81. Tidak Ada Perbedaan Status atau Pangkat dalam Tugas

Pada tahun 2023, para pemimpin mengatur agar aku memberitakan Injil karena kualitasku buruk dan aku terbukti tidak mampu melaksanakan tugas tulis-menulis. Saat itu, aku merasa kehilangan muka. Aku berpikir, "Semua saudara-saudari tahu bahwa aku diberhentikan karena kualitasku buruk. Apa yang akan mereka pikirkan tentangku?" Aku merasa tidak enak. Suatu hari, sepulang dari memberitakan Injil, aku menerima surat dari para pemimpin. Mereka mengatakan bahwa mereka kekurangan orang dan ingin aku kembali ke tempatku melaksanakan tugas yang semula. Saat membacanya, aku sangat senang dan berpikir, "Sekarang aku bisa kembali melaksanakan tugas tulis-menulis!" Namun setelah lanjut membaca, aku langsung merasa patah semangat. Ternyata para pemimpin ingin aku ke sana untuk melaksanakan tugas menjadi tuan rumah. Aku sangat kecewa. Dalam hati aku berpikir, "Selesai sudah. Tugas ini selalu dilakukan oleh saudara-saudari yang sudah tua. Bagaimana mungkin aku sampai harus memasak untuk orang-orang? Ini sungguh merendahkan! Sungguh memalukan! Lagi pula, dahulu aku melaksanakan tugas tulis-menulis, tetapi sekarang, dalam sekejap mata, aku menjadi tuan rumah. Bagaimana aku bisa berani menatap mata para saudara yang dahulu bekerja sama denganku? Aku pernah menjadi pemimpin dan pernah melaksanakan tugas tulis-menulis, dan semua saudara-saudari di kampung halamanku menganggapku orang yang berbakat. Kalau mereka tahu aku sekarang jauh dari rumah sedang memasak dan menjadi tuan rumah, apa yang akan mereka pikirkan tentangku? Mau ditaruh di mana mukaku?" Saat memikirkan hal ini, aku merasa sangat menentang dan tidak mau menerima tugas ini. Namun, karena khawatir para pemimpin akan berkata bahwa aku tidak taat, aku pun menyetujuinya dengan enggan.

Ketika tiba di kediaman tuan rumah, aku merasa agak canggung menatap mata para saudara yang pernah kukenal; aku merasa rendah diri. Agar tidak merasa malu, aku berusaha tetap berada di dalam kamar sesering mungkin dan meminimalkan kontak dengan mereka. Ketika melihat mereka pergi melaksanakan tugas setelah makan, sementara aku sibuk mencuci piring, mengelap meja, dan menyapu lantai, aku mulai merasa jengkel saat bekerja. Aku merasa seperti pembantu. Terkadang kulemparkan saja sapunya dan beberapa hari aku tidak bersih-bersih, dan kadang para saudara membantuku membersihkan rumah. Seorang saudara mengalami masalah kesehatan dan tidak bisa makan makanan yang terlalu pedas, dan sudah berkali-kali mengingatkanku agar tidak memasak makanan yang terlalu pedas. Namun, aku tak bisa menerimanya dengan baik dan aku menganggap mereka memperlakukanku seperti pembantu, jadi aku merasa murung. Saat memasak, aku sama sekali tidak memasukkan satu cabai pun, dan membiarkan cabai-cabai itu busuk alih-alih memakannya demi melampiaskan ketidakpuasanku. Ketika melihat sikapku, para saudara-saudari berhenti menyinggung soal itu. Setelah itu, aku merasa menyesal dan tahu bahwa aku seharusnya tidak bertindak seperti itu, tetapi aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku. Aku makin tidak bertanggung jawab dalam tugasku, dan kadang memasak terlalu banyak atau terlalu sedikit. Aku tidak menanyakan apakah para saudara sudah cukup makan atau belum, dan aku terus-menerus merasa ingin mengelak dari tugas ini. Namun, aku takut saudara-saudari akan mengatakan bahwa aku tidak tunduk pada lingkungan yang telah diatur Tuhan, jadi aku tidak berani membicarakannya. Namun, hatiku selalu sedih setiap kali berhadapan dengan panci dan wajan, mencuci dan membilas. Aku berpikir, "Tugas ini selalu dilakukan oleh saudara-saudari yang sudah tua. Kalau saudara-saudari yang mengenalku tahu aku sekarang menjadi juru masak, siapa yang masih akan menghormatiku?" Pikiran-pikiran ini membangkitkan rasa frustrasi yang terpendam dan membuatku merasa sangat tidak nyaman. Aku menyadari bahwa keadaanku tidak benar, lalu aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, "Ya Tuhan, aku tahu bahwa ada maksud-Mu atas situasi yang kualami ini. Kumohon, tuntun aku untuk belajar tunduk!"

Setelah itu, aku merenungkan diriku sendiri, "Mengapa aku tidak pernah ingin melaksanakan tugas menjadi tuan rumah?" Suatu hari dalam saat teduhku, aku membaca satu bagian firman Tuhan yang sangat relevan dengan keadaanku. Tuhan berfirman: "Kecintaan antikristus akan reputasi dan status mereka sendiri melampaui apa yang dirasakan oleh manusia normal, dan merupakan sesuatu yang ada dalam esensi watak mereka; itu bukanlah kesukaan pribadi yang sifatnya sementara ataupun efek sementara dari lingkungan mereka—itu adalah sesuatu yang ada dalam hidup mereka, dalam naluri mereka, dan dengan demikian, itulah esensi mereka. Dengan kata lain, dalam segala sesuatu yang antikristus lakukan, pertimbangan pertama mereka adalah reputasi dan status mereka sendiri, tidak ada yang lain. Bagi antikristus, reputasi dan status adalah hidup dan tujuan seumur hidup mereka. Dalam segala hal yang mereka lakukan, pertimbangan pertama mereka adalah: 'Apa yang akan terjadi dengan statusku? Lalu apa yang akan terjadi dengan reputasiku? Apakah melakukan hal ini akan memberiku reputasi yang baik? Apakah melakukan hal ini akan meningkatkan statusku di benak orang?' Itulah hal pertama yang mereka pikirkan, yang merupakan bukti yang cukup bahwa mereka memiliki watak dan esensi antikristus; itulah sebabnya mereka mempertimbangkan hal-hal seperti ini. Dapat dikatakan bahwa bagi antikristus, reputasi dan status bukanlah tuntutan tambahan, apalagi hal-hal lahiriah bagi mereka yang dapat mereka abaikan. Reputasi dan status adalah bagian dari natur para antikristus, kedua hal tersebut ada di dalam tulang mereka, dalam darah mereka, yang sudah menjadi bawaan lahiriah mereka. Para antikristus tidak acuh tak acuh apakah mereka memiliki reputasi dan status atau tidak; ini bukanlah sikap mereka. Lantas, apa sikap mereka terhadap kedua hal ini? Reputasi dan status berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari mereka, dengan keadaan sehari-hari mereka, dengan apa yang mereka kejar dalam kehidupan sehari-hari. ... Dapat dikatakan bahwa di dalam hati para antikristus, pengejaran akan kebenaran dalam iman mereka kepada Tuhan adalah pengejaran akan reputasi dan status, dan pengejaran akan reputasi dan status juga adalah pengejaran akan kebenaran; mendapatkan reputasi dan status berarti mendapatkan kebenaran dan hidup. Jika mereka merasa bahwa mereka tidak memiliki ketenaran, keuntungan, atau status, bahwa tak seorang pun mengagumi dan menghormati mereka, atau mengikuti mereka, mereka akan merasa sangat kecewa, mereka yakin tidak ada gunanya percaya kepada Tuhan, itu tidak bernilai, dan mereka berkata dalam hati, 'Apakah iman seperti ini kepada tuhan adalah kegagalan? Bukankah itu berarti aku tidak memiliki harapan?' Mereka sering kali memperhitungkan hal-hal semacam itu di dalam hatinya. Mereka memperhitungkan bagaimana mereka dapat memiliki kedudukan di rumah Tuhan, bagaimana mereka dapat memiliki reputasi yang tinggi di gereja, bagaimana mereka dapat membuat orang mendengarkan ketika mereka berbicara, dan mendukung mereka ketika mereka bertindak, dan bagaimana mereka dapat membuat orang mengikuti mereka di mana pun mereka berada, dan bagaimana mereka dapat memiliki suara yang berpengaruh di gereja, serta memiliki ketenaran, keuntungan, dan status—mereka sangat berfokus pada hal-hal semacam itu di dalam hati mereka. Semua ini adalah hal-hal yang dikejar oleh orang-orang semacam itu" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Tiga)). Tuhan mengungkapkan bahwa para antikristus menganggap status dan reputasi sebagai urat nadi kehidupan mereka. Apa pun tugas yang mereka laksanakan, para antikristus tidak pernah memikirkan kepentingan rumah Tuhan. Sebaliknya, yang dipikirkan hanyalah apakah mereka bisa mendapatkan gengsi serta dikagumi orang lain atau tidak, dan begitu mereka tidak dapat memperoleh reputasi maupun status, mereka pun merasa seolah hidupnya direnggut. Hal itu ditentukan oleh esensi dari antikristus. Perilakuku sama seperti perilaku antikristus yang Tuhan ungkapkan. Aku percaya bahwa menjadi pemimpin atau melaksanakan tugas yang bersifat teknis, atau yang dianggap terhormat dan penting, akan membuat orang mengagumiku, dan hanya dengan begitu hidup akan bernilai atau bermakna. Sebaliknya, aku percaya bahwa melaksanakan tugas menjadi tuan rumah adalah hal yang rendah, dan tidak ada orang yang akan menghormatiku. Ketika aku diberhentikan dari tugas tulis-menulis, hidupku serasa direnggut. Aku takut saudara-saudari akan meremehkanku jika tahu aku dipindahkan karena kualitasku yang buruk. Terutama saat aku diminta melaksanakan tugas menjadi tuan rumah, aku merasa benar-benar tak berdaya. Aku teringat saat dahulu menjadi pemimpin gereja, aku sering mengadakan pertemuan dan bersekutu dengan saudara-saudari serta melakukan pekerjaan, di mata mereka, aku dianggap sebagai orang yang berbakat. Namun, sekarang aku menjadi juru masak, dan merasa benar-benar kehilangan harga diri. Setiap kali memikirkan ini, aku merasa tertekan, kesal, dan menderita, aku pun tidak bisa tunduk. Ada seorang saudara yang tidak bisa makan makanan yang terlalu pedas karena alasan kesehatan, dan berkali-kali dia mengingatkanku untuk mengurangi cabai. Permintaan ini sebenarnya wajar dan memang seharusnya kupertimbangkan sebagai orang yang melaksanakan tugas menjadi tuan rumah, dan aku seharusnya bisa menerimanya. Namun, aku tidak peduli padanya dan bahkan menganggapnya meremehkanku, jadi aku bertengkar dengannya, dan bahkan melampiaskan kekesalanku pada tugasku. Aku begitu dikuasai oleh status dan reputasi sampai kehilangan kemanusiaan yang normal. Aku tidak memikirkan bagaimana melaksanakan tugas menjadi tuan rumah dengan baik bagi saudara-saudari. Yang kupikirkan hanyalah reputasi dan statusku, aku pun terus-menerus ingin mengelak dari tugasku. Aku sungguh tidak punya hati nurani dan kemanusiaan. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hatiku, bersedia untuk bertobat dan memperlakukan tugasku dengan benar.

Suatu hari, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan: "Dalam hal di mana orang telah gagal untuk tetap berada di tempat mereka yang semestinya, dan telah gagal menyelesaikan apa yang seharusnya mereka selesaikan—dengan kata lain, ketika mereka gagal dalam tugas mereka—itu akan menjadi sesuatu yang mengganggu dalam diri mereka. Ini adalah masalah yang sangat nyata dan yang harus diselesaikan. Jadi, bagaimana menyelesaikannya? Sikap seperti apa yang harus dimiliki orang? Mereka harus terlebih dahulu bersedia untuk membalikkan diri mereka. Dan bagaimana seharusnya kesediaan untuk membalikkan diri ini dilakukan? Sebagai contoh, seseorang telah menjadi pemimpin selama beberapa tahun, tetapi karena kualitasnya rendah, dia tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak mampu memahami situasi apa pun dengan jelas, tidak tahu bagaimana menggunakan kebenaran untuk menyelesaikan masalah, dan tidak mampu melakukan pekerjaan nyata; oleh karena itu, dia diberhentikan. Jika setelah diberhentikan, dia mampu tunduk, terus melaksanakan tugasnya, dan mau berbalik, apa yang harus dia lakukan? Pertama-tama, dia harus memahami hal ini, 'Tindakan Tuhan itu benar. Kualitasku sangat rendah, dan aku sudah lama tidak melakukan pekerjaan yang nyata dan malah hanya menunda pekerjaan gereja serta jalan masuk kehidupan saudara-saudari. Aku beruntung rumah Tuhan tidak langsung mengeluarkanku. Aku benar-benar cukup tidak tahu malu, bertahan pada posisiku selama ini dan bahkan meyakini bahwa aku telah melaksanakan tugasku dengan sangat baik. Betapa tidak masuk akalnya diriku!' Mampu merasakan kebencian terhadap diri sendiri dan perasaan menyesal, apakah itu merupakan ungkapan dari kesediaan untuk berbalik, atau bukan? Jika dia mampu berkata demikian, itu berarti dia bersedia untuk berbalik. Jika dia berkata dalam hatinya, 'Selama ini, dalam posisiku sebagai pemimpin, aku selalu berjuang mengejar manfaat status; aku selalu mengkhotbahkan doktrin dan memperlengkapi diriku dengan doktrin; aku tidak berjuang mengejar jalan masuk kehidupan. Sekarang setelah aku diganti, barulah aku menyadari betapa tidak memadai dan kurangnya diriku. Tuhan melakukan hal yang benar terhadap diriku dan aku harus tunduk. Dahulu, aku memiliki status dan saudara-saudari memperlakukanku dengan baik; mereka akan mengikutiku ke mana pun aku pergi. Sekarang, tak seorang pun yang memperhatikanku dan aku ditinggalkan; inilah yang pantas kudapatkan, inilah balasan yang pantas kuterima. Selain itu, bagaimana mungkin makhluk ciptaan memiliki status di hadapan Tuhan? Setinggi apa pun status seseorang, itu bukanlah kesudahan atau tempat tujuan; Tuhan memberiku amanat bukan agar aku bisa memanfaatkan kedudukanku atau menikmati statusku, tetapi agar aku mampu melaksanakan tugasku, dan aku harus melakukan apa pun semampuku. Aku harus memiliki sikap tunduk terhadap kedaulatan Tuhan dan pengaturan di rumah Tuhan. Meskipun menjadi tunduk itu mungkin sulit, aku tetap harus tunduk; Tuhan itu benar dalam melakukan apa yang Dia lakukan terhadap diriku, dan bahkan seandainya aku memiliki ribuan atau puluhan ribu alasan, tak satu pun dari alasan itu yang merupakan kebenaran. Tunduk kepada Tuhan adalah kebenaran!' Semua ini adalah ungkapan kesediaan untuk membalikkan diri. Dan jika orang memiliki semua ini, bagaimana Tuhan akan menilai orang semacam itu? Tuhan akan mengatakan bahwa orang ini adalah orang yang memiliki hati nurani dan nalar. Apakah penilaian ini tinggi? Penilaian ini tidaklah terlalu tinggi; memiliki hati nurani dan nalar saja belum memenuhi standar untuk disempurnakan oleh Tuhan—tetapi berkenaan dengan orang semacam ini, memiliki hati nurani dan nalar bukanlah pencapaian yang kecil. Mampu untuk tunduk sangatlah berharga. Setelahnya, cara orang ini berupaya untuk membuat Tuhan mengubah pandangan-Nya terhadap dia bergantung pada jalan mana yang dia pilih" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Menyelesaikan Gagasannya Orang Dapat Memasuki Jalur yang Benar dalam Kepercayaan kepada Tuhan (3)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku menjadi malu dan merasa bersalah. Ketika dialihtugaskan atau diberhentikan, orang yang memiliki hati nurani dan nalar akan mampu merenungkan serta memahami kekurangannya juga memiliki sikap tunduk kepada Tuhan. Mereka menerima tanpa berusaha membela diri atau tawar-menawar, dan mereka ingin berubah menjadi lebih baik. Aku tahu kualitasku memang rendah dan tidak mampu melaksanakan tugas tulis-menulis. Setelah berbulan-bulan melaksanakan tugas itu, aku tidak menghasilkan apa pun, dan jika para pemimpin melakukan penyesuaian atas tugasku, itu sepenuhnya selaras dengan prinsip kebenaran. Selain itu, jika aku terus melaksanakan tugas itu, aku justru akan menghambat pekerjaan, dan keadaanku sendiri juga akan terdampak karena kualitasku yang kurang, yang akan membuatku merasa negatif. Pengaturan ini menguntungkan baik bagi pekerjaan gereja maupun diriku sendiri. Namun, aku tidak bersyukur kepada Tuhan, dan justru menjadi negatif serta mengeluh, menganggap tugas menjadi tuan rumah ini sangat merendahkanku, seolah aku sedang dipermalukan habis-habisan. Setiap hari, aku melaksanakan tugasku dengan enggan. Kualitasku memang rendah, tetapi rumah Tuhan tidak menyingkirkanku, dan justru memberiku kesempatan lain untuk melaksanakan tugas. Ini adalah kasih karunia Tuhan, dan aku seharusnya bersyukur kepada Tuhan serta menerimanya serta tunduk tanpa syarat. Namun, karena tidak tahu apa yang baik bagiku, aku justru bersikap negatif, ogah-ogahan, geram, dan tidak mau menerimanya. Aku benar-benar tidak memiliki hati nurani dan nalar!

Setelah itu, aku merenungkan diriku: Mengapa aku selalu terkekang oleh status dan harga diri dalam tugasku? Aku membaca satu bagian dari firman Tuhan dan menemukan akar dari masalahku. Tuhan berfirman: "Apakah engkau selalu ingin mengepakkan sayapmu dan terbang, apakah engkau selalu ingin terbang sendiri, menjadi elang daripada menjadi burung kecil? Watak apakah ini? Inikah prinsip tentang cara berperilaku? Cara berperilakumu haruslah didasarkan pada firman Tuhan; hanya firman Tuhan yang adalah kebenaran. Engkau semua telah dirusak sedemikian dalamnya oleh Iblis, dan selalu menganggap budaya tradisional—perkataan Iblis—sebagai kebenaran, sebagai objek pengejaranmu, yang membuatmu dengan mudahnya mengambil jalan yang salah, menempuh jalan yang menentang Tuhan. Pemikiran dan pandangan manusia yang rusak, serta hal-hal yang mereka perjuangkan bertentangan dengan keinginan Tuhan, dengan kebenaran, dan dengan hukum kedaulatan Tuhan atas segala sesuatu, bahwa Dia mengatur segala sesuatu, dan bahwa Dia mengendalikan nasib manusia. Jadi, betapa pun pantas dan masuk akalnya pengejaran seperti itu menurut pemikiran dan gagasan manusia, di mata Tuhan, semua itu bukanlah hal yang positif, dan semua itu tidak sesuai dengan maksud-Nya. Karena engkau menentang fakta kedaulatan Tuhan atas nasib manusia, dan karena engkau ingin melakukan semuanya seorang diri, mengendalikan nasibmu sendiri, engkau selalu membentur tembok penghalang, sedemikian kerasnya hingga darah mengucur dari kepalamu, dan tak pernah ada yang berjalan lancar bagimu. Mengapa tidak ada yang berjalan lancar bagimu? Karena aturan yang Tuhan tetapkan tidak bisa diubah oleh makhluk ciptaan mana pun. Otoritas dan kuasa Tuhan berada di atas segalanya, tak dapat dilanggar oleh makhluk ciptaan mana pun. Orang terlalu menganggap hebat kemampuan mereka. Apa yang selalu membuat orang ingin lepas dari kedaulatan Tuhan, dan selalu ingin mengendalikan nasib mereka sendiri serta merencanakan masa depan mereka sendiri, dan ingin mengendalikan prospek, arah, dan tujuan hidup mereka sendiri? Berasal dari manakah titik awal ini? (Dari watak rusak Iblis dalam diri kami.) Lalu apa akibatnya jika orang memiliki watak rusak Iblis dalam dirinya? (Mereka menentang Tuhan.) Apa yang terjadi dengan orang yang menentang Tuhan? (Penderitaan.) Penderitaan? Yang terjadi adalah kebinasaan! Ini jauh lebih buruk daripada penderitaan. Yang engkau lihat tepat di depan matamu adalah penderitaan, kenegatifan, dan kelemahan, dan itu merupakan penentangan dan keluhan—akibat apa yang akan dihasilkan semua ini? Kebinasaan! Ini bukan masalah kecil dan ini bukan lelucon" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Watak yang Rusak Hanya Dapat Diselesaikan dengan Menerima Kebenaran"). Dari firman Tuhan aku mengerti bahwa selama ini aku telah begitu terbelenggu oleh racun-racun Iblis seperti "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang" dan "Manusia bergelut ke atas; air mengalir ke bawah", dan aku terus hidup demi reputasi serta keuntungan. Ketika masih muda, aku memiliki keinginan kuat untuk memperoleh nama baik dan status. Aku putus sekolah saat masih remaja. Saat itu, aku melihat banyak orang bekerja sebagai kuli bangunan, dan aku berkata dalam hati, "Walau harus mati karena miskin, jangan sampai aku menjadi kuli bangunan!" Aku berpikir begitu karena percaya bahwa itu adalah pekerjaan untuk orang-orang yang tidak punya keahlian dan tidak punya masa depan. Aku sangat iri pada orang-orang yang punya usaha besar, berpakaian rapi, dikagumi dan semua orang ingin menjadi seperti mereka. Setelah itu, aku mulai belajar berbisnis, dan semua orang di desa memujiku, kata mereka, "Anak ini berani. Dia pasti punya masa depan cerah." Aku sangat senang mendengarnya. Sejak saat itu, dalam segala sesuatu yang kulakukan, aku harus mempertimbangkan apakah itu terlihat terhormat atau tidak dan apakah itu akan membuat orang menghormatiku. Setelah menemukan Tuhan, aku tetap hidup menurut racun-racun Iblis ini. Aku menganggap bahwa jika seseorang percaya kepada Tuhan dan dia menjadi orang percaya biasa yang melaksanakan tugas yang penuh kerja keras, itu tidak ada artinya, jadi aku berusaha menjadi pemimpin, atau melaksanakan tugas yang bersifat teknis, tampak penting, serta membuat orang mengagumi dan ingin menjadi sepertiku. Aku berpikir bahwa hanya hal-hal seperti itulah yang bernilai dan bermakna. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasku, aku sangat aktif, dan mampu melepaskan serta mengorbankan segalanya. Aku teringat saat dahulu menjadi pemimpin, dan kemana pun aku pergi, saudara-saudari mengagumiku. Secara khusus, saat mereka memintaku untuk lebih sering berkumpul dan bersekutu bersama mereka, aku sangat senang sampai tak tahu harus berkata apa. Sama halnya saat aku melaksanakan tugas sebagai pemberita Injil. Setiap kali datang ke suatu gereja, saudara-saudari akan menyambutku dengan gembira, aku pun merasa sangat dihormati dan sangat termotivasi untuk melaksanakan tugasku. Walaupun harus hilir mudik ke beberapa gereja, aku tidak merasa lelah. Namun, ketika diminta melaksanakan tugas sebagai tuan rumah, aku langsung layu seperti daun kering. Aku merasa ini tugas rendahan, jadi di dalam hati, aku merasa menentang dan mengeluh, aku juga menjadi negatif serta ogah-ogahan dalam melaksanakan tugasku. Saat memasak, kadang aku memasak terlalu banyak hingga bersisa, atau terlalu sedikit hingga tidak cukup untuk dimakan. Kadang, saat melihat ada makanan sisa, dengan asal-asalan aku menyiapkan makanan dari sisa itu, tanpa peduli apakah itu cukup untuk saudara-saudaraku atau tidak. Saat memasak, aku tidak mempertimbangkan kondisi kesehatan saudaraku, dan ketika dia memberikan pengingat tambahan, aku merasa tidak senang. Saat suasana hatiku buruk, aku bahkan tidak bersih-bersih sama sekali. Ketika hidup menuruti racun-racun Iblis ini, aku makin tidak punya nalar dan kemanusiaan yang normal. Jika aku tidak bertobat, bukan hanya saudara-saudari akan muak denganku, tetapi Tuhan juga tidak akan senang, dan lama-kelamaan Roh Kudus pun akan meninggalkanku. Ketika memahami ini, aku merasa agak takut, jadi aku berdoa kepada Tuhan agar Dia menuntunku untuk tunduk pada pengaturan dan penataan-Nya serta melaksanakan tugasku dengan baik.

Setelah itu, aku membaca dua bagian firman Tuhan lainnya. Baru pada saat itulah aku mengerti bagaimana cara memperlakukan tugasku. Tuhan berfirman: "Di rumah Tuhan, setiap kali sesuatu diatur untuk kaulakukan, baik itu pekerjaan yang sulit atau melelahkan, entah engkau menyukainya atau tidak, itu adalah tugasmu. Jika engkau dapat menganggapnya sebagai amanat dan tanggung jawab yang telah Tuhan berikan kepadamu, artinya engkau berkaitan dengan pekerjaan-Nya menyelamatkan manusia. Dan jika apa yang kaulakukan dan tugas yang kaulaksanakan berkaitan dengan pekerjaan Tuhan menyelamatkan manusia, dan engkau dapat dengan sungguh-sungguh dan tulus menerima amanat yang telah Tuhan berikan kepadamu, bagaimana Dia akan menganggapmu? Dia akan menganggapmu anggota keluarga-Nya. Apakah itu berkat atau kutuk? (Berkat.) Itu adalah berkat yang luar biasa" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Apa Arti Pelaksanaan Tugas yang Memadai?"). "Apa fungsimu sebagai makhluk ciptaan? Hal ini berkaitan dengan penerapan dan tugasmu. Engkau adalah makhluk ciptaan, dan jika Tuhan mengaruniakanmu dengan bakat menyanyi, dan rumah Tuhan mengatur agar engkau bernyanyi, maka engkau harus bernyanyi dengan baik. Jika engkau memiliki karunia dalam memberitakan Injil, dan rumah Tuhan mengatur agar engkau memberitakan Injil, maka engkau harus melakukannya dengan baik. Ketika umat pilihan Tuhan memilihmu sebagai pemimpin, engkau harus menerima amanat kepemimpinan itu, dan memimpin umat pilihan Tuhan untuk makan dan minum firman Tuhan, mempersekutukan kebenaran, dan masuk ke dalam kenyataan. Dengan melakukannya, engkau akan melaksanakan tugasmu dengan baik. Amanat yang Tuhan berikan kepada manusia sangatlah penting dan bermakna! Jadi, bagaimana engkau harus menerima amanat ini dan melaksanakan fungsimu? Ini adalah salah satu masalah terbesar yang kauhadapi, dan engkau harus membuat pilihan. Dapat dikatakan bahwa ini adalah momen penting yang menentukan apakah engkau akan mampu memperoleh kebenaran dan disempurnakan oleh Tuhan atau tidak" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Memahami Kebenaran, Orang Bisa Mengetahui Perbuatan Tuhan"). Dari firman Tuhan aku mengerti bahwa tidak ada perbedaan antara besar kecil, tinggi rendah, maupun mulia dan hina dalam tugas di rumah Tuhan. Segala jenis tugas muncul dari pekerjaan Tuhan untuk menyelamatkan manusia. Apa pun tugas yang kaulaksanakan, entah itu bisa membuatmu tersorot atau tidak, jika kau bisa dengan tulus menerima tugasmu, memperlakukannya dengan serius, menjalankan peranmu sesuai dengan tuntutan Tuhan, dan melaksanakan tugasmu dengan sungguh-sungguh serta membumi, Tuhan akan puas. Namun, aku menganggap bahwa menjadi pemimpin, atau melaksanakan tugas tulis-menulis, atau tugas dengan kemampuan teknis sebagai tugas kelas atas. Aku percaya bahwa orang-orang yang melaksanakan tugas seperti itu akan menjadi objek keselamatan Tuhan, sedangkan mereka yang menjadi tuan rumah dan melakukan tugas remeh hanya bekerja keras dan melakukan pelayanan. Aku membagi tugas-tugas di rumah Tuhan ke dalam tingkatan tinggi dan rendah, mulia dan tidak mulia, serta berbagai tingkatan. Pandangan ini sungguh tidak masuk akal dan benar-benar melanggar kebenaran. Aku teringat bagaimana aku tidak punya keterampilan atau kualitas untuk melaksanakan tugas tulis-menulis. Jika kupaksakan diriku untuk melaksanakan tugas itu demi menjaga kehormatan, bukan hanya aku tidak akan mendapatkan hasil, tetapi diriku juga akan rentan menjadi negatif, yang tidak akan bermanfaat bagi hidupku sendiri dan juga akan menghambat pekerjaan gereja. Gereja telah mengatur agar aku melaksanakan tugas menjadi tuan rumah. Ini adalah tugas yang mampu kulaksanakan. Inilah tugas yang seharusnya kulaksanakan dan tanggung jawab yang harus kupenuhi, aku pun seharusnya menerimanya dan tunduk. Hanya dengan begitu barulah aku memiliki hati nurani dan nalar yang seharusnya kumiliki.

Setelah itu, aku juga menyadari bahwa cara pandangku keliru, karena percaya bahwa jika seseorang melaksanakan tugas penting, dia akan memiliki status yang tinggi, dan jika melaksanakan tugas yang tidak mencolok, dia akan memiliki status yang rendah. Suatu hari, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan yang mengubah pandanganku yang keliru itu. Tuhan berfirman: "Jika status sosial seseorang sangat rendah, keluarganya sangat miskin, dan tingkat pendidikannya rendah, tetapi dia percaya kepada Tuhan dengan cara yang realistis, dan dia mencintai kebenaran dan hal-hal yang positif, di mata Tuhan, apakah nilai dirinya tinggi atau rendah, mulia atau hina? Dia berharga. Jika dilihat dari perspektif ini, apakah nilai diri seseorang tinggi atau rendah, luhur atau hina, itu tergantung pada apa? Itu tergantung pada bagaimana Tuhan memandangmu. Jika Tuhan memandangmu sebagai orang yang mengejar kebenaran, berarti engkau bernilai dan berharga—engkau adalah bejana yang berharga. Jika Tuhan melihat bahwa engkau tidak mengejar kebenaran dan tidak sungguh-sungguh mengorbankan dirimu bagi-Nya, berarti engkau tidak ada nilainya dan tidak berharga—engkau adalah bejana yang hina. Setinggi apa pun pendidikanmu atau setinggi apa pun statusmu di tengah masyarakat, jika engkau tidak mengejar atau memahami kebenaran, nilai dirimu tidak akan pernah tinggi; sekalipun banyak orang mendukungmu, meninggikanmu, dan memujamu, engkau tetap saja orang yang hina. ... Jadi sekarang, apa dasar untuk mendefinisikan seseorang itu mulia atau hina? (Sikap mereka terhadap Tuhan, kebenaran, dan hal-hal yang positif.) Tepat sekali. Pertama-tama, seseorang harus memahami sikap Tuhan. Seseorang harus terlebih dahulu memahami sikap Tuhan dan memahami prinsip-prinsip dan standar yang Dia gunakan untuk menetapkan manusia, kemudian mengukur manusia berdasarkan prinsip-prinsip dan standar yang digunakan Tuhan dalam memperlakukan manusia—hanya inilah cara yang paling akurat, tepat, dan adil" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, "Bab Tujuh: Mereka Jahat, Berbahaya, dan Licik (Bagian Satu)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa apakah seseorang dianggap mulia atau tidak di rumah Tuhan bukan ditentukan dari apakah dia memiliki status atau tidak, dan tidak ditentukan oleh apakah ada orang yang mengaguminya atau tidak. Yang menjadi penentu adalah apakah orang itu mengasihi dan mengejar kebenaran. Jika seseorang tidak mengejar atau mengasihi kebenaran, setinggi apa pun statusnya serta sebanyak apa pun orang yang mengerumuni dan memujanya, semua itu bukan hanya tidak bernilai, tetapi dia juga akan disingkapkan dan disingkirkan karena menikmati keuntungan dari status. Namun, jika seseorang tidak memiliki status dan tidak ada yang menghormatinya, tetapi dia mengasihi kebenaran, memiliki hati yang takut akan Tuhan, juga bisa percaya kepada Tuhan serta melaksanakan tugasnya secara sungguh-sungguh dan membumi, orang ini sangat berharga di mata Tuhan. Dahulu, aku selalu mengira bahwa tugas menjadi tuan rumah dan tugas urusan umum adalah pekerjaan yang hanya bekerja keras, rendah kedudukannya, dan tidak ada yang menghormati, dan bahwa sebaik apa pun kau melaksanakan tugas itu, tetap saja tidak ada gunanya. Oleh karena itu, aku takut melaksanakan jenis tugas seperti ini, dan yang kukejar hanyalah menjadi pemimpin atau melaksanakan tugas yang ada unsur teknisnya. Sekarang aku sadar betapa tidak masuk akalnya pandanganku selama ini! Aku teringat bagaimana Paulus hanya berfokus untuk menjadi lebih tinggi dari semua rasul lainnya. Dia berkeliling ke sebagian besar Eropa untuk memberitakan Injil, dan juga menulis banyak surat, sehingga dia dikagumi dan dipuja semua orang. Namun, dia tidak mendapatkan kebenaran dan hidup, serta memiliki watak rusak yang berakar sangat dalam. Pada akhirnya, dia bahkan mengucapkan kata-kata yang begitu lancang dan mengkhianati Tuhan: "Sebab bagiku hidup adalah kristus", membuatnya menjadi antikristus dan dihukum Tuhan. Bukankah aku sedang menempuh jalan Paulus? Jika tidak segera berbalik arah, pada akhirnya kesudahanku akan sama seperti Paulus. Aku harus segera bertobat dan berbalik. Setelah itu, aku mulai mampu memperlakukan tugas menjadi tuan rumah secara saksama, dan setiap hari aku merenungkan cara melaksanakan tugas ini dengan baik dan menjadi tuan rumah yang baik bagi saudara-saudariku. Aku tidak lagi merasa rendah diri.

Jika kupikirkan selama melaksanakan tugas menjadi tuan rumah ini, aku telah belajar bagaimana menjalani kemanusiaan yang normal, bagaimana tunduk kepada pengaturan dan penataan Tuhan, dan aku sudah memahami watak rusakku sendiri. Semua pelajaran ini tidak akan bisa kupelajari jika aku tidak melaksanakan tugas menjadi tuan rumah. Dari lubuk hatiku, aku sungguh bersyukur kepada Tuhan!

Sebelumnya:  75. Pilihan yang Tak Kusesali

Selanjutnya:  83. Jangan Biarkan Kemalasan Menghancurkanmu

Konten Terkait

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger