64. Apakah Konsep Membesarkan Anak-Anakmu untuk Merawatmu di Masa Tuamu Benar?

Sejak aku kecil, aku selalu mendengar orang-orang dari generasi orang tuaku berbicara tentang membesarkan anak agar mereka dapat merawat orang tuanya di masa tua. Saat beranjak dewasa, aku sangat berbakti kepada orang tuaku. Setelah menikah, aku melahirkan seorang anak laki-laki dan perempuan. Ketika mereka masih kecil, sesekali aku memberi tahu mereka tentang putra keluarga Wang yang tidak dibesarkan dengan sia-sia. Dia merawat orang tuanya yang sudah tua dan mendampingi mereka hingga akhir hayat. Sebaliknya, keluarga Zhang memiliki empat anak laki-laki, tetapi ketika dia sudah tua dan tidak bisa bergerak, tidak ada satu pun yang merawatnya. Dia benar-benar membesarkan sekumpulan anak durhaka! Aku juga bertanya kepada putra dan putriku, "Ibu yang membesarkan kalian, jadi apakah kalian akan merawat ibu saat ibu sudah tua?" Putraku menjawab, "Tentu saja!" Dengan gembira aku memujinya, kataku, "Kau benar-benar tahu apa yang benar! Tidak sia-sia Ibu membesarkanmu." Karena pengajaran yang kutanamkan, sejak kecil anak-anakku sudah tahu bahwa mereka harus berbakti padaku. Kesehatanku buruk. Aku menderita penyakit jantung dan tekanan darah tinggi di usia tiga puluhan. Saat penyakitku sedang parah, aku bisa kesulitan bernapas dan pusing. Kadang aku sangat lemah hingga tidak bisa berjalan. Setelah anak-anakku dewasa, begitu mereka melihatku sedang mengerjakan sesuatu, tidak peduli apa pun itu, mereka selalu cepat-cepat mengambil alih. Mereka benar-benar peduli padaku. Saat melihat anak-anakku memperlakukanku dengan baik, aku merasa sangat tenang. Aku merasa tidak sia-sia sudah membesarkan mereka, dan aku punya sandaran di masa tuaku. Seiring bertambahnya usiaku, beberapa tahun terakhir, penyakit jantung dan tekanan darah tinggiku sering kambuh. Aku sering mengalami sesak dada, kehabisan napas, pusing, sulit tidur, dan merasa linglung sepanjang hari. Aku juga terlalu lemah untuk berjalan. Suamiku sangat lelah setelah bekerja sepanjang hari dan tidak punya tenaga untuk merawatku, jadi putra dan menantuku membawaku ke dokter dan merawatku. Saat pandemi, pada tahun 2021, aku tertular COVID-19 dan terbaring di tempat tidur, tidak bisa bergerak. Putra dan menantuku membawakan air dan obat serta merawatku dengan baik. Terkadang putriku pulang untuk membantuku bersih-bersih dan membuat beberapa bakpao dan kue isi untuk disimpan di freezer untukku. Setiap kali itu terjadi, aku merasa sangat puas, dan kurasa aku tidak membesarkan anak-anakku dengan sia-sia.

Pada awal tahun 2023, bos putraku ingin memindahkan putraku untuk bekerja di daerah lain, dia juga diberi kenaikan jabatan dan gaji. Putraku berdiskusi denganku, apakah harus pergi atau tidak. Ketika mendengar berita itu, aku berpikir, "Putraku belum punya rumah sendiri. Bagus jika dia menghasilkan lebih banyak uang supaya hidupnya lebih nyaman." Namun, kemudian aku teringat tubuhku yang makin lama makin menua dan sering terserang penyakit, dan aku masih membutuhkan putraku untuk merawatku saat aku tak bisa bergerak. Jika dia pergi bekerja di daerah lain, apakah aku masih bisa mengandalkannya pada saat-saat genting? Tidak terasa, musim panas pun tiba, dan bos putraku terus membujuknya. Gajinya meningkat lebih dari tiga kali lipat dan bosnya juga menjanjikan pekerjaan yang bagus untuk istrinya. Putra dan menantuku setuju. Aku sangat sedih saat mendengar kabar itu, dan berpikir, "Ketika mereka pergi, siapa yang akan kuandalkan saat aku sakit?" Saat itu, putriku sudah pergi ke daerah lain untuk melaksanakan tugasnya. Setelah mereka pergi, aku merasa sangat kesepian dan benar-benar hampa. Aku berpikir, "Dahulu, putraku mengurus semua urusan keluarga. Ke depannya, akan sulit meminta bantuan putraku saat sesuatu terjadi. Anak-anakku tidak ada di dekatku, makin tua, aku makin tak bisa bisa mengandalkan mereka." Ketika memikirkan ini, aku merasa sangat terpuruk.

Tak lama setelah anak-anakku pergi, aku kembali terjangkit COVID-19. Kali ini jauh lebih parah dari sebelumnya. Suamiku tidak tahu cara merawat orang; dia hanya tahu menyibukkan diri dalam pekerjaannya. Aku berbaring sendirian di tempat tidur, merasa sangat terlantar, memikirkan betapa enaknya jika anak-anakku ada di sini. Aku makin tua, dan kesehatanku makin menurun setiap hari. Saat itu, aku sangat membutuhkan perawatan anak-anakku, tetapi mereka tidak ada, dan aku tidak bisa mengandalkan siapa pun. Tanpa kusadari, hatiku dipenuhi kekhawatiran dan aku kehilangan minat untuk membaca firman Tuhan. Aku juga makin jarang berdoa. Setelah itu, aku mendapat suntikan untuk beberapa hari dan kondisiku perlahan membaik. Namun, aku masih merasa sangat lemah hingga bahkan mengangkat pel lantai saja tidak bisa. Hatiku terasa pedih, aku berpikir, "Aku sudah bekerja keras membesarkan anak-anakku, tetapi saat aku tua, mereka semua pergi. Jika nanti aku sakit parah, akankah mereka ada untuk merawatku?" Suatu hari, putraku melakukan panggilan video dan berkata dengan khawatir, "Ibu, kalau tidak enak badan, istirahatlah. Kalau tidak mampu melakukan sesuatu, jangan dilakukan." Aku mengeluh, berkata, "Kalau tidak kulakukan, siapa yang akan membantuku? Aku tidak bisa mengandalkanmu!" Ketika putraku mendengar itu, dia menundukkan kepala dan terlihat sangat sedih, tanpa berkata sepatah kata pun. Belakangan, setiap hari putraku melakukan panggilan video untuk menanyakan kondisiku. Kadang dia menelepon dua atau tiga kali sehari, selalu menyuruhku pergi ke rumah sakit jika sakit dan jangan cuma menahannya. Meskipun menyetujuinya, dalam hati aku berpikir, "Kau tidak di sini, jadi aku tidak bisa mengandalkanmu jika sesuatu terjadi. Apa gunanya kata-kata penghiburan itu?" Kemudian, penyakitku membaik, dan aku tidak merasa terlalu lelah untuk mengerjakan beberapa hal. Aku tidak menganggap serius apa yang telah kusingkapkan. Pada akhir tahun 2023, aku tertular COVID-19 lagi. Kali ini jauh lebih parah dari sebelumnya. Aku berbaring di tempat tidur, rasanya sangat tidak nyaman sampai sulit diungkapkan dengan kata-kata. Saat itu, aku tidak merasa ingin berdoa atau membaca firman Tuhan, dan tidak bisa melaksanakan tugasku. Aku merasa sangat kesepian. Aku berpikir, "Meskipun aku punya seorang putra dan seorang putri, putriku menghabiskan sebagian besar waktunya jauh dari rumah untuk melaksanakan tugasnya. Putraku pergi bekerja di daerah lain dan aku juga tidak bisa mengandalkannya. Aku terbaring sakit di tempat tidur dan bahkan tidak ada yang menanyakan keadaanku. Tidak ada gunanya aku membesarkan anak!" Ketika adik-adik laki-laki dan perempuanku mengetahui aku tertular COVID-19, mereka meneleponku dan menyuruhku untuk segera berobat. Mereka berkata, beberapa orang di sekitar mereka yang terkena COVID-19 meninggal karena penyakit bawaan. Putraku juga berkata bahwa ada orang di perusahaannya yang memiliki tekanan darah tinggi bawaan dan meninggal karena COVID-19. Aku teringat, sudah tiga kali aku terserang COVID-19, setiap kali terserang lebih parah dari sebelumnya. Kali ini aku berbaring di tempat tidur, tidak bisa bergerak atau menelan makanan. Aku berpikir dalam hati, "Bisakah aku melewati ini? Kalau aku kesulitan bernapas, sama sekali tidak ada harapan bahwa anak-anakku membawaku ke rumah sakit. Aku takut mungkin aku tidak bisa melihat mereka untuk terakhir kalinya. Semua orang berbicara tentang membesarkan anak-anak untuk merawat orang tuanya di masa tua, tetapi sebaik apa pun anak-anak, jika mereka tidak ada di saat-saat genting, tidak ada gunanya!" Makin aku memikirkannya, makin sedih aku, dan aku merasa sangat tersakiti hingga aku mulai menangis. Pada saat itu, aku teringat akan surat putriku beberapa hari lalu, yang mengatakan bahwa dia diberhentikan karena melaksanakan tugasnya secara asal-asalan. Aku mulai menantikan kepulangannya. Aku ingin menulis surat kepada putriku untuk memberitahunya tentang kondisiku, kupikir jika putriku tahu tentang hal ini, mungkin dia akan pulang dan merawatku. Namun, aku sadar itu akan menghambat kemajuan putriku, jadi aku tidak jadi menyuratinya. Meski begitu, aku tetap berharap putriku akan kembali kepadaku. Aku berdoa di dalam hati, menceritakan keadaanku kepada Tuhan dan memohon agar Dia membimbingku.

Setelah itu, aku mencari firman Tuhan yang sesuai dengan keadaanku. Tuhan berfirman: "Mengenai hal mengharapkan anak-anak mereka berbakti kepada mereka, di satu sisi, orang tua harus mengetahui bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh Tuhan dan bergantung pada takdir Tuhan. Di sisi lain, orang harus bersikap masuk akal, dan dengan melahirkan anak-anak mereka, orang tua pada dasarnya sedang mengalami sesuatu yang istimewa dalam hidup. Mereka telah memetik banyak pelajaran dari anak-anak mereka dan mulai menghargai suka duka mengasuh anak. Proses ini merupakan sebuah pengalaman yang kaya dalam hidup mereka, dan tentu saja itu juga merupakan kenangan yang tak terlupakan. Itu mengimbangi kekurangan dan kebodohan yang ada dalam kemanusiaan mereka. Sebagai orang tua, mereka telah memperoleh apa yang seharusnya mereka peroleh ketika membesarkan anak-anak mereka. Jika mereka tidak puas dengan hal ini dan menuntut agar anak-anak mereka melayani mereka sebagai pembantu atau budak, dan mengharapkan anak-anak mereka untuk membalas budi mereka karena telah mereka besarkan dengan menunjukkan bakti kepada orang tua, merawat mereka di hari tua, melepaskan kepergian mereka dalam pemakaman, membaringkan tubuh mereka ke dalam peti mati, menjaga jenazah mereka agar tidak membusuk di dalam rumah, menangisi mereka dengan getir ketika mereka mati, berkabung dan berduka selama tiga tahun, dll., membiarkan anak-anak mereka menggunakan hal-hal ini untuk membayar utang mereka, itu menjadi tidak masuk akal dan tidak berkemanusiaan. Engkau dapat melihat bahwa dalam hal bagaimana Tuhan mengajarkan manusia untuk memperlakukan orang tua mereka, Dia hanya menuntut agar mereka berbakti kepada orang tua mereka, dan sama sekali tidak menuntut agar anak-anak menafkahi orang tua mereka sampai mati. Tuhan tidak memberikan tanggung jawab dan kewajiban ini kepada manusia. Dia tidak pernah mengatakan apa pun yang seperti ini. Tuhan hanya menasihati anak-anak agar mereka berbakti kepada orang tua mereka. Menunjukkan bakti kepada orang tua merupakan pernyataan umum dengan cakupan yang luas. Secara lebih spesifik, itu berarti memenuhi tanggung jawabmu sesuai kemampuan dan kondisimu. Itu sudah cukup. Sesederhana itu, itulah satu-satunya tuntutan bagi anak-anak. Jadi, bagaimana seharusnya orang tua memahami hal ini? Tuhan tidak menuntut bahwa 'Anak-anak harus berbakti kepada orang tua mereka, merawat mereka di hari tua sampai mereka mati.' Oleh karena itu, sebagai orang tua, mereka harus melepaskan keegoisan mereka dan jangan berharap bahwa segala sesuatu tentang anak-anak mereka hanya berkisar pada mereka, hanya karena merekalah yang melahirkan anak-anak tersebut. Jika anak-anak tidak berkisar pada orang tua mereka dan tidak menganggap mereka sebagai pusat kehidupan mereka, tidaklah tepat bagi orang tua untuk selalu memarahi mereka, mengganggu hati nurani mereka, dan mengatakan hal-hal seperti 'Kau tidak tahu berterima kasih, tidak berbakti, serta tidak patuh, dan bahkan setelah sekian lama membesarkanmu, aku tetap tidak dapat mengandalkanmu,' selalu memarahi anak-anak mereka seperti ini dan membebani mereka. Menuntut anak-anak mereka untuk berbakti dan mendampingi mereka, merawat mereka di hari tua dan menguburkan mereka, serta selalu memikirkan mereka di mana pun mereka berada adalah tindakan yang pada dasarnya salah dan merupakan pemikiran serta gagasan yang tidak manusiawi. Pemikiran seperti ini mungkin ada dalam taraf yang berbeda di berbagai negara atau di antara berbagai kelompok etnis, tetapi melihat budaya tradisional Tiongkok, orang Tionghoa secara khusus menekankan rasa bakti. Dari zaman dahulu sampai sekarang, hal ini selalu dibahas dan ditekankan sebagai bagian dari kemanusiaan orang dan sebagai standar untuk menilai apakah seseorang itu baik atau jahat. Tentu saja, di tengah masyarakat juga terdapat tren dan opini masyarakat bahwa jika anak-anak tidak berbakti, orang tua mereka juga akan merasa malu, dan anak-anak tersebut akan merasa tidak mampu menanggung ciri negatif pada reputasi mereka. Di bawah pengaruh dari berbagai faktor, para orang tua juga telah diracuni sedemikian dalamnya oleh pemikiran tradisional ini, yang menuntut agar anak-anak mereka berbakti tanpa berpikir atau tanpa pemahaman" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memahami bahwa membesarkan anak adalah tanggung jawab dan kewajiban yang diberikan Tuhan kepada umat manusia untuk kelangsungan hidup dan keberlanjutan keturunan. Bukan supaya mereka merawat kita di masa tua. Karena orang tualah yang memilih untuk memiliki anak, mereka harus memenuhi kebutuhan anak-anaknya seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan transportasi, serta membesarkan mereka. Itulah tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Bahkan hewan pun mampu memenuhi tanggung jawab untuk membesarkan anaknya, serta dengan penuh perhatian mengasuh dan merawat keturunannya. Ketika anak-anak itu sudah besar, mereka meninggalkan orang tuanya. Hewan tidak berharap anak-anaknya akan membalas budi. Namun, aku telah dipengaruhi oleh budaya tradisional, yang salah menafsirkan maksud Tuhan yang semula tentang membesarkan anak, dan menganggap bahwa membesarkan anak adalah cara untuk mempersiapkan masa tua. Aku telah membesarkan anak-anakku dan percaya bahwa karena aku merawat mereka sejak kecil, maka mereka harus merawatku saat aku tua; aku menganggap itu adalah sesuatu yang pasti akan kunikmati. Ketika putraku ditawari pekerjaan di daerah lain, aku takut setelah dia pergi, aku tidak bisa mengandalkannya saat sakit, jadi aku tidak ingin kehilangan dirinya. Aku ingin putraku tetap di sisiku dan selalu ada kapan pun aku membutuhkannya. Aku juga mengeluh kepada putraku lewat telepon, menambah beban dan kesedihannya. Putriku percaya kepada Tuhan dan menempuh jalan hidup yang benar. Dia melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan dan memberitakan Injil Tuhan. Apa yang dia lakukan adalah hal yang paling bermakna dan berharga, tetapi aku terus merasa tidak bahagia karena putriku tidak bisa merawatku, dan aku selalu merasa dia berhutang padaku, bahwa aku tidak membesarkannya dengan sia-sia. Aku berharap dia berkesempatan untuk membalas budi padaku yang telah membesarkannya. Ketika aku kembali terserang COVID-19, aku menantikan kepulangan putriku, bahkan ingin menulis surat kepadanya untuk meminta dia pulang dan merawatku. Hewan membesarkan keturunannya tanpa meminta imbalan dan memberi mereka kebebasan. Namun, aku ingin tetap mengendalikan anak-anakku, mereka harus siap sedia kapan pun kupanggil. Aku benar-benar tidak bernalar! Aku menjalani hidup dengan gagasan tradisional bahwa tujuan membesarkan anak-anak itu agar mereka merawat orang tuanya di masa tua. Hal ini bukan hanya makin menjauhkan hubunganku dengan Tuhan dan membuatku hidup dalam kepedihan, ini juga membuat anak-anakku terkekang dan menderita. Tuhan hanya meminta anak-anak berbakti kepada orang tua sesuai dengan kemampuan mereka; sudah cukup jika mereka memenuhi tanggung jawab sebagai anak, dan Tuhan tidak mengharuskan anak-anak untuk merawat orang tuanya sampai akhir hayat. Sebenarnya anak-anakku sudah memenuhi tanggung jawab sesuai kemampuan mereka. Kini mereka tidak bisa merawatku karena kondisinya tidak memungkinkan, tetapi aku tetap memaksa mereka untuk merawatku. Bukankah aku justru membuat masalah tanpa alasan? Aku melihat bahwa kata-kata jahat Iblis, "Membesarkan anak-anakmu untuk merawatmu di masa tua" telah membuatku keras kepala dan tak mau menerima akal sehat. Berkat tuntunan firman Tuhan, akhirnya aku sadar bahwa konsep membesarkan anak agar bisa merawatmu di masa tua adalah hal negatif dan merugikan orang lain. Saat aku memahaminya, aku berdoa kepada Tuhan, bersedia mencari kebenaran untuk mengubah pandanganku yang keliru.

Setelah itu, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Anak-anak yang hidup di tengah masyarakat ini, di tengah berbagai kelompok, kedudukan, dan kelas sosial tidak menjalani kehidupan yang mudah. Mereka memiliki hal-hal yang harus mereka hadapi dan tangani di berbagai lingkungan yang berbeda. Mereka memiliki kehidupan mereka sendiri dan takdir yang ditetapkan oleh Tuhan. Mereka juga memiliki cara bertahan hidup sendiri. Tentu saja, di tengah masyarakat modern, tekanan yang diberikan terhadap setiap orang yang mandiri sangatlah besar. Mereka menghadapi masalah kelangsungan hidup, hubungan antara atasan dan bawahan, serta masalah yang berhubungan dengan anak-anak, dll. Tekanan dari semua ini sangatlah besar. Sebenarnya, tidak ada yang mudah bagi semua orang. Khususnya dalam lingkungan hidup yang kacau dan serba cepat di zaman sekarang ini, penuh persaingan dan konflik yang kejam di mana-mana, tidak ada kehidupan seorang pun yang mudah. Kehidupan semua orang cukup sulit. Aku tidak akan membahas bagaimana hal ini bisa terjadi. Hidup dalam lingkungan seperti itu, jika orang tidak percaya kepada Tuhan dan tidak melaksanakan tugasnya, mereka tidak akan memiliki jalan yang tersisa untuk ditempuh. Satu-satunya jalan mereka adalah mengejar dunia, menjaga diri mereka tetap hidup, terus beradaptasi dengan dunia ini, dan berjuang demi masa depan serta kelangsungan hidup mereka dengan segala cara agar dapat melewati hari demi hari. Sebenarnya, setiap hari menyakitkan bagi mereka, dan mereka berjuang melewatinya setiap hari. Oleh karena itu, jika orang tua terus menuntut anak-anak mereka untuk melakukan ini atau itu, ini pasti akan memperburuk keadaan anak-anak mereka, menghancurkan dan menyiksa tubuh serta pikiran anak-anak mereka. Orang tua memiliki lingkaran sosial, gaya hidup, dan lingkungan hidup mereka sendiri, dan anak-anak memiliki lingkungan dan ruang hidup sendiri, serta latar belakang tempat tinggal mereka sendiri. Jika orang tua terlalu banyak campur tangan atau mengajukan tuntutan secara berlebihan terhadap anak-anak mereka, meminta anak-anak mereka melakukan ini dan itu agar dapat membalas upaya yang pernah mereka lakukan demi anak-anak mereka, jika engkau memandangnya dari sudut pandang ini, itu sangat tidak manusiawi, bukan? Seperti apa pun anak-anak mereka hidup atau bertahan hidup, atau kesulitan apa pun yang mereka hadapi di tengah masyarakat, orang tua tidak memiliki tanggung jawab atau kewajiban untuk melakukan apa pun bagi mereka. Namun, orang tua juga harus menahan diri agar tidak menambah masalah atau beban apa pun pada kehidupan anak-anak mereka yang rumit atau situasi kehidupan yang sulit. Inilah yang orang tua harus lakukan. Jangan menuntut terlalu banyak dari anak-anakmu, dan jangan terlalu menyalahkan mereka. Engkau harus memperlakukan mereka dengan adil dan setara, serta menempatkan dirimu dalam posisi mereka. Tentu saja, orang tua juga harus mengatur kehidupan mereka sendiri. Anak-anak akan menghormati orang tua yang seperti ini, dan mereka akan menjadi layak untuk dihormati" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Aku sangat tersentuh setelah membaca firman Tuhan. Tuhan menuntut kita sebagai orang tua untuk mempertimbangkan kesulitan anak-anak kita dalam perkataan dan perbuatan kita, dan bersikap pengertian terhadap tantangan yang mereka hadapi. Kita tidak boleh hanya memikirkan kepentingan sendiri, kita juga harus lebih memikirkan anak kita dan berinteraksi dengan mereka secara setara. Aku merasa sangat malu saat membandingkan hal ini dengan semua yang telah kulakukan dan kupikirkan. Saat merenungkan diriku, aku menyadari bahwa aku bahkan tidak punya kemanusiaan yang normal! Sebenarnya sejak awal, anak-anakku sudah sangat baik, tetapi aku tetap menuntut mereka untuk selalu berada di sisiku, siap sedia kapan pun aku membutuhkan mereka. Aku hanya memikirkan diriku sendiri dan sama sekali tidak mempertimbangkan kesulitan mereka. Aku teringat bagaimana sepanjang hari putraku sangat sibuk berjuang untuk bertahan hidup hingga sarafnya tegang, betapa lelahnya dia secara fisik dan mental, dia sendiri sudah menghadapi tekanan yang besar. Demikian pula, putriku sangat sibuk melaksanakan tugasnya setiap hari. Sebagai ibu, aku tidak memikirkan kesulitan anak-anakku dan hanya memikirkan bagaimana caranya agar mereka memuaskanku dalam segala hal, yang menambah beban dan kepedihan mereka. Selain itu, ketika tahu putriku sudah diberhentikan dari tugasnya, aku tidak memikirkan cara membantunya dan membimbingnya untuk belajar dari kegagalan itu. Sebaliknya, aku berharap dia pulang untuk merawatku, bahkan ingin memberitahunya tentang penyakitku untuk mengganggu dan menghalanginya. Berkat perlindungan Tuhan, aku tidak menulis surat itu. Jika aku benar-benar sudah melakukan apa yang kupikirkan, bukankah itu berarti berbuat jahat? Aku terlalu egois dan hina, sangat tidak berkemanusiaan! Aku telah percaya kepada Tuhan bertahun-tahun, tetapi tidak mengejar kebenaran; aku menuntut anak-anakku berdasarkan sudut pandang Iblis. Semua yang kulakukan merugikan orang lain demi keuntunganku sendiri, dan satu-satunya hal yang kuberikan pada jiwa anak-anakku adalah tekanan dan belenggu; aku juga membuat diriku sendiri menderita. Ketika aku menyadari ini, aku merasa sangat menyesal dan menyalahkan diri sendiri. Aku membenci diriku karena tidak mengejar kebenaran dan karena melakukan hal-hal yang dibenci Tuhan. Aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, tidak peduli bagaimana kesehatanku di masa depan, atau entah anak-anakku bisa tinggal bersamaku atau tidak, aku tidak akan lagi menekan mereka atau meminta mereka untuk merawatku saat aku tua. Aku bersedia tunduk pada pengaturan-Mu."

Suatu hari, suamiku pergi bekerja dan aku sendirian di rumah. Aku bangun dari tempat tidur, dan begitu berbalik, rasanya seolah jantungku tiba-tiba berhenti dan aku tidak bisa bernapas. Aku berpikir dalam hati, "Tamat sudah. Tidak ada seorang pun di sekitarku. Apa gunanya membesarkan anak kalau aku mati dan mereka bahkan tidak tahu?" Aku merasa sangat terpuruk. Tepat saat itu, suamiku pulang dan segera memasukkan pil jantung yang cepat bereaksi ke dalam mulutku. Sekitar sepuluh detik kemudian, aku pun bisa bernapas lagi. Saat berbaring di tempat tidur dan mengingat kembali peristiwa itu, aku masih ingin anak-anakku selalu ada di sisiku, dan aku merasa akan sangat menyedihkan jika aku meninggal karena penyakit, sedangkan anak-anakku tidak ada bersamaku. Aku sadar aku masih dipengaruhi oleh konsep tentang membesarkan anak agar mereka bisa merawatku saat tua, dan aku harus mencari jalan untuk mengatasi hal ini. Setelah itu, aku membaca firman Tuhan: "Orang tua tidak boleh menuntut agar anak-anak mereka harus berbakti, harus merawat mereka di hari tua, dan harus menanggung beban hidup orang tua mereka di tahun-tahun terakhir. Tidak perlu melakukan hal itu. Di satu sisi, ini adalah sikap yang harus dimiliki orang tua terhadap anak-anak mereka, dan di sisi lain, itu adalah martabat yang orang tua harus miliki. Tentu saja, ada juga aspek yang lebih penting, yaitu prinsip yang harus dipatuhi oleh orang tua sebagai makhluk ciptaan dalam memperlakukan anak-anak mereka. Jika anak-anakmu penuh perhatian, berbakti, dan mau merawatmu, engkau tidak perlu menolak mereka; jika mereka tidak mau melakukannya, engkau tidak perlu berkeluh kesah sepanjang hari, merasa tidak nyaman atau tidak puas dalam hatimu, atau menyimpan dendam terhadap anak-anakmu. Engkau seharusnya memikul tanggung jawab serta menanggung beban hidup dan kelangsungan hidupmu sendiri sebatas kemampuanmu, dan engkau tidak boleh membebankannya kepada orang lain, terutama anak-anakmu. Engkau harus menghadapi kehidupan secara proaktif dan benar tanpa didampingi atau menerima bantuan dari anak-anakmu, dan meskipun engkau jauh dari anak-anakmu, engkau tetap mampu menghadapi sendiri apa pun yang terjadi dalam hidupmu. Tentu saja, jika engkau membutuhkan bantuan penting dari anak-anakmu, engkau boleh memintanya, tetapi itu tidak boleh didasarkan pada gagasan bahwa anak-anakmu harus berbakti kepadamu atau bahwa engkau harus mengandalkan mereka. Sebaliknya, kedua belah pihak harus melakukan sesuatu untuk satu sama lain dari sudut pandang pemenuhan tanggung jawab mereka, sehingga dapat menangani hubungan antara orang tua dan anak-anak secara rasional" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). "Jika engkau mengejar kebenaran, sebagai orang tua, yang terpenting dan terutama, engkau harus melepaskan pemikiran serta sudut pandang tradisional yang buruk dan bobrok tentang apakah anak-anak berbakti, merawatmu di hari tua, dan melepaskan kepergianmu dengan penguburan, serta menangani hal ini dengan benar. Jika anak-anakmu benar-benar berbakti kepadamu, terimalah itu dengan benar. Namun, jika anak-anakmu tidak memiliki kondisi, tenaga, atau keinginan untuk berbakti kepadamu, dan ketika engkau makin tua, mereka tidak dapat berada di sisimu untuk merawatmu atau melepas kepergianmu, engkau tidak perlu menuntutnya atau merasa sedih. Semuanya berada di tangan Tuhan. Kelahiran ada waktunya, kematian ada tempatnya, dan Tuhan telah menakdirkan di mana orang akan dilahirkan dan di mana mereka akan mati. Sekalipun anak-anakmu berjanji kepadamu, berkata, 'Ketika kau mati, aku pasti akan berada di sisimu; aku tidak akan pernah mengecewakanmu,' Tuhan belum mengatur keadaan ini. Ketika engkau sedang berada di ambang kematian, anak-anakmu mungkin tidak berada di sisimu, dan sekeras apa pun mereka berusaha untuk segera pulang, mereka mungkin tidak dapat tiba tepat pada waktunya. Mereka tidak akan bisa bertemu denganmu untuk terakhir kalinya. Mungkin setelah tiga sampai lima hari sejak engkau mengembuskan napas terakhirmu, dan tubuhmu sudah hampir membusuk, barulah mereka kembali. Apakah janji mereka berguna? Mereka bahkan tidak bisa menjadi tuan atas hidup mereka sendiri. Aku sudah memberitahumu hal ini, tetapi engkau tidak memercayainya. Engkau bersikeras untuk membuat mereka berjanji. Apakah janji mereka berguna? Engkau sedang memuaskan dirimu sendiri dengan khayalan, dan engkau yakin bahwa anak-anakmu akan mampu menepati janji mereka. Apakah menurutmu mereka akan mampu menepati janji mereka? Mereka tidak akan mampu. Mereka sendiri bahkan tidak tahu di mana mereka akan berada dan apa yang akan mereka lakukan setiap hari, serta bagaimana masa depan mereka. Janji-janji mereka sebenarnya menipumu, memberimu rasa aman yang palsu, dan engkau memercayainya. Engkau tetap tidak memahami bahwa nasib manusia berada di tangan Tuhan" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku menyadari bahwa ketika orang tua menuntut anak-anaknya untuk berbakti kepada mereka, merawat mereka di masa tua, dan mendampingi mereka hingga akhir hayat, itu adalah pandangan yang salah dan tuntutan yang tidak bernalar. Jika kondisi anak-anakmu memungkinkan untuk merawatmu, kau bisa menerima perawatan mereka, tetapi jika kondisi mereka tidak memungkinkan, kau tidak boleh mengeluh. Kau harus bertanggung jawab atas hidupmu sendiri, dan jangan berharap anak-anakmu melakukan semuanya untukmu. Inilah rasionalitas yang seharusnya dimiliki orang tua. Sekarang, anak-anakku tidak bersamaku, jadi aku harus bertanggung jawab atas kehidupanku sendiri sesuai kemampuanku. Jika ada tugas yang tidak bisa kulaksanakan, aku tidak akan melaksanakannya; jika aku membutuhkan bantuan dari anak-anakku, aku akan menunggu mereka pulang. Jika mereka tidak punya waktu untuk membantuku, aku tidak akan mengeluh; aku akan mengandalkan Tuhan untuk menyelesaikan masalah itu. Selain itu, aku perlu tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan. Entah anak-anakku bisa menyokongku di masa tua, entah mereka bisa bersamaku merawatku saat aku sakit, dan entah mereka akan ada bersamaku saat aku meninggal, itu bukanlah hal-hal yang bisa aku kendalikan. Itu juga bukan sesuatu yang bisa diputuskan oleh anak-anakku. Semua itu ada di dalam tangan Tuhan, dan telah ditetapkan oleh Tuhan sejak semula. Tunduk pada kedaulatan dan penataan Tuhan adalah nalar yang harus kumiliki. Setelah itu, aku membuat penyesuaian yang cocok berdasarkan kondisi kesehatanku sendiri. Aku tidak melakukan pekerjaan yang tidak mampu kulakukan, mengonsumsi obat dan beristirahat jika merasa tidak sehat, dan aku tidak lagi terlalu memikirkan apakah anak-anakku akan merawatku di masa tua.

Suatu hari di bulan Januari 2024, aku menerima surat dari putriku, yang mengatakan bahwa dia harus pergi ke tempat yang lebih jauh dari rumah untuk melaksanakan tugasnya. Ketika aku melihat bahwa putriku mampu memberikan sedikit sumbangsih terhadap penyebaran Injil Kerajaan, aku pun ikut senang untuknya. Namun, di balik kebahagiaan itu ada sedikit kesedihan. Aku berpikir, "Putriku makin jauh dariku, dan aku tidak tahu kapan dia bisa pulang karena dia sangat sibuk dengan tugasnya. Penyakitku bisa kambuh kapan saja, dan aku tidak pernah tahu kapan kambuhnya. Aku tidak bisa lagi mengandalkan putriku." Pada saat itu, aku menyadari bahwa gagasan tradisional dalam diriku mulai muncul kembali. Aku teringat pada firman Tuhan: "Apa gunanya membesarkan anak-anak? Ini bukan demi tujuanmu sendiri, melainkan tanggung jawab dan kewajiban yang telah Tuhan berikan kepadamu. Di satu sisi, membesarkan anak-anak merupakan bagian dari naluri manusia, sedangkan di sisi lain, itu adalah bagian dari tanggung jawab manusia. Engkau memilih untuk melahirkan anak-anak karena naluri dan tanggung jawab, bukan demi mempersiapkan hari tua dan agar dirawat ketika engkau sudah tua. Bukankah pandangan ini benar? (Ya.)" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Urusan membesarkan anak adalah naluri orang tua, sekaligus tanggung jawab dan kewajiban mereka; itu tidak seharusnya dijadikan sebagai persiapan untuk masa tua agar bisa dirawat saat sudah tua. Putriku telah memilih tujuan yang paling adil dan menempuh jalan yang benar dalam hidupnya. Selain itu, hidup putriku dan hidupku berasal dari Tuhan; kami berdua adalah individu yang mandiri di hadapan Sang Pencipta. Setiap orang bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan dan membalas kasih Tuhan. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, aku seharusnya mendukung dan mendorong putriku untuk melaksanakan tugasnya, aku tidak boleh membuat tuntutan yang berlebihan kepadanya. Oleh karena itu, aku menulis surat kepada putriku, menyemangatinya untuk melaksanakan tugasnya dengan tekun.

Setelah itu, ketika putra dan putriku tidak di rumah, dan suamiku pergi bekerja, aku ditinggal sendirian di rumah, kadang aku merasa cukup kesepian. Suatu hari, aku membaca satu bagian firman Tuhan dan merasa sangat terhibur. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Jadi, ketika engkau merasa kesepian, mengapa engkau tidak memikirkan Tuhan? Bukankah Tuhan adalah sahabat manusia? (Ya, Tuhan adalah sahabat manusia.) Ketika engkau merasakan penderitaan dan kesedihan yang paling mendalam, siapakah yang sesungguhnya mampu menghiburmu? Siapakah yang sesungguhnya mampu membereskan kesulitan-kesulitanmu? (Tuhan.) Hanya Tuhan yang mampu membereskan kesulitan-kesulitan manusia. Ketika engkau sakit, dan anak-anakmu berada di sisimu, menuangkan minuman, menemanimu, engkau akan merasa sangat senang, tetapi, ada saatnya anak-anakmu akan merasa jenuh dan tak seorang pun mau merawatmu. Pada saat-saat seperti itu, engkau akan benar-benar merasa kesepian! Jadi sekarang, ketika engkau berpikir bahwa engkau tidak memiliki teman, apakah itu sesungguhnya benar? Sebenarnya tidak, karena Tuhan selalu menemanimu! Tuhan tidak meninggalkan manusia; Dia adalah Pribadi yang dapat mereka andalkan dan tempat bernaung setiap saat, dan satu-satunya yang dapat mereka percaya. Jadi, kesulitan dan penderitaan apa pun yang kautanggung, apa pun hal yang menyakitkan, atau hal-hal negatif dan kelemahan apa pun yang sedang kauhadapi, jika engkau segera datang ke hadirat Tuhan dan berdoa, firman-Nya akan menghiburmu, membereskan kesulitan-kesulitan dan berbagai masalahmu. Dalam lingkungan seperti ini, kesepianmu akan menjadi kondisi dasar untuk mengalami firman Tuhan dan memperoleh kebenaran. Sembari engkau mengalami, engkau akan perlahan-lahan berpikir: 'Aku masih menjalani hidup yang baik setelah meninggalkan orang tuaku, menjalani hidup yang penuh kepuasan setelah meninggalkan suamiku, dan hidup yang penuh kedamaian dan sukacita setelah meninggalkan anak-anakku. Aku tidak lagi merasa kosong. Aku tidak akan lagi mengandalkan manusia, melainkan akan mengandalkan Tuhan. Dia akan selalu mencukupi dan membantuku. Meskipun aku tidak dapat menyentuh atau melihat-Nya, aku tahu bahwa Dia berada di sisiku kapan pun, dan di mana pun. Asalkan aku berdoa kepada-Nya, asalkan aku berseru kepada-Nya, Dia akan menggerakkan hatiku, dan membuatku memahami maksud-Nya dan melihat jalan yang benar.' Pada saat itu, Dia akan benar-benar menjadi Tuhanmu, dan semua masalahmu akan terselesaikan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Saat aku merenungkan firman Tuhan, hatiku menjadi cerah, dan aku memahami bahwa orang-orang menjalani seluruh hidupnya di bawah kasih dan perlindungan Tuhan. Tuhanlah satu-satunya Pribadi yang dapat diandalkan manusia. Saat mengingat kembali tahun-tahun belakangan ini, pada banyak situasi di saat aku menghadapi bahaya dan kesulitan, Tuhan selalu mengatur orang-orang, peristiwa, dan berbagai hal agar aku dapat terlepas dari masalahku dan selamat. Aku teringat pada suatu hari ketika aku sedang memotong sayuran di rumah. Aku melihat di luar hujan gerimis, jadi aku keluar, dan tepat pada saat itu, atap rumahku runtuh, meninggalkan sebuah lubang besar. Sebuah bongkahan tanah besar seberat sekitar 100 kilogram jatuh tepat di tempatku baru saja memotong sayuran, menghancurkan semua baskom berisi sayuran. Seandainya bukan karena perlindungan Tuhan, aku pasti sudah tewas tertimpa batu itu. Suatu kali, aku sangat sakit sampai tidak bisa bangun, dan suami serta anak-anakku tidak tahu. Tetanggaku yang berkunjung dan menemukanku, lalu segera memanggil dokter. Dokter berkata jika tidak segera ditangani, aku pasti sudah mengalami pendarahan otak. Selama bertahun-tahun ini, aku sangat menderita karena penyakit, dan kasih serta perlindungan Tuhanlah yang membantuku bertahan sampai sekarang. Tuhan adalah sandaran sejatiku. Anak-anakku tidak dapat mengendalikan nasib mereka sendiri, jadi bagaimana aku bisa mengandalkan mereka? Bahkan jika anak-anakku ada di sisiku, mereka tidak bisa menyelamatkanku saat aku berada dalam bahaya, mereka juga tidak bisa menghilangkan rasa sakitku. Ketika umurku habis, meskipun mereka di sampingku, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Segala sesuatu tentang diriku ada di tangan Tuhan. Hanya Tuhanlah sumber hidupku dan sandaran seumur hidupku. Walaupun anak-anakku tidak berada di sisiku, aku tidak sendirian: Saat aku dalam kesulitan dan kesakitan, aku bisa berdoa kepada Tuhan dan menceritakan isi hatiku kepada-Nya. Ketika aku memahami hal ini, aku pun mendapatkan jalan penerapan.

Belakangan ini, aku masih sering diserang penyakit, dan aku berdoa kepada Tuhan dalam hati, menyerahkan rasa sakit dan masalahku kepada-Nya. Kadang ketika penyakit menyerang dan aku tak bisa bergerak, aku hanya berbaring di tempat tidur dan beristirahat sebentar, perlahan-lahan pulih. Aku selalu membawa obat pertolongan pertama, dan aku meminumnya saat merasa tidak enak badan. Saat aku tidak sakit, aku dengan santai mengerjakan pekerjaan rumah yang mampu kulakukan. Aku tidak memaksakan diri melakukan pekerjaan yang tidak mampu kulakukan; suamiku yang mengerjakannya saat dia pulang. Ketika anak-anakku mampir, mereka juga ikut membantu. Sekarang aku tidak peduli apakah anak-anakku ada di sisiku atau tidak, dan aku tidak berpikir untuk bergantung pada mereka, atau mengeluh tentang apakah anak-anakku akan merawatku di masa tua. Hatiku terasa sangat lega dan bebas. Firman Tuhanlah yang menuntunku agar lepas dari kerusakan akibat anggapan budaya tradisional tentang membesarkan anak-anak untuk merawat orang tua di masa tuanya, dan membantuku menemukan prinsip penerapan yang benar dalam memperlakukan anak-anakku, sehingga aku bebas dari penderitaan. Terima kasih Tuhan!

Sebelumnya:  63. Bagaimana Aku Mengatasi Kebohonganku

Selanjutnya:  67. Di Balik Mengejar Kepemimpinan

Konten Terkait

84. Iman yang Tak Terhancurkan

Oleh Saudara Meng Yong, TiongkokPada Desember 2012, beberapa saudara-saudari dan aku naik mobil menuju suatu tempat untuk mengabarkan...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger