20. Melepaskan Kekhawatiran dan Kecemasanku akan Penyakit
Pada April 2024, sakit kepalaku bertambah parah. Ketika aku bangun di pagi hari, kepalaku mulai terasa bengkak dan sakit, membuatku merasa linglung dan agak pusing. Pada malam hari, lengan dan tanganku sering kali terasa kebas. Leherku juga sakit sekali sampai-sampai aku tidak bisa menoleh. Aku berpikir, "Aku pernah sakit kepala sebelumnya, tetapi biasanya membaik di pagi hari. Kenapa belakangan ini kepalaku terasa berat dan bengkak saat aku bangun tidur?" Aku pergi ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Dokter mengatakan bahwa pasokan darah ke otakku tidak cukup dan tekanan darahku juga tinggi. Ini adalah penyakit umum yang fatal bagi orang lanjut usia. Jika tidak ditangani, penyakit ini bisa mengancam nyawa. Dokter segera memberiku obat cair untuk diminum. Aku meminum obat itu, merasa sedikit gugup dan berpikir, "Apakah benar seserius itu? Bagaimana mungkin? Apakah dokter ini sedang mencoba menakut-nakutiku? Lagi pula, aku percaya kepada Tuhan, dan Dia mengawasi serta melindungiku!" Jadi, aku minum saja obatnya.
Setelah beberapa waktu, sakit kepalaku tidak mereda. Aku mencari beberapa informasi di internet dan menemukan bahwa memburuknya tekanan darah tinggi bisa menyebabkan pendarahan otak serta kurangnya pasokan darah ke otak bahkan bisa menyebabkan strok iskemik. Penyakit ini memiliki angka kematian yang sangat tinggi. Setelah aku membaca itu, hatiku diliputi perasaan gelisah. Aku terus merasa pusing dan linglung. Aku juga selalu mengantuk dan tidak pernah bertenaga. Bahkan kecepatan mengetikku menurun drastis dan reaksiku jadi lebih lambat. Aku teringat bahwa ketika aku berusia delapan tahun, ayahku mengalami pendarahan otak. Ketika jatuh sakit, awalnya dia mengalami sakit kepala, lalu beberapa hari kemudian, dia mulai menunjukkan tanda-tanda demensia dan tangan serta kakinya terasa kebas. Beberapa hari setelah itu, dia menjadi lumpuh sebelah akibat strok. Setelah beberapa bulan pengobatan, akhirnya dia meninggal dunia. Kekhawatiran dan kecemasanku tiba-tiba muncul. Aku pun berpikir, "Apakah aku akan terkena strok seperti ayahku? Kalau aku terkena strok, bukankah riwayatku akan tamat? Bagaimana aku bisa mengejar kebenaran dan melaksanakan tugasku kalau begitu? Jika aku akhirnya lumpuh sebelah seperti ayahku, aku bukan hanya tidak akan mampu melaksanakan tugasku, melainkan aku mungkin juga kehilangan nyawa suatu hari nanti. Setelah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, bukankah aku akan melewatkan kesempatan untuk memperoleh keselamatan? Usiaku hampir 60 tahun dan aku punya kondisi kronis seperti artritis reumatoid, serta masalah pada tulang belakang leher dan pinggang. Aku bertanggung jawab atas pekerjaan penginjilan di sejumlah gereja, tetapi dengan begitu banyak yang harus dikerjakan, kalau aku terus merasa stres, akankah kondisiku memburuk?" Lalu aku teringat akan seseorang yang pernah bekerja bersamaku saat aku masih muda, yang suka meramal nasib. Dia pernah membaca telapak tanganku dan mengatakan bahwa aku akan meninggal karena penyakit di usia 60 tahun. Saat itu aku tidak menganggapnya serius, tetapi karena sekarang aku sudah mendekati usia itu, mungkinkah benar aku hanya akan hidup sampai usia 60? Aku merasa bahwa kalau aku benar-benar meninggal, aku tidak akan bisa menyaksikan keindahan Kerajaan Tuhan. Selama hari-hari itu, pikiran-pikiran ini menggangguku dan membuatku sedih, bahkan aku mengeluh, "Aku sudah melaksanakan tugasku selama bertahun-tahun ini, bahkan ketika aku sakit; mengapa Tuhan belum juga menghilangkan penyakitku?" Makin aku memikirkannya, makin aku menjadi putus asa. Jadi, aku menyesuaikan jadwal tidurku dan berusaha beristirahat sebanyak mungkin. Aku juga berolahraga dan mencari pengobatan tradisional untuk melengkapi pengobatan medis. Tanpa kusadari, aku hanya mencurahkan pikiranku untuk merawat tubuhku dan aku tidak lagi memiliki rasa terbeban dalam melaksanakan tugas. Aku hanya khawatir jika bekerja terlalu keras, aku benar-benar akan meninggal. Karena aku sangat lambat dalam menindaklanjuti pekerjaan, efektivitas pekerjaan penginjilan pun perlahan-lahan menurun, tetapi aku tidak merasa harus segera menyelesaikan masalah, sehingga pekerjaan penginjilan di sejumlah gereja hampir terhenti. Bahkan aku berpikir, "Aku makin tua dan punya begitu banyak penyakit. Mungkin aku harus memberi tahu para pemimpin bahwa aku akan pulang ke rumah untuk melaksanakan tugasku, supaya kalau penyakitku memburuk, aku bisa dirawat keluargaku." Setelah itu, beberapa pekerja penginjilan yang berada di bawah pengawasanku mengalami keadaan yang buruk dan efektivitas pekerjaan penginjilan terus menurun. Aku merasa agak takut. Saat menyadari bahwa keadaanku tidak benar, aku segera datang di hadapan Tuhan dan berdoa, "Tuhan, karena aku telah didiagnosis menderita tekanan darah tinggi dan kekurangan pasokan darah ke otak, aku takut aku akan terkena strok dan menjadi lumpuh, lalu meninggal seperti ayahku. Karena hal ini, aku tidak mau berusaha atau terlalu memikirkan tugasku, menyebabkan efektivitas pekerjaan penginjilan merosot tajam. Tuhan, aku bersedia bertobat dan mencari kebenaran untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasanku akan penyakit. Mohon bimbing aku."
Setelah itu, aku dengan sadar mencari firman Tuhan tentang penyakit untuk kubaca. Aku membaca firman Tuhan: "Lalu, ada juga orang-orang yang kondisi kesehatannya buruk, yang tubuhnya lemah dan kurang bertenaga, yang sering menderita penyakit berat atau ringan, yang bahkan tak mampu melakukan hal-hal dasar yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, yang tak mampu hidup atau berkegiatan seperti layaknya orang yang normal. Orang-orang semacam itu sering merasa tidak nyaman dan kurang sehat saat melaksanakan tugas mereka; ada yang lemah secara fisik, ada yang benar-benar menderita penyakit, dan tentu saja ada yang mengidap penyakit yang diketahui dan berpotensi menderita jenis penyakit tertentu. Karena mereka mengalami kesulitan fisik yang nyata semacam itu, orang-orang seperti itu sering kali tenggelam dalam emosi negatif dan merasa sedih, cemas, dan khawatir. Karena apa mereka merasa sedih, cemas, dan khawatir? Mereka khawatir jika mereka terus melaksanakan tugas mereka seperti ini, mengorbankan diri dan menyibukkan diri bagi Tuhan seperti ini, dan selalu merasa lelah ini, maka akankah kesehatan mereka menjadi makin memburuk? Saat mereka mencapai usia 40 atau 50 tahun, apakah mereka akan terbaring tak berdaya di tempat tidur? Apakah kekhawatiran ini beralasan? Akankah ada orang yang memberikan cara yang spesifik untuk menangani hal ini? Siapa yang akan bertanggung jawab atas hal ini? Siapa yang mau bertanggung jawab? Orang yang kesehatannya buruk dan yang tubuhnya tidak sehat akan merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang hal-hal tersebut" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). "Sekalipun kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian adalah hal yang alami terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak dapat dihindari dalam kehidupan ini, ada orang-orang yang memiliki kondisi fisik tertentu atau menderita penyakit khusus, baik saat mereka sedang melaksanakan tugas mereka atau tidak, mereka tetap terjerumus dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran karena kesulitan dan penyakit dalam tubuh mereka; mereka mengkhawatirkan penyakit mereka, mereka mengkhawatirkan banyaknya kesukaran akibat penyakit mereka, bertanya-tanya apakah penyakit mereka akan menjadi serius atau tidak, apa akibatnya jika penyakit mereka menjadi serius, dan apakah mereka akan mati karena penyakit tersebut. Dalam situasi khusus dan konteks tertentu, serangkaian pertanyaan ini menyebabkan mereka menjadi terperosok ke dalam kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, dan tak mampu melepaskan diri; ada orang-orang yang bahkan hidup dalam keadaan sedih, cemas dan khawatir karena penyakit serius yang sudah mereka ketahui kemungkinannya untuk mereka derita atau penyakit laten yang tak dapat mereka hindari, dan mereka dipengaruhi, dikuasai, dan dikendalikan oleh emosi negatif ini" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). Apa yang disingkapkan oleh Tuhan persis seperti keadaanku. Aku menyadari bahwa aku mengidap banyak penyakit. Dokter juga mengatakan bahwa aku mengidap penyakit yang mengancam nyawa, dan ternyata, obat yang kukonsumsi tidak membantu. Akibatnya, aku selalu hidup dalam keadaan yang penuh kekhawatiran dan kecemasan. Aku mencurahkan seluruh pikiranku untuk merawat tubuhku. Aku tidak lagi memiliki rasa terbeban dalam melaksanakan tugasku. Aku juga tidak mau berupaya atau berkorban. Aku takut bahwa makin keras aku berusaha, makin buruk kondisi tekanan darah tinggiku dan kurangnya pasokan darah ke otakku. Aku juga takut bahwa jika aku terkena strok iskemik, aku tidak akan bisa melaksanakan tugasku. Selama waktu itu, setiap hari lengan dan tanganku terasa kebas. Aku khawatir bahwa jika gejala-gejala ini memburuk, aku akan lumpuh sebelah seperti ayahku dan bahkan akhirnya meninggal dunia. Bahkan jika aku tidak mati dan berasa salam kondisi vegetatif, bagaimana aku bisa melaksanakan tugasku dan mempersiapkan perbuatan baik agar diselamatkan dan masuk ke dalam Kerajaan Surga? Aku juga ingat bahwa ketika aku masih muda, seseorang pernah meramalku dan mengatakan bahwa aku akan mati karena penyakit pada usia 60 tahun. Sekarang, karena aku sudah mendekati usia 60 tahun, aku jadi makin khawatir apakah aku benar-benar akan mati. Aku hidup dalam keadaan penuh kekhawatiran dan kecemasan sehingga aku tidak berfokus pada tugasku. Ketika muncul masalah dalam pekerjaanku, aku tidak merasa harus segera menyelesaikannya dan hal ini menyebabkan efektivitas pekerjaan penginjilan merosot sangat tajam. Aku pun segera datang di hadapan Tuhan untuk mencari kebenaran demi mengatasi kekhawatiran dan kecemasanku.
Aku membaca firman Tuhan: "Ketika engkau sakit, itu bertujuan untuk menyingkapkan semua tuntutanmu yang tidak masuk akal dan imajinasi serta gagasanmu yang tidak realistis tentang Tuhan, dan juga bertujuan untuk menguji imanmu kepada Tuhan dan ketundukanmu kepada-Nya. Jika engkau lulus dalam ujian-ujian ini, berarti engkau memiliki kesaksian yang benar dan itu adalah bukti nyata imanmu kepada Tuhan, kesetiaanmu kepada Tuhan, dan ketundukanmu kepada-Nya. Inilah yang Tuhan inginkan, dan inilah yang harus dimiliki dan dijalani oleh makhluk ciptaan. Bukankah semua ini adalah hal yang positif? (Ya.) Semua ini adalah hal-hal yang harus orang kejar. Selain itu, jika Tuhan mengizinkanmu untuk sakit, bukankah Dia sanggup mengangkat penyakitmu kapan pun dan di mana pun? (Ya.) Tuhan sanggup mengangkat penyakitmu kapan pun dan di mana pun, jadi bukankah Dia juga sanggup menyebabkan penyakitmu terus ada dalam dirimu dan tidak pernah meninggalkanmu? (Ya.) Dan jika Tuhan membiarkan penyakit yang sama tidak pernah meninggalkan dirimu, mampukah engkau tetap melaksanakan tugasmu? Mampukah engkau tetap percaya kepada Tuhan? Bukankah ini adalah ujian? (Ya.) Jika engkau sakit dan beberapa bulan kemudian engkau sembuh, imanmu kepada Tuhan, kesetiaan dan ketundukanmu kepada Tuhan tidak sedang diuji, dan engkau belum memiliki kesaksian. Menderita sakit selama beberapa bulan adalah hal yang mudah, tetapi jika engkau sakit selama dua atau tiga tahun, dan imanmu serta keinginanmu untuk tunduk dan setia kepada Tuhan tidak berubah, melainkan menjadi makin nyata, bukankah ini menunjukkan bahwa engkau telah bertumbuh dalam hidup ini? Bukankah ini adalah hasil yang kautuai ini? (Ya.) Jadi, ketika orang yang benar-benar mengejar kebenaran jatuh sakit, mereka menjalaninya dan secara pribadi mengalami sangat banyak manfaat yang didapatkan dari penyakit mereka. Mereka tidak dengan cemas berusaha melepaskan diri dari penyakit mereka atau mengkhawatirkan akibatnya jika penyakit mereka berkepanjangan, masalah apa yang akan ditimbulkannya, apakah penyakit itu akan menjadi makin parah, atau apakah mereka akan mati—mereka tidak mengkhawatirkan hal-hal semacam ini. Selain tidak mengkhawatirkan hal-hal semacam ini, mereka mampu masuk secara positif, dan mereka mampu benar-benar percaya kepada Tuhan, benar-benar tunduk dan setia kepada-Nya. Dengan menerapkan seperti ini, mereka akhirnya memiliki kesaksian, dan ini juga sangat bermanfaat bagi jalan masuk kehidupan mereka dan perubahan watak mereka, dan ini menjadi landasan yang kuat bagi mereka untuk memperoleh keselamatan. Betapa menakjubkannya hal ini!" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (4)"). "Tuhan ingin menyelamatkanmu dan mentahirkanmu melalui penyakit. Hal apa tentang dirimu yang ingin Tuhan tahirkan? Dia ingin mentahirkanmu dari semua keinginan dan tuntutanmu yang berlebihan terhadap Tuhan, dan bahkan mentahirkanmu dari berbagai perhitungan, penilaian, dan perencanaan yang kaubuat dengan segala cara untuk bertahan hidup dan untuk terus hidup. Tuhan tidak memintamu untuk membuat rencana, Dia tidak memintamu untuk menilai, dan Dia tidak mengizinkanmu memiliki keinginan yang berlebihan terhadap-Nya; Dia hanya memintamu untuk tunduk kepada-Nya dan, dalam penerapanmu dan pengalaman akan ketundukan, untuk engkau mengetahui sikapmu sendiri terhadap penyakit, dan mengetahui sikapmu terhadap kondisi tubuh yang Dia berikan kepadamu, serta keinginan pribadimu. Setelah engkau mengetahui hal-hal ini, engkau akan mampu memahami betapa bermanfaatnya lingkungan penyakit yang telah Tuhan aturkan bagimu atau kondisi tubuh yang telah Dia berikan kepadamu; dan engkau akan mampu menyadari betapa bermanfaatnya pengaturan itu untuk mengubah watakmu, untuk engkau memperoleh keselamatan, dan untuk jalan masuk kehidupanmu. Itulah sebabnya, ketika penyakit tiba-tiba menyerang, engkau jangan selalu bertanya-tanya bagaimana engkau dapat menghindarinya atau melarikan diri darinya atau menolaknya" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). Dari firman Tuhan, aku memahami maksud Tuhan. Tuhan membuatku mengalami sakit, apakah kondisi tersebut membutuhkan waktu lama atau sebentar untuk pulih dan terlepas dari apakah Tuhan menyembuhkanku atau tidak, Tuhan ingin melihat apakah aku memiliki ketundukan sejati dalam penyakitku. Tuhan ingin memeriksa apakah aku memiliki kesetiaan dalam melaksanakan tugasku dan yang lebih penting lagi, untuk menyucikan serta mengubah watakku yang rusak. Namun, ketika aku mendengar dokter berkata bahwa aku mengidap penyakit yang mengancam nyawa, aku langsung jatuh ke dalam keadaan yang penuh kekhawatiran dan kecemasan. Aku takut penyakitku akan bertambah parah atau bahkan menyebabkan kelumpuhan sebagian. Aku pun takut bahwa jika kondisiku memburuk dan aku meninggal dunia, aku tidak akan diselamatkan dan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Aku bukan hanya tidak memiliki iman dan ketundukan kepada Tuhan, melainkan juga menggunakan kepergianku dari rumah untuk melaksanakan tugas sebagai alat tawar-menawar untuk mencoba berunding dengan Tuhan. Aku mengeluh karena Tuhan tidak menghilangkan penyakitku dan bahkan berpikir untuk meninggalkan pekerjaan gereja yang sedang kutangani demi melaksanakan tugasku di rumah. Bagaimana mungkin aku tunduk atau setia kepada Tuhan? Ketika sebelumnya aku hanya mengalami sakit kepala ringan yang berlangsung singkat, aku masih bisa tetap melaksanakan tugasku dan aku merasa bahwa aku sangat setia kepada Tuhan, tetapi ketika aku memeriksakan kondisiku tahun ini dan mengetahui bahwa jika tidak diobati, penyakit itu bisa berakibat fatal, aku tidak mau berkorban dalam melaksanakan tugasku. Aku pun menjadi tidak terburu-buru serta bersikap asal-asalan dalam melaksanakan tugas, yang secara serius menyebabkan keterlambatan dalam pekerjaan penginjilan di sejumlah gereja. Aku menyadari betapa egois dan tercelanya diriku dan betapa aku tidak memiliki ketundukan sejati kepada Tuhan. Penyakit ini benar-benar menyingkapkanku. Jika penyakit ini tidak menimpaku, aku akan menyematkan mahkota kesetiaan dan ketundukan kepada Tuhan di atas kepalaku dengan tak tahu malu. Tuhan sedang memakai penyakit ini untuk menyucikan dan menyelamatkanku. Penyakit ini adalah jamuan berlimpah yang ditetapkan Tuhan untukku! Setelah memahami maksud Tuhan, hatiku terasa jauh lebih tenang. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, apakah kondisi kesehatanku membaik atau memburuk, aku bersedia mengesampingkan kekhawatiran dan kecemasanku, tunduk pada pengaturan dan penataan-Mu, serta segera melaksanakan tugasku dengan sepenuh hati. Semoga Engkau menuntunku untuk terus merenungkan diri dan memetik pelajaran."
Aku kembali merenungkan diriku sendiri. Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa setelah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, saat penyakitku tidak kunjung sembuh, aku merasa kehilangan iman kepada Tuhan dan tidak memiliki motivasi dalam melaksanakan tugas-tugasku. Dalam perenunganku, aku teringat akan firman Tuhan: "Kesetiaanmu hanya dalam perkataan, pengetahuanmu hanyalah pemikiran dan gagasan, kerja kerasmu hanya demi mendapatkan berkat surgawi, jadi, seperti apa sebenarnya imanmu itu? Bahkan sampai hari ini, engkau masih menutup telinga terhadap setiap firman kebenaran" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pada Saat Engkau Melihat Tubuh Rohani Yesus, Tuhan Sudah Menciptakan Kembali Langit dan Bumi"). Firman Tuhan benar-benar tepat sasaran dalam menunjukkan niat tercelaku. Tampaknya aku telah melaksanakan tugas, membayar harga, dan mengorbankan diriku selama bertahun-tahun, tetapi dalam hatiku, ada niat untuk memperoleh berkat. Aku berpikir bahwa karena aku telah tekun dalam melaksanakan tugas meskipun sakit selama bertahun-tahun, sekalipun aku tidak memiliki prestasi, setidaknya aku telah bekerja keras dan mencoba menggunakan segala hal itu sebagai modal untuk tawar-menawar dengan Tuhan demi berkat Kerajaan Surga. Ketika aku melihat bahwa penyakitku bisa menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian, dan harapanku untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga tampaknya akan hancur, naturku yang berkhianat kepada Tuhan pun benar-benar tersingkap. Aku mulai kehilangan rasa memikul beban terhadap tugasku. Pikiranku hanya fokus mencari pengobatan tradisional untuk menyembuhkan penyakitku. Aku tidak mau repot-repot mengatasi penurunan efektivitas pekerjaan penginjilan. Aku hanya takut jika aku bekerja terlalu keras lalu meninggal, aku tidak akan menerima berkat Kerajaan Surga. Aku bahkan mempertimbangkan rencana cadanganku dan berpikir untuk meninggalkan tugas-tugas yang sedang kulaksanakan lalu pulang. Aku menyadari bahwa aku benar-benar tidak memiliki kesetiaan dan melaksanakan tugasku hanya demi mendapatkan berkat. Jika bukan karena aku disingkapkan melalui penyakit ini, aku tidak akan menyadari maksudku yang tercela dalam mencari berkat dalam imanku ataupun tuntutan-tuntutan tak masuk akal yang kubuat kepada Tuhan. Orang sepertiku dipenuhi watak rusak, tetapi masih ingin memasuki kerajaan dan menikmati berkat Tuhan. Sungguh memalukan! Aku merasa berutang dan bersalah. Aku adalah makhluk ciptaan. Melaksanakan tugasku adalah hal yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan. Aku telah menikmati begitu banyak bekal kebenaran dari Tuhan, jadi aku harus melaksanakan tugasku dengan baik dan tanpa syarat untuk membalas kasih Tuhan.
Kemudian, dengan membaca firman Tuhan, aku mulai memahami kematian dengan lebih jelas. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Hal kematian memiliki natur yang sama dengan hal lainnya. Kematian tidak bisa dipilih sendiri oleh manusia, dan terlebih dari itu, kematian tidak dapat diubah oleh kehendak manusia. Kematian sama saja dengan peristiwa penting lainnya dalam hidup: kematian sepenuhnya berada di bawah penentuan dan kedaulatan Sang Pencipta. Jika seseorang mohon agar dirinya mati, dia belum tentu akan mati; jika seseorang mohon agar dirinya hidup, dia belum tentu akan hidup. Semua ini berada di bawah kedaulatan dan penentuan Tuhan, dan diubah serta diputuskan oleh otoritas Tuhan, oleh watak benar Tuhan, dan oleh kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Jadi, seandainya engkau menderita penyakit serius, penyakit serius yang berpotensi fatal, engkau belum tentu akan meninggal—siapa yang memutuskan apakah engkau akan mati atau tidak? (Tuhan.) Tuhanlah yang memutuskan. Dan karena Tuhanlah yang memutuskan dan manusia tidak dapat memutuskan hal semacam itu, apa gunanya manusia merasa cemas dan tertekan mengenainya? Itu seperti siapa orang tuamu, kapan dan di mana engkau dilahirkan—hal-hal ini juga tidak dapat kaupilih. Pilihan paling bijaksana dalam hal ini adalah membiarkan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, tunduk dan tidak memilih, tidak mengerahkan pikiran atau tenagamu untuk hal seperti ini, dan tidak merasa tertekan, cemas, atau khawatir tentangnya. Karena manusia tidak dapat memilih sendiri hal ini, mengerahkan begitu banyak tenaga dan pikiran untuk hal ini adalah bodoh dan tidak bijaksana. Yang harus manusia lakukan ketika menghadapi hal tentang kematian yang sangat penting ini bukanlah menjadi tertekan, gelisah, atau takut, melainkan apa? Manusia harus menunggu, bukan? (Ya.) Benar, bukan? Apakah menunggu berarti menunggu kematian? Menunggu mati saat menghadapi kematian? Benarkah demikian? (Tidak, manusia harus menghadapinya dengan positif dan tunduk.) Benar, menunggu bukan berarti menunggu kematian. Jangan takut menghadapi kematian, dan jangan menggunakan seluruh tenagamu memikirkan tentang kematian. Jangan berpikir sepanjang hari, 'Akankah aku mati? Kapan aku akan mati? Apa yang akan kulakukan setelah aku mati?' Jangan berpikir seperti itu. Ada orang-orang yang berkata, 'Mengapa jangan memikirkan kematian? Mengapa jangan memikirkannya padahal aku sudah hampir mati?' Karena engkau tidak tahu apakah engkau akan mati atau tidak, dan engkau tidak tahu apakah Tuhan akan membiarkanmu mati atau tidak—hal-hal ini tidak kauketahui. Secara spesifik, engkau tidak tahu kapan engkau akan mati, di mana engkau akan mati, jam berapa engkau akan mati atau apa yang akan tubuhmu rasakan pada saat engkau mati. Jika engkau memeras otakmu memikirkan dan merenungkan hal-hal yang tidak engkau ketahui, dan merasa cemas dan khawatir tentang hal-hal itu, bukankah itu menunjukkan betapa bodohnya dirimu? Karena bodoh bagimu melakukan hal itu, engkau tidak perlu memeras otakmu untuk memikirkan hal-hal ini" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (4)"). "Engkau mengikuti Tuhan dan berkata bahwa engkau percaya kepada-Nya, tetapi pada saat yang sama, engkau sedang dikendalikan dan diganggu oleh takhayul. Engkau bahkan mampu mematuhi pemikiran yang ditanamkan dalam diri orang oleh takhayul, dan yang lebih serius lagi, beberapa orang di antaramu takut akan pemikiran dan fakta yang berkaitan dengan takhayul. Ini adalah penghujatan terbesar terhadap Tuhan. Engkau bukan saja tak mampu menjadi kesaksian bagi Tuhan, tetapi engkau juga mengikuti Iblis dalam menentang kedaulatan Tuhan—ini adalah penghujatan terhadap Tuhan" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Penghakiman firman Tuhan membuatku merasa takut. Aku berpikir tentang bagaimana kondisiku memburuk akhir-akhir ini, dan dokter mengatakan bahwa aku mengidap penyakit yang mengancam nyawa. Aku juga teringat ucapan seorang pembaca telapak tangan—bahwa aku akan meninggal karena sakit pada usia 60 tahun. Seketika itu juga, aku hidup dalam keadaan khawatir dan cemas. Aku takut kalau aku benar-benar akan mati, jadi aku mencoba segala macam pengobatan, berharap bisa sembuh secepatnya dari penyakit ini. Sekarang, ketika kuingat kembali, aku menyadari betapa buta dan bodohnya aku! Hidup dan matiku berada di tangan Tuhan. Kapan dan bagaimana aku mati, semuanya merupakan takdir dan kedaulatan Tuhan. Entah aku sakit atau tidak, jika waktuku yang telah ditentukan Tuhan sudah tiba, aku akan mati, sekalipun aku tidak sedang sakit. Namun, jika aku belum sampai pada waktu yang telah ditentukan, sekalipun aku mengidap penyakit serius, aku tidak akan mati. Namun, aku tidak memahami otoritas dan kedaulatan Tuhan. Aku malah terpengaruhi serta terganggu oleh ucapan seorang pembaca telapak tangan, takut bahwa ucapannya akan benar-benar menjadi kenyataan. Di manakah tempat Tuhan di dalam hatiku? Bukankah dengan ini aku menyangkal takdir dan kedaulatan Tuhan? Ini adalah penghujatan terhadap Tuhan! Aku benar-benar kacau, bahkan aku ingin menampar diriku sendiri. Aku teringat akan ayahku, yang telah menghabiskan banyak uang untuk berobat, tetapi tidak berhasil menyembuhkan penyakitnya. Dia meninggal pada usia 40 tahun. Itulah takdirnya. Ketika waktunya yang telah ditentukan tiba, tidak seorang pun bisa mempertahankannya tetap hidup. Sebaliknya, aku juga telah melihat bahwa kakek salah seorang saudari pernah mengidap kanker selama lebih dari 10 tahun. Dokter mengatakan bahwa dia tidak akan hidup lama, tetapi dia hidup selama bertahun-tahun setelah didiagnosis dan tanpa menjalani pengobatan. Bahkan setelah usianya 70 tahun, dia masih rutin pergi ke pasar. Meski aku memiliki beberapa penyakit, apakah kondisiku akan memburuk, apakah itu akan berkembang menjadi strok atau bahkan kelumpuhan dan kematian, semua itu adalah hal-hal yang tak bisa kuprediksi atau kukendalikan. Namun, aku malah terperangkap dalam kekhawatiran dan kecemasan, tidak sepenuh hati dalam melaksanakan tugasku. Bukankah tindakanku ini bodoh? Entah aku hidup atau mati, aku harus tunduk pada takdir dan pengaturan Tuhan. Aku pun tidak seharusnya khawatir atau cemas akan hal-hal yang tidak bisa kuprediksi atau kukendalikan. Karena pikiranku masih berfungsi dengan normal, dan aku masih memiliki tenaga untuk melaksanakan tugas, aku harus segera mengubah keadaanku, menyesuaikan pola pikirku, melaksanakan tugasku dengan sepenuh hati, berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan masalah dalam pekerjaan penginjilan, mengatasi keadaan negatif saudara-saudari, memotivasi mereka untuk memberitakan Injil dan memberi kesaksian bagi Tuhan, serta membawa lebih banyak orang yang merindukan penampakan Tuhan ke dalam rumah-Nya untuk menerima keselamatan dari-Nya. Dengan cara ini, sekalipun aku mati, aku tidak akan menyesal.
Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Apa nilai kehidupan seseorang? Apakah nilai hidup seseorang hanyalah demi menikmati kesenangan daging seperti makan, minum, dan menikmati hiburan? (Tidak, bukan itu.) Lalu apa nilai hidup seseorang? Silakan bagikan pemikiranmu. (Untuk melaksanakan tugas makhluk ciptaan, inilah yang setidaknya harus dicapai seseorang dalam hidupnya.) Benar. ... Di satu sisi, ini adalah tentang melaksanakan tugas makhluk ciptaan dengan baik. Di sisi lain, ini adalah tentang melakukan segala sesuatu sesuai dengan kemampuan dan kapasitasmu dengan sebaik mungkin, setidaknya mencapai titik di mana hati nuranimu tidak menuduhmu, di mana engkau bisa berdamai dengan hati nuranimu sendiri dan terbukti dapat diterima di mata orang lain. Lebih jauh lagi, di sepanjang hidupmu, di keluarga mana pun engkau dilahirkan, dan apa pun latar belakang pendidikanmu atau kualitas dirimu, engkau harus memiliki beberapa pemahaman tentang prinsip-prinsip yang seharusnya orang pahami dalam hidup ini. Sebagai contoh, jalan seperti apa yang harus orang tempuh, bagaimana mereka harus hidup, dan bagaimana menjalani kehidupan yang bermakna—engkau setidaknya harus menelusuri sedikit tentang nilai hidup yang benar. Di satu sisi, hidup ini tidak boleh dijalani dengan sia-sia, dan orang tidak boleh dilahirkan ke dunia ini dengan sia-sia. Di sisi lain, selama masa hidupmu, engkau harus memenuhi misimu; inilah yang terpenting. Kita tidak akan berbicara tentang menyelesaikan misi, tugas, atau tanggung jawab yang sangat besar, tetapi setidaknya, engkau harus menyelesaikan sesuatu. Sebagai contoh, ada orang-orang di gereja yang mengerahkan segenap kemampuan mereka ke dalam pekerjaan memberitakan Injil, mendedikasikan seluruh tenaga mereka, membayar harga yang mahal, dan memenangkan banyak orang. Karena hal ini, mereka merasa hidup mereka tidak dijalani dengan sia-sia, merasa hidup mereka bernilai dan memberi ketenangan. Ketika menghadapi penyakit atau kematian, ketika merangkum seluruh kehidupan mereka dan mengingat kembali segala sesuatu yang pernah mereka lakukan, mengingat jalan yang telah mereka tempuh, mereka menemukan penghiburan di dalam hati mereka. Mereka tidak merasa tertuduh dan tidak menyesali apa pun. ... Nilai hidup manusia dan jalan yang benar untuk ditempuh berkaitan dengan menyelesaikan sesuatu yang bernilai dan menyelesaikan satu atau banyak pekerjaan yang bernilai. Ini bukan disebut karier; ini disebut jalan yang benar, dan ini juga disebut tugas yang benar. Katakan kepada-Ku, apakah layak bagi seseorang untuk membayar harga demi menyelesaikan suatu pekerjaan yang bernilai, menjalani kehidupan yang bermakna dan bernilai, serta mengejar dan memperoleh kebenaran? Jika engkau benar-benar ingin mengejar pemahaman tentang kebenaran, menempuh jalan hidup yang benar, melaksanakan tugasmu dengan baik, dan menjalani kehidupan yang bernilai dan bermakna, maka engkau tidak akan ragu untuk memberikan seluruh tenagamu, membayar semua harga, dan memberikan seluruh waktumu dan hari-harimu. Jika engkau menderita sedikit penyakit selama masa ini, itu tidak masalah, itu tidak akan menghancurkanmu. Bukankah ini jauh lebih baik daripada menjalani hidup yang santai, bebas, dan bermalas-malasan sepanjang hidupmu, memelihara tubuh jasmani hingga menjadi ternutrisi dengan baik dan sehat, dan pada akhirnya memperoleh umur panjang? (Ya.) Manakah di antara kedua pilihan ini yang merupakan kehidupan yang bernilai? Manakah yang dapat memberikan penghiburan dan yang tidak akan membuat orang menyesal saat mereka akhirnya menghadapi kematian? (Menjalani kehidupan yang bermakna.) Menjalani kehidupan yang bermakna. Artinya, di dalam hatimu, engkau akan memperoleh sesuatu dan merasa terhibur" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (6)"). Di bawah bimbingan firman Tuhan, aku memahami bagaimana seseorang dapat menjalani hidup yang bermakna dan berharga, sehingga hatiku sangat bersemangat. Aku adalah orang yang telah dirusak oleh Iblis, tetapi hari ini, aku telah diangkat oleh Tuhan dan dapat melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan, hidup untuk memberitakan Injil dan memberikan kesaksian bagi Sang Pencipta, serta menuntun mereka yang hidup dalam penderitaan dan kegelapan kepada Tuhan untuk menerima keselamatan dari-Nya. Ini adalah hal yang sangat berharga dan berarti! Kita tidak lebih dari debu, tetapi Tuhan memperlakukan kita dengan kasih karunia. Kita menikmati begitu banyak bekal firman Tuhan, memahami begitu banyak kebenaran dan misteri, melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan, dan dapat diselamatkan oleh Tuhan serta selamat dari malapetaka dahsyat. Betapa besar berkat ini! Jika kita melewatkan kesempatan yang sangat langka ini, itu akan menjadi penyesalan yang amat besar. Sekalipun aku merawat tubuhku hingga sehat, jika aku hanya memedulikan tubuhku serta tidak mau mencurahkan upaya atau berkorban dalam tugasku, jika aku belum melaksanakan tugasku dengan baik dan kehilangan fungsi sebagai makhluk ciptaan, bukankah aku akan hidup seperti mayat berjalan? Rasa sakit dalam jiwa adalah sesuatu yang tidak bisa ditebus dengan apa pun. Setelah itu, aku segera mempersekutukan maksud Tuhan kepada para pekerja penginjilan. Ketika aku menemukan masalah dan penyimpangan dalam pekerjaan penginjilan mereka, aku segera mempersekutukan solusinya, lalu pekerjaan penginjilan perlahan mulai membaik. Dua bulan kemudian, hasil pekerjaan penginjilan di gereja-gereja itu meningkat dua kali lipat. Setelah itu, aku berhenti minum obat, tekanan darahku kembali normal, dan kepalaku tidak lagi terasa bengkak atau sakit. Ketika aku tidak terlalu sibuk bekerja, aku beristirahat sedikit lebih banyak. Sesekali, ketika pekerjaanku padat dan aku harus bergadang, keesokan paginya saat aku bangun, kepalaku tidak terasa seberat dan sesakit sebelumnya. Lengan dan tanganku juga tidak lagi mati rasa di malam hari. Aku pun benar-benar bersyukur kepada Tuhan.
Kemudian, aku menerima surat dari para pemimpin tingkat atas, yang memintaku untuk bertanggung jawab dalam menindaklanjuti pekerjaan penginjilan di lebih dari dua belas gereja. Saat membaca surat itu, aku berpikir, "Untuk menindaklanjuti pekerjaan penginjilan di sekian banyak gereja, harga yang harus dibayar akan lebih mahal, begitu juga usaha dan energi pikiran yang dibutuhkan. Jika aku berpikir terlalu keras, apakah penyakitku akan kambuh?" Saat memikirkan hal ini, aku menyadari bahwa ada yang salah dengan keadaanku. Bukankah aku baru saja mengatasi kekhawatiran dan kecemasan akan penyakitku? Mengapa aku merasa khawatir lagi? Jadi, aku berdoa kepada Tuhan, bersedia untuk tunduk. Setelah itu, aku membaca firman Tuhan: "Entah engkau sakit atau merasakan rasa sakit, selama masih ada satu embusan napas yang tersisa, selama engkau masih hidup, selama engkau masih bisa berbicara dan berjalan, maka masih ada tenaga yang dapat kaugunakan untuk melaksanakan tugasmu, dan engkau harus berkelakuan baik dalam pelaksanaan tugasmu dengan bersikap praktis dan realistis. Engkau tidak boleh melepaskan tugasmu sebagai makhluk ciptaan ataupun tanggung jawab yang Sang Pencipta berikan kepadamu. Selama engkau belum mati, engkau harus menyelesaikan tugasmu dan melaksanakannya dengan baik" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan. Selama aku masih hidup, bisa berbicara dan berjalan, aku harus taat dan rendah hati, serta melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan dengan baik. Kalau dipikir-pikir, penyakitku pada saat itu sebenarnya sudah sembuh. Meskipun beban kerjanya sedikit lebih berat, aku masih bisa mengatur jadwalku dengan wajar. Terlepas dari apakah penyakitku akan kambuh di kemudian hari, aku akan membiarkan Tuhan mengatur dan menataku sesuai yang Dia inginkan. Jadi, aku mengirim balasan kepada para pemimpin, mengatakan bahwa aku bersedia menaati pengaturan gereja dan bekerja sama dengan semua orang secara harmonis untuk melaksanakan tugas dengan baik.