68. Aku Tak Akan Lagi Mengeluh tentang Nasibku

Aku terlahir di keluarga biasa, dan tidak seperti anak-anak yang lahir di keluarga kaya, titik awalku dalam hidup lebih rendah dari mereka. Yang lebih malang lagi, orang tuaku bercerai ketika aku masih SD, Ayahku menitipkanku di rumah sebuah keluarga yang tinggal dekat sekolahku, kemudian, aku pindah dan tinggal bersama bibi serta nenekku. Ketika anak-anak seusiaku mengetahui latar belakang keluargaku, mereka menjauhiku, dan aku selalu merasa rendah diri dibandingkan orang lain. Di malam hari, aku sering menangis dan merasa bahwa semuanya tidak adil, bertanya-tanya, "Mengapa nasibku begitu buruk?" Aku menutup diriku dan hampir tidak pernah membuka hati kepada siapa pun. Aku melihat para CEO wanita yang kuat di TV dikelilingi oleh bunga dan kemegahan, dan aku iri pada mereka, berpikir bahwa nasib mereka sungguh baik. Aku teringat bagaimana aku hidup menumpang dan dipandang rendah, jadi aku bertekad dalam hati, "Setelah dewasa nanti, aku akan menjadi orang sukses, sama seperti para wanita di TV itu, dan aku akan membuat mereka yang meremehkanku melihatku dengan cara pandang baru."

Namun, perceraian orang tuaku meninggalkan bayangan gelap di masa kecilku, dan aku sering merasakan sakit dan kesedihan, serta menjadi minder dan penyendiri. Kemudian, aku mengikuti nenekku percaya kepada Tuhan Yesus, dan ketika aku berusia 16 tahun, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Akhirnya aku tahu bahwa sumber penderitaan manusia adalah kerusakan Iblis, dan bahwa pekerjaan Tuhan pada tahap ini adalah untuk menyelamatkan manusia dari dosa dan membawa manusia ke tempat tujuan yang indah. Aku berpikir bahwa kesempatan untuk mendapat keselamatan dari Tuhan di akhir zaman ini begitu langka, dan pekerjaan Tuhan akan segera berakhir, jadi aku meninggalkan studiku dan berlatih untuk melaksanakan tugasku di gereja. Di gereja, aku melihat bahwa setiap kali saudara-saudari punya masalah, mereka akan bertanya kepada para pemimpin, dan para pemimpin kemudian akan mempersekutukan solusinya. Semua saudara-saudari tampak sangat menghargai mereka, dan aku iri pada mereka, berpikir, "Aku harus mengejar dengan baik, agar di masa depan aku bisa menjadi seorang pemimpin atau pekerja, sehingga aku tidak akan hanya menjadi pengikut biasa, tetapi seorang tokoh terkemuka." Setelah itu, tugas apa pun yang gereja berikan kepadaku, aku berusaha sebaik mungkin untuk melaksanakannya, dan saudara-saudari memujiku karena masih muda serta memiliki kualitas yang baik, dan mereka mendorongku untuk mengejar dengan baik. Aku merasa sangat senang dan berpikir, "Sepertinya aku adalah kandidat yang menjanjikan untuk dibina! Aku harus terus mengejar dengan baik!" Jadi, aku secara aktif melaksanakan tugasku. Aku tidak merasa lelah bahkan ketika harus melakukan perjalanan jauh untuk menyirami pendatang baru, dan entah hujan atau panas, aku sama sekali tidak menunda tugasku. Aku hanya berharap usaha dan pengorbananku akan dilihat oleh saudara-saudari, dan suatu hari nanti aku akan dipilih sebagai seorang pemimpin atau pekerja. Namun, setiap kali ada pemilihan di gereja, aku tidak terpilih, dan setelah tiga tahun, aku masih melaksanakan tugas tulis-menulis. Saat itu, aku tidak mengerti, dan aku bertanya-tanya, "Apakah aku hanya ditakdirkan untuk melaksanakan tugas tulis-menulis? Apakah ini benar-benar tempatku di gereja?"

Pada bulan Februari 2019, aku mengawasi pekerjaan tulis-menulis gereja, dan aku merasa sangat senang, berpikir bahwa ini adalah titik balik. Aku berpikir, "Mungkin sekarang Tuhan sedang melatihku lebih awal. Sepertinya aku masih punya masa depan di rumah Tuhan. Untuk menjadi seorang pemimpin, seseorang harus mampu mempersekutukan kebenaran untuk menyelesaikan masalah, jadi aku juga harus berlatih mempersekutukan firman Tuhan untuk menyelesaikan masalah saudara-saudari. Aku baru saja mulai mengawasi pekerjaan tulis-menulis, dan setelah berlatih selama beberapa waktu, mungkin aku bisa menjadi seorang pemimpin." Suatu kali, dalam sebuah pertemuan, aku kebetulan mendengar bahwa seorang petobat baru telah dipilih sebagai pemimpin, dan aku merasa getir, berpikir, "Petobat baru ini, yang baru percaya selama sekitar setahun, mengemban peran yang begitu penting. Aku sudah percaya kepada Tuhan selama beberapa tahun, jadi mengapa kesempatan sebaik ini tidak datang kepadaku? Mengapa aku terjebak di tempat yang sama? Tugas tulis-menulis itu penting, tetapi tidak terlalu menonjol seperti menjadi pemimpin atau pekerja. Ada perbedaan besar di antara keduanya." Aku tidak bisa menahan tangis saat mendorong sepedaku. Setelah itu, aku kehilangan semangat untuk melaksanakan tugasku. Pada tahun 2022, dilakukan penyesuaian terhadap staf bagian teks, tetapi aku terus melaksanakan tugas tulis-menulis. Aku merasa sangat kecewa dan berpikir, "Setelah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, bagaimana bisa aku masih melaksanakan tugas tulis-menulis? Apakah aku hanya cocok untuk tugas tulis-menulis? Mungkinkah aku tidak ditakdirkan menjadi seorang pemimpin? Bukankah firman Tuhan mengatakan bahwa tugas apa pun yang kita emban dan kapan pun kita melaksanakannya, semuanya sesuai dengan ketentuan dan kedaulatan Tuhan? Mungkin aku memang ditakdirkan untuk melaksanakan tugas tulis-menulis." Aku teringat akan seorang saudara yang beberapa tahun lebih tua dariku. Dia menjadi seorang pemimpin di gereja tidak lama setelah percaya kepada Tuhan, dan kemudian, dia menjadi seorang pengkhotbah. Aku merasa bahwa dia dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin, tetapi tidak peduli seberapa keras aku berusaha, aku tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin atau pekerja, bahwa aku tidak punya masa depan untuk berkembang, dan beginilah hidupku nantinya. Setelah ini, setiap kali pengawas memintaku melakukan sesuatu, aku melakukannya, tetapi aku tidak lagi aktif berusaha untuk melakukan yang lebih baik, dan terkadang ketika aku menyadari ada masalah dalam tugasku, aku tidak merasa termotivasi untuk menyelesaikannya. Hasil pekerjaanku makin menurun, dan pengawas memangkasku karena tidak membuat kemajuan dalam tugasku dan karena bersikap pasif. Jauh di lubuk hatiku, aku tahu bahwa aku bersikap pasif dalam tugasku, tetapi aku tidak begitu memahami masalahku.

