1. Aku Belajar Memperlakukan Tugasku dengan Benar
Aku terlahir di keluarga petani biasa, dan sejak kecil, aku selalu melihat ibuku memasak dan bersih-bersih, aku tidak pernah melihat ayahku memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kakekku juga sama. Terkadang, ketika nenekku keluar seharian, kakek lebih memilih kelaparan daripada memasak, karena dia percaya bahwa memasak adalah pekerjaan perempuan. Aku melihat bahwa di kebanyakan keluarga, "laki-laki bekerja di luar rumah dan perempuan menangani pekerjaan rumah tangga": Perempuan memasak di rumah, sementara laki-laki sibuk bekerja di luar. Setelah aku menikah, istriku dengan sendirinya mengurus semua pekerjaan rumah tangga. Terkadang dia memintaku untuk melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga, tetapi aku selalu enggan dan keberatan melakukannya. Aku selalu berpikir bahwa memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah tugas untuk perempuan.
Di musim panas tahun 2020, pemimpin memberitahuku bahwa sebuah tim sangat membutuhkan tuan rumah, dan bertanya apakah aku bersedia pergi dan melakukan pekerjaan tuan rumah. Aku tidak mengatakan apa-apa, tetapi aku berpikir dalam hati, "Aku belum pernah melaksanakan tugas sebagai tuan rumah, dan bahkan aku tidak bisa memasak." Namun, karena kebutuhan akan orang yang mendesak, aku tetap menyetujuinya. Selama melaksanakan tugasku sebagai tuan rumah, aku menghabiskan setiap hari di dapur, mencuci dan bersih-bersih, aku berpikir dalam hati, "Ini adalah tugas para saudari; kenapa aku yang diminta melaksanakannya? Rasanya juga memalukan bagi seorang pria dewasa sering pergi ke pasar membeli sayuran dan bahkan terkadang harus menawar dengan pedagang sayur!" Setiap kali aku pergi ke pasar membeli sayuran, aku merasa khawatir, karena takut orang lain akan memandangku rendah. Aku selalu cepat-cepat masuk dan cepat-cepat keluar, tidak ingin berlama-lama. Terkadang, beberapa saudara berkomentar bahwa sayurnya terlalu asin atau terlalu hambar, dan aku merasa malu serta berdebat di dalam hati, "Di rumah, istrikulah yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan memasak, bukan aku! Lagipula, aku adalah seorang pria dan ini adalah pekerjaan perempuan, jadi wajar kalau aku tidak pandai melakukan itu. Kenapa kalian tidak bisa melihat hal ini dari sudut pandangku?" Mau tak mau aku merasa sedikit sedih, dan bertanya-tanya kapan tugas ini akan berakhir. Aku sering melihat para saudara mengobrol dan mentertawakan tentang pekerjaan, tetapi aku tidak bisa merasa bahagia. Rasanya seperti aku membawa sebuah batu yang berat di punggungku dan aku mendambakan hari di mana aku tidak perlu lagi melaksanakan tugas ini. Pada hari-hari itu, aku tidak memasak dengan sungguh-sungguh dan hanya membuat mie setiap pagi. Kulihat mereka tidak makan banyak, tetapi aku tidak pernah bertanya apakah mereka sudah biasa dengan makanannya. Pada waktu itu, ada banyak kubis, jadi aku hanya merebusnya, dan meskipun para saudara makan sangat sedikit, aku tidak peduli. Aku hanya berpikir, "Seperti apa pun cara memasaknya, kubis tidak akan terasa begitu enak." Kemudian, para saudara dialihtugaskan dan mereka pindah, tetapi pengawas memintaku untuk melanjutkan tugas sebagai tuan rumah. Aku benar-benar tidak mengerti, "Kenapa aku, seorang pria dewasa, terus diminta untuk melaksanakan tugas sebagai tuan rumah? Memasak, mencuci, dan bersih-bersih adalah pekerjaan yang biasanya dilakukan para saudari. Akankah orang lain bertanya-tanya, 'Kenapa seorang saudara yang melaksanakan tugas ini?' Bagaimana aku akan menanggung malu ini?" Ketika memikirkan hal ini, aku jadi merasa rendah. Selama beberapa waktu itu, aku berada dalam keadaan buruk, dan aku merasa benar-benar kehilangan muka. Kalau aku meninggalkan tugas sebagai tuan rumah, aku merasa aku bersikap tidak masuk akal, tetapi kalau aku terus melaksanakannya, aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan. Dari luar, aku tampak melaksanakan tugasku, tetapi di dalam hati, aku merasa tercekik, dan aku tidak proaktif atau memperhatikan apa pun yang kukerjakan. Aku melihat bahwa aku perlu bersih-bersih, tetapi aku tidak mau melakukannya, dan beberapa kali, situasinya sampai pada titik di mana orang lain tidak tahan, kemudian mereka membantu bersih-bersih. Aku juga tidak dengan tepat waktu mengeringkan makanan yang dikirim gereja, dan akibatnya, makanannya basi, dan harus dibuang. Setelah pemimpin tahu tentang hal ini, dia berkata kepadaku, "Semua makanannya sudah berjamur. Kalau kau lebih berhati-hati, kau pasti sudah mengeringkannya, memastikan makanan yang mudah busuk dikonsumsi tepat waktu, dan itu tidak akan terbuang sia-sia. Dengan terjadinya masalah seperti ini, kau harus merenungkan sikapmu terhadap tugasmu." Saat aku mendengar pemimpin mengatakan hal ini, aku merasa sedikit bersalah. Memang benar, kelalaiankulah yang membuat makanan menjadi basi, tetapi kemudian aku mulai membuat pembenaran untuk diriku sendiri, "Di rumah, ibu dan istrikulah yang selalu mengeringkan makanan, dan aku tidak pernah terlibat. Rasanya sungguh memalukan diminta melakukan hal-hal seperti ini!" Aku selalu merasa seperti sedang dipermalukan, dan aku tidak ingin terus memaksakan diri dalam situasi ini, jadi aku hanya berharap pemimpin akan mengaturku untuk melaksanakan tugas lain. Aku menjadi sangat negatif sampai-sampai aku tidak tahu harus berkata apa saat berdoa kepada Tuhan, dan ketika aku membaca firman Tuhan, aku tidak menemukan terang apa pun. Setiap hari aku kelelahan dan merasa sesak.
Dalam suatu pertemuan, seorang saudari menyadari bahwa aku berada dalam keadaan yang buruk dan mengingatkanku untuk merenungkan diri dan memetik pelajaran. Suatu hari, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan: "Apa yang dimaksud dengan tugas? Amanat yang Tuhan percayakan kepada manusia adalah tugas yang harus dilaksanakan oleh manusia. Apa pun yang Dia percayakan kepadamu, itulah tugas yang harus kaulaksanakan. ... Orang harus menemukan dan menentukan peran dan posisi mereka sendiri—itulah yang dilakukan oleh orang yang bernalar. Kemudian mereka harus melaksanakan tugas mereka dengan baik dengan sikap yang praktis dan realistis untuk membalas kasih Tuhan dan memuaskan-Nya. Jika orang memiliki sikap seperti ini saat melaksanakan tugas mereka, hati mereka akan menjadi tenang dan damai, mereka akan dapat menerima kebenaran dalam tugas mereka, dan mereka secara bertahap akan melaksanakan tugas mereka sesuai dengan tuntutan Tuhan. Mereka akan mampu menyingkirkan watak mereka yang rusak, tunduk pada semua pengaturan Tuhan, dan melaksanakan tugas mereka dengan cukup memadai. Inilah cara untuk mendapatkan perkenanan Tuhan. Jika engkau benar-benar dapat mengorbankan dirimu untuk Tuhan dan melaksanakan tugasmu dengan pola pikir yang benar, pola pikir yang mengasihi dan memuaskan-Nya, engkau akan dipimpin dan dibimbing oleh pekerjaan Roh Kudus, engkau akan bersedia menerapkan kebenaran dan bertindak sesuai prinsip saat melaksanakan tugasmu, dan engkau akan menjadi orang yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Dengan cara ini, engkau akan sepenuhnya hidup dalam keserupaan dengan manusia sejati. Kehidupan manusia secara berangsur bertumbuh saat mereka melaksanakan tugas mereka. Mereka yang tidak melaksanakan tugas tidak dapat memperoleh kebenaran dan hidup, sekalipun mereka telah percaya selama bertahun-tahun, karena mereka tidak memiliki berkat Tuhan. Tuhan hanya memberkati mereka yang sungguh-sungguh mengorbankan diri mereka bagi-Nya dan melaksanakan tugas mereka sebaik mungkin. Tugas apa pun yang kaulaksanakan, apa pun yang kaulakukan, anggaplah itu sebagai tanggung jawab dan tugasmu, terimalah dan lakukanlah dengan baik. Bagaimana engkau melakukannya dengan baik? Dengan melakukannya tepat seperti yang dituntut Tuhan—dengan segenap hatimu, dengan segenap pikiranmu, dan dengan segenap kekuatanmu. Engkau harus merenungkan firman ini dan mempertimbangkan bagaimana engkau dapat melaksanakan tugasmu dengan segenap hatimu" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Dari firman Tuhan, aku menyadari bahwa apa pun amanat yang diberikan kepada manusia, mereka harus memperlakukannya sebagai tanggung jawab dan tugasnya, serta harus melaksanakannya dengan sepenuh hati dan pikirannya. Hanya ketika pola pikir mereka terfokus untuk memenuhi maksud Tuhan dalam tugasnya, barulah mereka dapat memperoleh perkenanan Tuhan. Namun, aku berpikiran bahwa tugas sebagai tuan rumah adalah tugas untuk para saudari, dan karena aku adalah seorang saudara, aku tidak seharusnya melaksanakan tugas ini. Aku merasa bahwa diminta melaksanakan tugas sebagai tuan rumah berarti aku diremehkan dan dipandang rendah. Karena sudut pandang yang salah seperti itu, aku sama sekali tidak memiliki rasa kesungguhan atau tanggung jawab terhadap tugasku, dan saat melayani para saudara, aku selalu hanya membuat mie atau merebus kubis. Aku melihat para saudara tidak menyukainya, tetapi aku tidak terpikir untuk mengganti resep demi memastikan mereka bisa makan dengan baik dan kenyang. Aku tidak bersih-bersih dengan tepat waktu dan tidak menangani makanan yang dikirim gereja tepat waktu, sehingga akhirnya basi. Dari mana aku bisa dibilang melaksanakan tugasku dengan sepenuh hati dan kekuatanku? Jelas aku bersikap lalai dan asal-asalan! Aku tidak menghargai kesempatan yang diberikan gereja kepadaku untuk melaksanakan tugasku, dan aku terus mengeluh, merasa enggan, dan hanya menjalani rutinitas. Hal ini pasti benar-benar membuat Tuhan sedih dan kecewa! Jika aku tidak berubah, pada akhirnya aku akan kehilangan kesempatanku untuk melaksanakan tugas. Setelah menyadari hal ini, aku bertekad bahwa mulai saat itu, aku bersedia menerapkan firman Tuhan dan melaksanakan tugasku sebagai tuan rumah dengan bersungguh-sungguh. Jadi aku mulai belajar memasak, lebih aktif dalam bersih-bersih, dan aku berusaha sebaik mungkin untuk menangani segala sesuatu yang berkaitan dengan tugasku sebagai tuan rumah dengan baik.
Kemudian, aku membaca beberapa firman Tuhan, dan memperoleh pemahaman tentang akar penyebab dari penentanganku yang terus-menerus terhadap tugas sebagai tuan rumah. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Jika engkau diberi tugas untuk dilaksanakan dan awalnya engkau tidak mampu tunduk, sejauh mana engkau mampu tunduk sekarang? Contohnya, engkau adalah seorang saudara, dan jika engkau diminta untuk memasak makanan dan mencuci piring untuk saudara-saudari lainnya setiap hari, akankah engkau tunduk? (Kurasa mungkin.) Mungkin engkau dapat melakukannya dalam jangka pendek, tetapi jika engkau diminta melaksanakan tugas ini dalam jangka panjang, akankah engkau tunduk? (Terkadang aku dapat tunduk, tetapi seiring berjalannya waktu, aku mungkin tidak akan mampu.) Ini berarti engkau belum tunduk. Apa yang menyebabkan orang tidak tunduk? (Itu karena orang memiliki gagasan tradisional di dalam hati mereka. Mereka menganggap pria harus bekerja di luar rumah, dan wanita harus mengurus pekerjaan rumah tangga, bahwa memasak adalah pekerjaan wanita dan pria kehilangan muka jika memasak. Itulah sebabnya tidak mudah untuk tunduk.) Benar. Ada diskriminasi gender dalam hal pembagian kerja. Pria berpikir, 'Kami, para pria, seharusnya berada di luar sana untuk mencari nafkah. Hal-hal seperti memasak dan mencuci sebaiknya dilakukan oleh wanita. Kami tidak seharusnya dipaksa melakukan hal itu.' Namun, sekarang ini adalah keadaan khusus, dan engkau sedang diminta untuk melakukannya, lalu apa yang kaulakukan? Kendala apa yang harus kauselesaikan sebelum engkau dapat tunduk? Inilah inti masalahnya. Engkau harus melupakan diskriminasi gendermu. Tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan oleh pria, dan tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan oleh wanita. Jangan membagi pekerjaan dengan cara seperti ini. Tugas yang dilakukan orang tidak boleh ditentukan berdasarkan jenis kelamin mereka. Engkau dapat membagi pekerjaan dengan cara seperti ini di rumah dan kehidupanmu sehari-hari, tetapi sekarang, ini ada hubungannya dengan tugasmu, jadi bagaimana seharusnya engkau menafsirkannya? Engkau harus menerima bahwa tugas ini adalah dari Tuhan dan menerimanya, serta mengubah pandangan keliru yang ada dalam dirimu. Engkau seharusnya berkata, 'Memang benar bahwa aku adalah seorang pria, tetapi aku adalah anggota gereja dan makhluk ciptaan di mata Tuhan. Aku akan melakukan apa pun yang ditugaskan gereja kepadaku; segala sesuatunya tidak dibagi berdasarkan jenis kelamin.' Pertama, engkau harus melepaskan pandanganmu yang keliru, lalu menerima tugasmu. Apakah menerima tugasmu merupakan ketundukan sejati? (Tidak.) Pada hari-hari selanjutnya, jika seseorang berkata bahwa makananmu terlalu asin, atau rasanya kurang enak, atau berkata bahwa engkau tidak memasak makanan dengan baik dan mereka tidak ingin memakannya, atau menyuruhmu memasak makanan yang baru, mampukah engkau menerimanya? Pada saat itu, engkau akan merasa tidak nyaman, dan engkau akan berpikir, 'Aku adalah seorang pria yang bermartabat, dan aku telah merendahkan diriku untuk memasak makanan bagi semua saudara-saudari ini, tetapi mereka tetap menunjukkan semua masalah ini. Aku sama sekali tidak memiliki harga diri lagi.' Pada saat ini, engkau tidak ingin tunduk, bukan? (Ya.) Ini adalah suatu kesulitan. Setiap kali engkau tidak dapat tunduk, itu disebabkan oleh watak rusak yang tersingkap dengan sendirinya dan menyebabkan masalah, serta membuatmu tidak mampu menerapkan kebenaran dan tunduk kepada Tuhan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya di dalam Menerapkan Kebenaran Terdapat Jalan Masuk Kehidupan"). "Pria memiliki pemikiran chauvinistik seperti ini, dan mereka meremehkan tugas-tugas tertentu seperti mengasuh anak, merapikan rumah, mencuci, dan bersih-bersih. Ada orang-orang yang memiliki kecenderungan chauvinistik yang kuat, meremehkan tugas-tugas ini, dan tidak bersedia melakukannya, atau kalaupun mereka melakukannya, mereka melakukannya dengan enggan, takut orang lain akan memandang rendah mereka. Mereka berpikir, 'Jika aku selalu melakukan tugas rumah tangga ini, bukankah aku akan menjadi banci?' Dikendalikan oleh pemikiran dan sudut pandang apakah hal ini? Bukankah ada masalah dengan pemikiran mereka? (Ya.) Pemikiran mereka bermasalah. Lihatlah wilayah-wilayah tertentu di mana pria selalu mengenakan celemek dan memasak. Ketika sang wanita pulang dari bekerja, sang pria menyajikan makanan untuknya, berkata, 'Ini, makanlah. Ini sangat enak; aku memasak semua makanan kesukaanmu hari ini.' Wanita berhak menyantap makanan yang sudah jadi, dan pria berhak menyiapkannya, tanpa pernah merasa bahwa dirinya seperti ibu rumah tangga. Begitu dia melangkah keluar rumah dan melepaskan celemeknya, bukankah dia tetaplah seorang pria? Di wilayah-wilayah tertentu, di mana paham chauvinisme sangat kuat, tidak dapat disangkal bahwa mereka dirusak oleh pembelajaran dan pembiasaan serta pengaruh yang keluarga tanamkan. Apakah ini menyelamatkan mereka ataukah merugikan mereka? (Merugikan mereka.) Ini sangat merugikan mereka. ... Pemikiran dan sudut pandang yang orang tua mereka tanamkan bersinggungan dengan aturan hidup paling mendasar dan paling sederhana, serta pandangan keliru tertentu tentang orang lain. Ringkasnya, semua ini merupakan pembelajaran dan pembiasaan yang keluarga tanamkan dalam pemikiran orang. Sebesar apa pun pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang selama perjalanan mereka percaya kepada Tuhan dan selama mempertahankan kelangsungan hidup mereka, atau sebanyak apa pun kesulitan dan ketidaknyamanan yang ditimbulkannya, pada hakikatnya, semua itu berkaitan erat dengan didikan ideologis dari orang tua mereka" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (14)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memahami bahwa perasaan tertekan dan penderitaanku dalam melaksanakan tugas sebagai tuan rumah, serta kurangnya ketundukanku sebagian besar disebabkan oleh pandangan keliru: "Laki-laki harus bekerja di luar rumah dan perempuan mengurus urusan rumah." Dahulu, kami bekerja di ladang di kampung halaman, dan setelah bekerja di luar, ibu dan istriku biasanya pulang dan masih harus mencuci pakaian, memasak, dan memberi makan hewan. Mereka begitu sibuk sampai-sampai mereka kewalahan. Aku melihat ini, tetapi tidak pernah membantu. Aku berpikiran bahwa mencuci baju, memasak, dan melakukan semua pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan perempuan, dan laki-laki hanya perlu menghasilkan uang untuk menafkahi keluarga dan melakukan pekerjaan di luar rumah. Aku berpikiran bahwa jika laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mereka akan dianggap tidak berguna dan dipandang rendah. Ketika hidup dengan pandangan seperti ini, aku jarang ikut serta dalam pekerjaan rumah tangga dan tidak memiliki kepedulian ataupun perhatian terhadap keluargaku. Setelah menemukan Tuhan, ketika aku diminta melaksanakan tugas sebagai tuan rumah, aku berpikiran bahwa bersih-bersih, membeli sayuran, dan memasak adalah tugas untuk para saudari, dan para saudara tidak seharusnya diminta melakukan tugas seperti ini. Karena dipengaruhi pola pikir patriarkal ini, aku merasakan penentangan dan tidak bersungguh-sungguh melaksanakan tugasku. Kegiatan seperti pergi ke pasar untuk membeli sayuran, menawar dengan pedagang sayur, dan membeli sayuran murah tetapi berkualitas baik sebenarnya adalah hal yang sangat wajar untuk dilakukan. Namun, aku selalu merasa itu memalukan dan aku takut dipandang rendah. Saat memasak, aku hanya memasak sesuka hatiku, tanpa sedikit pun memikirkan apakah para saudara terbiasa dengan masakannya. Karena aku menentang tugasku sebagai tuan rumah, aku bahkan tidak bersih-bersih ketika diperlukan. Aku benar-benar tidak memiliki kemanusiaan maupun nalar! Pola pikir patriarkal ini telah sepenuhnya membengkokkan pikiranku. Aku memikirkan tentang bagaimana tugas itu berasal dari Tuhan, bahwa tugas tidak dibedakan berdasarkan status, gender, atau usia, dan aku seharusnya menerima bahwa tugas itu adalah dari Tuhan, memperlakukannya sebagai tanggung jawab yang patut dihargai dan dijalani dengan kasih, mengabdikan diriku dengan setia dalam tugasku serta menyenangkan Tuhan. Namun, aku justru hidup sesuai dengan pola pikir "Laki-laki harus bekerja di luar rumah dan perempuan mengurus urusan rumah." Aku hanya memikirkan perasaanku sendiri, dan tidak pernah memikirkan apa sebenarnya tanggung jawab dan tugasku. Aku tidak punya ketundukan sedikit pun. Bukankah aku sebenarnya sedang menentang Tuhan dalam hal ini? Setelah menyadari hal ini, aku merasa sangat menyesal dan bersalah, lalu aku pun datang ke hadirat Tuhan dan berdoa, "Tuhan, aku telah dikendalikan oleh pola pikir 'Laki-laki harus bekerja di luar rumah dan perempuan mengurus urusan rumah,' tanpa sama sekali tunduk dalam melaksanakan tugasku sebagai tuan rumah, dan aku terus-menerus menentang-Mu. Aku sudah sangat tidak masuk akal! Tuhan, aku bersalah, tetapi aku bersedia bertobat kepada-Mu."
Kemudian, aku membaca satu bagian lain dari firman Tuhan, dan aku pun mulai memahami standar Tuhan dalam mengukur manusia. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Tuhan tidak mengatakan apa pun yang spesifik mengenai jenis kelamin manusia, karena baik pria maupun wanita adalah ciptaan Tuhan dan berasal dari Tuhan. Menggunakan ungkapan yang diucapkan oleh manusia, 'Baik telapak tangan maupun punggung tangan terbuat dari daging'—Tuhan tidak memiliki diskriminasi tertentu terhadap pria atau wanita, Dia juga tidak mengajukan tuntutan yang berbeda terhadap salah satu gender atau gender lainnya, keduanya sama. Oleh karena itu, Tuhan menggunakan beberapa standar yang sama untuk menghakimimu entah engkau pria atau wanita—Dia akan melihat seperti apa esensi kemanusiaan yang kaumiliki, jalan apa yang kautempuh, bagaimana sikapmu terhadap kebenaran, apakah engkau mencintai kebenaran atau tidak, apakah engkau memiliki hati yang takut akan Tuhan atau tidak, dan apakah engkau mampu tunduk kepada-Nya atau tidak. Ketika memilih orang dan membina mereka untuk melaksanakan tugas tertentu atau memenuhi tanggung jawab tertentu, Tuhan tidak memandang apakah mereka pria atau wanita. Tuhan mempromosikan dan memakai orang, entah mereka pria atau wanita, dengan melihat apakah mereka berhati nurani dan bernalar atau tidak, apakah mereka memiliki kualitas yang dapat diterima atau tidak, apakah mereka menerima kebenaran atau tidak, dan jalan apa yang mereka tempuh. Tentu saja, ketika menyelamatkan dan menyempurnakan manusia, Tuhan tidak berhenti sejenak untuk mempertimbangkan gender mereka. Jika engkau adalah seorang wanita, Tuhan tidak akan mempertimbangkan apakah engkau berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral atau tidak, atau apakah engkau berkelakuan baik atau tidak, dan Dia tidak menilai pria berdasarkan kejantanan dan kemaskulinan mereka—hal-hal ini bukanlah standar yang berdasarkannya Tuhan menilai pria dan wanita" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (7)"). Dari firman Tuhan, aku melihat bahwa watak Tuhan itu benar, dan Dia tidak memperlakukan manusia secara berbeda berdasarkan gender mereka. Saat Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, Dia tidak mendiskriminasi mereka berdasarkan jenis kelaminnya, dan kasih serta perhatian Tuhan kepada mereka sama besarnya, tanpa pilih kasih. Firman yang Tuhan sampaikan di akhir zaman untuk menyelamatkan manusia ditujukan kepada semua orang, tanpa memandang kebangsaan, ras, atau jenis kelamin. Dalam pengalamanku, aku juga melihat bahwa rumah Tuhan tidak mempertimbangkan jenis kelamin saat mempromosikan dan menggunakan orang, tetapi pertimbangannya dibuat berdasarkan pada apakah orang itu mencintai kebenaran, memiliki hati nurani dan nalar, serta dengan melihat jalan yang ditempuh orang itu. Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa pemimpin dan pekerja harus dilakukan para saudara, dan tugas sebagai tuan rumah harus dilakukan oleh para saudari. Sebagai contoh, aku mengenal seorang saudara yang juga melaksanakan tugas sebagai tuan rumah, dan setiap kali ada waktu, dia fokus membaca firman Tuhan. Saat pertemuan, dia berterus terang dalam persekutuan tentang keadaan serta kesulitannya, dan saat menghadapi kesulitan, dia mencari kebenaran dan fokus pada penerapan sesuai prinsip kebenaran. Saudara ini melaksanakan tugasnya tanpa terkekang oleh jenis kelamin. Kemudian aku menyadari bahwa hidup dengan sudut pandang patriarkal yang absurd ini adalah salah dan ekstrem, serta benar-benar bertentangan dengan firman Tuhan. Setelah memahami kebenaran ini, aku pun dapat mengenali mentalitas patriarkal ini dan bersedia menolaknya dari hatiku. Aku juga menjadi mampu menerima tugas sebagai tuan rumah sepenuhnya.
Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan, dan aku makin memahami cara melaksanakan tugas sebagai tuan rumah ini dengan baik. Tuhan berfirman: "Prinsip yang harus kaupahami dan kebenaran yang harus kauterapkan adalah sama, apa pun tugas yang kaulaksanakan. Apakah engkau diminta untuk menjadi pemimpin atau pekerja, atau apakah engkau memasak hidangan sebagai tuan rumah, atau apakah engkau diminta untuk mengurus beberapa urusan eksternal atau melakukan pekerjaan fisik, prinsip kebenaran yang harus kaupatuhi dalam melaksanakan beragam tugas ini adalah sama, yaitu harus didasarkan pada kebenaran dan firman Tuhan. Lalu apa yang terbesar dan yang utama di antara prinsip-prinsip ini? Yaitu membaktikan segenap hatimu, segenap pikiranmu, dan segenap kekuatanmu untuk melaksanakan tugas dengan baik, serta melaksanakannya sesuai dengan standar yang dituntut. ... Sebagai contoh, jika engkau bertanggung jawab memasak makanan untuk saudara-saudarimu, itu adalah tugasmu. Bagaimana seharusnya engkau memperlakukan tugas ini? (Aku harus mencari prinsip-prinsip kebenaran.) Bagaimana caranya engkau mencari prinsip-prinsip kebenaran? Ini berkaitan dengan kenyataan dan kebenaran. Engkau harus memikirkan bagaimana cara menerapkan kebenaran, bagaimana melaksanakan tugas ini dengan baik, dan aspek kebenaran apa sajakah yang berkaitan dengan tugas tersebut. Langkah pertama adalah engkau harus terlebih dahulu memahami, 'Aku tidak memasak untuk diriku sendiri. Ini adalah tugas yang sedang kulaksanakan.' Aspek yang berkaitan di sini adalah visi. Bagaimana dengan langkah kedua? (Aku harus memikirkan cara memasak makanan dengan baik.) Apa standar memasak dengan baik? (Aku harus mencari tuntutan Tuhan.) Benar. Hanya tuntutan Tuhan yang merupakan kebenaran, standar, dan prinsip. Memasak berdasarkan tuntutan Tuhan adalah salah satu aspek kebenaran. Engkau harus terlebih dahulu memikirkan aspek kebenaran ini, dan kemudian merenungkan, 'Tuhan telah memberiku tugas ini untuk kulaksanakan. Standar apa yang Tuhan tuntut?' Landasan ini harus terlebih dahulu dibangun. Lalu, bagaimana seharusnya engkau memasak agar memenuhi standar Tuhan? Makanan yang kaumasak harus makanan yang sehat, lezat, bersih, dan tidak berbahaya bagi tubuh—inilah perinciannya. Asalkan engkau memasak berdasarkan prinsip ini, makanan yang kaumasak akan dibuat berdasarkan tuntutan Tuhan. Mengapa Kukatakan demikian? Karena engkau mencari prinsip-prinsip tugas ini dan tidak melampaui lingkup yang ditetapkan oleh Tuhan. Ini adalah cara memasak yang benar. Engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik, dan engkau telah melakukannya dengan memuaskan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mencari Prinsip Kebenaran Orang Dapat Melaksanakan Tugasnya dengan Baik"). Dari firman Tuhan, aku melihat bahwa apa pun tugas yang kita laksanakan, kita harus menerapkannya sesuai dengan prinsip kebenaran, dan kita harus mencurahkan hati serta upaya kita untuk melaksanakannya dengan baik sesuai dengan firman Tuhan. Sebagai contoh, dalam melaksanakan tugasku sebagai tuan rumah, jika makanan tidak disiapkan dengan baik, menyebabkan orang lain tidak ingin memakannya atau mengakibatkan efek samping pada kesehatan mereka, maka itu berarti aku belum melaksanakan tugasku dengan baik. Dalam hal makanan, aku harus mengeringkan apa yang perlu dikeringkan, dan menyajikan apa yang harus segera dimakan agar tidak terbuang sia-sia. Selain itu, di Tiongkok, negara yang paling keras menentang Tuhan, kami harus selalu waspada dalam melaksanakan tugas kami sebagai tuan rumah, memperhatikan lingkungan sekitar kami, dan memastikan keselamatan saudara-saudari kami. Setelah memahami hal ini, saat aku kembali pergi ke pasar untuk membeli sayuran, aku memikirkan cara untuk membeli produk berkualitas baik dengan harga terjangkau, dan aku tidak lagi peduli dengan pemikiran orang lain. Aku berprinsip untuk menyiapkan makanan yang lezat, bergizi, dan sehat, dan untuk hidangan yang tidak kuketahui cara membuatnya, aku akan bertanya kepada saudara-saudariku atau belajar dari video tutorial. Setelah beberapa waktu, keadaan masak-memasak dan kebersihan di rumah meningkat pesat. Kemudian, aku bekerja sama dengan seorang saudara untuk memperbaiki peralatan elektronik, dan aku berinisiatif untuk memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Terkadang, saat saudara-saudari datang ke rumah kami, mereka tidak bisa menahan diri untuk memuji kami, dengan mengatakan hal-hal seperti, "Rumah kalian bersih sekali!" dan "Makanan ini terlihat sangat menggugah selera". Setelah mendengar kata-kata ini, aku mengucap syukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku.
Aku mulai memahami bahwa tugas adalah amanat Tuhan kepada umat manusia, serta tanggung jawab dan kewajiban yang harus kita penuhi, tanpa memandang jenis kelamin, dan kita harus menerimanya tanpa syarat serta berusaha sebaik mungkin untuk melaksanakannya. Aku juga mulai memahami bahwa tidak peduli tugas mana pun yang kita laksanakan, yang terpenting adalah kita mencari kebenaran dalam melaksanakan tugas kita dan mengatasi watak rusak kita. Hal yang terpenting adalah berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip kebenaran. Semua perubahan dan pencapaianku ini adalah hasil dari bimbingan firman Tuhan. Syukur kepada Tuhan!