15. Pergumulan dan Pilihanku antara Pernikahan dan Tugas

Sejak kecil, aku selalu menyukai gagasan tentang keluarga yang harmonis dan utuh, tetapi ketika aku masih SD, ayahku tiba-tiba meninggal dunia karena sakit, sehingga memiliki keluarga yang utuh menjadi impianku. Saat itu, ibu dan nenekku telah menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa di akhir zaman, dan aku melihat mereka membaca firman Tuhan, berkumpul, dan melaksanakan tugas mereka, dan perlahan-lahan mereka mengatasi rasa sakit karena kehilangan orang yang dicintai. Aku tahu ini semua adalah tuntunan Tuhan, dan kupikir, aku juga akan percaya kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh ketika aku dewasa, dan aku berharap calon pasanganku di masa depan akan percaya kepada Tuhan bersamaku. Aku merasa bahwa memiliki keluarga yang harmonis dan saling setia akan memuaskanku.

Di SMA, aku bertemu dengan seorang laki-laki. Dia tampak sangat tulus, dewasa, dan tenang. Kepribadian kami juga sangat cocok, dan yang terpenting, dia percaya bahwa Tuhan itu ada, dan dia juga memperlakukanku dengan cukup baik, jadi kami mulai berpacaran. Dia tahu kesehatanku kurang baik dan aku sangat sensitif terhadap suhu dingin, jadi setiap hari, dia menyiapkan air panas untukku, dan dia sering menganjurkanku untuk lebih banyak berolahraga. Suatu kali, salju turun dengan lebat, dan kami pergi keluar bersama, tetapi ketika kami kembali, aku sadar sarung tanganku hilang. Saat itu hari sudah sangat gelap, tetapi ketika dia tahu, dia segera berlari keluar tanpa berkata apa-apa, dan beberapa saat kemudian, dia kembali dengan sarung tanganku yang hilang. Aku sangat tersentuh dan merasa dialah orang yang tepat untukku. Meskipun dia tidak percaya kepada Tuhan, dia percaya bahwa Tuhan itu ada dan dia tidak menentang kepercayaanku. Aku berpikir jika kami menikah di masa depan, aku bisa percaya kepada Tuhan sambil menjalani kehidupan keluargaku sendiri. Aku benar-benar bisa meraih dua hal baik sekaligus!

Pada musim gugur 2013, setelah aku mulai kuliah, aku mulai menghadiri pertemuan secara teratur. Dengan menghadiri pertemuan dan membaca firman Tuhan, aku mulai memahami beberapa kebenaran, dan aku mendapatkan kemampuan untuk membedakan beberapa hal. Aku melihat bahwa di kampus, ada tren buruk yang merajalela, seperti menyontek saat ujian, dan tidak ada keadilan atau kewajaran dalam sistem apa pun. Yang dibicarakan para mahasiswa hanyalah tentang makan, minum, dan bersenang-senang, mereka menjalani kehidupan yang penuh kesenangan berlebihan dan kebobrokan. Namun di gereja, saudara-saudari tidak membicarakan rumah apa yang mereka beli atau mobil apa yang mereka kendarai, juga tidak saling bersaing. Ketika kami berkumpul, kami biasanya membaca firman Tuhan dan mempersekutukan kebenaran, dan kami berbicara tentang watak rusak yang kami perlihatkan, dan bagaimana kami memahami dan mengatasinya, serta hal-hal seperti bagaimana membedakan tren jahat dunia, dan bagaimana memberitakan Injil dan melaksanakan tugas kami. Ketika ada kesulitan, semua orang saling mendukung, dan tidak ada yang akan meremehkan orang lain. Aku tidak merasakan penghalang ketika bersama saudara-saudari, dan rasanya rumah Tuhan adalah tempat yang suci. Aku juga mengerti bahwa setelah dirusak oleh Iblis, orang-orang hidup dalam penderitaan besar, dan hanya dengan datang ke hadapan Tuhan, memahami kebenaran, dan menerima pemeliharaan serta perlindungan-Nya, seseorang dapat lepas dari penderitaan dan memiliki kedamaian serta ketenangan sejati. Kemudian, aku melakukan yang terbaik untuk melaksanakan tugasku. Di sekolah, aku akan secara aktif mendukung teman sekelas yang tidak menghadiri pertemuan secara teratur, memberikan persekutuan dan bantuan sebaik kemampuanku. Saat melihat saudari-saudari memahami maksud Tuhan dan dapat berkumpul secara teratur, aku merasa sangat senang dan berpikir bahwa ini adalah hal yang bermakna.

Aku berpikir tentang bagaimana pacarku belum datang ke hadapan Tuhan, jadi aku ingin segera membagikan Injil kepadanya agar dia juga dapat menerima keselamatan Tuhan di akhir zaman. Jika dia juga percaya kepada Tuhan, kami bisa mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugas kami bersama setelah lulus. Memiliki tujuan dan pengejaran yang sama pasti akan membuat kami sangat bahagia. Namun, setiap kali aku berbicara dengannya tentang percaya kepada Tuhan, dia selalu hanya tersenyum tipis padaku, dan terkadang hanya berkata singkat, "Ya, tentu." Saat melihat sikapnya yang acuh tak acuh terhadap kepercayaan kepada Tuhan, aku merasa sedikit kecewa, tetapi karena dia tidak menentang imanku, aku tidak terlalu memikirkannya.

Saat itu, setiap kali aku kembali dari pertemuan, aku merasa sangat puas, sedangkan setiap kali aku pergi keluar dengan pacarku untuk makan, minum, dan bersenang-senang, meskipun dari luar kelihatannya aku bahagia, setelah memuaskan daging, hatiku akan terasa sangat hampa dan kosong. Kemudian, aku bertanya-tanya, "Apa artinya menjalani kehidupan seperti itu?" Suatu hari selama saat teduhku, aku membaca firman Tuhan: "Kalimat 'Anak Manusia adalah Tuhan bahkan atas hari Sabat' menyampaikan kepada orang-orang bahwa segala sesuatu tentang Tuhan tidak bersifat materi, dan meskipun Tuhan dapat menyediakan semua kebutuhan materielmu, setelah semua kebutuhan materielmu terpenuhi, dapatkah kepuasan dari hal-hal ini menggantikan pengejaranmu akan kebenaran? Sudah jelas tidak mungkin! Watak Tuhan, apa yang Dia miliki dan siapa diri-Nya, yang sudah kita persekutukan, semuanya adalah kebenaran. Nilainya tidak bisa diukur dengan menggunakan objek materiel apa pun, seberharga apa pun objek materiel tersebut, dan nilainya juga tidak bisa ditakar dengan nilai uang, karena kebenaran bukanlah objek materiel, dan kebenaran membekali kebutuhan hati setiap orang. Bagi setiap orang, nilai kebenaran yang tak kasatmata ini seharusnya lebih besar dari nilai benda materiel apa pun, bukankah demikian? Pernyataan ini adalah sesuatu yang perlu engkau semua renungkan baik-baik. Poin penting dari apa yang telah Kukatakan adalah bahwa apa yang Tuhan miliki dan siapa diri-Nya, dan segala sesuatu tentang Tuhan adalah hal terpenting bagi setiap orang dan tidak bisa digantikan oleh objek materiel apa pun. Aku akan memberimu sebuah contoh: ketika engkau lapar, engkau membutuhkan makanan. Makanan ini bisa secara relatif baik atau secara relatif kurang memuaskan, tetapi asalkan engkau merasa kenyang, perasaan tidak enak karena lapar tidak akan terasa lagi—perasaan itu akan lenyap. Engkau bisa duduk dengan perasaan damai, dan tubuhmu akan terasa tenang. Rasa lapar manusia bisa dipuaskan oleh makanan, tetapi ketika engkau mengikuti Tuhan dan merasa bahwa engkau tidak memiliki pemahaman akan Dia, bagaimanakah engkau mengisi kekosongan di dalam hatimu? Bisakah itu dipuaskan oleh makanan? Atau ketika engkau mengikuti Tuhan dan tidak memahami maksud-Nya, apakah yang bisa engkau gunakan untuk memuaskan kelaparan di hatimu? Dalam proses engkau mengalami keselamatan melalui Tuhan, sementara mengejar perubahan dalam watakmu, jika engkau tidak memahami maksud-Nya atau tidak mengetahui apa arti kebenaran, jika engkau tidak memahami watak Tuhan, bukankah engkau akan merasa tidak tenang? Tidakkah engkau akan merasakan kelaparan dan kehausan yang amat sangat di dalam hatimu? Tidakkah perasaan-perasaan ini akan menghalangi perasaan tenang di dalam hatimu? Jadi bagaimanakah engkau dapat memuaskan kelaparan di hatimu—adakah cara untuk menyelesaikan masalah ini? Sebagian orang pergi berbelanja, sebagian lagi mencari teman untuk mencurahkan isi hati, beberapa orang menikmati tidur yang panjang, ada juga yang membaca lebih banyak firman Tuhan, atau bekerja lebih keras dan mengerahkan upaya lebih besar untuk melaksanakan tugas mereka. Dapatkah hal-hal tersebut menyelesaikan kesulitanmu yang sebenarnya? Engkau semua sepenuhnya memahami tindakan-tindakan semacam ini. Ketika engkau merasa tidak berdaya, ketika engkau merasakan hasrat yang kuat untuk mendapatkan pencerahan dari Tuhan yang memampukanmu untuk mengenal kenyataan kebenaran dan maksud-Nya, apakah yang paling engkau butuhkan? Yang engkau butuhkan bukan makanan lengkap, dan bukan beberapa perkataan yang ramah, apalagi penghiburan dan kepuasan daging—yang engkau butuhkan adalah agar Tuhan secara langsung dan jelas memberitahukan kepadamu apa yang harus engkau lakukan dan bagaimana engkau harus melakukannya, memberitahukan kepadamu dengan jelas apa arti kebenaran. Setelah engkau memahami ini, sekalipun engkau hanya memperoleh sedikit pemahaman, tidakkah engkau akan merasa hatimu lebih dipuaskan dibandingkan jika engkau makan santapan yang lezat? Ketika hatimu dipuaskan, bukankah hatimu dan keseluruhan dirimu mendapatkan ketenangan yang sesungguhnya? Melalui analogi dan analisis ini, apakah engkau semua sekarang paham mengapa Aku ingin membagikan kepadamu kalimat ini, 'Anak Manusia adalah Tuhan bahkan atas hari Sabat'? Arti kalimat itu adalah bahwa apa yang berasal dari Tuhan, apa yang Dia miliki dan siapa diri-Nya, dan segala sesuatu tentang Dia, adalah lebih besar dibandingkan apa pun, termasuk hal atau orang yang sebelumnya kau anggap sebagai yang paling kau hargai. Dengan kata lain, jika orang tidak memiliki firman dari mulut Tuhan atau mereka tidak memahami maksud-Nya, mereka tidak akan dapat memperoleh ketenangan" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri III"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa sebenarnya yang benar-benar kita butuhkan adalah penghiburan dan kepuasan di dalam hati kita. Ketika kita menghadapi kesulitan dan kebingungan, kita dapat menerima pencerahan dan bimbingan dari firman Tuhan, memahami kebenaran, dan mendapatkan jalan penerapan, serta merasakan kedamaian dan kepuasan di dalam hati kita. Ini bukanlah sesuatu yang bisa didatangkan oleh kenikmatan materi. Sama seperti ketika aku berbuat licik dan menipu demi keuntungan pribadi, firman Tuhan menegurku di dalam hatiku, dan membuatku sadar bahwa aku tidak bisa hidup dengan watak rusak seperti yang dilakukan orang tidak percaya. Ketika aku menerapkan sesuai dengan firman Tuhan dan berperilaku sebagai orang yang jujur, aku mendapatkan kedamaian dan ketenangan di dalam hatiku. Setiap akhir pekan dan hari libur, semua teman sekamarku biasanya tinggal di asrama, menghabiskan waktu mereka, sedangkan aku biasanya pergi keluar untuk menghadiri pertemuan. Meskipun waktuku untuk memanjakan diri dalam kesenangan daging berkurang, aku memahami beberapa kebenaran setelahnya, dan hatiku merasa damai dan tenang. Namun, ketika aku pergi keluar dengan pacarku, sesenang apa pun kami atau seberapa enak makanannya, itu hanyalah kenikmatan fisik sementara, dan aku tidak bisa menemukan sukacita atau kedamaian di dalam hatiku, aku juga tidak mendapatkan keuntungan atau manfaat nyata apa pun. Setelah memahami hal-hal ini, aku makin menghargai waktuku untuk berkumpul dan melaksanakan tugasku, dan aku menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mengobrol dengan pacarku.

Pada akhir tahun 2014, aku pulang untuk liburan musim dingin. Para pemimpin gereja mendatangiku, mengatakan bahwa gereja sangat membutuhkan orang yang bisa berbahasa Inggris untuk melaksanakan tugas, dan mereka tahu aku memiliki keahlian ini, jadi mereka bertanya apakah aku bersedia melakukan tugas ini. Aku sangat senang mendengar tentang kesempatan untuk melaksanakan tugas seperti itu. Aku sudah menyukai bahasa Inggris sejak kecil, dan di perguruan tinggi, aku memilih jurusan bahasa Inggris dan nilai-nilaiku selalu bagus. Keahlianku adalah karunia dari Tuhan, dan aku ingin melaksanakan tugas ini, tetapi aku berpikir tentang bagaimana aku masih menjalin hubungan, dan tentang aku yang sudah mempertimbangkan untuk menikah dengan pacarku setelah lulus dan memiliki keluarga kecil, lalu aku bertanya-tanya, "Jika aku pergi untuk melaksanakan tugasku, bagaimana aku akan punya waktu untuk berkencan? Kami tidak akan bisa bersama sepanjang waktu, jadi apakah pacarku akan setuju dengan ini? Bukankah kami harus putus?" Saat memikirkan aku harus melepaskan pacarku, aku pun teringat semua hal baik yang telah dilakukannya, dan aku benar-benar tidak ingin putus. Para pemimpin melihat aku tidak memiliki ketetapan hati untuk melakukannya, jadi mereka tidak mengatakan apa-apa lagi. Meskipun aku tidak harus putus dengan pacarku, aku masih merasa sedikit sedih di dalam hati, karena aku tahu bakatku dalam bahasa asing adalah karunia dari Tuhan, dan aku juga ingin memanfaatkan keahlianku sebaik-baiknya untuk berkorban bagi Tuhan di rumah-Nya. Namun, dagingku terlalu lemah, dan ketika dihadapkan pada pilihan, aku tetap memilih daging. Aku merasakan rasa berhutang budi dan rasa bersalah yang mendalam. Kemudian, aku membaca firman Tuhan: "Bangkitlah, saudara-saudara! Bangkitlah, saudari-saudari! Hari-Ku tidak akan tertunda; waktu adalah kehidupan, dan memanfaatkan kembali waktu berarti menyelamatkan kehidupan! Waktunya tidak lama lagi! Jika engkau semua gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi, engkau dapat belajar untuk mengulanginya lagi berulang kali. Namun, hari-Ku tidak akan tertunda lagi. Ingatlah! Ingatlah! Ini adalah perkataan nasihat-Ku yang baik. Akhir dunia telah terbuka di depan mata kalian, dan malapetaka dahsyat akan segera tiba. Mana yang lebih penting: hidup kalian, ataukah tidur, makanan, minuman, dan pakaian kalian? Waktunya telah tiba bagimu untuk menimbang hal-hal ini. Jangan ragu lagi! Engkau terlalu takut untuk menganggap serius hal-hal ini, bukan?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 30"). Di akhir zaman, Tuhan menjadi daging untuk bekerja dan menyelamatkan umat manusia, ini adalah kesempatan yang sangat langka. Aku baru saja mulai berlatih dalam tugasku, dan aku belum memahami banyak kebenaran. Aku baru saja memulai jalan imanku, dan ini adalah saat penting bagiku untuk mengejar kebenaran. Aku ingin percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku dengan semestinya, serta memahami lebih banyak kebenaran. Terlebih lagi, pekerjaan keselamatan Tuhan akan segera berakhir, dan malapetaka dahsyat akan segera datang. Jika aku menikah dan mulai berkeluarga sekarang, dan menghabiskan hari-hariku terjerat oleh hal-hal sepele dalam kehidupan berkeluarga, bagaimana aku bisa punya waktu untuk menghadiri pertemuan dengan semestinya dan melaksanakan tugasku? Aku akan menyia-nyiakan waktu terbaik untuk mengejar kebenaran, dan aku akan merusak kesempatanku untuk diselamatkan. Konsekuensi dari ini akan mengerikan! Namun jika dipikir lagi, aku masih berpacaran, dan jika aku tidak menikah, bukankah aku harus melepaskan hubungan yang telah kubangun selama bertahun-tahun ini? Hanya memikirkan ini saja sudah membuatku enggan. Saat itu, aku sangat ingin menikah dan mulai berkeluarga, tetapi aku tahu bahwa keputusan ini akan sangat penting dan memengaruhi seluruh hidupku, jadi aku tidak bisa membuat keputusan yang tergesa-gesa. Jika aku memilih untuk menikah berdasarkan keinginan dagingku sendiri, dan aku merusak kesempatanku untuk diselamatkan, kalau nanti aku menyesal, itu sudah terlambat. Setelah itu, aku menjadi cemas, dan aku tidak yakin harus memilih apa, dan rasanya ada batu berat yang menekan hatiku.

Sebelum liburan musim dingin, aku menerima pesan dari pacarku, yang mengatakan bahwa dia ingin bertemu orang tuaku untuk membahas pertunangan saat Tahun Baru. Aku sudah bersama pacarku selama beberapa tahun, dan kami akan segera menikah, dan aku tidak bisa menahan diri untuk membayangkan berbagai skenario tentang bagaimana rasanya kami hidup bersama. Namun, Tuhan Yesus berfirman: "Dan celakalah mereka yang sedang mengandung dan mereka yang sedang menyusui pada hari-hari itu!"Ayat ini terus muncul di benakku. Sekarang Tuhan telah datang kembali, mengungkapkan banyak kebenaran dan melakukan pekerjaan penyelamatan umat manusia. Pada saat yang genting ini, jika aku menikah dan terjerat dalam urusan keluarga, dan aku harus mengurus suamiku dan membesarkan anak-anak, aku sangat mungkin menggagalkan kesempatanku untuk mengejar kebenaran dan diselamatkan. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini! Pernikahan atau iman? Menjalani hidup atau melaksanakan tugasku? Kata-kata ini terus berkelebat di benakku. Apa yang harus kupilih? Memikirkan bahwa kehidupan yang kuinginkan sejak kecil mungkin tidak akan terwujud saja sudah membuatku merasa sangat sedih, seolah-olah aku sedang mencabut hal-hal yang paling kusayangi dari hatiku, sepotong demi sepotong. Aku merasakan begitu banyak rasa sakit dan keengganan. Ketika pacarku mengangkat topik pertunangan, aku tidak berani terburu-buru menjawab, karena aku takut begitu aku setuju, tidak akan ada jalan untuk kembali. Aku merasa diriku sangat tersiksa, hingga aku berseru kepada Tuhan dalam doa, "Tuhan, di depanku ada prospek untuk menikah, aku tidak tahu harus memilih apa! Aku ingin mengikuti-Mu dan melaksanakan tugasku, tetapi aku juga ingin menikah dan menjalani kehidupan berkeluarga. Tuhan, aku berada dalam dilema dan aku tidak tahu harus memilih yang mana. Mohon tuntunlah aku dan izinkan aku memahami maksud-Mu."

Kemudian, aku membaca firman Tuhan: "Jika engkau percaya kepada Tuhan, engkau harus mengasihi Tuhan. Jika engkau hanya percaya kepada Tuhan, tetapi tidak mengasihi-Nya dan belum mendapatkan pengenalan akan Tuhan, dan tidak pernah mengasihi Tuhan dengan kasih sejati yang berasal dari hatimu, maka kepercayaanmu kepada Tuhan adalah sia-sia; apabila, dalam kepercayaanmu kepada Tuhan, engkau tidak mengasihi Tuhan, maka engkau hidup dalam kesia-siaan, dan seluruh hidupmu adalah yang paling hina dari semua kehidupan. Jika di sepanjang hidupmu, engkau tidak pernah mengasihi atau memuaskan Tuhan, lalu apa gunanya engkau hidup? Apa gunanya kepercayaanmu kepada Tuhan? Bukankah itu adalah upaya yang sia-sia? Artinya, jika orang-orang ingin percaya dan mengasihi Tuhan, mereka harus membayar harga. Alih-alih berupaya untuk bertindak dengan cara tertentu secara lahiriah, mereka seharusnya mencari pemahaman sejati di lubuk hati mereka. Jika engkau bersemangat untuk menyanyi dan menari, tetapi tidak dapat menerapkan kebenaran, dapatkah engkau dikatakan mengasihi Tuhan? Mengasihi Tuhan mengharuskan pencarian akan maksud Tuhan dalam segala hal, dan itu menuntutmu untuk menggali lebih dalam ketika sesuatu terjadi kepadamu, berusaha memahami maksud Tuhan, dan berusaha memahami apa maksud Tuhan dalam masalah itu, apa yang Dia minta untuk engkau capai, dan bagaimana engkau harus memperhatikan maksud-Nya. Misalnya: sesuatu terjadi yang mengharuskanmu menanggung penderitaan, pada saat seperti itulah engkau harus memahami apa maksud Tuhan, dan bagaimana harus memperhatikan maksud-Nya. Engkau tidak boleh memuaskan dirimu sendiri: Pertama-tama, sangkal dirimu sendiri. Tidak ada yang lebih hina daripada kedagingan. Engkau harus berusaha memuaskan Tuhan, dan engkau harus memenuhi tugasmu. Dengan pemikiran seperti itu, Tuhan akan memberimu pencerahan khusus dalam masalah ini, dan hatimu pun akan menemukan penghiburan" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mengasihi Tuhan yang Berarti Sungguh-Sungguh Percaya kepada Tuhan"). Saat aku merenungkan firman Tuhan, aku merasa sangat bersalah. Meskipun aku percaya kepada Tuhan, ketika menghadapi pilihan untuk menikah, aku tidak mencari maksud Tuhan, melainkan mengandalkan imaginasiku sendiri, kupikir berada bersama pacarku akan membuatku bahagia, dan jika aku meninggalkannya, aku tidak akan pernah bisa menjalani kehidupan yang kuimpikan. Aku hanya mempertimbangkan dagingku sendiri dan rencana masa depanku, dan aku tidak pernah mempertimbangkan apa maksud Tuhan atau bagaimana aku bisa memuaskan-Nya. Aku tidak bisa terus seperti ini! Aku menyadari bahwa masa depanku sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan pengaturan Tuhan, dan bukan sesuatu yang bisa kupilih sendiri. Sama seperti ketika aku masih kecil, aku mengharapkan keluarga yang harmonis dan utuh, tetapi ayahku tiba-tiba meninggal karena penyakit, sehingga harapan-harapan ini pupus, tetapi karena tuntunan dan perlindungan Tuhan, aku tetap tumbuh dengan bahagia. Kehidupan masa depanku juga ada di tangan Tuhan; terlalu banyak khawatir hanya akan menambah lebih banyak masalah bagi diriku sendiri. Pacarku tidak bisa memberiku kebahagiaan sejati, jadi aku tidak bisa terus memikirkan untuk menikah dengannya dan mulai berkeluarga. Yang terpenting adalah aku harus terlebih dahulu mencari tahu apa yang benar-benar kuinginkan, dan kehidupan seperti apa yang paling bermanfaat bagiku.

Di kampus, aku melihat kedua teman sekamarku mengobrol dengan pacar mereka di telepon setiap hari. Wajah mereka tampak bahagia, dan aku tidak bisa menahan rasa sedih saat berpikir, "Mereka semua sudah berpasangan sekarang, dan sebentar lagi mereka akan menjadi suami istri, tetapi aku harus melepaskan pacar yang sudah bersamaku selama bertahun-tahun." Aku merasa getir, dan bahkan sedikit iri pada mereka. Mau tak mau, aku pun bertanya-tanya "Mengapa ketika aku melihat teman sekelas dan teman-temanku berpacaran, aku masih merasa sedih dan kesal? Apa alasan sebenarnya aku ingin menikah dengan pacarku? Mengapa aku tidak bisa melepaskan ini?" Kemudian, aku membaca firman Tuhan: "Apakah yang engkau kejar adalah ditaklukkan setelah hajaran dan penghakiman, ataukah ditahirkan, dilindungi, dan dipelihara setelah hajaran dan penghakiman? Manakah dari hal ini yang engkau kejar? Apakah hidupmu adalah hidup yang bermakna, ataukah hidup yang sia-sia dan tak bernilai? Apakah engkau menginginkan daging, ataukah mendambakan kebenaran? Apakah engkau menghendaki penghakiman, ataukah kenyamanan? Setelah mengalami begitu banyak pekerjaan Tuhan, dan melihat kekudusan dan kebenaran-Nya, bagaimanakah seharusnya engkau mengejar? Bagaimana engkau harus menjalani jalan ini? ... Mungkinkah hanya kedamaian dan sukacita, hanya berkat materi dan kenyamanan sesaat, itulah yang bermanfaat bagi hidup manusia? Jika manusia hidup di lingkungan yang menyenangkan dan nyaman, kehidupan yang tanpa penghakiman, dapatkah dia ditahirkan? Jika manusia ingin berubah dan ditahirkan, bagaimana ia harus menerima penyempurnaan? Jalan manakah yang harus engkau pilih hari ini?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa sebenarnya, aku hanya ingin menjalani kehidupan yang nyaman. Sejak kecil, aku mendambakan kehidupan keluarga yang hangat dan harmonis. Aku merasa pacarku dewasa dan tenang, serta memperlakukanku dengan baik, dan aku berpikir bahwa bersamanya akan memenuhi keinginanku, jadi setiap kali aku berpikir untuk meninggalkannya, aku merasa sangat sulit untuk melepaskannya. Namun, apakah kehidupan seperti itu benar-benar bermanfaat bagiku? Apakah itu benar-benar akan sebahagia yang kubayangkan? Aku mengingat kembali waktu yang kuhabiskan bersama pacarku, biasanya, ketika kami bersama, kami hanya makan, minum, bersenang-senang, dan membicarakan hal-hal yang dangkal, dan selain itu, kami tidak memiliki banyak kesamaan. Ketika aku menghadapi kesulitan, aku biasanya berdoa dan mengandalkan Tuhan untuk mengalaminya, dan terkadang, ketika aku tidak tahu bagaimana mengalami hal-hal ini, aku biasanya mencari dan bersekutu dengan saudara-saudariku. Hal-hal seperti bagaimana aku mengalami firman Tuhan dalam kehidupan nyata dan pemahaman yang kumiliki tentang diriku sendiri dan tentang Tuhan adalah semua hal yang hanya bisa kubagikan dengan saudara-saudariku. Ketika aku bersama pacarku, kebutuhan daging dan emosionalku terpenuhi, tetapi aku tidak bisa mencurahkan isi hatiku yang terdalam dengannya, dan topik yang senang kami bicarakan pun tidak sama, jadi bagaimana kehidupan seperti itu bisa membawa kebahagiaan sejati? Tuhan juga berfirman: "Jika manusia hidup di lingkungan yang menyenangkan dan nyaman, kehidupan yang tanpa penghakiman, dapatkah dia ditahirkan?" Sekalipun aku menjalani kehidupan daging yang nyaman, tanpa penghakiman dan hajaran firman Tuhan, bagaimana mungkin watak rusakku bisa dibersihkan dan diubah, dan bagaimana aku bisa hidup dalam keserupaan dengan manusia yang sejati? Sama seperti di masa lalu, aku hanya ingin bersenang-senang, dan ketika aku pulang saat liburan, aku sering tinggal di rumah, memanjakan dagingku, dan bermain ponsel, begadang semalaman dan tidak bisa bangun di siang hari, menjalani kehidupan tanpa tujuan. Ketika aku bersama nenekku, aku tidak bisa menahan diri untuk memperlihatkan watak congkakku dan meremehkannya, dan terkadang ketika ibuku mengomeliku, aku mengamuk. Terkadang, aku juga berbohong dan menipu, dan aku tidak memiliki keserupuan dengan manusia yang normal. Dengan makan dan minum firman Tuhan, aku mengerti apa itu kemanusiaan yang normal dan apa itu kehidupan yang bermakna. Aku mulai memiliki rutinitas yang normal, sering berdoa dan makan minum firman Tuhan, dan ketika aku menghadapi masalah, aku belajar untuk merenungkan dan memahami diriku sendiri melalui terang firman Tuhan. Ketika aku ingin memperlihatkan watak congkak, meremehkan orang lain, atau menipu dan berbuat curang, aku secara sadar memberontak terhadap diriku sendiri dan menerapkan sesuai dengan firman Tuhan. Dengan cara ini, aku mendapatkan sedikit keserupaan dengan manusia. Namun, dalam kehidupan yang nyaman, tanpa tuntunan firman Tuhan, aku bahkan tidak bisa hidup dalam kemanusiaan normal yang paling dasar sekalipun, dan yang lebih buruk lagi, pacarku terus memanjakanku. Aku benar-benar tidak tahu sejauh mana aku akan jatuh jika ini terus berlanjut. Terlebih lagi, pernikahan dan kehidupan keluarga tidak seperti berkencan yang hanya tentang dua orang bersama-sama; ada juga keluarga dari kedua pasangan dan kehidupan keluarga yang perlu dipertahankan. Ada juga banyak urusan sepele, dan begitu banyak keterikatan. Jika aku benar-benar menikah dan mulai berkeluarga, aku pasti akan terbebani oleh membesarkan anak-anak dan urusan rumah tangga yang sepele, dan lalu bagaimana aku akan punya waktu atau tenaga untuk mengejar kebenaran atau melaksanakan tugasku? Bukankah aku akan menghancurkan diriku sendiri?

Lalu aku teringat akan firman Tuhan: "Firman yang Kuucapkan sekarang menuntut orang berdasarkan keadaan mereka yang sebenarnya, dan Aku bekerja sesuai dengan kebutuhan mereka dan hal-hal yang ada dalam diri mereka. Tuhan yang nyata telah datang ke bumi untuk melakukan pekerjaan yang nyata, untuk bekerja sesuai dengan keadaan dan kebutuhan nyata manusia. Tuhan itu masuk akal. Ketika Tuhan bertindak, Dia tidak memaksa manusia. Misalnya, apakah engkau menikah atau tidak, itu haruslah berdasarkan realitas keadaanmu sendiri; kebenaran telah dinyatakan dengan jelas kepadamu, dan Aku tidak mengekang. Beberapa orang ditindas oleh keluarganya sehingga mereka tidak dapat percaya kepada Tuhan kecuali mereka menikah. Dengan demikian, pernikahan, sebaliknya, menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Bagi yang lain, pernikahan bukan saja tidak bermanfaat, tetapi malah membuat mereka kehilangan apa yang pernah mereka miliki. Soal hidupmu haruslah ditentukan oleh keadaanmu yang sebenarnya dan keputusanmu sendiri. Aku di sini bukan untuk menciptakan aturan dan peraturan yang Kugunakan untuk menuntutmu" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penerapan (7)"). Firman Tuhan memberiku jalan dan arah untuk diterapkan. Mengenai pernikahan, Tuhan memberi setiap orang hak untuk membuat pilihan mereka sendiri, dan setiap orang dapat memilih berdasarkan keadaan yang sesungguhnya, latar belakang, dan tingkat pertumbuhan mereka yang sesungguhnya. Aku mengerti dengan sangat jelas bahwa keadaan keluargaku lebih mendukungku untuk percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku. Seluruh keluargaku percaya kepada Tuhan, dan mereka tidak mengharapkanku untuk mencari pekerjaan yang baik atau menjalani kehidupan yang baik di dunia ini, dan selama aku bisa mempertahankan kehidupan yang normal, itu sudah cukup. Jika aku memutuskan untuk mendedikasikan diriku pada imanku dan tugasku secara penuh waktu, keluargaku akan sepenuhnya mendukungku. Namun, beda halnya jika aku menikah; keluarga pasanganku adalah orang tidak percaya, dan mereka memiliki pandangan duniawi, dan aku juga perlu mempertimbangkan kehidupan sehari-hari. Jika aku hanya fokus pada imanku dan tugasku, mereka bahkan mungkin menganiayaku. Ditambah lagi, aku sentimental dan juga mendambakan kenikmatan daging, jadi jika aku benar-benar menikah, aku pasti akan terjebak dalam kasih sayang keluarga, dan imanku serta pelaksanaan tugasku akan terpengaruh. Selama dua tahun terakhir, melalui pertemuan dan makan minum firman Tuhan, aku telah memahami beberapa kebenaran, dan aku telah menyadari bahwa setiap orang datang ke dunia ini dengan misinya sendiri. Aku lahir di akhir zaman, dan dalam keluarga yang percaya kepada Tuhan, dan aku juga memiliki karunia dan kekuatan tertentu. Tuhan telah mempersiapkan segalanya dengan begitu baik untukku, jadi aku harus memenuhi tugasku sebagai makhluk ciptaan. Jika aku melepaskan tugasku untuk menikmati kehidupan yang nyaman dalam daging, tidak soal sebanyak apa pun memanjakan dagingku atau senyaman apa pun kehidupanku, aku tidak akan bisa memenuhi tugasku sebagai makhluk ciptaan. Lalu apa makna hidupku? Aku bisa saja menolak tugasku demi pacarku, jadi jika kami akhirnya hidup bersama, aku akan memilih antara menghabiskan sebagian besar waktu dan tenagaku untuknya, atau aku akan kembali menolak tugasku karena kasih sayang daging. Kasih sayang daging benar-benar bisa membuatku mengkhianati Tuhan dan merusak kesempatanku untuk mendapat keselamatan!

Lalu aku membaca firman Tuhan: "Adalah sebuah berkat bagimu jika sekarang ini engkau mampu mengalami penderitaan karena engkau mengikuti Kristus, karena mustahil bagi manusia untuk memperoleh keselamatan dan bertahan hidup tanpa mengalami penderitaan ini. Ini telah ditetapkan oleh Tuhan, jadi, adalah berkat bagimu jika penderitaan ini menimpamu. Engkau tidak boleh memandang hal ini dengan cara yang sederhana; penderitaan bukan ditujukan untuk membuat manusia menderita dan mempermainkan mereka, sama sekali bukan itu. Makna penting penderitaan sangat dalam dan luar biasa! Mengabdikan seluruh hidupmu demi mengorbankan dirimu bagi Tuhan tanpa mencari pasangan hidup atau tanpa pulang ke rumah adalah hal yang bermakna. Jika engkau menempuh jalan yang benar dan mengejar hal-hal yang benar, pada akhirnya engkau akan mendapatkan lebih daripada yang didapatkan oleh semua orang kudus di sepanjang zaman, dan engkau akan menerima janji-janji yang jauh lebih besar" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Memilih Jalan yang Benar adalah Bagian Terpenting dalam Kepercayaan kepada Tuhan"). "Orang-orang muda tidak seharusnya tanpa aspirasi, dorongan, dan semangat yang penuh daya hidup untuk berusaha maju; mereka tidak boleh berkecil hati tentang masa depan mereka, juga tidak boleh kehilangan harapan dalam hidup atau keyakinan akan masa depan mereka; mereka harus memiliki ketekunan untuk terus menjalani jalan kebenaran yang sekarang ini telah mereka pilih—untuk mewujudkan keinginan mereka mengorbankan seluruh hidup mereka bagi-Ku. ... Engkau semua haruslah menerapkan pengamalan sesuai dengan firman-Ku. Orang-orang muda, terutama, haruslah memiliki tekad untuk membedakan yang benar dan yang salah dalam esensi hal-hal dan mencari keadilan dan kebenaran. Engkau haruslah mengejar segala hal yang indah dan baik, dan engkau harus mendapatkan kenyataan dari semua hal yang positif. Terlebih dari itu, engkau harus bertanggung jawab atas hidupmu, dan tidak boleh menganggapnya enteng. Manusia datang ke bumi dan jarang bertemu dengan-Ku, dan juga jarang ada kesempatan untuk mencari dan memperoleh kebenaran. Mengapa engkau semua tidak menghargai waktu yang indah ini sebagai jalan yang benar untuk dikejar dalam kehidupan ini?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman bagi Orang-Orang Muda dan Orang-Orang Tua"). Firman Tuhan membuatku mengerti bahwa meskipun tidak menikah dan memulai sebuah keluarga mungkin membawa penderitaan, yang kita kejar adalah melaksanakan tugas kita, mencapai kebenaran, kehidupan yang bermakna, dan pada akhirnya diselamatkan oleh Tuhan dan tetap ada. Oleh karena itu, penderitaan yang kita tanggung itu bermakna. Aku berpikir tentang bagaimana generasi demi generasi orang tidak percaya hanya memiliki anak dan menafkahi keluarga mereka, tetapi mereka tidak memahami kebenaran atau nilai dan makna hidup, dan mereka tidak memiliki arah atau tujuan pengejaran yang benar, dan hidup mereka tidak bermakna. Tuhan sekarang telah berinkarnasi dan datang ke bumi untuk bekerja dan menyelamatkan umat manusia, dan mengikuti Tuhan serta melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan adalah kesempatan yang sangat langka. Sama seperti Petrus—sebelum Tuhan Yesus memanggilnya, dia menangkap ikan secara normal dan menjalani kehidupan yang sederhana, tetapi ketika Tuhan Yesus menampakkan diri dan bekerja serta memanggilnya, dia mampu melepaskan segalanya dan mengikuti Tuhan Yesus untuk mengejar kebenaran, dan pada akhirnya, dia mencapai kasih tertinggi kepada Tuhan, disempurnakan oleh Tuhan, dan menjalani kehidupan yang bermakna. Aku telah lahir di akhir zaman dan menerima pekerjaan Tuhan untuk menyucikan dan menyelamatkan manusia, dan ini adalah ketetapan dan kasih karunia Tuhan. Aku harus menghargai kesempatan yang sangat langka ini, mengikuti Tuhan, dan melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan. Jika aku mengejar keluarga dan kenikmatan daging dan pada akhirnya gagal mendapatkan kebenaran, aku akan menyia-nyiakan waktuku dan menjalani kehidupan yang tidak berarti, dan ketika malapetaka dahsyat datang, akan terlambat untuk menyesal. Aku masih muda, dan jalan di depan masih panjang, dan aku tidak bisa menghabiskan tahun-tahun terbaik dalam hidupku untuk urusan keluarga yang sepele. Setelah itu, aku sering membawa tekadku ke hadapan Tuhan dalam doa, meminta-Nya untuk membimbing dan membantuku membuat pilihan yang tepat, tidak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sebelum liburan, pacarku menyarankan kami bertemu untuk membahas pertunangan, tetapi aku tidak pernah menanggapinya. Menjelang kelulusan, dia mengirim pesan yang bertanya, "Jadi sekarang, sebenarnya kita ini apa?" Melihat pertanyaannya, aku berpikir tentang bagaimana kami telah menjalin hubungan dengan niat untuk menikah, tetapi sekarang ketika saatnya tiba untuk membicarakan pernikahan, aku menyerah. Tiba-tiba aku merasa telah mengecewakannya. Saat itu, aku sadar aku menjadi lemah lagi, jadi aku segera menghadap ke hadirat Tuhan dalam doa, "Tuhan, aku telah memutuskan untuk mengikuti-Mu dan mengorbankan diriku untuk-Mu, tetapi jika menyangkut pernikahan, aku tidak bisa mengambil keputusan. Aku merasa bahwa putus dengannya sekarang akan mengecewakannya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mohon tuntunlah aku." Setelah berdoa, aku berpikir tentang bagaimana pacarku ingin mulai berkeluarga, dan tentang bagaimana aku ingin mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugasku. Kami berada di jalan yang berbeda. Aku teringat bahwa Alkitab berkata: "Janganlah engkau menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya" (2 Korintus 6:14). Melanjutkan hubungan ini tidak akan bermanfaat bagi kami berdua. Selain itu, aku teringat beberapa baris dari lagu pujian "Utamakan Iman kepada Tuhan di Atas Segalanya," yang sering dinyanyikan saat pertemuan: "Jika engkau ingin percaya kepada Tuhan, ingin mendapatkan Tuhan dan memuaskan Dia, namun jika engkau tidak menanggung kesakitan atau mengerahkan sejumlah upaya, engkau tidak akan dapat mencapai hal-hal ini." "Engkau harus menganggap percaya kepada Tuhan sebagai hal yang paling penting dalam hidupmu, bahkan lebih penting daripada makanan, pakaian, atau apa pun—dengan cara ini, engkau akan menuai hasilnya. Jika engkau hanya percaya ketika engkau punya waktu, dan tidak mampu mencurahkan seluruh perhatianmu pada imanmu, jika engkau selalu bingung dalam imanmu, maka engkau tidak akan mendapatkan apa-apa" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik X"). Di akhir zaman, Tuhan yang berinkarnasi mengungkapkan kebenaran untuk menyucikan dan menyelamatkan manusia, memungkinkan manusia untuk membuang watak Iblis mereka yang rusak, mendapatkan sekelompok orang yang sehati sepikir dengan Tuhan, dan pada akhirnya membawa orang-orang ini ke dalam Kerajaan Tuhan. Tuhan berharap kita memandang percaya kepada-Nya sebagai hal terpenting dalam hidup. Jika aku ingin percaya kepada Tuhan dan mendapatkan kebenaran, aku harus memiliki tekad untuk mengorbankan diri dan menderita bagi Tuhan. Hanya dengan demikian aku bisa mendapatkan sesuatu. Jika aku mencoba memuaskan pacarku dan menebus rasa bersalahku padanya, aku harus menukar masa depanku untuk itu, dan bukankah itu akan menghancurkanku? Karena aku telah memilih untuk mengikuti jalan percaya kepada Tuhan, aku harus tetap berpegang teguh pada pilihanku, dan aku tidak bisa mundur pada saat yang genting ini. Terlebih lagi, nasib manusia ada di tangan Tuhan. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan masa depanku sendiri, jadi bagaimana aku bisa memastikan masa depan pacarku? Ketika memikirkan hal ini, aku tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi, dan aku putus dengan pacarku. Setelah putus, aku merasakan kelegaan yang luar biasa, seolah-olah beban berat tiba-tiba terangkat.

Setelah lulus, aku mulai melaksanakan tugasku di rumah Tuhan. Di sana, aku bertemu dengan beberapa saudara-saudari muda yang belum menikah, dan aku melihat bahwa mereka tidak memiliki keterikatan, bahwa masing-masing dari mereka memiliki kelebihan, dan bahwa setiap orang melakukan bagian mereka dalam menyebarluaskan Injil Kerajaan Tuhan. Aku pikir ini sangat bermakna. Aku ingin melaksanakan tugasku dengan semestinya dan memanfaatkan kekuatanku dengan baik juga. Setelah itu, aku menenangkan hatiku dan tidak lagi memikirkan pernikahan atau berkeluarga. Aku pun bersedia memanfaatkan kesempatan untuk mengejar kebenaran dalam waktuku yang terbatas, untuk mencari kebenaran demi mengatasi watak rusakku, untuk melaksanakan tugasku dengan sepatutnya, dan untuk menjalani kehidupan yang bermakna.

Sebelumnya:  11. Perenungan Setelah Diisolasi

Selanjutnya:  18. Apakah Gagasan bahwa “Wanita Berhias untuk yang Mengaguminya” itu Benar?

Konten Terkait

83. Mengalahkan Pencobaan Iblis

Oleh Saudari Chen Lu, TiongkokIni terjadi pada bulan Desember 2012, saat aku berada di luar kota untuk menyebarkan Injil. Suatu pagi, saat...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger