71. Hanya Mereka yang Berpegang pada Tugasnya yang Memiliki Hati Nurani
Sejauh yang kuingat, aku melihat ibuku merawat ibunya setiap hari. Dia sering membawakan makanan yang sudah dia siapkan untuknya, dan sesekali menceritakan kepadaku bagaimana dia juga merawat orang tua ayahku ketika mereka sakit dan terbaring di tempat tidur. Dia juga mengajariku untuk menjadi orang yang berbakti. Di sekolah, para guru juga mengajari kami untuk menghormati orang tua kami, karena hanya dengan berperilaku seperti inilah kami akan memiliki hati nurani. Jika orang-orang di sekitarku membicarakan seseorang yang tidak berbakti kepada orang tuanya, mereka akan menuduh orang seperti itu tidak punya hati nurani, karena tidak berbakti. Ajaran ibuku baik melalui perkataan maupun teladannya, pendidikanku di sekolah, dan komentar orang-orang di sekitarku tadi, semua membuatku merasa bahwa hanya mereka yang menghormati orang tuanyalah yang memiliki hati nurani. Jika kau tidak berbakti kepada orang tuamu, ini adalah perilaku yang sangat memalukan, dan kau akan dicaci maki dan dihina oleh orang lain. Ketika dewasa, meskipun aku menikah dengan seorang pria yang tinggal ratusan kilometer jauhnya, aku tetap akan meluangkan waktu untuk pulang dan mengunjungi ibuku, berbicara dengannya dan melakukan beberapa pekerjaan rumah semampuku.
Pada tahun 2012, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa di akhir zaman. Kemudian aku meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugasku karena kebutuhan tugas. Karena sangat sibuk dengan tugasku saat itu, aku jarang punya waktu untuk pulang dan mengunjungi ibuku. Pada awal tahun 2022, aku mendengar bahwa ibuku terpeleset saat berjalan dan lengannya patah. Aku ingin pulang untuk menjenguknya, tetapi karena pandemi, semua jalan ditutup. Aku juga cukup sibuk dengan tugasku saat itu, dan pulang selama beberapa hari akan menunda pekerjaan, jadi aku tidak pulang untuk menjenguknya. Ibuku sering mengomeliku di telepon karena aku hampir tidak pernah pulang, dan kakak iparku juga mencercaku, berkata, "Semua anak perempuan lain pulang untuk merawat ibunya yang sakit. Apakah kau benar-benar sesibuk itu?" dan mengatakan beberapa hal yang tidak menyenangkan. Aku merasa sangat tidak nyaman dan mencela diri sendiri, berpikir, "Ibuku sakit dan aku bahkan tidak bisa berada di sisinya untuk merawatnya. Dia membesarkanku dengan sia-sia!" Selama waktu itu, keadaanku tidak baik, dan aku cukup pasif dalam melaksanakan tugasku. Aku bahkan berpikir bahwa jika suatu hari aku diberhentikan, aku akan kembali dan menunjukkan bakti yang pantas kepada ibuku, menebus utangku padanya.
Pada bulan November 2023, ibuku sakit kaki dan perlu dirawat di rumah sakit. Pada waktu itu, gereja sangat membutuhkan satu kumpulan khotbah yang baik untuk memberitakan Injil. Aku adalah pemimpin tim dan sangat sibuk dengan pekerjaan, jadi aku tidak bisa pulang ke rumah untuk merawatnya. Ketika aku menelepon ibuku, kakak iparku mencercaku lagi, berkata, "Seberapa sibuknya dirimu sampai kau bahkan tidak bisa pulang untuk merawat ibumu! Jika putrinya ada di dekatnya untuk diajak bicara, dia tidak akan begitu kesepian. Bagaimana mungkin seorang anak perempuan tidak pulang ketika ibunya yang sudah tua dirawat di rumah sakit?" Saat mendengarkan kata-kata kakak iparku, aku merasa tertekan, seolah-olah tertusuk di hati. Aku membayangkan ibuku yang terbaring sendirian di ranjang rumah sakit, sementara aku tidak bisa berada di sisinya untuk merawatnya, atau melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang anak perempuan. Aku sungguh tidak berbakti! Makin kupikirkan, makin aku merasa resah. Aku membiarkan kakak iparku mencercaku, sembari berlinang air mataku. Aku berpikir dalam hati, "Tidak mudah bagi ibuku untuk membesarkanku. Dia merawatku dengan sangat baik dalam setiap aspek kehidupanku. Namun sekarang dia sakit dan aku tidak bisa bersamanya. Ibuku membesarkanku dengan sia-sia!" Tidak lama setelah itu aku menerima surat lain, yang mengatakan ibuku mengalami kecelakaan mobil yang serius. Aku sedikit terkejut ketika melihat surat itu. Aku tidak tahu bagaimana keadaan ibuku. Dia sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Bisakah dia menahannya? Apakah aku akan bisa melihat ibuku lagi? Aku sangat ingin kembali dan menjenguknya. Namun, selama waktu itu kebetulan ada perpindahan personel, dan akulah satu-satunya yang bertanggung jawab atas pekerjaan tim. Pekerjaan akan tertunda jika aku pergi, tetapi tanpa kembali, aku tidak bisa melepaskannya. Hatiku bergejolak, dan aku tidak bisa menahan tangis. Ketika membayangkan ibuku terbaring di ranjang rumah sakit setelah kecelakaan mobil, aku merasa jika tidak pulang, maka aku sungguh tak berhati nurani. Seluruh keluargaku akan mencercaku, dan semua orang di desa akan menyebutku tidak berbakti dan si celaka yang tak tahu berterima kasih. Ketika memikirkan ini, aku tidak bisa diam lagi. Setelah menyelesaikan pekerjaanku hari itu, aku membeli tiket kereta pulang dan mengunjungi ibuku malam itu juga. Setibanya di rumah sakit, kulihat ibuku tidak dalam kondisi membahayakan nyawa, dan akhirnya aku merasa lega. Ketika orang-orang di desaku melihatku kembali, mereka semua tersenyum dan berkata, "Kau datang juga! Senang kau kembali. Pergilah rawat ibumu baik-baik. Kami sudah lama tidak melihatmu. Sudah pasti waktunya kau kembali." Saat mendengar kata-kata ini, aku merasa sedikit terhibur. Selama hari-hari itu, aku sibuk hilir mudik setiap hari, dan rasa berutang yang kurasakan terhadap ibuku juga berkurang. Namun, kemudian aku teringat bahwa tugasku tertunda, dan aku agak menyesali diri. Setelah melihat kondisi ibuku agak membaik, aku segera naik kereta untuk kembali melaksanakan tugasku.
Setelah kembali ke tempat di mana aku melaksanakan tugasku, aku mulai bertanya-tanya, "Setiap kali ada konflik antara melaksanakan tugasku dan berbakti kepada orang tuaku, hatiku terasa terkoyak dan sakit. Tentunya aku tidak bisa mengesampingkan tugasku dan menunda pekerjaan setiap saat? Jadi aspek kebenaran apa yang harus kucari dan kumasuki?" Kemudian, aku membaca firman Tuhan: "Hubungan dengan orang tua adalah hubungan yang sulit untuk orang tangani secara emosional, padahal sebenarnya, hubungan ini bukannya sama sekali tidak bisa ditangani. Orang hanya dapat menangani masalah ini dengan benar dan rasional jika masalahnya ditangani berdasarkan pemahaman mereka akan kebenaran. Jangan mulai menanganinya dari sudut pandang perasaan, dan jangan mulai menanganinya dari wawasan atau sudut pandang orang-orang duniawi. Sebaliknya, perlakukan orang tuamu dengan cara yang sepatutnya menurut firman Tuhan. Apa sebenarnya peran orang tua, apa sebenarnya arti anak-anak bagi orang tua mereka, bagaimana anak seharusnya bersikap terhadap orang tua, dan bagaimana orang seharusnya menangani dan menyelesaikan masalah hubungan antara orang tua dan anak? Orang tidak boleh memandang hal-hal ini berdasarkan perasaan, dan mereka juga tidak boleh dipengaruhi oleh gagasan yang keliru atau perasaan mereka pada saat itu; mereka harus memperlakukan hal-hal ini dengan benar berdasarkan firman Tuhan. ... kebanyakan orang memilih untuk meninggalkan rumah demi melaksanakan tugas mereka karena di satu sisi, keadaan objektif mereka secara keseluruhan mengharuskan mereka untuk meninggalkan orang tua mereka. Mereka tidak dapat tinggal bersama orang tua mereka untuk merawat dan menemani mereka. Bukan berarti mereka dengan rela memilih untuk meninggalkan orang tua mereka; ini adalah alasan objektifnya. Di sisi lain, alasan subjektifnya, engkau pergi untuk melaksanakan tugasmu bukan karena engkau ingin meninggalkan orang tuamu dan untuk menghindari tanggung jawabmu, melainkan karena panggilan Tuhan terhadapmu. Agar dapat bekerja sama dalam pekerjaan Tuhan, menerima panggilan-Nya, dan melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, engkau tidak punya pilihan lain selain meninggalkan orang tuamu; engkau tidak dapat berada di sisi mereka untuk menemani dan merawat mereka. Engkau tidak meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu, bukan? Meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu dan harus meninggalkan mereka untuk menjawab panggilan Tuhan serta melaksanakan tugasmu—bukankah kedua hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Di dalam hatimu, engkau terikat secara emosional dengan orang tuamu dan memikirkan mereka; perasaanmu tidak kosong. Jika keadaan objektifnya memungkinkan dan engkau dapat tetap berada di sisi mereka sembari melaksanakan tugasmu, engkau tentunya mau untuk tetap berada di sisi mereka, merawat mereka dan memenuhi tanggung jawabmu secara teratur. Namun, karena keadaan objektif, engkau harus meninggalkan mereka; engkau tidak bisa tetap berada di sisi mereka. Bukan berarti engkau tidak mau memenuhi tanggung jawabmu sebagai anak mereka, melainkan karena engkau tidak bisa. Bukankah hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Jika engkau meninggalkan rumah agar tidak perlu berbakti dan memenuhi tanggung jawabmu, itu berarti engkau tidak berbakti dan tidak memiliki kemanusiaan. Orang tuamu telah membesarkanmu, tetapi engkau ingin secepat mungkin melebarkan sayapmu dan hidup mandiri. Engkau tidak ingin bertemu dengan orang tuamu dan sama sekali tidak peduli saat mendengar orang tuamu mengalami kesulitan. Sekalipun engkau memiliki sarana untuk membantu mereka, engkau tidak melakukannya. Engkau hanya berpura-pura tidak mendengar dan membiarkan orang lain mengatakan apa pun yang ingin mereka katakan tentangmu—engkau sama sekali tidak mau memenuhi tanggung jawabmu. Ini berarti engkau tidak berbakti. Namun, hal inikah yang terjadi saat ini? (Tidak.) Banyak orang telah meninggalkan kabupaten, kota, provinsi, atau bahkan negara mereka untuk melaksanakan tugas mereka; mereka sudah berada jauh dari kampung halaman mereka. Selain itu, tidaklah nyaman bagi mereka untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka karena berbagai alasan. Sesekali, mereka menanyakan keadaan terkini orang tua mereka dari orang-orang yang berasal dari kampung halaman yang sama dan merasa lega setelah mendengar orang tua mereka masih sehat dan baik-baik saja. Sebenarnya, engkau bukannya tidak berbakti. Engkau belum mencapai taraf tidak memiliki kemanusiaan, di mana engkau bahkan tidak mau memperhatikan orang tuamu atau memenuhi tanggung jawabmu terhadap mereka. Engkau harus mengambil pilihan ini karena berbagai alasan objektif, jadi engkau bukannya tidak berbakti" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Firman Tuhan membuatku mengerti bahwa ketika ibuku sakit dan dirawat di rumah sakit, alasan utama aku merasa tidak berbakti ketika tidak bisa merawatnya di samping tempat tidurnya adalah karena aku tidak memiliki pemahaman yang murni tentang apa itu berbakti dan apa itu tidak berbakti. Aku selalu menganggap jika tidak bisa berada di sisi orang tuaku untuk merawat mereka ketika sakit, ini berarti tidak berbakti dan tidak punya hati nurani. Ketika anggota keluargaku mencercaku, aku makin merasa diriku begitu tidak berbakti. Oleh karena itu, aku hidup dengan rasa berutang budi dan menyalahkan diri sendiri. Setelah membaca firman Tuhan, akhirnya aku mengerti bahwa pandanganku keliru. Apakah seseorang berbakti atau tidak, bukan ditentukan dari apakah mereka bisa berada di sisi orang tuanya untuk menemani serta merawat mereka. Misalnya, beberapa saudara-saudari ingin bersama orang tua mereka dan berbakti kepada mereka, tetapi terpaksa meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugas mereka karena penganiayaan PKT, jika tidak, mereka akan berisiko ditangkap dan dipenjara. Meskipun mereka telah meninggalkan kampung halamannya, hati mereka masih mengkhawatirkan orang tuanya dan mereka ingin memenuhi tanggung jawab terhadap orang tua mereka, tetapi keadaan yang ada tidaklah memungkinkan. Mereka tidak dapat didefinisikan sebagai tidak berbakti. Contoh lainnya adalah para murid dan rasul di Zaman Kasih Karunia. Mereka dengan tegas memilih untuk meninggalkan rumah demi menyebarkan Injil Tuhan Yesus. Mereka menyeberangi lautan untuk memberitakan Injil di mana-mana, dan bahkan lebih tidak mampu untuk tinggal bersama orang tua mereka dan merawat mereka. Namun, mereka mengikuti kehendak Tuhan, agar lebih banyak orang dapat menerima keselamatan Tuhan, dan apa yang mereka lakukan adalah hal yang paling adil dan bermakna. Mereka tidak dapat digambarkan sebagai tidak berbakti. Aku tidak bisa sering pulang untuk mengunjungi ibuku dan bersamanya, bukan karena aku tidak ingin memenuhi tanggung jawabku sebagai putrinya, tetapi karena aku sibuk dengan tugasku. Ini agar aku dapat mengevaluasi dan memilih khotbah yang baik secepat mungkin untuk membantu memberitakan Injil dan membawa lebih banyak orang ke hadapan Tuhan. Ini adalah hal yang berharga dan bermakna, dan tidak dapat digambarkan sebagai tidak berbakti. Beberapa anak memiliki kemampuan dan tenaga untuk merawat orang tua mereka, tetapi kemudian meremehkan orang tuanya ketika melihat mereka menjadi tua dan tidak berguna, dan mengabaikan mereka. Inilah yang benar-benar tidak berhati nurani. Ini adalah perilaku yang sangat memalukan. Aku sibuk dengan tugasku dan tidak punya waktu untuk merawat ibuku. Ini sama sekali berbeda dengan tidak peduli pada orang tuaku sekalipun kondisinya memungkinkan, dan tidak dapat disamakan. Aku tidak melihat segala sesuatu berdasarkan firman Tuhan, dan menganggap diriku tidak berbakti karena tidak berada di sisi ibuku untuk merawatnya, dan sering merasa berutang serta menyalahkan diri sendiri. Aku begitu bingung!
Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Karena dipengaruhi oleh budaya tradisional Tiongkok, gagasan tradisional di benak orang Tionghoa adalah mereka yakin bahwa orang haruslah berbakti kepada orang tua mereka. Siapa pun yang tidak berbakti kepada orang tua adalah anak yang durhaka. Gagasan ini telah ditanamkan dalam diri orang sejak masa kanak-kanak, dan diajarkan di hampir setiap rumah tangga, serta di setiap sekolah dan masyarakat pada umumnya. Orang yang pikirannya dipenuhi hal-hal seperti itu akan beranggapan, 'Berbakti kepada orang tua lebih penting dari apa pun. Jika aku tidak berbakti, aku tidak akan menjadi orang yang baik—aku akan menjadi anak yang durhaka dan akan dicela oleh masyarakat. Aku akan menjadi orang yang tidak punya hati nurani.' Benarkah pandangan ini? Orang-orang telah memahami begitu banyak kebenaran yang Tuhan ungkapkan—pernahkah Tuhan menuntut orang untuk berbakti kepada orang tua mereka? Apakah ini adalah salah satu kebenaran yang harus dipahami oleh orang yang percaya kepada Tuhan? Tidak. Tuhan hanya mempersekutukan beberapa prinsip. Dengan prinsip apa firman Tuhan menuntut orang untuk memperlakukan orang lain? Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, bencilah apa yang Tuhan benci: inilah prinsip yang harus dipatuhi. Tuhan mengasihi orang yang mengejar kebenaran dan mampu mengikuti kehendak-Nya; orang-orang ini jugalah yang harus kita kasihi. Orang yang tidak mampu mengikuti kehendak Tuhan, yang membenci dan memberontak terhadap Tuhan—orang-orang ini dibenci oleh Tuhan, dan kita juga harus membenci mereka. Inilah yang Tuhan tuntut untuk manusia lakukan. ... Iblis menggunakan budaya tradisional dan gagasan moralitas semacam ini untuk mengikat pemikiran, pikiran, dan hatimu, membuatmu tak mampu menerima firman Tuhan; engkau telah dikuasai oleh hal-hal dari Iblis ini, dan dibuat tak mampu untuk menerima firman Tuhan. Ketika engkau ingin menerapkan firman Tuhan, hal-hal ini menyebabkan gangguan di dalam dirimu, dan menyebabkanmu menentang kebenaran dan tuntutan Tuhan, membuatmu tidak berdaya untuk melepaskan diri dari belenggu budaya tradisional ini. Setelah berjuang selama beberapa waktu, engkau berkompromi: engkau lebih memilih untuk menganggap gagasan tradisional tentang moralitas adalah benar dan sesuai dengan kebenaran dan karena itu engkau menolak atau meninggalkan firman Tuhan. Engkau tidak menerima firman Tuhan sebagai kebenaran dan engkau sama sekali tidak berpikir bagaimana agar engkau diselamatkan, merasa engkau masih hidup di dunia ini, dan hanya bisa bertahan hidup jika engkau mengandalkan hal-hal ini. Karena tidak mampu menanggung kritikan masyarakat, engkau lebih suka memilih melepaskan kebenaran dan firman Tuhan, menyerahkan dirimu kepada gagasan tradisional tentang moralitas dan pengaruh Iblis, lebih memilih untuk menyinggung Tuhan dan tidak menerapkan kebenaran. Katakan kepada-Ku, bukankah manusia begitu menyedihkan? Apakah mereka tidak butuh diselamatkan oleh Tuhan? Ada orang-orang yang telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, tetapi masih tidak mengerti masalah tentang berbakti. Mereka sebenarnya tidak memahami kebenaran. Mereka tidak akan pernah mampu menerobos penghalang hubungan duniawi ini; mereka tidak memiliki keberanian ataupun iman, apalagi tekad, jadi mereka tidak mampu mengasihi dan menaati Tuhan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mengenali Pandangannya yang Keliru Barulah Orang Dapat Benar-Benar Berubah"). Apa yang firman Tuhan singkapkan persis seperti keadaanku. Sejak kecil, gagasan budaya tradisional seperti "Bakti anak kepada orang tua adalah kebajikan yang harus diutamakan di atas segalanya," "Orang yang tidak berbakti lebih rendah daripada binatang buas," dan "Kau membesarkanku saat aku kecil, dan aku akan merawatmu saat kau tua" telah ditanamkan dalam diriku. Aku percaya bahwa karena orang tuaku telah membesarkanku dengan susah payah, jika aku tidak bisa hadir untuk orang tuaku ketika mereka membutuhkanku untuk membalas kebaikan mereka dalam membesarkanku, aku tidak akan punya hati nurani dan akan dicaci maki serta dihina oleh orang-orang di sekitarku. Aku telah sangat diracuni dan diikat oleh gagasan budaya tradisional ini. Ketika lengan ibuku patah, aku merasa berutang padanya karena tidak bisa berada di sisinya untuk merawatnya karena pandemi dan sibuk dengan tugasku. Ditambah lagi dengan cercaan kakak iparku, aku makin percaya diriku tidak berbakti, dan bahkan menantikan suatu hari tugasku dialihkan agar aku bisa kembali dan berbakti padanya. Ketika ibuku dirawat di rumah sakit karena sakit kaki, aku terlalu sibuk dengan tugasku untuk berada di sisinya dan merawatnya. Tidak peduli bagaimana kakak iparku mencercaku, aku tidak mengucapkan sepatah kata pun protes, percaya bahwa kesepian ibuku adalah kesalahanku, dan bahwa aku tidak punya hati nurani. Meskipun secara lahiriah aku tidak kembali untuk merawatnya, hatiku terganggu, jadi aku tidak bisa memberikan hatiku pada tugasku, dan pekerjaan khotbah juga terpengaruh. Kemudian, ketika ibuku mengalami kecelakaan mobil, meskipun aku tahu bahwa kakak dan iparku ada di sana untuk merawatnya, dan bahwa kembali untuk merawatnya akan menghambat tugasku, aku khawatir jika tidak kembali, aku akan makin berutang padanya, juga takut orang akan menyebutku si celaka yang tidak tahu terima kasih dan anak yang tidak berbakti. Aku tidak tahan dengan tekanan gosip ini, dan agar orang-orang di sekitarku tidak mengkritikku di belakang dan mengutukku, aku mengesampingkan tugasku dan pulang untuk mengunjungi ibuku, yang menyebabkan pekerjaan tertunda. Meskipun menerima pujian dari orang lain, aku mengesampingkan tugasku. Perilakuku adalah menyerah. Itu adalah pengkhianatan terhadap Tuhan. Aku adalah orang yang tidak dapat dipercaya yang menimbulkan kebencian Tuhan! Ketika memahami ini, aku merasa sangat tidak nyaman. Aku telah terikat terlalu erat oleh budaya tradisional Iblis dan gagasan moralitas, sehingga aku menjadi tidak mampu membedakan benar dan salah. Alasanku tidak pulang untuk merawat ibuku adalah karena aku sibuk dengan tugasku dan tidak ingin menunda pekerjaan. Ini adalah hal yang positif. Itu adalah kesetiaan pada tugasku, bukan tidak berbakti. Namun, ketika kakak iparku mencercaku, tak ada yang bisa kukatakan untuk menanggapinya, lalu menyalahkan diri dan merasa berutang. Aku percaya diriku tidak berbakti dan itu adalah kesalahanku. Aku sadar betul bahwa Tuhan menuntut orang untuk berpegang pada tugas mereka, tetapi aku tetap mengesampingkan tugasku untuk kembali dan merawat ibuku, menunda pekerjaan. Ini adalah perwujudan nyata dari kurangnya hati nurani. Namun, ketika penduduk desa menyetujuiku, aku tetap merasa terhibur. Aku tidak merasa berutang kepada Tuhan karena menunda pekerjaan, tetapi, sebaliknya, aku merasa telah memenuhi kewajiban baktiku dan menjadi orang yang berhati nurani. Aku benar-benar tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah! Aku sama sekali tidak menghargai tugasku, dan sama sekali tidak memiliki kesetiaan kepada Tuhan. Sebaliknya, aku mengutamakan "Bakti anak kepada orang tua adalah kebajikan yang harus diutamakan di atas segalanya", dan ketika ada konflik antara melaksanakan tugasku dan berbakti kepada orang tuaku, aku memilih untuk menunda pekerjaan demi memuaskan perasaan dagingku. Aku benar-benar terlalu egois! Aku benar-benar menyadari bahwa Iblis menggunakan gagasan budaya tradisional ini untuk merusak dan mengikat orang, membuatku menempatkan orang tuaku sebagai pusat segalanya, menganggap mereka sebagai yang paling penting, dan bahkan mengkhianati Tuhan demi merawat dan berbakti kepada orang tuaku. Jika aku terus hidup dengan gagasan budaya tradisional Iblis, aku pasti akan disingkirkan oleh Tuhan pada akhirnya.
Aku terus merenung. Aku selalu berpikir bahwa tidak mudah bagi ibuku untuk membesarkanku, dan jika dia tidak mendapatkan balasan apa pun dariku, maka dia telah sia-sia membesarkanku. Oleh karena itu, aku selalu ingin membalas kebaikannya dalam membesarkanku. Apakah sudut pandangku benar? Aku membaca firman Tuhan: "Ada pepatah di dunia orang tidak percaya yang berbunyi: 'Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya'. Ada juga pepatah yang ini: 'Orang yang tidak berbakti lebih rendah daripada binatang buas'. Betapa terdengar muluk-muluknya semua pepatah ini! Sebenarnya, fenomena yang disebutkan dalam pepatah pertama, bahwa gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya, memang benar-benar ada, ini adalah fakta. Namun, hal tersebut hanyalah fenomena di dunia binatang, semacam aturan yang telah Tuhan tetapkan bagi berbagai makhluk hidup yang dipatuhi oleh segala jenis makhluk hidup, termasuk manusia. Fakta bahwa semua jenis makhluk hidup mematuhi aturan ini makin menunjukkan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan. Tidak ada makhluk hidup yang dapat melanggar aturan ini, dan tidak ada makhluk hidup yang mampu melampauinya. Bahkan karnivor yang relatif ganas seperti singa dan harimau pun mengasuh keturunan mereka dan tidak menggigit mereka sebelum mereka menjadi dewasa. Ini adalah naluri binatang. Apa pun spesies mereka, baik mereka ganas maupun jinak dan lembut, semua binatang memiliki naluri ini. Segala jenis makhluk, termasuk manusia, hanya dapat terus berkembang biak dan bertahan hidup dengan mematuhi naluri dan aturan ini. Jika mereka tidak mematuhi aturan ini, atau tidak memiliki aturan dan naluri ini, tidak mungkin mereka dapat berkembang biak dan bertahan hidup. Rantai biologis tidak akan ada, dan dunia ini pun tidak akan ada. Bukankah benar demikian? (Benar.) Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya memperlihatkan dengan tepat bahwa dunia binatang mematuhi aturan semacam ini. Semua jenis makhluk hidup memiliki naluri ini. Begitu keturunan dilahirkan, mereka dirawat dan diasuh oleh induk betina atau binatang jantan dari spesies tersebut sampai mereka menjadi dewasa. Semua jenis makhluk hidup mampu memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka kepada keturunan mereka, dengan sungguh-sungguh dan patuh membesarkan generasi berikutnya. Inilah yang terlebih lagi harus manusia lakukan. Manusia sendiri menyebut dirinya binatang yang lebih tinggi. Jika mereka tidak mampu mematuhi aturan ini, dan tidak memiliki naluri ini, berarti manusia lebih rendah daripada binatang, bukan? Oleh karena itu, sebanyak apa pun orang tuamu mengasuhmu saat mereka membesarkanmu, dan sebanyak apa pun mereka memenuhi tanggung jawab mereka kepadamu, mereka hanya melakukan apa yang sudah seharusnya mereka lakukan dalam lingkup kemampuan manusia ciptaan—ini adalah naluri mereka. ... Semua jenis makhluk hidup dan binatang memiliki naluri dan aturan ini, dan mereka mematuhinya dengan sangat baik, melaksanakannya dengan sempurna. Ini adalah sesuatu yang tidak dapat dihancurkan oleh siapa pun. Ada juga beberapa binatang khusus, seperti harimau dan singa. Ketika binatang-binatang ini sudah dewasa, mereka meninggalkan orang tua mereka, dan beberapa binatang jantan bahkan menjadi saingan, menggigit, bersaing, dan bertarung jika perlu. Ini adalah hal yang normal, ini adalah aturan. Mereka tidak diatur oleh perasaan mereka, dan mereka tidak hidup dengan perasaan mereka seperti manusia, yang berkata: 'Aku harus membalas kebaikan orang tuaku, aku harus membalas jasa mereka—aku harus menaati orang tuaku. Jika aku tidak berbakti kepada mereka, orang lain akan mengutukku, mencaci maki dan mengkritikku di belakangku. Aku tidak tahan menghadapinya!' Hal-hal seperti ini tidak dikatakan di dunia binatang. Mengapa orang mengatakan hal-hal seperti ini? Karena di tengah masyarakat dan di dalam kelompok masyarakat, ada berbagai gagasan dan pendapat yang keliru. Setelah orang dipengaruhi, dirusak, dan dibusukkan dengan hal seperti ini, muncullah berbagai cara dalam menafsirkan dan menangani hubungan orang tua dan anak dalam diri mereka. Pada akhirnya, mereka memperlakukan orang tua mereka sebagai kreditur yang tidak akan pernah mampu mereka bayar seumur hidup. Bahkan ada orang-orang yang merasa bersalah seumur hidup setelah orang tua mereka meninggal, dan menganggap dirinya tidak layak menerima kebaikan orang tua karena satu hal yang mereka lakukan yang membuat orang tua tidak bahagia, atau yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua mereka. Katakan kepada-Ku, bukankah ini berlebihan? Manusia hidup di tengah perasaan mereka sehingga mereka hanya dapat dikendalikan dan diganggu oleh berbagai gagasan yang berasal dari perasaan tersebut" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). "Dari luar, tampaknya orang tuamulah yang melahirkan kehidupan jasmanimu, dan orang tuamulah yang memberimu nyawa. Namun, dari sudut pandang Tuhan, dan dari esensi hal ini, kehidupan jasmanimu tidak diberikan kepadamu oleh orang tuamu, karena manusia tidak dapat menciptakan nyawa. Sederhananya, tak seorang pun mampu menciptakan napas manusia. Alasan mengapa daging setiap manusia dapat menjadi manusia adalah karena mereka memiliki napas tersebut. Nyawa manusia terletak pada napasnya, dan napas menandakan bahwa orang itu hidup. Manusia memiliki napas dan nyawa ini, dan sumber serta asal mula hal-hal ini bukanlah orang tua mereka. Hanya saja, cara manusia dihasilkan adalah dengan orang tua yang melahirkan mereka—pada dasarnya, Tuhan-lah yang mengaruniakan hal-hal ini kepada manusia. Oleh karena itu, orang tuamu bukanlah penguasa atas hidupmu, penguasa atas hidupmu adalah Tuhan. Tuhan menciptakan umat manusia, Dia menciptakan nyawa umat manusia, dan Dia memberikan napas kehidupan kepada umat manusia, yang merupakan asal mula nyawa manusia. Oleh karena itu, bukankah kalimat 'Orang tuamu bukanlah penguasa atas hidupmu' mudah dipahami? Napasmu diberikan kepadamu bukan oleh orang tuamu, terlebih lagi kelangsungan hidupmu, itu bukan diberikan oleh orang tuamu. Tuhan memelihara dan mengendalikan setiap hari dalam hidupmu. Orang tuamu tidak dapat memutuskan bagaimana kehidupanmu setiap harinya, apakah setiap harinya bahagia dan berjalan lancar, siapa yang kautemui setiap harinya, atau di lingkungan apa engkau hidup setiap harinya. Hanya saja Tuhan menjagamu melalui orang tuamu—orang tuamu hanyalah orang-orang yang Tuhan utus untuk menjagamu. Ketika engkau dilahirkan, bukan orang tua yang memberimu nyawamu, jadi apakah nyawa yang diberikan orang tuamu yang memungkinkanmu hidup sampai sekarang? Tetap saja bukan. Asal mula nyawamu tetaplah dari Tuhan, bukan orang tuamu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Dari firman Tuhan aku mengerti bahwa kemampuan ibuku untuk merawat dan membesarkanku sepenuhnya bergantung pada kedaulatan dan ketetapan Tuhan. Meskipun dagingku lahir dari ibuku, dan orang tuakulah yang membesarkanku, sehingga di permukaan tampak seolah-olah pujian itu milik orang tuaku, semua ini hanya terjadi karena kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Napas di paru-paruku diberikan oleh Tuhan; jika Tuhan tidak memberiku napas ini, maka seberapapun hati-hatinya orang tuaku berusaha membesarkanku, itu tidak akan ada gunanya. Terlebih lagi, membesarkan generasi berikutnya adalah hukum yang telah Tuhan tetapkan untuk semua makhluk hidup. Semua makhluk hidup hanya dapat berkembang biak dan bertahan hidup ketika mereka ada sesuai dengan hukum yang ditetapkan oleh Tuhan. Sama sekali tidak ada konsep membalas budi dalam hal ini. Ini sama seperti bagaimana seekor burung dewasa membawa serangga di paruhnya untuk memberi makan anak-anaknya sampai anak-anaknya dapat terbang dari sarang dan bertahan hidup sendiri. Burung dewasa tidak membutuhkan balasan apa pun dari anak-anaknya. Demikian pula, Tuhan juga telah memberikan naluri ini kepada manusia. Ketika ibuku membesarkanku hingga dewasa, dia hanya memenuhi tanggung jawabnya. Itu bukanlah kebaikan dan tidak ada yang namanya pembalasan atasnya. Namun, aku telah dikondisikan dan didoktrin oleh budaya tradisional Iblis, dan menganggap ibuku sebagai dermawanku. Aku percaya bahwa dia telah membesarkanku dengan susah payah, dan sekarang setelah dia sakit dan dirawat di rumah sakit setelah kecelakaan mobil, aku harus membalas kebaikannya dalam membesarkanku dan berbakti di sisinya, tidak peduli bahkan jika tugasku tertunda. Tuhan, bagaimanapun, memberiku hidupku, mengatur agar orang tuaku merawatku, dan memberiku kasih karunia dengan mengizinkanku datang ke hadapan-Nya untuk menikmati penyiraman firman-Nya, memahami beberapa kebenaran, memiliki kesempatan untuk melaksanakan tugas, dan dapat mengejar perubahan watakku melalui pelaksanaan tugas untuk mendapatkan keselamatan Tuhan. Aku harus membalas kebaikan Tuhan dengan sungguh-sungguh. Namun, aku menghambat tugasku demi membalas kebaikan dari seseorang. Ini benar-benar tidak berhati nurani dan sungguh orang yang tidak tahu berterima kasih! Sekarang aku mengerti bahwa meski aku terlalu sibuk dengan tugasku sehingga tak bisa merawat ibuku dan orang-orang di sekitarku mengkritik dan mengutukku, itu tidak masalah. Kutukan mereka tidak sejalan dengan kebenaran, juga tidak dapat menentukan apa pun. Terlebih lagi, itu tidak dapat menentukan kesudahan atau tempat tujuan seseorang. Hanya orang yang mendengarkan firman Tuhan, bertindak sesuai dengan firman Tuhan, dan berpegang pada tugas yang dipercayakan kepadanya oleh Tuhan adalah orang yang benar-benar memiliki hati nurani; hanya orang seperti inilah yang dapat memperoleh perkenanan Tuhan.
Kemudian, aku membaca beberapa lagi firman Tuhan, dan menemukan jalan penerapan ketika konflik antara melaksanakan tugasku dan berbakti kepada orang tuaku menimpaku. Tuhan berfirman: "Sekalipun orang tuamu menyebutmu anak yang tidak peduli, setidaknya engkau sedang melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan di hadapan Sang Pencipta. Asalkan engkau bukanlah orang yang tidak peduli di mata Tuhan, itu sudah cukup. Tidak penting apa yang manusia katakan. Apa yang orang tuamu katakan mengenai dirimu belum tentu benar dan apa yang mereka katakan tidak ada gunanya. Engkau harus menjadikan firman Tuhan sebagai landasanmu. Jika Tuhan menganggapmu makhluk ciptaan yang memadai, tidaklah penting jika manusia menyebutmu orang yang tidak peduli, perkataan itu tidak akan berdampak apa pun. Hanya saja, orang akan terdampak oleh kata-kata hinaan seperti itu karena pengaruh hati nurani mereka, atau ketika mereka tidak memahami kebenaran dan tingkat pertumbuhan mereka kecil, serta suasana hati mereka akan menjadi sedikit buruk dan merasa sedikit tertekan, tetapi ketika mereka kembali ke hadapan Tuhan, semua ini akan dapat dibereskan, dan tidak akan lagi menimbulkan masalah bagi mereka. Bukankah masalah membalas kebaikan orang tua telah teratasi? Apakah engkau sudah mengerti tentang hal ini? (Ya.) Fakta apa yang harus orang pahami di sini? Membesarkanmu adalah tanggung jawab orang tuamu. Mereka memilih untuk melahirkanmu, jadi mereka memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk membesarkanmu. Dengan membesarkanmu hingga menjadi dewasa, mereka sedang memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka. Engkau tidak berutang apa pun kepada mereka, jadi engkau tidak perlu membalas mereka. Engkau tidak perlu membalas mereka. Ini jelas memperlihatkan bahwa orang tuamu bukanlah krediturmu, dan engkau tidak perlu melakukan apa pun untuk mereka sebagai imbalan atas kebaikan mereka. Jika keadaanmu memungkinkan, engkau dapat memenuhi sedikit tanggung jawabmu terhadap mereka, maka lakukanlah itu. Jika lingkunganmu dan keadaan objektifmu tidak memungkinkanmu untuk memenuhi tanggung jawabmu terhadap mereka, maka engkau tidak perlu terlalu memikirkannya, dan engkau tidak perlu menganggap dirimu berutang kepada mereka, karena orang tuamu bukanlah krediturmu. Sekalipun engkau dapat menunjukkan baktimu kepada orang tuamu atau memenuhi tanggung jawabmu kepada mereka, engkau hanya dapat melakukannya dengan mengambil sudut pandang seorang anak dan memenuhi sedikit tanggung jawabmu kepada orang yang pernah melahirkan dan membesarkanmu. Namun, tentu saja engkau tidak dapat melakukan hal ini dari sudut pandang membalas mereka, atau dari sudut pandang karena 'Orang tuamu adalah penyokongmu, dan engkau harus membalas mereka, maka engkau harus membalas kebaikan mereka'" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Firman Tuhan membuat hatiku jauh lebih jernih dan terang. Aku harus tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan dalam hal berbakti kepada orang tuaku. Jika kondisinya memungkinkan, maka sebagai putrinya aku harus memenuhi tanggung jawabku dan merawat mereka semampuku saat mereka masih hidup. Jika kondisi yang ada tidak memungkinkan, maka aku harus berpegang pada tugasku terlebih dahulu, tanpa terlalu khawatir akan apa yang orang lain pikirkan, dan tidak terkekang oleh pendapat-pendapat ini atau membiarkan pelaksanaan tugasku terpengaruh. Di dunia ini, identitasku bukan hanya sebagai seorang anak perempuan. Aku juga seorang makhluk ciptaan, dan seluruh keberadaanku berasal dari Tuhan. Misiku adalah melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan, dan itu sesuatu yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan untuk kuselesaikan. Jika aku tidak punya waktu untuk berbakti kepada orang tuaku karena melaksanakan tugas, Tuhan tidak akan menghukumku. Hal yang paling harus kufokuskan saat ini adalah melaksanakan tugasku dengan baik, menyaring khotbah-khotbah berharga secepat mungkin untuk menyelesaikan masalah calon penerima Injil dan memungkinkan lebih banyak orang untuk kembali kepada Tuhan.
Kemudian, aku terlalu sibuk dengan tugasku untuk kembali dan merawat ibuku, dan terkadang aku khawatir tentang bagaimana kesehatan ibuku pulih. Namun, kemudian kupikir bahwa dia juga ada di tangan Tuhan, dan bahwa aku harus tunduk pada penataan dan pengaturan Tuhan. Aku tidak lagi merasa tidak nyaman dan tidak merasa berutang kepada ibuku lagi. Firman Tuhan telah memberiku pemahaman yang benar tentang apa itu berbakti dan apa itu tidak berbakti, dan aku juga telah memperoleh pemahaman tentang bagaimana Iblis menggunakan budaya tradisional untuk mengikat orang. Aku juga telah menemukan jalan untuk memperlakukan orang tuaku dengan benar, yang telah sedikit membebaskan hatiku. Syukur kepada Tuhan!