tuhan. Dengan cara apa aku bersaksi bagi Tuhan?" Aku mengingat kembali hari-hari ketika aku sangat menderita karena masalah yang berkaitan dengan putraku, dan aku bertanya-tanya, "Andai bukan karena Tuhan yang menyelamatkanku, bagaimana aku bisa hidup bebas sekarang? Aku tidak boleh menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih dan tidak berhati nurani." Jadi, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, berikanlah aku iman. Apa pun yang terjadi nantinya, sekalipun kami benar-benar bercerai, aku akan tetap memilih untuk percaya kepada-Mu dan melaksanakan tugasku." Setelah berdoa, aku merasakan kelegaan di hatiku.
Sore itu, ayahku, kedua adik perempuanku, dan mertuaku datang ke rumah. Mereka semua percaya kepada suamiku dan ikut menganiayaku. Akhirnya, ayah dan adik-adikku menyeretku dengan paksa ke mobil dan membawaku kembali ke kampung halamanku. Di rumah orang tuaku, mereka memojokkanku setiap hari. Ayahku melihat bahwa aku bersikeras percaya kepada Tuhan, dan suatu hari saat makan siang, dia berkata, "Negara sedang menindak tegas dan menangkap orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Jika kau ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara beberapa tahun, apa kau pikir suamimu masih menginginkanmu? Akhirnya kau akan kehilangan rumahmu. Mengapa menderita seperti ini? Dengarkan kami, tinggalkan saja imanmu itu. Di TV diberitakan bahwa kalian adalah kelompok antinegara, jadi apa gunanya menentang negara? Lihatlah keluargamu sekarang. Kau punya rumah dan mobil, serta kedua anakmu cerdas dan berperilaku baik. Mengapa kau mau meninggalkan kehidupan sebaik ini untuk terus percaya kepada Tuhan? Kau benar-benar tidak tahu betapa beruntungnya dirimu!" Makin kudengarkan, makin aku merasa marah. Apa yang dia bicarakan, menyebutku antinegara? Apa artinya menentang negara? Firman Tuhan dengan jelas mengatakan: "Tuhan tidak berpartisipasi dalam politik manusia, tetapi Dia mengendalikan nasib setiap negara dan bangsa, Dia mengendalikan dunia ini dan seluruh alam semesta" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Lampiran 2: Tuhan Berdaulat Atas Nasib Seluruh Umat Manusia"). Aku berkata dengan tegas dan serius, "Ayah, percaya kepada Tuhan hanya berarti kami membaca firman Tuhan dan berkumpul untuk mempersekutukan kebenaran. Tuhan membimbing kami untuk menempuh jalan yang benar dan menjalani kemanusiaan yang normal. Bagaimana kami bisa antinegara? Jangan percaya pada rumor yang tidak berdasar!" Namun, melihat aku tidak mau mendengarkan, ibuku berteriak padaku, "Jika kau terus seperti ini, kau akan ditangkap dan kehilangan segalanya. Seperti apa kehidupanmu nanti? Jika kau ingin beriman, ikut saja dengan Ibu ke gereja untuk percaya kepada Tuhan dalam Gereja Tiga Diri!" Aku mengatakan, "PKT tidak menangkap orang-orang dari gereja itu karena mereka yang ada di gereja itu mematuhi PKT. Mereka mengaku percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi mereka sebenarnya mendengarkan manusia dan percaya kepada manusia, bukan percaya kepada Tuhan. Jalan yang benar selalu dianiaya. Ketika Tuhan Yesus bekerja di Yudea, Dia difitnah serta dikutuk oleh pemerintah Romawi dan orang-orang Farisi. Para pengikut Tuhan ditangkap dan dianiaya oleh pemerintah Romawi karena memberitakan Injil. Dapatkah kau mengatakan bahwa Tuhan Yesus bukanlah Tuhan yang benar, maupun bukan jalan yang benar? Saat ini, kami percaya kepada Tuhan yang benar, dan kami pasti akan menghadapi penangkapan serta penganiayaan dari pemerintah Iblis PKT. Ibu, Tuhan Yang Mahakuasa adalah Tuhan Yesus yang telah kembali, dan Dia adalah Tuhan yang sedang mengerjakan tahap pekerjaan baru sesuai dasar Zaman Kasih Karunia. Dia telah datang untuk sepenuhnya menyelamatkan umat manusia. Percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa berarti kita mengikuti pekerjaan baru Tuhan. Agar Ibu dapat percaya kepada Tuhan Yesus, bukankah itu karena banyaknya misionaris datang ke Tiongkok, meninggalkan keluarga dan karier mereka demi memberitakan Injil?" Saat melihat tekadku yang kuat, ayahku menyela dan menanyaiku dengan nada keras, "Jadi, maksudmu kau tidak punya toleransi untuk kembali, dan tetap berkeras mempertahankan imanmu? Sebagai orang tuamu, kami melakukan ini demi kebaikanmu sendiri. Jika kau ditangkap, jangan salahkan kami karena tidak memperingatimu! Jika kau tidak mendengarkan kami dan tetap melanjutkan imanmu ini, kita akan putus hubungan. Kau boleh pergi ke mana pun kau mau setelah kau bercerai. Keluarga ini tidak menginginkanmu lagi!" Setelah ayahku selesai berbicara, dia mulai meneteskan air mata. Melihatnya begitu sedih, aku pun ikut menangis. Dalam hati, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan Yang Mahakuasa, tolong jagalah hatiku tetap tenang di hadapan-Mu. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Berikanlah aku iman dan bimbinglah aku." Setelah berdoa, aku memikirkan satu bagian firman Tuhan: "Dalam setiap langkah pekerjaan yang Tuhan lakukan pada manusia, di luarnya tampak sebagai interaksi antara manusia, seolah-olah lahir karena pengaturan manusia atau dari gangguan manusia. Namun di balik layar, setiap langkah pekerjaan, dan semua yang terjadi, adalah pertaruhan yang Iblis buat di hadapan Tuhan, dan menuntut orang-orang untuk tetap teguh dalam kesaksian mereka bagi Tuhan. Misalnya, ketika Ayub diuji: di balik layar, Iblis bertaruh dengan Tuhan, dan yang terjadi kepada Ayub adalah perbuatan manusia, dan gangguan manusia" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mengasihi Tuhan yang Berarti Sungguh-Sungguh Percaya kepada Tuhan"). Dengan bimbingan firman Tuhan, aku tiba-tiba menyadari bahwa meskipun sepertinya ayahku mencoba untuk membujukku, sebenarnya Iblis-lah yang mencoba menggunakan kasih sayangku untuk menyeretku ke sisinya, berusaha membuatku meninggalkan Tuhan dan mengkhianati-Nya. Jika aku mengikuti ayahku, bukankah aku hanya akan terjerumus ke dalam rencana jahat Iblis? Tiba-tiba aku teringat firman Tuhan Yesus: "Dia yang mengasihi ayah atau ibunya lebih dari Aku, tidak layak bagi-Ku" (Matius 10:37). Semua yang kumiliki berasal dari Tuhan, dan hidupku pun berasal dari-Nya. Percaya kepada Tuhan dan menyembah-Nya adalah sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, jadi aku tidak boleh meninggalkan imanku kepada Tuhan hanya untuk mempertimbangkan perasaan ayahku. Aku juga memikirkan pengalaman Petrus. Orang tua Petrus berharap dia akan mengejar karier sebagai seorang pejabat dan meraih kesuksesan serta ketenaran. Mereka menentang dan menghalangi Petrus dari percaya kepada Tuhan serta mengorbankan diri bagi-Nya. Namun, Petrus memilih untuk percaya kepada Tuhan dan mengikuti-Nya, dengan tegas meninggalkan orang tuanya. Dengan mengingat hal ini, imanku bertambah dan tekadku untuk mengikuti Tuhan pun makin kuat. Apa pun yang ayahku katakan, aku harus menyadari rencana jahat Iblis dan jangan sampai tertipu. Ayahku melihat aku tidak mengatakan apa-apa dan dengan nada keras mendesakku lagi, "Jadi, kau sudah bertekad; tidak ada yang bisa menghalangimu?" Dengan tegas, aku menjawab, "Sama sekali tidak ada. Aku akan tetap teguh dalam imanku kepada Tuhan; aku menolak menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih. Dahulu, aku selalu khawatir putraku akan menjadi orang kerdil. Aku hidup dalam ketakutan, kepedihan, dan rasa bersalah setiap hari. Saat itu, kalian semua menasihatiku untuk membiarkan saja segala sesuatunya berjalan sebagaimana mestinya, tetapi hanya aku yang bisa memahami kepedihan di hatiku. Kemudian, aku menerima pekerjaan baru Tuhan, membaca firman-Nya, memahami kebenaran, dan barulah kesedihan hatiku teratasi. Andai bukan karena Tuhan yang menyelamatkanku, siapa tahu, mungkin suatu hari aku tidak sanggup menanggungnya lagi dan memilih untuk mati, lalu kalian kehilangan putri kalian. Tidakkah kalian menginginkan yang terbaik untukku?" Ayahku yang melihat tekadku, merajuk tanpa suara.
Kemudian ayahku melihatku diam-diam membaca firman Tuhan lagi dan dengan marah dia berkata, "Jika kau tetap percaya kepada Tuhanmu seperti ini, aku akan menelepon polisi, menyuruh mereka menangkapmu, dan memukulimu hingga babak belur! Aku tak percaya kau tidak akan berubah!" Aku melihat ayahku begitu marah sampai matanya memerah dan wajahnya menggelap. Hanya untuk mencegahku percaya kepada Tuhan, dia bahkan rela mengirimku ke penjara untuk menderita di bawah siksaan PKT. Bagaimana dia bisa begitu kejam? Apakah ini benar-benar ayah yang kukenal selama ini? Bukankah dia telah menjadi kaki tangan PKT dan hamba Iblis? Aku melihat bahwa esensi ayahku adalah kebencian dan penentangan terhadap Tuhan. Aku memikirkan satu kalimat dari firman Tuhan: "Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, bencilah apa yang Tuhan benci: inilah prinsip yang harus dipatuhi" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mengenali Pandangannya yang Keliru Barulah Orang Dapat Benar-Benar Berubah"). Mereka yang sungguh percaya kepada Tuhan adalah orang-orang yang seharusnya kukasihi. Mereka yang membenci Tuhan dan menentang-Nya semuanya adalah musuh Tuhan. Mereka adalah setan. Tuhan membenci mereka, jadi aku juga harus menolak mereka. Aku harus hidup berdasarkan firman Tuhan, tidak dikekang oleh orang tuaku, dan dengan teguh mengikuti Tuhan!
Aku tinggal di rumah orang tuaku selama dua setengah bulan. Setelah kembali ke rumah, suamiku mengira aku tidak lagi percaya kepada Tuhan, jadi sikapnya terhadapku menjadi jauh lebih lunak. Beberapa minggu kemudian, dia mengetahui bahwa aku masih percaya kepada Tuhan dan berkata dengan nada keras, "Kau masih mengikuti pertemuan dan percaya kepada Tuhan? Keluar dari sini!" Sambil mengatakan ini, dia melangkah ke pintu, membukanya, dan berteriak kepadaku, "Keluar! Keluarga ini tidak menginginkanmu lagi. Pergilah ke mana pun kau mau!" Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan rumah, dan aku hanya ingin berpura-pura di depannya. Aku berjalan ke kamar tidur, mengambil koper dari lemari, dan mulai menata pakaianku serta menaruhnya di dalam koper. Aku berpikir, "Jika dia melihatku mengemasi pakaianku, mungkin dia akan mengingat ikatan pernikahan kami. Jika dia melihatku benar-benar akan pergi, mungkin dia akan berkompromi." Tanpa diduga, suamiku masuk dari ruang tamu dan merampas koper itu dariku. Dia membuang semua pakaian itu ke tempat tidur, mulai mengacak-acaknya, sambil mencercaku dan berkata, "Coba kulihat apa kau mengambil semua barang berharga dari rumahku!" Aku geram melihat pakaianku yang berantakan karena ulah suamiku. Bagaimana dia tega mengatakan hal-hal seperti itu kepadaku setelah sepuluh tahun kami hidup bersama? Dia memperlakukanku seperti pencuri, dan hatiku menjadi sangat dingin. Kumasukkan kembali pakaianku ke dalam koper dan berjalan keluar pintu. Saat merenungkan apa yang baru saja terjadi, hatiku terasa pedih, dan aku tak kuasa menahan tangis karena berpikir, "Suamiku benar-benar tidak berperasaan! Aku menempuh jalan yang benar dalam hidup dengan percaya kepada Tuhan, tetapi dia memaksaku meninggalkan rumah lagi. Apakah keluargaku benar-benar hancur seperti ini?" Aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku merasa sangat sulit untuk percaya kepada-Mu. Hatiku begitu lemah. Aku tidak tahu bagaimana melangkah ke depan. Bimbinglah aku." Setelah semua ini, aku pergi tinggal di rumah seorang saudari.
Keesokan sore, aku tidak bisa tenang. Aku memikirkan putraku yang baru berusia lima tahun dan tidak pernah jauh dariku. Apakah dia akan baik-baik saja tanpa aku di sisinya? Memikirkan wajah lembut anakku yang masih kecil dan masa depannya saja membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku khawatir, bagaimana jika dia mencari ibunya? Apakah suamiku akan berbuat sesuatu karena marah? Apakah semua ini akan melibatkan gereja atau saudara-saudari? Malam itu, aku kembali ke rumah. Mertuaku ada di sana dan suamiku mengajak anak-anak makan di luar. Ibu mertuaku berkata, "Kami semua sangat mencemaskanmu setelah kau pergi. Jalani saja kehidupan yang normal dan tinggalkan imanmu ini! Apakah kau benar-benar harus membuat semua keributan ini sampai akhirnya bercerai?" I calmly replied, "Mom, it's not that I don't want to live a normal life, it's that your son can't accept me." My mother-in-law anxiously said, "Perceraian mungkin bukan apa-apa bagi orang dewasa, tetapi yang jadi masalah adalah anak-anak akan menderita. Mereka masih kecil. Tolonglah, kau harus memikirkan anak-anak." Saat mendengar ibu mertuaku mengatakan ini, aku sangat sedih dan air mataku berlinang. Sebenarnya, yang paling kukhawatirkan adalah anak-anak. Bagaimana jadinya kehidupan mereka jika aku pergi? Tidak lama kemudian, suamiku kembali dengan anak-anak. Begitu mereka masuk, anak-anak melihatku dan berjalan ke arahku. Namun, suamiku berteriak, melarang mereka mendekatiku, dan menyuruh putri kami untuk menidurkan adiknya malam itu. Saat aku melihat anak-anak dengan patuh menuju kamar, aku merasa kekhawatiran dan keprihatinanku tidak beralasan. Tuhan adalah sumber kehidupan manusia, dan Dia berkuasa serta berdaulat atas segala sesuatu. Nasib anak-anakku di masa depan juga berada di bawah pengaturan dan penataan Tuhan. Aku memikirkan satu bagian firman Tuhan: "Tak seorang pun dapat lolos dari pengaturan dan penataan Surga, dan tak seorang pun dapat mengendalikan nasibnya sendiri, karena hanya Dia yang berdaulat atas segala sesuatu yang mampu melakukan pekerjaan semacam itu. Sejak awal mula manusia tercipta, Tuhan selalu melakukan pekerjaan-Nya dengan cara seperti ini, mengelola alam semesta, dan mengarahkan hukum perubahan segala sesuatu dan lintasan pergerakannya. Seperti halnya segala sesuatu, manusia diam-diam dan tanpa sadar dipelihara oleh kemanisan dan hujan serta embun dari Tuhan; seperti halnya segala sesuatu, manusia tanpa sadar hidup di bawah pengaturan tangan Tuhan. Hati dan roh manusia berada dalam genggaman Tuhan, dan segala sesuatu dalam hidupnya di bawah tatapan mata Tuhan. Entah engkau memercayai semua ini atau tidak, setiap dan segala hal, baik hidup atau mati, akan bergeser, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Dengan cara inilah Tuhan berdaulat atas segala sesuatu" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). Masing-masing dari kita hidup sesuai dengan jalan hidup yang telah Tuhan tetapkan sejak kita dilahirkan, memainkan peran kita sendiri. Berbagai situasi yang kita alami dalam kehidupan adalah bagian dari kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengubah semua ini. Kesulitan apa yang akan ditanggung anak-anakku dan berkat apa yang akan mereka nikmati saat tumbuh dewasa, bagaimana orang akan memperlakukan mereka, serta bagaimana kondisi fisik mereka nantinya—semua ini berada di bawah pengaturan dan penataan Tuhan. Nasib anak-anakku tidak akan berubah karena perawatan dan pengasuhanku, dan kepergianku tidak akan memengaruhi pertumbuhan mereka. Tuhan sudah sejak lama mengatur seperti apa nasib anak-anakku nanti. Putriku yang menjaga adiknya hari itu seolah-olah memberitahuku bahwa siapa pun bisa hidup tanpa orang lain dan setiap orang memiliki jalan hidup masing-masing. Berapa pun usianya, Tuhan akan mengatur dan menata semua orang, peristiwa dan segala sesuatu, serta menyiapkan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan setiap orang. Dengan pemikiran ini, aku merasa lebih tenang, dan aku bersedia memercayakan anak-anakku kepada Tuhan. Tanpa kuduga, setelah anak-anak tertidur, suamiku kembali membuka pintu dan mencoba mengusirku. Dia baru berhenti membuat keributan setelah mertuaku membujuknya.
Malam itu, aku berbaring di tempat tidur, merenungkan peristiwa yang telah terjadi. Karena suamiku telah memercayai rumor tak berdasar dan perkataan setan yang disebarkan oleh PKT, dia khawatir hal itu akan memengaruhi kepentingannya, sehingga dia menjadi marah. Tanpa menghargai ikatan pernikahan kami, dia berulang kali menganiayaku untuk mencoba membuatku meninggalkan imanku, entah dengan mencoba mengusirku dari rumah atau mengancam bercerai. Dia juga meminta orang tuaku untuk mencoba mengendalikan maupun mengawasiku, dan dia bahkan beberapa kali mengusirku dari rumah. Setelah menemukan Tuhan, aku tidak mengabaikan keluarga atau anak-anakku, tetapi dia memperlakukanku seperti itu. Bagaimana bisa ada kasih sayang yang tulus di antara manusia? Aku memikirkan satu bagian firman Tuhan: "Mengapa suami mengasihi istrinya? Dan mengapa istri mengasihi suaminya? Mengapa anak-anak berbakti kepada orang tuanya? Mengapa orang tua menyayangi anak-anak mereka? Niat macam apa yang sebenarnya dimiliki orang? Bukankah niat mereka adalah untuk memuaskan rencana dan keinginan egois mereka sendiri?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan dan Manusia akan Masuk ke Tempat Perhentian Bersama-sama"). Firman Tuhan sepenuhnya benar. Hubungan antar manusia semuanya berdasarkan kepentingan, dan semuanya tentang memanfaatkan satu sama lain demi memuaskan keinginan egois seseorang. Dahulu, suamiku memperlakukanku dengan baik karena aku tidak mengganggu kepentingannya. Aku mengurus keluarga dengan sebaik mungkin, aku sangat perhatian terhadapnya, dan membuat citranya baik di mata orang lain. Namun, karena kini aku percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku, serta aku berisiko ditangkap oleh PKT kapan saja, yang dapat melibatkannya juga, dia benar-benar berubah menjadi orang yang berbeda. Saat melihat kebenaran terungkap, aku bertanya-tanya bagaimana bisa ada cinta atau kasih sayang di antara manusia? Suamiku telah beberapa kali mengusirku dari rumah, tetapi aku tetap ingin mempertahankan pernikahan kami, karena aku percaya "Setelah seorang pria dan wanita menikah, ikatan cinta mereka makin kuat." Aku tidak menyadari bahwa semua ini ternyata hanya angan-anganku sendiri. Makin aku memikirkannya, makin aku menyadari betapa bodohnya diriku! Aku selalu berusaha mempertahankan keluarga ini, dan karena dianiaya oleh suamiku, aku jarang makan maupun minum firman Tuhan, pertemuanku terbatas, dan aku tidak bisa melaksanakan tugas apa pun. Apa ini bisa disebut iman sejati kepada Tuhan? Selain itu, jika aku tidak bisa melaksanakan tugasku, aku tidak bisa mengalami firman Tuhan, dan jika aku tidak bisa memperoleh kebenaran, bagaimana aku bisa diselamatkan oleh Tuhan? Tuhan berfirman bahwa melaksanakan tugas adalah satu-satunya cara untuk diselamatkan. Karena selama melaksanakan tugas, ada banyak kesempatan untuk memperoleh kebenaran dan ada banyak masa ketika seseorang menerima pekerjaan serta bimbingan Roh Kudus. Mengejar kebenaran selama melaksanakan tugas memungkinkan seseorang untuk membuang watak rusaknya dan memperoleh lebih banyak kesempatan untuk disempurnakan oleh Tuhan. Percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugas adalah hal paling berharga dan bermakna yang dapat dilakukan seseorang! Aku harus memilih antara keluarga dan imanku. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku ingin melaksanakan tugasku. Tolong bukakan jalan bagiku. Aku bersedia menyerahkan diriku sepenuhnya kepada-Mu."
Lalu, kejadian lain memperkuat tekadku untuk meninggalkan rumah dan melaksanakan tugasku. Suatu hari, beberapa minggu kemudian, aku pulang ke rumah setelah mengikuti pertemuan dan sedang memasak ketika suamiku muncul dari belakang dan menjambak rambutku, sambil bertanya, "Apa kau keluar ikut pertemuan demi imanmu kepada Tuhan lagi?" Ketika dia melihat aku tidak menanggapi, dia menjambak rambutku dengan keras lagi, menyebabkan kulit kepalaku sakit. Aku berkata, "Selama aku masih bernapas, aku akan percaya kepada Tuhan!" Kemarahan suamiku meluap dan dia berteriak, "Apa kau percaya aku akan membunuhmu hari ini?" Lalu dia mendorongku dengan keras, mengambil pisau buah dari lemari, dan melingkarkan lengan kanannya di leherku, sambil tangan kirinya memegang pisau. Dia menekankan bagian belakang pisau ke leherku dan berteriak, "Aku benar-benar ingin membunuhmu!" Dalam keputusasaan, aku memanggil putriku dan memintanya untuk segera menelepon neneknya. Saat mendengarnya, suamiku membanting pisau itu ke meja makan. Semua ini sekali lagi memperlihatkan esensi kebencian suamiku terhadap Tuhan, dan bahwa dia benar-benar bersedia membunuhku untuk mencegahku percaya kepada Tuhan. Dia benar-benar orang jahat dan setan! Bagaimana mungkin ada kebahagiaan hidup dengan setan seperti itu? Aku memikirkan satu bagian firman Tuhan: "Tidak ada hubungan antara suami yang percaya dan istri yang tidak percaya, dan tidak ada hubungan antara anak yang percaya dan orang tua yang tidak percaya; kedua tipe orang ini sama sekali tidak sesuai. Sebelum memasuki peristirahatan, orang memiliki kasih sayang daging dan kekeluargaan, tetapi begitu memasuki peristirahatan, orang tidak lagi memiliki kasih sayang daging dan kekeluargaan untuk dibicarakan. Mereka yang melaksanakan tugasnya adalah musuh dari mereka yang tidak melaksanakan tugasnya; mereka yang mengasihi Tuhan dan mereka yang membenci Tuhan bertentangan satu sama lain. Mereka yang masuk ke perhentian dan mereka yang akan dimusnahkan adalah dua tipe makhluk ciptaan yang tidak sesuai. Makhluk ciptaan yang memenuhi tugas mereka akan mampu tetap hidup, sementara makhluk ciptaan yang tidak memenuhi tugas mereka akan menjadi objek pemusnahan; terlebih lagi, hal ini akan berlangsung selama-lamanya. Apakah engkau mengasihi suamimu demi memenuhi tugasmu sebagai makhluk ciptaan? Apakah engkau mengasihi istrimu demi memenuhi tugasmu sebagai makhluk ciptaan? Apakah engkau berbakti kepada orang tuamu yang tidak percaya demi memenuhi tugasmu sebagai makhluk ciptaan? Apakah cara pandang manusia tentang kepercayaan kepada Tuhan benar atau salah? Mengapa engkau percaya kepada Tuhan? Apa yang ingin kaudapatkan? Bagaimana engkau mengasihi Tuhan? Mereka yang tidak dapat memenuhi tugas mereka sebagai makhluk ciptaan dan tidak dapat melakukan upaya habis-habisan akan menjadi objek pemusnahan. Ada hubungan jasmaniah yang ada di antara orang-orang saat ini, juga ada hubungan darah, tetapi kelak, semua ini akan hancur. Orang percaya dan orang tidak percaya sama sekali tidak sesuai; sebaliknya mereka saling bertentangan. Mereka yang berada di tempat perhentian akan percaya bahwa Tuhan itu ada dan akan tunduk kepada-Nya sedangkan mereka yang berontak melawan Tuhan semuanya akan dimusnahkan. Keluarga-keluarga tidak akan ada lagi di muka bumi; bagaimana mungkin ada orang tua atau anak-anak atau hubungan antara suami dan istri? Ketidaksesuaian antara percaya dan tidak percaya akan benar-benar memutuskan hubungan jasmaniah semacam itu!" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan dan Manusia akan Masuk ke Tempat Perhentian Bersama-sama"). Orang percaya dan orang tidak percaya pada dasarnya tidak sejalan, dan jalan yang mereka tempuh sepenuhnya berbeda. Suamiku tidak percaya kepada Tuhan dan bahkan membenci-Nya; pada dasarnya, dia adalah setan. Hidup dengannya sama sekali tidak mendatangkan kebahagiaan, karena aku tidak hanya menderita penganiayaannya, tetapi pengejaranku akan kebenaran dan pertumbuhan hidupku juga terhalangi. Aku tidak mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan, dan akhirnya, aku akan terjerumus dalam bencana, sama seperti dia. Suatu hari pada bulan Juli 2016, aku meninggalkan catatan untuk suamiku yang berbunyi, "Aku akan pergi. Tolong jangan mencariku lagi!" Begitu melangkah keluar pintu, aku merasakan kelegaan di hatiku, dan aku bertekad untuk melaksanakan tugasku dengan baik demi memuaskan Tuhan.
Melalui semua ini, firman Tuhan-lah yang memberiku iman dan kekuatan, membimbingku langkah demi langkah keluar dari pengaruh gelap keluargaku, dan memungkinkan aku untuk mengikuti Tuhan serta melaksanakan tugasku. Semua ini berkat firman Tuhan. Syukur kepada Tuhan!