Kemudian, aku membaca firman Tuhan yang menyingkapkan masalah keputusasaan, dan barulah aku mulai memahami keadaanku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Engkau melihat seseorang yang selalu berputus asa dan pasif saat dia melakukan sesuatu, tak mampu membangkitkan tekadnya, emosi dan sikapnya tidak terlalu positif ataupun optimis, dan selalu memperlihatkan sikap yang negatif, menyalahkan orang lain dan putus asa. Engkau menasihatinya, tetapi dia tak pernah mendengarkan nasihatmu dan, meskipun dia mengakui bahwa cara yang kautunjukkan kepadanya adalah cara yang benar dan alasanmu bagus, dia tak mampu membangkitkan tekadnya dan tetap bersikap negatif dan pasif saat melakukan sesuatu. Dalam kasus yang serius, dari gerakan tubuh, sikap, cara berjalan, nada bicara, dan perkataan yang mereka ucapkan, engkau dapat melihat bahwa emosi orang ini sangat berputus asa, dia tidak bertenaga dalam semua yang dilakukannya dan dia seperti buah yang diperas, dan siapa pun yang bersamanya dalam jangka waktu yang lama akan terpengaruh olehnya. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Karena berbagai perilaku, ekspresi wajah, nada bicara, dan bahkan pemikiran dan sudut pandang yang diungkapkan oleh orang yang hidup dalam perasaan putus asa bersifat negatif. Jadi, apa penyebab di balik fenomena negatif ini? Apa sumber penyebabnya? Tentu saja, sumber penyebab munculnya emosi negatif perasaan putus asa berbeda pada setiap orang. Salah satu jenis emosi perasaan putus asa yang di alami seseorang mungkin timbul karena keyakinan mereka yang terus-menerus akan nasib buruk mereka sendiri. Bukankah ini adalah salah satu penyebabnya? (Ya.) ... Begitu dia mulai percaya kepada Tuhan, dia bertekad untuk melaksanakan tugasnya di rumah Tuhan dengan baik, dia menjadi mampu menanggung kesukaran dan bekerja keras, mampu menanggung lebih daripada siapa pun dalam hal apa pun, dan dia berusaha keras mendapatkan penerimaan dan penghargaan dari sebagian besar orang. Dia bahkan mengira bahwa dia mungkin akan dipilih menjadi pemimpin gereja, penanggung jawab, atau pemimpin tim, dan bukankah itu berarti dia membawa kehormatan bagi leluhur dan keluarganya? Bukankah dengan demikian dia telah mengubah nasibnya? Namun, kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapannya dan dia menjadi sedih, dan berpikir, 'Aku telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun dan aku sangat akrab dengan saudara-saudariku, tetapi mengapa setiap kali tiba waktunya untuk memilih pemimpin, penanggung jawab, atau pemimpin tim, aku tidak pernah mendapat giliran? Apakah karena penampilanku sangat sederhana, atau karena kinerjaku kurang baik, sehingga tak seorang pun melihatku? Setiap kali diadakan pemungutan suara, kupikir mungkin ada secercah harapan bagiku, dan aku bahkan akan merasa senang jika terpilih sebagai pemimpin tim. Aku begitu penuh semangat untuk membalas kasih Tuhan, tetapi akhirnya aku malah kecewa setiap kali diadakan pemungutan suara karena aku selalu tidak terpilih. Mengapa aku selalu tidak terpilih? Mungkinkah karena aku hanya mampu menjadi orang yang biasa-biasa saja, orang pada umumnya, orang yang tidak menonjol seumur hidupku? Jika kuingat kembali masa kecilku, masa mudaku, dan usia paruh bayaku, jalan yang selama ini kutempuh selalu sangat biasa-biasa saja dan aku belum pernah melakukan sesuatu yang penting. Bukan karena aku tidak memiliki ambisi, atau karena kualitasku terlalu rendah, dan bukan karena aku kurang berusaha atau karena aku tak sanggup menanggung kesukaran. Aku memiliki tekad dan tujuan, dan bahkan aku dapat dikatakan memiliki ambisi. Jadi, mengapa aku tak pernah terlihat paling menonjol? Kesimpulannya, aku benar-benar memiliki nasib yang buruk dan aku ditakdirkan untuk menderita, dan beginilah cara Tuhan mengatur segala sesuatu untukku.' Makin memikirkannya, makin dia menganggap dirinya bernasib buruk" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Setelah membaca firman Tuhan, akhirnya aku memahami bahwa meningkatnya sikap pasif dan negatifku dalam tugasku disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap berbagai hal. Menurutku, jika aku tidak bisa menjadi seorang pemimpin atau pekerja dan menonjol, berarti nasibku buruk, dan hanya dengan menjadi pemimpin atau pekerja, barulah aku memiliki masa depan dan nasib yang baik. Agar terpilih sebagai pemimpin atau pekerja, aku bekerja keras untuk memperlengkapi diriku dengan firman Tuhan, dan setiap kali aku menyadari bahwa ada masalah pada keadaan saudara-saudari, aku secara proaktif mencari firman Tuhan untuk mempersekutukan dan membantu. Ketika persekutuanku membuahkan hasil, kupikir aku memiliki kualitas dan dapat menyelesaikan masalah-masalah nyata, dan kupikir suatu hari nanti, jika semua orang melihat kemampuanku, mereka mungkin akan memilihku sebagai pemimpin. Namun, tidak peduli seberapa keras aku berusaha, aku tetap terjebak melaksanakan tugas tulis-menulis. Terutama, ketika aku melihat saudara-saudari yang telah percaya kepada Tuhan lebih singkat dariku, sudah menjadi pemimpin dan pekerja, kupikir mereka bernasib baik dan bahwa dilahirkan untuk menjadi pemimpin dan pekerja. Namun, setelah beberapa tahun melaksanakan tugas tulis-menulis, aku merasa seperti jalan di tempat, tidak menonjol di gereja, dan hanya orang biasa. Jadi aku menyalahkan nasib burukku sebagai penyebab masalah ini, berpikir bahwa Tuhan tidak berkenan padaku dan bahwa tugas yang telah Dia tetapkan dan atur untukku buruk, sehingga aku menjadi makin tidak termotivasi dalam tugasku. Ketika hasil pekerjaanku buruk, aku tidak merenungkan diriku sendiri, dan ketika aku menemukan masalah, aku tidak mau bersusah payah untuk menyelesaikannya. Aku tahu dengan jelas bahwa pengalaman praktisku kurang, dan aku perlu lebih banyak berlatih serta memperlengkapi diriku dengan lebih banyak kebenaran, tetapi aku tidak mau berusaha, dan aku menyerah pada diriku sendiri. Seolah-olah aku terjebak di rawa, perlahan-lahan ditelannya dan tidak berdaya untuk melarikan diri. Dampak dari keputusasaanku sungguh sangat besar!

Kemudian, aku melihat penyingkapan firman Tuhan, dan aku mulai memahami cara pandangku yang keliru. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Tuhan sudah sejak lama menentukan nasib manusia, dan itu tidak dapat diubah. 'Nasib baik' dan 'nasib buruk' ini berbeda pada setiap orang, dan itu tergantung pada lingkungan, pada bagaimana orang merasakannya dan apa yang mereka kejar. Itulah sebabnya nasib orang itu tidak baik dan juga tidak buruk. Engkau mungkin menjalani kehidupan yang sangat sulit, tetapi engkau mungkin berpikir, 'Aku tak ingin menjalani kehidupan yang mewah. Aku sudah bahagia jika memiliki cukup makanan dan cukup pakaian. Semua orang menderita selama hidup mereka. Orang dunia berkata, "Kau tidak dapat melihat pelangi kecuali turun hujan," jadi menderita itu ada manfaatnya. Penderitaanku ini tidak terlalu buruk, dan nasibku juga tidak buruk. Surga di atas telah memberiku sedikit penderitaan, beberapa ujian, dan kesengsaraan. Itu karena Dia sangat menghargaiku. Ini adalah nasib yang baik!' Ada orang-orang yang berpikir bahwa menderita adalah hal yang buruk, bahwa menderita berarti mereka bernasib buruk, dan hanya jika hidup mereka tanpa penderitaan, nyaman dan mudah, barulah itu berarti mereka bernasib baik. Orang-orang tidak percaya menyebut ini 'soal pendapat masing-masing'. Bagaimana orang-orang yang percaya kepada Tuhan memandang masalah 'nasib' ini? Apakah kita membahas tentang memiliki 'nasib yang baik' atau 'nasib yang buruk'? (Tidak.) Kita tidak membahas hal-hal seperti ini. Katakanlah engkau bernasib baik karena engkau percaya kepada Tuhan, maka jika engkau tidak mengikuti jalan yang benar dalam kepercayaanmu, jika engkau dihukum, disingkapkan dan disingkirkan, apakah itu berarti engkau bernasib baik atau bernasib buruk? Jika engkau tidak percaya kepada Tuhan, engkau tidak mungkin disingkapkan atau disingkirkan. Orang tidak percaya dan orang-orang beragama tidak membahas tentang menyingkapkan orang atau mengenali yang sebenarnya tentang orang-orang, dan mereka tidak membahas tentang pemberhentian atau penyingkiran orang. Itu seharusnya berarti bahwa orang bernasib baik jika mereka mampu percaya kepada Tuhan, tetapi jika mereka pada akhirnya dihukum, apakah itu berarti mereka bernasib buruk? Pada suatu saat nasib mereka baik, lalu pada saat berikutnya nasib mereka buruk—jadi yang mana nasib mereka? Apakah seseorang bernasib baik atau buruk, itu bukanlah sesuatu yang dapat dinilai, manusia tidak dapat menilai hal ini. Semua ini dilakukan oleh Tuhan dan semua yang Tuhan atur adalah baik. Hanya saja perjalanan nasib setiap orang, atau lingkungan mereka, serta orang-orang, peristiwa dan hal-hal yang mereka temui, dan jalan hidup yang mereka alami selama hidup mereka semuanya berbeda; hal-hal yang dialami setiap orang berbeda. Lingkungan hidup setiap orang dan lingkungan tempatnya bertumbuh, kedua hal yang diatur bagi mereka oleh Tuhan ini, semuanya berbeda. Hal-hal yang setiap orang alami selama hidupnya semuanya berbeda. Tidak ada yang namanya nasib baik atau nasib buruk—Tuhan-lah yang mengatur semua itu, dan semua itu dilakukan oleh Tuhan. Jika kita memandang hal ini dari sudut pandang bahwa semuanya dilakukan oleh Tuhan, segala sesuatu yang Tuhan lakukan itu baik dan benar; hanya saja dari sudut pandang kesukaan, perasaan, dan pilihan manusia, ada orang-orang yang memilih untuk menjalani kehidupan yang nyaman, memilih ketenaran, keuntungan, dan reputasi yang baik, serta memilih kemakmuran di dunia dan kesuksesan dalam hidup ini. Mereka yakin bahwa inilah yang dimaksud dengan bernasib baik, dan yang dimaksud bernasib buruk adalah jika orang seumur hidupnya biasa-biasa saja dan tidak berhasil, selalu hidup sebagai masyarakat kelas bawah. Seperti inilah yang dilihat dari sudut pandang orang tidak percaya dan orang-orang dunia yang mengejar hal-hal duniawi dan mengejar kehidupan di dunia ini, dan dari sinilah muncul gagasan tentang nasib yang baik dan nasib yang buruk. Gagasan tentang nasib baik dan nasib buruk hanya muncul dari pemahaman manusia yang sempit dan persepsi mereka yang dangkal tentang nasib, dan dari penilaian orang tentang seberapa banyak penderitaan jasmani yang mereka alami, seberapa banyak kenikmatan yang mereka miliki, dan seberapa banyak ketenaran dan keuntungan yang mereka peroleh, dan seterusnya. Sebenarnya, jika kita melihatnya dari sudut pandang pengaturan dan kedaulatan Tuhan atas nasib manusia, tidak ada penafsiran tentang nasib baik atau nasib buruk. Bukankah ini akurat? (Ya.) Jika engkau memandang nasib manusia dari sudut pandang kedaulatan Tuhan, maka semua yang Tuhan lakukan adalah baik, dan itu adalah yang dibutuhkan oleh masing-masing orang. Ini karena sebab dan akibat berperan dalam kehidupan di masa lalu dan di masa sekarang, semua itu ditentukan sejak semula oleh Tuhan, Tuhan berdaulat atas semua itu, dan Tuhan merencanakan serta mengatur semua itu—manusia tidak punya pilihan. Jika kita melihatnya dari sudut pandang ini, manusia tidak seharusnya menilai nasib mereka sendiri itu baik atau buruk, bukan? Jika orang dengan seenaknya menilai hal ini, bukankah mereka sedang melakukan kesalahan besar? Bukankah mereka melakukan kesalahan dengan menilai rencana, pengaturan dan kedaulatan Tuhan? (Ya.) Dan, bukankah kesalahan itu adalah kesalahan yang serius? Bukankah itu akan memengaruhi jalan hidup mereka? (Ya.) Kesalahan itu akan menuntun mereka pada kehancuran" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Tuhan menyingkapkan bahwa sebagian orang berpikir bisa menonjol dan mencapai ketenaran serta keuntungan berarti mereka bernasib baik, dan menjalani hidup yang biasa-biasa saja seumur hidup serta tidak berhasil berarti bernasib buruk, dan bahwa menderita berarti seseorang bernasib buruk. Mereka berpikir bahwa menjalani hidup yang nyaman, lancar, dan damai berarti bernasib baik. Semua ide tentang nasib baik atau buruk ini didasarkan pada pengejaran dan keinginan subjektif manusia. Karena jalan hidup setiap orang sesuai dengan kedaulatan dan pengaturan Tuhan, Tuhan mengatur segala sesuatu berdasarkan kebutuhan manusia, dan semuanya bermanfaat bagi kehidupan mereka, dan tidak ada yang namanya nasib baik atau buruk. Mengatakan bahwa nasibmu buruk berdasarkan preferensi pribadi berarti tidak tunduk pada situasi yang telah Tuhan atur dan tidak percaya pada kedaulatan-Nya. Sebenarnya, semua yang Tuhan atur itu baik. Sama seperti ketika aku mengalami kemalangan keluarga dan diabaikan serta dipandang rendah di masa mudaku, jika aku tidak melalui kemunduran dan penderitaan ini, aku mungkin tidak akan datang ke hadapan Tuhan. Aku dapat berkesempatan untuk membaca firman Tuhan dan berlatih dalam tugasku, semuanya adalah kasih dan keselamatan dari Tuhan. Namun, aku berpikir bahwa menjadi orang terkenal, menonjol, dan dihormati orang lain berarti bernasib baik, dan menjalani hidup yang tidak spesial, biasa-biasa saja, dan dipandang rendah berarti bernasib buruk. Ini adalah cara pandang pengikut yang bukan orang percaya. Setelah percaya kepada Tuhan, ketika aku melihat para pemimpin dan pekerja dihormati dan dikagumi oleh saudara-saudari karena kemampuan mereka menyelesaikan masalah, kupikir aku hanya akan memiliki masa depan untuk berkembang jika aku menjadi pemimpin atau pekerja, dan bahwa nasib mereka lebih baik daripada saudara-saudari biasa. Karena aku masih hanya melaksanakan tugas tulis-menulis setelah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun ini, aku merasa tidak dihargai, aku tidak punya masa depan untuk berkembang, dan aku kehilangan motivasi untuk melaksanakan tugasku. Namun, jika dipikir-pikir, apakah dipromosikan menjadi pemimpin atau pekerja benar-benar menunjukkan nasib baik? Kenyataannya, jika seseorang tidak mengejar kebenaran dan watak rusaknya tidak dapat disucikan atau diubah, bahkan jika dia dikagumi dan dipuja manusia, dia tidak dapat diselamatkan atau disempurnakan. Sama seperti beberapa pemimpin dan pekerja yang tidak mengejar kebenaran, dan yang menggunakan pengalaman kerja mereka selama bertahun-tahun sebagai modal untuk terus-menerus mengekang orang lain, bekerja sesuka hati mereka, menghalangi dan mengganggu pekerjaan gereja, dan akhirnya, mereka disingkapkan dan diberhentikan. Di sisi lain, ada orang-orang yang tidak pernah menjadi pemimpin, tetapi mereka melaksanakan tugas sesuai dengan tempat mereka. Mereka fokus mengejar kebenaran dan merenungkan niat, cara pandang, dan watak rusak mereka, dan mereka tetap menerima pencerahan serta bimbingan Tuhan, mendapatkan hasil dalam tugas mereka, dan bertumbuh dalam kehidupan mereka. Tidak peduli tugas apa yang kita laksanakan, kuncinya adalah mengejar kebenaran. Tidak ada yang namanya nasib baik atau buruk. Setelah menyadari hal ini, hatiku terasa sedikit lebih terang. Aku menyadari bahwa aku terlalu fokus pada ketenaran, keuntungan, dan status, tidak mau melaksanakan tugasku secara membumi sebagai makhluk ciptaan, dan selalu ingin menggunakan kesempatanku untuk melaksanakan tugas sebagai sarana untuk mengejar ketenaran. Namun, jika keinginanku terpenuhi, keinginanku akan ketenaran, keuntungan, dan status hanya akan makin menguat, dan aku akan menjadi lebih congkak dan sombong serta berpikir bahwa aku lebih baik dari siapa pun. Ini kemungkinan besar bukanlah hal yang baik bagiku. Aku benar-benar menyadari bahwa semua yang Tuhan atur itu baik, dan di balik semua itu ada niat Tuhan yang tekun.

Setelah itu, aku berpikir lagi, "Sikap apa yang seharusnya kumiliki terhadap situasi yang telah Tuhan kendalikan dan atur?" Aku membaca satu bagian firman Tuhan: "Mengenai bagaimana perasaan orang tentang nasib, mereka boleh memiliki perasaan baik dan perasaan buruk, boleh ada nasib yang berjalan lancar, nasib yang penuh rintangan, nasib yang sulit, dan nasib yang tidak bahagia—tidak ada nasib baik atau nasib buruk. Bagaimana seharusnya sikap orang terhadap nasib? Engkau harus mematuhi pengaturan Sang Pencipta, secara aktif dan sungguh-sungguh mencari tujuan dan maksud Sang Pencipta dalam pengaturan-Nya atas semua hal ini dan memperoleh pemahaman akan kebenaran, menjalankan fungsimu semaksimal mungkin dalam kehidupan yang telah Tuhan atur bagimu, melaksanakan tugas, tanggung jawab, dan kewajiban sebagai makhluk ciptaan, dan menjadikan hidupmu lebih bermakna dan lebih bernilai, sampai akhirnya Sang Pencipta berkenan akan engkau dan mengingatmu. Tentu saja, yang jauh lebih baik adalah engkau akan memperoleh keselamatan melalui pencarian dan upayamu yang sungguh-sungguh—ini tentunya adalah hasil yang terbaik. Bagaimanapun juga, dalam hal nasib, sikap paling tepat yang harus manusia ciptaan miliki bukanlah sikap yang menghakimi dan mendefinisikan secara sembarangan, atau menggunakan cara-cara ekstrem untuk menanganinya. Tentu saja, terlebih dari itu, orang tidak boleh berusaha menentang, memilih, atau mengubah nasibnya, melainkan mereka harus menggunakan hati mereka untuk menghargainya, serta mencari, mengeksplorasi dan mematuhinya, sebelum menghadapinya secara positif. Akhirnya, di lingkungan dan perjalanan hidup yang Tuhan tetapkan bagimu dalam kehidupan ini, engkau harus mencari cara berperilaku yang Tuhan ajarkan kepadamu, mencari jalan yang Tuhan tuntut untuk kautempuh, dan mengalami nasib yang telah Tuhan atur bagimu dengan cara ini, dan pada akhirnya, engkau akan diberkati. Saat engkau mengalami nasib yang telah Sang Pencipta atur bagimu dengan cara ini, yang akan kauhargai bukan saja duka, kesedihan, air mata, rasa sakit, perasaan frustasi, dan kegagalan, tetapi, yang lebih penting dari itu, engkau akan mengalami sukacita, kedamaian, dan penghiburan, serta pencerahan dan penerangan kebenaran yang Sang Pencipta karuniakan kepadamu. Selain itu, saat engkau tersesat dalam perjalanan hidupmu, saat engkau dihadapkan dengan perasaan frustasi dan kegagalan, dan saat engkau harus membuat pilihan, engkau akan mengalami bimbingan Sang Pencipta, dan pada akhirnya, engkau akan memperoleh pemahaman, pengalaman dan penghargaan tentang bagaimana menjalani kehidupan yang paling bermakna. Dengan demikian, engkau tidak akan pernah lagi tersesat, engkau tidak akan pernah lagi selalu berada dalam keadaan cemas, dan tentu saja, engkau tidak akan pernah lagi mengeluh bahwa engkau bernasib buruk, dan terlebih lagi, engkau tidak akan tenggelam dalam emosi perasaan putus asa karena merasa nasibmu buruk. Jika engkau memiliki sikap seperti ini dan engkau menggunakan cara ini untuk menghadapi nasib yang telah Tuhan atur bagimu, maka bukan hanya kemanusiaanmu akan makin normal, engkau akan memiliki kemanusiaan yang normal, dan engkau akan memiliki pemikiran, sudut pandang, dan prinsip dalam memandang segala sesuatu yang yang merupakan bagian dari kemanusiaan yang normal, bahkan lebih dari itu, engkau tentu saja akan memiliki pandangan dan pemahaman tentang makna hidup yang tidak pernah dimiliki oleh orang-orang tidak percaya" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memahami bahwa tidak peduli apakah seseorang merasa nasibnya baik atau buruk, dia harus tunduk pada penataan dan pengaturan Tuhan, mencari apa maksud Tuhan dalam suatu situasi, dan melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya dengan baik. Inilah yang selaras dengan maksud Tuhan. Jadi aku merenung dalam hati, "Aku selalu melaksanakan tugas tulis-menulis; apa maksud Tuhan dalam hal ini?" Aku memikirkan bagaimana ketika terjadi sesuatu, aku tidak tahu bagaimana mencari kebenaran dan jarang berusaha merenungkan firman Tuhan. Dengan melaksanakan tugas tulis-menulis, aku dapat menebus kekurangan-kekurangan ini, memungkinkanku untuk belajar merenungkan firman Tuhan dengan tekun dan merenungkan watak rusakku. Ini bermanfaat bagi jalan masuk kehidupanku. Pada saat yang sama, situasi ini menyingkapkan bahwa aku terlalu menghargai status, dan ketika keinginanku akan status tidak terpenuhi, aku ingin menyerah. Aku menyadari bahwa apa yang kukejar dalam imanku adalah status, bukan kebenaran. Setelah mengalami kemunduran berulang kali, aku mulai menyadari bahwa mengejar status adalah jalan yang salah, dan aku menjadi mampu melepaskan ambisiku untuk menjadi seorang pemimpin dan melaksanakan tugasku dengan sungguh-sungguh dan benar. Aku juga merenungkan mengapa aku tidak terpilih sebagai seorang pemimpin. Terutama karena aku tidak memiliki rasa tanggung jawab dalam tugasku, dan karena kemampuan kerjaku tidak memadai, aku tidak memiliki kualitas atau memenuhi kriteria untuk menjadi seorang pemimpin. Ini tidak ada hubungannya dengan baik buruknya nasibku. Menyadari hal ini, aku menjadi mampu memperlakukan kekurangan dan ketidakmampuanku dengan benar, tunduk pada situasi yang Tuhan atur, dan bertindak dengan benar sesuai dengan prinsip dalam tugasku saat ini. Kemudian, saudara-saudari memilihku menjadi diaken penyiraman. Baru beberapa minggu setelah aku berlatih, karena kekurangan personel pekerjaan tulis-menulis, para pemimpin mengalihkanku untuk melaksanakan tugas tulis-menulis. Kali ini, aku tidak mengeluh atau merasa putus asa. Sebaliknya, aku berpikir tentang bagaimana gereja telah membinaku untuk melaksanakan tugas tulis-menulis selama bertahun-tahun, dan aku memiliki beberapa kelebihan di bidang ini. Dibandingkan menjadi seorang diaken, tugas tulis-menulis lebih cocok untukku, dan aku tunduk pada hal ini dari lubuk hatiku, berpikir, "Dahulu, aku meninggalkan penyesalan saat melaksanakan tugas tulis-menulis, tetapi kali ini, aku harus melaksanakannya dengan sepenuh hati." Setelah beberapa waktu, tugasku membuahkan beberapa hasil, dan aku merasa sangat tenteram.

Setelah melalui seluruh pengalaman ini, aku mulai menyadari bahwa situasi yang Tuhan atur sebagai bagian dari kedaulatan-Nya selalu baik dan persis seperti yang dibutuhkan hidupku. Fakta bahwa aku berhasil memperoleh pemahaman ini dan mengubah situasi adalah hasil dari firman Tuhan. Syukur kepada Tuhan!

Sebelumnya:  66. Aku Lepas dari Belenggu Perasaan Iri

Selanjutnya:  69. Akibat dari Menjaga Reputasi dan Status

Konten Terkait

83. Mengalahkan Pencobaan Iblis

Oleh Saudari Chen Lu, TiongkokIni terjadi pada bulan Desember 2012, saat aku berada di luar kota untuk menyebarkan Injil. Suatu pagi, saat...

54. Peperangan Rohani

Oleh Saudara Yang Zhi, AmerikaTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Sejak manusia percaya kepada Tuhan, mereka telah menyimpan banyak niat yang...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger