75. Pilihan yang Tak Kusesali
Aku lahir pada tahun 90-an, dan saat SMP, aku kecanduan film drama romantis. Setiap kali aku melihat cinta yang tak tergoyahkan antara tokoh utama pria dan wanita, terutama saat si pria menjaga si wanita, aku merasa ingin seperti itu, dan aku berharap suatu hari nanti juga bisa memiliki cinta seperti itu. Kupikir menemukan seseorang yang mencintaiku, dan tetap bersama dalam suka dan duka, akan menjadi cara hidup yang paling bahagia dan bermakna untuk dijalani.
Pada bulan April 2009, tak lama setelah aku menemukan Tuhan, aku bertemu Wenbin. Dia empat tahun lebih tua dariku, dan dia orang yang polos, tulus, dewasa, dan stabil, dia juga penuh perhatian serta peduli padaku. Setiap kali aku sedang kesal padanya, dia selalu sabar menghadapiku. Biasanya, jika terjadi sesuatu, dia akan menanyakan pendapatku terlebih dahulu, dan dia akan selalu setuju denganku serta menghormati pilihanku. Aku merasa nyaman bersamanya. Kerabat dan teman-teman kami juga ingin menjadi seperti kami, mereka juga bilang Wenbin selalu mengalah padaku, dan orang seperti itu sulit ditemukan zaman sekarang. Aku tenggelam dalam manisnya cinta, dan aku sering merasa beruntung memiliki pacar yang begitu pengertian.
Seiring aku makin banyak membaca firman Tuhan, aku mengerti bahwa pekerjaan Tuhan di akhir zaman melalui inkarnasi-Nya adalah untuk menyelamatkan dan menyempurnakan umat manusia, membawa mereka yang dengan tulus percaya kepada Tuhan dan disucikan ke zaman berikutnya, dan bahwa ini adalah langkah terakhir dalam pekerjaan Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia. Orang tuaku juga sering bersekutu denganku tentang pentingnya percaya kepada Tuhan, mengingatkanku untuk menghargai kesempatan yang sangat langka ini. Aku ingin membawa Wenbin ke hadapan Tuhan agar kami berdua bisa percaya kepada Tuhan dan mengejar kebenaran bersama, sehingga pada akhirnya, kami bisa diselamatkan dan masuk ke dalam kerajaan bersama. Itu akan menjadi hal yang sangat membahagiakan! Jadi, secara halus aku menanyakan sikapnya terhadap iman. Dia tidak percaya pada Tuhan, dan dia percaya bahwa takdir seseorang ada di tangan mereka sendiri. Dia berkata, "Kita masih muda, dan segalanya harus tentang uang." Dia juga menyuruhku untuk tidak mendengarkan orang tuaku ketika mereka berbicara tentang percaya kepada Tuhan, dan bahwa tidak ada Tuhan di dunia ini. Ketika mendengar dia berkata begitu, aku menjadi merasa sangat tidak nyaman. Awalnya aku ingin membawanya ke hadapan Tuhan dan kami berdua percaya kepada-Nya, tetapi aku tidak pernah menyangka dia seorang ateis. Apa yang harus kulakukan? Aku pernah melihat beberapa saudara-saudari, yang keluarganya tidak percaya kepada Tuhan, dihalangi dan dianiaya oleh mereka. Sama seperti sepupuku—sebelum menikah, dia aktif melaksanakan tugasnya dan memberitakan Injil di berbagai tempat, tetapi setelah menikah, suaminya, seorang ateis, menganiaya dan menghalangi imannya, dan setiap hari, mereka bertengkar atau berkelahi. Kemudian, sepupuku bahkan tidak bisa menghadiri pertemuan, dan pada akhirnya, dia terpaksa bercerai, dan anak itu diberikan kepada ayahnya. Dia merasa sangat sedih setiap kali memikirkan anaknya. Aku tidak ingin menanggung pernikahan atau penderitaan seperti itu. Wenbin tidak percaya pada Tuhan, jadi jika dia menganiayaku di masa depan, apakah aku bisa tetap teguh? Untuk sementara, aku tidak tahu harus berbuat apa. Dalam penderitaanku, aku datang ke hadapan Tuhan dan berdoa, "Tuhan, aku tidak menyangka Wenbin seorang ateis. Setelah sekian lama bersama, aku telah mencurahkan terlalu banyak perasaan, dan jika aku putus dengannya, hatiku akan terasa seperti hancur berkeping-keping. Aku tidak sanggup melepaskan kasih sayang ini. Namun, jika aku tetap bersamanya, dan dia menghalangi imanku karena jalan kami yang berbeda, apa yang akan kulakukan? Tuhan, tingkat pertumbuhanku terlalu kecil, tolong bimbing aku untuk membuat pilihan yang benar." Pada hari-hari berikutnya, aku mulai membaca firman Tuhan tentang bagaimana menyikapi pernikahan, dan aku jadi mengerti bahwa ada prinsip-prinsip dalam memilih pasangan. Penting untuk menemukan seseorang yang sepemikiran, dengan kemanusiaan yang baik, dan yang tidak akan menghalangi imanku. Wenbin tidak percaya pada Tuhan, kami tidak sepemikiran atau berada di jalan yang sama, dan cepat atau lambat, kami akan putus. Makin banyak kasih sayang yang kucurahkan, perpisahan itu akan makin menyakitkan. Selama waktu itu, setiap kali aku memikirkan hal ini, hatiku sakit. Aku tidak tahan membayangkan harus putus, tetapi jika kami tetap bersama, kami akan menempuh jalan yang berbeda. Hatiku dipenuhi pertentangan, jadi aku menceritakan penderitaan dan kesulitanku kepada Tuhan serta memohon pertolongan-Nya.
Tanpa kusadari, waktu sudah menunjukkan bulan Maret 2011, dan keluarga Wenbin meminta kami untuk bertunangan. Aku harus membuat pilihan. Dalam hati, aku jelas tahu bahwa Wenbin tidak percaya pada Tuhan, dan kami tidak akan berjalan bersama hingga akhir, tetapi aku masih menyimpan sedikit harapan, pikirku, "Aku belum pernah benar-benar bersaksi kepadanya tentang pekerjaan Tuhan, dan aku tidak yakin dengan sikapnya terhadap kebenaran. Jika dia tidak percaya pada Tuhan tetapi tidak menghalangiku, kami masih bisa tetap bersama." Jadi aku memutuskan untuk berbicara dengannya tentang imanku kepada Tuhan dan melihat bagaimana reaksinya. Sesuatu yang tidak pernah kuduga terjadi. Begitu mendengar aku percaya kepada Tuhan, dia mengepalkan tinjunya karena marah dan menghantamkannya ke dinding. Tindakannya mengejutkanku, dan saat aku sadar, tangannya sudah berdarah karena benturan itu. Ketika kulihat dia akan terus memukul dinding, aku segera meraih tangannya, tetapi dia menariknya dengan paksa. Ketika aku melihat perilakunya yang tidak biasa dan ekspresinya yang dingin, dia terasa seperti orang asing, dan aku takut, pikirku, "Apakah ini masih pacar yang dulu selalu setuju dengan semua perkataanku? Mengapa dia bersikap seperti ini ketika mendengar aku percaya kepada Tuhan? Matanya dipenuhi kebencian. Aku hanya percaya kepada Tuhan, aku tidak melakukan kesalahan apa pun, mengapa dia bereaksi seperti ini?" Dalam hatiku, aku terus berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, jika dia benar-benar menghalangi imanku, aku bersedia putus dengannya. Namun, tingkat pertumbuhanku terlalu kecil, dan aku tidak bisa melepaskan kasih sayang yang telah dua tahun kami jalani. Tolong beri aku kekuatan untuk membuat pilihan yang benar." Setelah berdoa, aku menceritakan pengalamanku dilindungi oleh Tuhan, dan aku menegaskan pendirianku. Dia terdiam sejenak, lalu setuju untuk tidak menghalangi imanku. Kami sepakat bahwa jika suatu saat dia menghalangi imanku, aku akan putus dengannya. Awalnya dia tertegun mendengarnya, tetapi dia tetap setuju.
Kakak dan ipar Wenbin memiliki kemanusiaan yang baik dan percaya akan adanya Tuhan, jadi aku bersaksi kepada mereka tentang pekerjaan Tuhan di akhir zaman. Ketika Wenbin tahu, dia meledak dalam amarah, dan di depan keluarganya, dia menyuruhku pergi, dan dia tidak mau melihatku lagi. Dia membanting ponselnya dengan keras di depanku. Aku belum pernah melihatnya semarah ini sebelumnya. Dengan nada penuh kebencian, dia berkata, "Aku tidak akan menghalangi imanmu, tetapi jangan coba-coba memberitakan Injil kepada keluargaku!" Ketika melihat sikapnya yang begitu menentang imanku, aku menjadi khawatir, pikirku, "Dia bilang dia tidak akan menghalangi imanku, tetapi itu karena dia tidak tahu bahwa aku menghadiri pertemuan dan melaksanakan tugasku. Jika dia tahu, akankah dia mencoba menghalangi imanku? Jika dia mencoba menghalangiku, kami pasti akan bertengkar, dan pernikahan kami mungkin akan hancur. Apa yang harus kulakukan?" Hatiku terasa terbelah. Jika kami putus, aku mungkin tidak akan pernah bertemu orang lain yang benar-benar mencintaiku seperti ini lagi, lalu apa gunanya hidupku? Namun jika kami tidak putus, kami pasti akan terus bertengkar, lalu adakah kebahagiaan dalam kehidupan yang seperti itu? Baru memikirkan ini saja sudah membuatku patah hati, dan aku terjebak dalam dilema. Kemudian, aku menyadari kami memiliki perbedaan yang jelas dalam cara kami memandang sesuatu. Misalnya, dia berkata bahwa setelah kami menikah, kami harus membuka restoran, menghasilkan uang untuk membeli mobil, rumah, dan sebagainya. Aku berkata, "Berapa banyak uang yang bisa dihasilkan seseorang sudah ditetapkan oleh Surga, dan kita hanya butuh cukup untuk hidup. Uang bukanlah hal terpenting dalam hidup. Kita harus menyembah Tuhan. Itulah jalan yang benar dalam hidup." Dia berkata dengan tidak senang, "Apa gunanya hidup jika kau tidak menghasilkan uang? Bagaimana kau akan makan atau minum tanpa uang? Kau tidak punya ambisi!" Pertengkaran seperti itu sering terjadi, dan aku merasa lelah. Setiap kali kami berselisih paham yang menyebabkan ketidakbahagiaan, aku akan bertanya-tanya, "Apakah ini kebahagiaan yang kuinginkan? Mengapa aku tidak bisa merasa bahagia? Apa hal yang paling berarti untuk dikejar dalam hidup? Bagaimana aku bisa menghindari menyia-nyiakan hidupku ini?" Setelah itu, aku datang ke hadapan Tuhan dan berdoa, "Tuhan, awalnya kupikir hidup bersama Wenbin akan membawa kebahagiaan, dan bahwa inilah kehidupan yang selalu kuimpikan, tetapi sekarang aku melihat bahwa keadaannya tidak seperti yang kupikirkan. Kami menempuh jalan yang berbeda dan tidak punya kesamaan, jadi hatiku tidak pernah merasa terbebas. Setiap hari aku diam-diam membaca firman-Mu dan menghadiri pertemuan karena aku takut bertengkar karena hal-hal ini. Tuhan, aku sangat menderita, dan aku ingin melepaskan diri dari kasih sayang ini, tetapi jauh di lubuk hati, aku tidak sanggup melepaskan hubungan ini. Tolonglah aku."
Kemudian, Wenbin sepertinya merasakan sesuatu. Beberapa kali, ketika aku kembali setelah pergi, dia akan menanyakan berbagai macam pertanyaan. Awalnya, aku tidak terlalu memikirkannya, sampai suatu hari, ketika tiba waktunya untuk pertemuan lagi. Aku bersiap-siap lebih awal dan hendak pergi, dan dia berkata, "Katakan yang sebenarnya, apa kau akan pergi ke pertemuan lagi?" Nada lembutnya yang biasa tiba-tiba berubah dan dia terlihat sangat serius. Aku berkata, "Ya. Memangnya kenapa? Bukankah kau bilang kau tidak akan menghentikanku untuk percaya kepada Tuhan?" Dia berkata, "Waktu itu kupikir jika aku tidak setuju, kau akan putus denganku. Bagaimana mungkin aku tidak mengatakan itu? Kupikir setelah sekian lama, keinginanmu untuk percaya kepada Tuhan akan melemah, dan kau akan berhenti percaya. Aku tidak pernah menyangka kau malah menjadi makin parah dalam enam bulan terakhir! Aku tidak tahan lagi. Kau harus memilih antara aku dan imanmu. Jika kau memilihku, kau harus melepaskan imanmu!" Aku tahu jika kami tetap bersama, akan ada pertengkaran terus-menerus, dan perselisihan ini hanyalah permulaan. Namun, jika kami benar-benar putus, aku masih begitu berat hati dan tidak ingin melepaskan hubungan ini. Namun, jika aku memilih untuk bersama Wenbin, aku harus melepaskan imanku. Inilah saat kunci bagi Tuhan untuk menyempurnakan orang, dan aku juga menjadi sangat percaya bahwa firman Tuhan Yang Mahakuasa adalah kebenaran, jalan, dan hidup, dan melalui pengalaman akan pekerjaan Tuhan, aku telah mengalami bagaimana firman Tuhan dapat menyucikan orang, mengatasi watak mereka yang rusak, dan menunjukkan kepada orang-orang arah serta jalan yang benar dalam tindak-tanduk maupun cara berperilaku mereka. Kebenaran yang Tuhan berikan kepada manusia sungguh berharga, jadi jika aku melewatkan kesempatan ini, itu akan menjadi penyesalan seumur hidup! Bagaimana aku harus memilih antara imanku dan pernikahan? Mengapa aku tidak bisa memiliki keduanya? Hatiku berkecamuk, dan aku diam-diam berdoa kepada Tuhan. Aku teringat satu bagian firman Tuhan yang telah kubaca dalam sebuah pertemuan: "Di balik setiap langkah pekerjaan yang Tuhan lakukan di dalam diri engkau semua adalah taruhan Iblis dengan Tuhan—di balik semua itu ada peperangan. ... Ketika Tuhan dan Iblis berperang di alam roh, bagaimana seharusnya engkau memuaskan Tuhan, dan bagaimana engkau harus tetap teguh dalam kesaksianmu bagi-Nya? Engkau harus tahu bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirimu adalah ujian yang besar dan itulah saatnya Tuhan membutuhkanmu untuk memberi kesaksian" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mengasihi Tuhan yang Berarti Sungguh-Sungguh Percaya kepada Tuhan"). Firman Tuhan membuatku mengerti bahwa Tuhan ingin menyelamatkan manusia, tetapi Iblis tidak akan melepaskannya dengan mudah. Tuhan mengizinkan Iblis untuk mencobai kita untuk melihat bagaimana kita memilih dalam situasi seperti itu, dan apakah kita bisa teguh bersama-Nya untuk memuaskan-Nya. Di permukaan, kelihatannya Wenbin menghentikanku untuk mengikuti Tuhan, tetapi pada kenyataannya, di baliknya ada Iblis yang membuat gangguan itu. Baik Tuhan maupun Iblis sedang mengamati bagaimana aku akan memilih, dan aku harus bersaksi bagi Tuhan. Aku mengendalikan emosiku dan dengan tenang berkata, "Aku memilih untuk percaya kepada Tuhan!" Wenbin menegaskan pendiriannya: Dia lebih baik putus daripada mengizinkanku percaya kepada Tuhan. Aku merasa sangat terpuruk, dan ketika sampai di rumah, aku tidak bisa menahan tangis. Aku tidak menyangka setelah bertahun-tahun, hubungan kami benar-benar sampai pada titik ini. Dalam penderitaanku, aku berdoa kepada Tuhan, memohon Dia untuk membantuku tetap teguh dalam situasi ini.
Kemudian, aku membaca firman Tuhan: "Engkau harus menderita kesukaran demi kebenaran, engkau harus mengorbankan dirimu untuk kebenaran, engkau harus menanggung penghinaan demi kebenaran, dan engkau harus mengalami lebih banyak penderitaan untuk memperoleh lebih banyak kebenaran. Inilah yang harus engkau lakukan. Janganlah engkau membuang kebenaran demi kenikmatan keharmonisan keluarga, dan janganlah kehilangan martabat dan integritas seumur hidupmu demi kenikmatan sesaat. Engkau harus mengejar segala yang indah dan baik, dan engkau harus mengejar jalan dalam hidup yang lebih bermakna. Jika engkau menjalani kehidupan biasa dan duniawi, dan tidak memiliki tujuan apa pun untuk dikejar, bukankah ini berarti menyia-nyiakan hidupmu? Apa yang dapat engkau peroleh dari kehidupan semacam itu? Engkau harus meninggalkan seluruh kenikmatan daging demi satu kebenaran, dan jangan membuang seluruh kebenaran demi sedikit kenikmatan. Orang-orang seperti ini tidak memiliki integritas atau martabat; keberadaan mereka tidak ada artinya!" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Ketika merenungkan firman Tuhan, aku mengerti bahwa pernikahan bukanlah hal terpenting dalam hidup, dan bahwa percaya kepada Tuhan, mendapatkan kebenaran, dan mengenal Tuhan adalah hal yang membuat hidup berarti. Di akhir zaman, Tuhan yang berinkarnasi telah datang di antara manusia dan mengungkapkan begitu banyak kebenaran untuk menganugerahkan kita hidup yang kekal. Namun, aku hanya berfokus pada kenikmatan fisik yang sementara. Aku tidak mau menderita serta membayar harga untuk mendapatkan kebenaran dan hidup, dan aku selalu mendambakan kenyamanan fisik. Apa yang akhirnya bisa kudapatkan dengan hidup seperti ini? Ketika malapetaka dahsyat datang, siapa yang bisa menyelamatkanku? Untuk mendapatkan kebenaran, orang harus menderita dan membayar harga, karena mustahil masuk ke dalam kerajaan surga dengan ongkang-ongkang kaki. Dahulu, kupikir pernikahan itu indah, dan menghabiskan hidupmu dengan seseorang yang mencintaimu membuat hidup menjadi berarti, tetapi sekarang aku sadar bahwa aku terlalu naif. Wenbin dan aku berada di jalan yang berbeda. Wenbin tidak percaya pada Tuhan, dia memuja ilmu pengetahuan dan kenikmatan materi, yang dia cari adalah cara menghasilkan uang dan menjalani kehidupan yang terpandang. Sedangkan aku percaya pada mencukupkan diri hanya dengan memiliki makanan dan minuman untuk hidup, dan bahwa orang harus mengejar kebenaran dan berusaha untuk menghidupi keserupaan manusia yang sejati dalam hidup, melaksanakan tugas makhluk ciptaan, dan mendapatkan perkenanan Sang Pencipta. Pandangan kami dan hal-hal yang kami kejar dalam hidup benar-benar berbeda, jadi kami tidak punya kesamaan. Meskipun dia sangat pengertian dan peduli padaku, aku tetap merasa sakit di dalam dan hidup dengan perasaan sangat tertekan. Saat bersamanya, aku harus menghadiri pertemuan dan membaca firman Tuhan secara diam-diam, karena takut dia akan bertengkar denganku karena kepercayaanku kepada Tuhan, batinku juga merasa sangat terkekang dan lelah. Firman Tuhan membuatku mengerti bahwa hal terpenting dalam hidup adalah ketika seseorang mengejar kebenaran, untuk melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan, dan untuk menyelesaikan misi yang diberikan oleh Sang Pencipta. Orang seperti itu dipandang berharga di mata Sang Pencipta, dan menjalani kehidupan yang berarti dan berharga. Sama seperti Petrus, dia menghabiskan hidupnya berfokus pada mengejar kebenaran dan melaksanakan tugasnya untuk memuaskan Tuhan, dan pada akhirnya, dia menerima perkenanan Tuhan. Setelah memahami ini, aku makin yakin bahwa memilih untuk percaya kepada Tuhan adalah pilihan yang benar. Aku kemudian secara aktif bergabung ke dalam barisan orang-orang yang melaksanakan tugas.
Beberapa waktu kemudian, Wenbin dan orang tuanya tiba-tiba datang ke rumahku. Wenbin, dengan air mata berlinang, berkata, "Aku tidak bisa melepaskan hubungan ini, tetapi aku tidak bisa menerima imanmu. Demi aku, tidak bisakah kau melepaskan imanmu? Mari kita jalani hidup yang baik bersama." Orang tuanya juga mendesakku untuk melepaskan imanku. Aku sadar bahwa ini adalah pilihan lain yang harus kubuat. Aku menenangkan diri dan berpikir, "Jika Wenbin benar-benar mencintaiku, selama aku bahagia, dia seharusnya mendukungku dalam segala yang kulakukan. Jika percaya kepada Tuhan membuatku bahagia, dia akan mendukungku. Namun, Wenbin tidak mengizinkanku percaya kepada Tuhan. Apakah ini cinta sejati? Tidak, aku tidak bisa berkompromi." Jadi, dengan tenang aku menyatakan pendirianku, "Aku ingin percaya kepada Tuhan, dan aku tidak akan menyesali pilihanku." Sebelum pergi, Wenbin bertanya mengapa aku tidak memilihnya, dan dia bertanya-tanya apakah dia kurang baik padaku. Aku berkata, "Tidak, kau sudah baik padaku. Dahulu, kupikir pernikahan itu indah, dan satu bagian besar dari kehidupan, tetapi setelah menemukan Tuhan, aku mengerti bahwa menikah bukanlah hal terpenting dalam hidup. Jika aku memilih untuk melepaskan imanku demi bersamamu, meskipun di permukaan, hidup mungkin tampak mudah dan harmonis, dengan kenikmatan fisik, apa artinya menjalani hidup dengan cara ini? Bukankah aku akan hidup seperti jasad tanpa jiwa? Apakah hidup hanya tentang makan, minum, dan bersenang-senang, menunggu mati? Nilai apa yang akan dimiliki kehidupan seperti itu? Kau mengejar kenikmatan fisik dan kehidupan yang terpandang, tetapi bukan itu yang kuinginkan. Aku berusaha untuk menjalani kehidupan sejati, untuk menghidupi keserupaan dengan manusia yang sejati, dan untuk menerima perkenanan Sang Pencipta. Kita menempuh jalan yang berbeda, dan kita tidak akan pernah mencapai tujuan yang sama." Wenbin terdiam setelah mendengar ini, dan hubungan kami berakhir.
Kemudian, aku merenungkan mengapa aku begitu menderita ketika dihadapkan pada pilihan antara pernikahan dan iman. Aku menemukan satu bagian firman Tuhan: "Pengaruh berbahaya 'semangat luhur nasionalisme' selama ribuan tahun telah berakar kuat dalam hati manusia, demikian juga pemikiran feodal yang mengikat dan membelenggu manusia, tanpa sedikit pun kebebasan, tanpa kemauan untuk bercita-cita atau bertahan, tanpa hasrat untuk maju, malah sebaliknya, tetap negatif dan mundur, terkurung dalam mentalitas budak, dan seterusnya—faktor-faktor objektif ini telah membubuhkan suatu corak tak terhapuskan yang kotor dan buruk pada pandangan ideologis, cita-cita, moralitas, dan watak manusia. Manusia, sepertinya, sedang hidup dalam dunia gelap terorisme, di mana tak seorang pun di antara mereka berusaha untuk menerobos, dan tak seorang pun di antara mereka berpikir untuk berpindah ke dunia yang ideal; sebaliknya, mereka puas dengan keadaan mereka, menghabiskan hari-hari mereka dengan melahirkan dan membesarkan anak, membanting tulang, berpeluh, sibuk melakukan tugas rumah tangga, memimpikan keluarga yang nyaman dan bahagia, dan memimpikan kasih sayang dalam pernikahan, anak-anak yang berbakti, dan sukacita di usia senja saat mereka menjalani kehidupan mereka dengan damai .... Selama puluhan, ribuan, bahkan puluhan ribu tahun hingga saat ini, orang telah menghabiskan waktu mereka dengan cara ini, tanpa ada yang menciptakan kehidupan yang sempurna, semuanya hanya bertujuan saling membantai di dunia yang gelap ini, berlomba-lomba mengejar ketenaran, keberuntungan, dan saling menjatuhkan. Siapakah yang pernah mencari maksud-maksud Tuhan? Adakah yang pernah mengindahkan pekerjaan Tuhan? Semua bagian dari manusia yang dipenuhi dengan pengaruh kegelapan telah lama menjadi natur manusia, sehingga cukup sulit untuk melaksanakan pekerjaan Tuhan, dan orang-orang bahkan kurang punya hati untuk memperhatikan apa yang telah dipercayakan Tuhan kepada mereka pada zaman sekarang" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (3)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku mengerti mengapa begitu sulit bagiku untuk memilih antara pernikahan dan iman. Aku telah didoktrin sejak usia muda oleh drama TV yang telah mengajariku, "Hidup itu berharga, kasih lebih berharga lagi," dan "Cinta di atas segalanya." Gagasan-gagasan ini telah memengaruhi dan meracuni pikiranku. Kupikir hal paling bahagia dalam hidup adalah menemukan seseorang yang mencintaimu dan kalian berdua menjadi tua bersama dan saling mendukung. Terutama ketika kulihat tokoh utama wanita diperhatikan oleh tokoh utama pria dalam segala hal, kubayangkan betapa mereka sangat bahagia, dan secara keliru aku percaya bahwa menemukan seseorang yang mencintaimu berarti hidupmu tidak sia-sia. Setelah aku menemukan Tuhan, Wenbin sangat menentangnya, dan dia memintaku untuk memilih antara dia dan imanku. Ini membuatku dipenuhi perasaan sakit dan pertentangan, dan kupikir jika aku tidak bisa menghabiskan hidupku dengan seseorang yang mencintaiku, maka hidupku tidak akan memiliki nilai atau makna. Dengan makan dan minum firman Tuhan, akhirnya aku mengerti bahwa cinta dan pernikahan bukanlah hal yang paling berarti. Sama seperti meskipun Wenbin selalu penuh perhatian dan peduli padaku, aku masih sering merasa hampa dan tidak berdaya, dan hanya dengan membaca firman Tuhan hatiku menemukan penghiburan. Aku menyadari bahwa kehampaan hati tidak dapat diisi oleh kenikmatan materi atau perhatian pasangan. Gagasan seperti "Cinta di atas segalanya" dan "Hidup itu berharga, kasih lebih berharga" semuanya adalah perkataan setan untuk menipu orang, dan Iblis mencoba menggunakan ini untuk mencobai dan menipu kita, membuat kita secara buta mengejar cinta dan pernikahan, serta menganggap hal-hal ini sebagai pengejaran yang benar, yang pada akhirnya menyebabkan kita menyimpang dari Tuhan, mengkhianati Tuhan, dan kehilangan kesempatan kita untuk diselamatkan. Jika bukan karena pencerahan dan bimbingan firman Tuhan, aku akan memilih pernikahan dan kehilangan kesempatanku untuk diselamatkan Tuhan. Ketika memikirkan ini, tekadku untuk mengikuti dan percaya kepada Tuhan menjadi makin teguh.
Melalui Wenbin yang berulang kali menghalangi imanku, berangsur-angsur kulihat esensi aslinya. Wenbin tampak lembut, mudah didekati, dan ramah, tetapi dia seorang ateis, dan setiap kali mendengar tentang imanku, dia akan marah, dan matanya memerah. Perkataan dan penyingkapannya dipenuhi sikap permusuhan, dan dia memiliki esensi setan. Seperti yang Tuhan firmankan, "Semua orang yang tidak percaya, serta mereka yang tidak melakukan kebenaran, adalah setan-setan!" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan dan Manusia akan Masuk ke Tempat Perhentian Bersama-sama"). Orang normal, bahkan jika mereka tidak menerima iman, tidak akan memusuhi. Hanya setan yang membenci Tuhan, dan Wenbin benar-benar memiliki esensi setan. Aku kemudian membaca firman Tuhan: "Mengapa suami mengasihi istrinya? Dan mengapa istri mengasihi suaminya? Mengapa anak-anak berbakti kepada orang tuanya? Mengapa orang tua menyayangi anak-anak mereka? Niat macam apa yang sebenarnya dimiliki orang? Bukankah niat mereka adalah untuk memuaskan rencana dan keinginan egois mereka sendiri?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan dan Manusia akan Masuk ke Tempat Perhentian Bersama-sama"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa semua hubungan antar manusia didasari oleh kepentingan serta transaksi, dan tidak ada cinta sejati. Kebaikan Wenbin padaku sebenarnya hanya untuk keuntungannya sendiri, karena aku tidak menghabiskan uang sembarangan seperti gadis-gadis lain, juga tidak punya kebiasaan buruk. Aku juga baik kepada orang tuanya, Aku bekerja keras untuk keluarganya, dan tidak segan mengotori tangan atau mencucurkan keringat. Hal-hal ini menguntungkannya. Namun ketika dia tahu bahwa aku percaya kepada Tuhan, dia khawatir, mengingat aku telah menemukan Tuhan, aku tidak akan menghasilkan uang bersamanya, dan karena hal-hal ini menyangkut kepentingannya, dia mulai merasa menentang. Setiap kali ada sesuatu yang berhubungan dengan iman, dia akan memarahi dan meremehkanku, tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. Aku belum menikah dengannya, dan aku belum benar-benar memengaruhi kepentingannya, tetapi dia sudah memperlakukanku seperti ini. Setelah kami menikah, begitu aku mulai mencurahkan diri pada tugasku, dia pasti akan lebih menghalangi dan menganiayaku, bahkan kami juga mungkin akan bercerai. Bagaimana bisa ada kebahagiaan dengan seseorang yang memprioritaskan kepentingan pribadi dan membenci Tuhan?
Setelah putus dengan Wenbin, hatiku terasa jauh lebih lega, dan aku bisa membaca firman Tuhan, menghadiri pertemuan, serta melaksanakan tugasku tanpa terkekang. Aku teringat tentang bisa menyaksikan penampakan Tuhan dalam hidupku, menerima untuk disucikan dan disempurnakan oleh firman Tuhan, serta melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan adalah berkat yang sungguh besar, dan hatiku terasa dipenuhi kebaikan serta sukacita. Sekarang aku bisa sepenuhnya mencurahkan diri pada iman dan tugasku. Ini adalah kasih dan keselamatan Tuhan bagiku, dan aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku!