93. Apakah “Bersikap Toleran terhadap Orang Lain” Merupakan Prinsip dalam Berperilaku?
Pada bulan Desember 2023, aku melaksanakan tugas sebagai pemimpin tim, bertanggung jawab untuk menyaring artikel kesaksian tentang pengalaman hidup. Pada bulan Februari 2024, para pemimpin menulis surat meminta kami untuk segera menyerahkan beberapa khotbah untuk memberitakan Injil, dan mengatur agar aku bertanggung jawab atas pekerjaan ini. Para pemimpin khawatir aku akan terlalu sibuk, dan meminta beberapa saudari untuk membantuku menyaring artikel kesaksian pengalaman. Selama waktu itu, aku sibuk setiap hari menyunting khotbah untuk pemberitaan Injil, sehingga tumpukan artikel kesaksian pengalamanku makin banyak, dan aku mulai merasa sedikit cemas. Aku melihat saudari-saudariku semua sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, beberapa di antaranya tidak terlalu mendesak, tetapi tidak ada yang secara sukarela membantu meringankan pekerjaan penyaringan artikel kesaksian pengalaman, jadi aku ingin mengatakan sesuatu kepada mereka. Lalu aku teringat bagaimana para pemimpin sudah meminta mereka untuk membantuku, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang angkat bicara. Aku berpikir dalam hati, "Tidak ada dari mereka yang mau melakukannya, dan jika aku tetap bersekutu dengan mereka, bukankah mereka akan berpikir bahwa aku memaksa mereka secara tidak wajar? Akankah mereka mengatakan bahwa kemanusiaanku buruk, dan bahwa sebagai pemimpin tim, aku berlagak penting dan hanya suka memerintah, sehingga tidak memiliki kesan baik tentangku? Sudahlah. Aku akan bekerja lembur sedikit lagi dan melakukannya sendiri." Oleh karena itu, aku menyibukkan diri dari pagi hingga malam setiap hari, dan begitu selesai makan, aku akan segera ke komputer untuk menyaring khotbah untuk pemberitaan Injil dan artikel kesaksian pengalaman. Terkadang bahkan tidak ada waktu untuk saat teduh. Meskipun setiap hari aku begitu sibuk hingga tidak punya waktu luang, aku masih memiliki tumpukan artikel. Tubuhku terasa sangat lelah dan hatiku dipenuhi dengan kekesalan, tetapi aku tidak berani angkat bicara, takut saudari-saudariku akan berpandangan negatif tentangku dan mengatakan bahwa aku berpikiran sempit dan picik dalam berperilaku. Oleh karena itu, aku hanya bisa menanggungnya sendirian. Saat itu ada seorang saudari bernama Liu Jia, dan kadang kuingatkan ketika kudapati artikel yang menjadi tanggung jawabnya tidak disaring tepat waktu. Dengan sikap asal-asalan, Liu Jia selalu menerimanya, tetapi setelah itu tidak ada yang berubah. Terkadang dia bahkan melimpahkan pekerjaan itu kepadaku. Aku tahu bahwa dia menikmati kenyamanan daging dan tidak terbeban dalam tugasnya, dan aku ingin menunjukkan masalahnya dan membantunya. Namun, kemudian aku ingat bagaimana dia masih belum lama berlatih, dan aku takut dia akan menyebutku terlalu banyak menuntut dan terlalu keras padanya, bahwa aku mengawasinya dengan ketat setiap hari, seperti seorang mandor. Jika dia berpandangan buruk tentangku, maka akan lebih sulit untuk bekerja sama di masa mendatang, jadi aku tidak ingin mengatakan apa-apa lagi. Aku merasa bahwa sebagai pemimpin tim, aku harus pengertian dan melakukan lebih banyak pekerjaan, jadi aku membantunya melakukan pekerjaan yang tidak dilakukannya. Terkadang aku melihat beberapa saudari masih membuat beberapa kesalahan format saat menyunting khotbah. Aku ingin memberi tahu mereka agar di lain waktu lebih berhati-hati, tetapi kemudian aku berpikir, "Jika aku membahas hal sepele seperti ini kepada mereka, apakah mereka akan mengatakan bahwa aku terlalu rewel dan suka mencari-cari kesalahan?" Oleh karena itu aku tidak membahasnya, lalu setiap kali memeriksa khotbah dan menemukan masalah, aku langsung memperbaikinya sendiri. Meskipun masalahnya kecil, perbaikannya tetap memakan waktu. Aku merasa sangat kesal, dan mengeluh bahwa mereka tidak memikul beban. Mereka bukan hanya tidak bisa membantu meringankan bebanku, tetapi bahkan tidak bisa melakukan pekerjaan utamanya dengan baik, membuatku juga mengkhawatirkan pekerjaan mereka. Meskipun aku memiliki pikiran dan kekesalan ini di dalam hatiku, aku tidak pernah melampiaskannya karena aku ingin saudari-saudariku mengatakan bahwa aku bersedia memikul beban dan memiliki kemanusiaan yang baik; kelihatannya aku hanya terus bertahan dan melakukan pekerjaan itu di permukaan saja.
Selama waktu itu, tidak peduli seberapa keras aku bekerja, masih ada tumpukan artikel yang harus ditangani, dan kesalahan selalu muncul dalam pekerjaan. Pekerjaan yang menjadi tanggung jawab saudari-saudariku juga tidak banyak mengalami kemajuan, dan ini menunda pekerjaan secara keseluruhan. Ketika para pemimpin menulis surat dan memangkasku, menunjukkan masalah-masalah ini, aku merasa sangat diperlakukan tidak adil, dan merasa, meskipun aku begitu sibuk hingga otakku hampir meleleh, masih saja ada kekurangan dan penyimpangan dalam tugasku. Aku merasa seolah-olah akan hancur, dan tidak tahu lagi bagaimana harus melaksanakan tugasku. Kemudian, para pemimpin datang mengadakan pertemuan untuk memahami situasinya. Liu Jia berkata bahwa aku benar-benar memikul beban dalam tugasku dan bahwa aku bisa memikirkan semua aspek pekerjaan, jadi dia sama sekali tidak perlu mengkhawatirkan beberapa pekerjaan. Ketika mendengar ini, aku merasa sedikit senang, dan merasa kerja kerasku tidak sia-sia. Tampaknya orang-orang masih memiliki kesan baik tentangku di pikiran mereka, tetapi kemudian aku juga berpikir tentang bagaimana saudariku masih memujiku meskipun aku telah membuat pekerjaan menjadi begitu kacau, dan aku merasa sedikit tidak nyaman.
Setelah itu, aku mulai merenungkan keadaan yang kujalani selama waktu-waktu ini dan membaca satu bagian firman Tuhan yang sangat spesifik tentang keadaanku. Aku merasa sangat tersentuh. Tuhan berfirman: "Sekarang, mari kita persekutukan pepatah tentang perilaku moral berikutnya—'Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain'—apa arti pepatah ini? Itu berarti engkau harus membuat tuntutan yang tegas terhadap dirimu sendiri dan bersikap lunak terhadap orang lain, sehingga mereka dapat melihat betapa berlapang dada dan murah hatinya dirimu. Lalu mengapa orang mau melakukan hal ini? Apa yang ingin dicapai? Dapatkah orang melakukannya? Apakah ini benar-benar ungkapan alami dari kemanusiaan orang-orang? Engkau harus sangat berkorban untuk dapat melakukan hal ini! Engkau harus membebaskan dirimu dari keinginan dan tuntutan, mengharuskan dirimu merasakan lebih sedikit kenikmatan, menderita lebih banyak, membayar harga lebih besar, dan bekerja lebih banyak agar orang lain tidak perlu kelelahan. Dan jika orang lain menggerutu, mengeluh, atau berkinerja buruk, engkau tidak boleh menuntut terlalu banyak dari mereka—rata-rata saja sudah cukup. Orang-orang yakin bahwa ini menandakan moral yang luhur—tetapi mengapa menurut-Ku itu palsu? Bukankah itu memang palsu? (Ya.) Dalam keadaan normal, ungkapan alami dari kemanusiaan orang biasa adalah bersikap toleran terhadap dirinya sendiri dan tegas terhadap orang lain. Itulah yang sebenarnya. Orang dapat memahami masalah orang lain dan berkata—'Orang ini congkak! Orang itu jahat! Orang ini egois! Orang itu asal-asalan dalam melaksanakan tugasnya! Orang ini sangat malas!'—sedangkan mengenai dirinya sendiri, dia berpikir: 'Jika aku sedikit malas, tidak apa-apa. Aku memiliki kualitas yang baik. Meskipun aku malas, aku melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada orang lain!' Mereka suka mencari-cari kesalahan orang lain dan suka mempersoalkan hal-hal sepele, tetapi terhadap dirinya sendiri, mereka toleran dan memberi kelonggaran pada diri sendiri sebisa mungkin. Bukankah seperti inilah ungkapan alami dari kemanusiaan mereka? (Ya.) Jika orang diharapkan untuk hidup sesuai dengan ide 'tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain', penderitaan apa yang harus mereka tanggung? Mampukah mereka benar-benar menanggungnya? Berapa banyak orang yang akan berhasil menanggungnya? (Tidak ada.) Dan mengapa tidak ada? (Manusia egois menurut naturnya. Mereka bertindak berdasarkan prinsip bahwa 'Jika orang tidak memikirkan dirinya sendiri, langit dan bumi akan menghukumnya.') Benar, manusia terlahir egois, manusia adalah makhluk yang egois, dan sangat berkomitmen pada falsafah Iblis: 'Jika orang tidak memikirkan dirinya sendiri, langit dan bumi akan menghukumnya.' Manusia beranggapan jika mereka tidak bersikap egois dan memikirkan diri mereka sendiri ketika sesuatu menimpa mereka, itu akan menjadi malapetaka bagi mereka, dan itu tidak wajar. Inilah yang orang yakini dan dengan cara seperti itulah mereka bertindak. Jika orang diharapkan untuk tidak bersikap egois, dan membuat tuntutan yang tegas terhadap diri mereka sendiri, dan rela mengalami kerugian daripada mengambil keuntungan dari orang lain, dan jika mereka diharapkan untuk dengan gembira berkata, ketika seseorang memanfaatkan mereka, 'Kau mengambil keuntungan dariku, tetapi aku tidak mempermasalahkannya. Aku adalah orang yang toleran, aku tidak akan menjelek-jelekkanmu atau berusaha membalasmu, dan jika kau belum cukup mengambil keuntungan dariku, jangan ragu untuk melanjutkannya'—apakah itu harapan yang realistis? Berapa banyak orang yang mampu melakukan hal ini? Inikah cara manusia yang rusak biasanya berperilaku? Jelas sekali, jika hal seperti ini yang terjadi, itu adalah ketidakwajaran. Mengapa demikian? Karena orang yang wataknya rusak, terutama orang yang egois dan tercela, selalu memperjuangkan kepentingannya sendiri, dan memikirkan orang lain sama sekali tidak akan membuat mereka merasa puas. Jadi, fenomena ini, jika itu memang terjadi, adalah sebuah ketidakwajaran" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (6)"). Firman Tuhan menyingkapkan semuanya dengan sempurna. Natur setiap orang itu egois, dan ketika sesuatu menimpa dirinya, mereka sangat pandai bersikap toleran terhadap diri sendiri dan keras terhadap orang lain. Ketika mereka terlalu banyak menderita, mereka merasa seperti dimanfaatkan, hati mereka merasa tidak seimbang, dan mereka sama sekali tidak bisa bersikap tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain. Namun, selama kurun waktu ini, aku terus-menerus menahan diri dan berusaha menjadi seseorang yang bersikap tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain. Bukankah aku hanya seorang munafik? Aku ingat bagaimana aku kewalahan dengan beban kerjaku di waktu-waktu ini, dan bagaimana saudari-saudari yang bekerja denganku tidak memiliki banyak pekerjaan. Sangat mungkin untuk membagi pekerjaan secara wajar dan meminta saudari-saudariku untuk membantuku memikul sebagian beban sebagaimana mestinya, sehingga aku bisa meluangkan waktu untuk menyunting khotbah untuk pemberitaan Injil secepat mungkin. Ketika melihat bahwa tidak ada saudariku yang bersedia memikul beban lebih banyak, aku memiliki pandangan negatif tentang mereka di dalam hatiku, dan mengeluh bahwa mereka terlalu egois dan tidak memikirkan pekerjaan secara keseluruhan, tetapi aku tidak pernah mengungkapkan pikiran terdalamku atau secara proaktif meminta mereka untuk membantuku mengambil sebagian pekerjaan. Aku takut jika mengatakan sesuatu, saudari-saudariku akan menganggap aku menggunakan posisiku sebagai pemimpin tim untuk main perintah dan bahwa kemanusiaanku buruk, jadi aku pun bekerja lembur untuk mengerjakannya sendiri. Ketika mengetahui Liu Jia tidak terbeban dalam tugasnya, dan tidak menganggap serius peringatan yang diberikan, dan bahkan melimpahkan sebagian pekerjaan kepadaku, hatiku begitu merendahkan dan menentangnya, dan aku mengeluh bahwa dia tidak memikul beban. Aku ingin bersekutu dengannya dan menelaah sikapnya terhadap tugasnya, tetapi kemudian aku takut jika kusampaikan sesuatu, lalu dia akan muak padaku dan mengatakan bahwa aku tidak berbelas kasih, bahwa aku terlalu keras. Oleh karena itu, aku memendam kekesalanku dalam-dalam dan berinisiatif melakukan pekerjaan itu sendiri. Dari luar, kelihatannya aku telah menangani banyak pekerjaan, dan tidak mempersoalkan hal-hal kecil dengan saudari-saudariku, tetapi dalam hati aku merasa diperlakukan tidak adil, dan mengeluh bahwa mereka egois dan hanya mengurus pekerjaan mereka sendiri. Meskipun demikian, aku tidak pernah mengungkapkan penentangan di dalam hatiku. Aku melihat betapa munafiknya diriku! Aku hidup dengan pikiran dan gagasan Iblis, dan bersikeras mengambil lebih banyak pekerjaan daripada yang bisa kutangani meskipun aku jelas tidak mampu melakukan semuanya. Tak hanya aku membuat diriku kelelahan, masalah juga muncul dalam tugasku dan beberapa artikel tidak disaring tepat waktu, yang menunda kemajuan pekerjaan. Setelah memahami ini, aku bersedia mengubah keadaanku yang salah dan menugaskan beberapa pekerjaan kepada saudari-saudariku. Aku juga bersekutu dengan Liu Jia agar dia mulai memikul beban dalam tugasnya, dan mengingatkannya ketika kemajuan pekerjaannya lambat. Aku berhenti terus-menerus berpura-pura murah hati. Setelah beberapa waktu, Liu Jia menjadi lebih aktif dalam melaksanakan tugasnya, dan aku bisa menangani pekerjaanku yang menumpuk tepat waktu. Hasil tugasku juga agak lebih baik dari sebelumnya.
Aku merenungkan hal ini setelahnya: Aku jelas tidak bisa bersikap tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain, jadi mengapa aku masih memaksakan diri melakukannya? Aku membaca firman Tuhan: "Dapat dikatakan dengan pasti bahwa sebagian besar orang yang menuntut diri mereka sendiri untuk mematuhi moral 'tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain', terobsesi dengan status. Didorong oleh watak rusak mereka, mereka tak mampu menahan diri untuk mengejar prestise di antara manusia, keunggulan sosial, dan status di mata orang lain. Semua hal ini berkaitan dengan keinginan mereka akan status, dan semua ini dikejar dengan memakai kedok perilaku moral baik mereka. Dan berasal dari manakah pengejaran mereka ini? Semua itu sepenuhnya berasal dari dan didorong oleh watak rusak mereka. Jadi, apa pun yang terjadi, entah seseorang mematuhi moral untuk 'tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain' atau tidak, dan entah dia mematuhinya dengan sempurna atau tidak, ini sama sekali tak dapat mengubah esensi kemanusiaan mereka. Implikasinya adalah melakukan hal itu sama sekali tidak dapat mengubah pandangan hidup ataupun sistem nilai dirinya, ataupun menuntun sikap dan sudut pandangnya terhadap segala macam orang, peristiwa, dan berbagai hal. Bukankah itu yang terjadi? (Ya.) Makin seseorang mampu bersikap tegas terhadap dirinya sendiri dan toleran terhadap orang lain, makin baik dia dalam berpura-pura, dalam menyamarkan dirinya, dan dalam menyesatkan orang lain dengan menggunakan perilaku yang baik dan perkataan yang sedap didengar, dan makin licik dan jahatlah natur mereka. Semakin dia menjadi jenis orang seperti ini, kecintaan dan pengejarannya akan status dan kekuasaan menjadi makin mendalam. Sekalipun di luarnya, perilaku moralnya terlihat sangat hebat, mulia, dan benar, dan sekalipun orang menganggapnya menyenangkan untuk dilihat, pengejaran yang tersembunyi di lubuk hatinya, serta esensi natur dirinya, dan bahkan ambisinya dapat meledak keluar dari dirinya setiap saat. Oleh karena itu, sebaik apa pun perilaku moral orang itu, itu tak bisa menyembunyikan esensi hakiki kemanusiaannya, atau ambisi dan keinginannya. Itu tidak bisa menyembunyikan esensi natur dirinya yang buruk yang tidak mencintai hal-hal positif dan yang muak serta membenci kebenaran. Sebagaimana diperlihatkan oleh fakta-fakta ini, pepatah 'Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain' bukan saja tidak masuk akal—pepatah ini juga menyingkapkan tipe orang ambisius yang berusaha menggunakan pepatah dan perilaku seperti itu untuk menutupi ambisi dan keinginan mereka yang tersembunyi. Engkau semua dapat membandingkan ini dengan beberapa antikristus dan orang jahat di gereja. Agar dapat memperkuat status dan kekuasaan mereka di dalam gereja, dan untuk mendapatkan reputasi yang lebih baik di antara anggota lainnya, mereka mampu menanggung penderitaan dan membayar harga saat melaksanakan tugas mereka, dan mereka bahkan mungkin meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka dan menjual semua yang mereka miliki untuk mengorbankan diri mereka bagi Tuhan. Dalam beberapa kasus, harga yang mereka bayar dan penderitaan yang mereka jalani ketika mengorbankan diri mereka untuk Tuhan melampaui apa yang mampu ditanggung oleh orang kebanyakan; mereka mampu mewujudkan semangat penyangkalan diri yang ekstrem agar dapat mempertahankan status mereka. Namun, sebanyak apa pun mereka menderita atau berapa pun harga yang mereka bayar, tak satu pun darinya yang menjaga kesaksian Tuhan atau melindungi kepentingan rumah Tuhan, dan mereka juga tidak melakukan penerapan berdasarkan firman Tuhan. Tujuan yang mereka kejar hanyalah untuk mendapatkan status, kekuasaan, dan upah dari Tuhan. Semua yang mereka lakukan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Seketat apa pun mereka terhadap diri mereka sendiri dan setoleran apa pun mereka terhadap orang lain, kesudahan akhir seperti apa yang akan mereka peroleh? Apa pendapat Tuhan mengenai diri mereka? Akankah Dia menentukan kesudahan mereka berdasarkan perilaku baik lahiriah yang mereka jalani? Tentu saja tidak. Orang memandang dan menilai orang lain berdasarkan perilaku dan perwujudan ini, dan karena mereka tak dapat mengenali esensi orang lain yang sebenarnya, mereka akhirnya tertipu oleh orang-orang itu. Sedangkan Tuhan, Dia tidak pernah tertipu oleh manusia. Dia sama sekali tidak akan memuji dan mengingat perilaku moral orang karena mereka mampu bersikap tegas terhadap diri mereka sendiri dan toleran terhadap orang lain. Sebaliknya, Dia akan mengutuk mereka karena ambisi mereka dan karena jalan yang telah mereka tempuh dalam mengejar status" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (6)"). Melalui penyingkapan dalam firman Tuhan, aku mengerti bahwa orang yang hidup dengan nilai budaya tradisional "bersikap tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain" semuanya menggunakan perilaku baik mereka untuk menahan diri, menyamarkan diri, dan memamerkan diri sehingga mereka membangun reputasi yang baik di benak orang lain. Ini persis dengan yang kulakukan. Aku selalu merasa bahwa sebagai pemimpin tim, aku harus maju dan memikul beban; memainkan peran utama dalam tim; melakukan hal-hal yang tidak dilakukan anggota tim lain; serta tetap menahan diri dan tersenyum meski seberapa sibuk pun diriku. Hanya dengan cara inilah aku akan dikagumi dan dipuji orang lain. Agar orang mengatakan aku memiliki kemanusiaan yang baik dan penuh perhatian, aku membuat tuntutan ketat pada diriku sendiri, dan betapapun sibuk atau lelahnya aku, aku tidak akan pernah secara proaktif meminta saudari-saudariku untuk berbagi beban pekerjaanku. Karena alasan yang sama, ketika aku mengetahui bahwa Liu Jia tidak memikul beban dalam tugasnya, aku tidak bersekutu dengannya atau segera membantunya, tetapi mengambil inisiatif dan melakukannya sendiri. Akibatnya, pekerjaan menjadi menumpuk karena kemampuan kerjaku terbatas, dan kemajuan pekerjaan tertunda. Dari luar, aku tampak sangat penuh perhatian dan murah hati, tidak pernah menuntut orang melakukan ini atau itu atau mempersoalkan hal-hal kecil, tetapi tujuan dari semua yang kulakukan bukan untuk menunjukkan perhatian terhadap maksud Tuhan, atau untuk menunjukkan kasih kepada saudara-saudariku, melainkan untuk mendapatkan kekaguman dan pujian, meninggalkan kesan yang baik tentang diriku di benak orang lain. Meskipun aku berhasil mempertahankan status dan citraku di benak orang lain, pekerjaan gereja menjadi dirugikan. Aku menukar pekerjaan gereja demi keuntunganku sendiri. Aku menyesatkan orang! Aku menyadari diriku sungguh begitu licik dan jahat, serta sedang menempuh jalan antikristus. Tuhan memeriksa hati manusia yang terdalam, dan meskipun aku bisa menyesatkan saudara-saudariku, aku tidak bisa luput dari pemeriksaan mata Tuhan. Semua yang kulakukan dikutuk oleh Tuhan. Setelah menyadari hal ini, aku merasa sedikit takut, jadi aku segera datang ke hadapan Tuhan dan berdoa, "Ya Tuhan, aku tidak ingin hidup dengan pikiran dan gagasan Iblis. Kumohon kepada-Mu untuk membimbingku agar memberontak dan menolak moralitas Iblis ini."
Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Engkau semua harus memahami dengan jelas bahwa pepatah apa pun tentang perilaku moral bukanlah kebenaran, dan terlebih lagi, semua itu tidak dapat menggantikan kebenaran. Semua itu bahkan bukan hal-hal yang positif. Jadi apa sebenarnya pepatah-pepatah itu? Dapat dikatakan dengan pasti bahwa pepatah-pepatah tentang perilaku moral ini adalah pernyataan menyesatkan yang Iblis gunakan untuk menyesatkan manusia. Hal itu bukanlah kenyataan kebenaran yang harus manusia miliki, juga bukan hal-hal positif yang harus dihidupi oleh kemanusiaan yang normal. Pepatah tentang perilaku moral ini merupakan kepalsuan, kepura-puraan, kekeliruan, dan tipu muslihat—semua itu adalah perilaku yang dibuat-buat, dan sama sekali tidak berasal dari hati nurani dan nalar manusia atau dari pemikiran normal mereka. Oleh karena itu, semua pepatah budaya tradisional tentang perilaku moral adalah kesesatan dan kekeliruan yang tak masuk akal dan konyol. Melalui beberapa kali persekutuan ini, hari ini kita telah sepenuhnya menjatuhkan hukuman mati pada pepatah tentang perilaku moral yang Iblis anjurkan. Jika pepatah itu bahkan bukan hal yang positif, mengapa orang-orang bisa menerimanya? Bagaimana orang bisa hidup berdasarkan gagasan dan pandangan ini? Alasannya adalah karena pepatah tentang perilaku moral ini sangat selaras dengan gagasan dan imajinasi orang. Semua itu membangkitkan kekaguman dan penerimaan, sehingga orang menerima pepatah tentang perilaku moral ini dengan sepenuh hatinya, dan meskipun mereka tidak dapat menerapkannya, di dalam hatinya, mereka mendukung dan memujanya dengan penuh semangat. Jadi, Iblis menggunakan berbagai pepatah tentang perilaku moral untuk menyesatkan manusia, untuk mengendalikan hati dan perilaku mereka, karena di dalam hatinya, orang memuja dan memiliki keyakinan buta akan segala macam pepatah tentang perilaku moral, dan mereka semua ingin menggunakan pernyataan ini untuk berlagak memiliki martabat, kemuliaan, dan kebaikan yang lebih besar sehingga mencapai tujuan mereka untuk dihormati dan dipuji. Segala macam pepatah tentang perilaku moral, pada dasarnya, menuntut agar orang ketika melakukan hal tertentu, mereka harus memperlihatkan semacam perilaku atau kualitas manusia tertentu dalam hal perilaku moral. Perilaku dan kualitas manusia ini tampaknya cukup luhur, dan semua itu dihormati sehingga semua orang, di dalam hatinya, sangat menginginkannya. Namun, apa yang tidak mereka pertimbangkan adalah bahwa pepatah tentang perilaku moral ini sama sekali bukan prinsip perilaku yang harus diikuti oleh orang normal; sebaliknya, semua itu adalah berbagai perilaku munafik yang dapat memengaruhi seseorang. Semua itu adalah penyimpangan dari standar hati nurani dan nalar, penyimpangan dari kehendak kemanusiaan normal" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (10)"). "Prinsip-prinsip kebenaran di dalam firman Tuhan menunjukkan arah dan tujuan yang benar yang harus manusia ikuti, dan juga merupakan jalan yang harus manusia tempuh. Prinsip-prinsip firman Tuhan bukan saja membuat hati nurani dan nalar manusia berfungsi dengan normal, tetapi juga secara alami menambahkan prinsip-prinsip kebenaran untuk menjadi landasan hati nurani dan nalar yang manusia miliki. Ini adalah standar kebenaran yang mampu dicapai dan dipenuhi oleh orang yang memiliki hati nurani dan nalar. Ketika orang mematuhi prinsip-prinsip firman Tuhan ini, yang mereka peroleh bukanlah peningkatan dalam moralitas dan integritas mereka, juga bukan perlindungan terhadap martabat mereka sebagai manusia. Melainkan, mereka telah mulai menempuh jalan yang benar dalam hidup ini. Ketika orang mematuhi prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan ini, mereka bukan saja memiliki hati nurani dan nalar manusia normal, tetapi di atas landasan memiliki hati nurani dan nalar, mereka juga mulai memahami lebih banyak prinsip-prinsip kebenaran dalam hal bagaimana mereka seharusnya berperilaku. Sederhananya, mereka mulai memahami prinsip-prinsip bagi cara mereka berperilaku, mengetahui prinsip-prinsip kebenaran mana yang harus digunakan ketika memandang orang dan hal-hal dan ketika berperilaku dan bertindak, dan tidak lagi dikendalikan dan dipengaruhi oleh perasaan, keinginan, ambisi, dan watak rusak mereka sendiri. Dengan demikian, mereka sepenuhnya hidup dalam keserupaan dengan manusia normal" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (10)"). Dari penyingkapan dalam firman Tuhan, aku mendapatkan pemahaman tentang perilaku moral dalam budaya tradisional. Ternyata perilaku moral tidak sesuai dengan kebenaran, dan bahkan tidak bisa disebut sebagai hal yang positif. Itu sepenuhnya bertentangan dengan kebenaran. Namun, aku sangat dipengaruhi dan dirugikan karena mengikuti prinsip moral "bersikap tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain". Aku percaya bahwa aku harus murah hati ketika berhadapan dengan orang lain dan lebih memperhatikan orang lain, dan aku tidak boleh mempersulit orang lain meskipun aku menderita, kelelahan, atau diperlakukan tidak adil; hanya dengan cara ini aku bisa menjadi orang dengan karakter moral yang mulia. Dengan dikendalikan pandangan keliru ini, meskipun tahu saudari-saudariku tidak banyak memikul beban dalam tugasnya, aku tidak menunjukkannya, juga tidak mempersekutukan atau menelaah masalah Liu Jia, malah kukerjakan sendiri. Karena aku telah mengambil terlalu banyak pekerjaan dan hanya memiliki tenaga yang terbatas, pekerjaan menjadi menumpuk dan artikel-artikel tidak dapat disaring dan diserahkan tepat waktu. Ini menghalangi dan mengacaukan pekerjaan. Dari luar, aku tampak pengertian dan toleran terhadap orang lain, serta mudah bergaul. Namun sebenarnya, ini semua adalah perilaku baik yang dengan terpaksa pura-pura kulakukan demi dipuji orang lain. Itu sebenarnya cara mengelabui orang, dan mendapatkan status serta kesan yang baik tentang diriku di benak orang lain dengan mengorbankan pekerjaan gereja. Aku melihat bagaimana pandangan Iblis ini telah membuatku menjadi makin munafik dan licik, dan bagaimana semua itu telah membuatku sepenuhnya kehilangan kemanusiaan yang normal serta integritas dan martabat yang seharusnya kumiliki. Baru sekarang aku melihat dengan jelas bahwa semua yang telah kulakukan dikutuk oleh Tuhan; itu tidak sesuai dengan kemanusiaan normal yang Tuhan tuntut. Prinsip-prinsip berperilaku yang dituntut Tuhan adalah agar manusia menghidupi kemanusiaan yang normal, melindungi kepentingan rumah Tuhan terlebih dahulu dalam segala hal yang mereka lakukan, dan memperlakukan tugas mereka sesuai dengan tuntutan Tuhan. Meskipun aku adalah pemimpin tim, aku tidak diminta untuk menangani semuanya sendiri, tetapi untuk membagi pekerjaan secara wajar sesuai dengan kualitas, tingkat pertumbuhan, dan beban kerja setiap orang. Mereka yang berkualitas baik dapat diberi lebih banyak pekerjaan, sementara mereka yang berkualitas buruk atau yang baru berlatih sebentar dapat diberi lebih sedikit pekerjaan, untuk memastikan bahwa setiap orang dapat melaksanakan tugasnya sendiri. Jika aku menemukan watak rusak atau kekurangan pada saudara-saudariku, aku harus memenuhi tanggung jawabku dengan mempersekutukan kebenaran untuk membantu mereka. Jika mereka masih tidak menerimanya, aku harus memangkas mereka dengan keras, dan tidak hanya memaklumi dan mengampuni mereka sepanjang waktu. Inilah bantuan terbaik yang bisa kuberikan kepada saudara-saudariku. Dapat melepaskan kenajisan dan niat sendiri, memprioritaskan kepentingan rumah Tuhan dalam segala hal, serta bekerja sama dengan saudara-saudari secara harmonis sambil melaksanakan tugas dengan baik: itulah kemanusiaan yang benar-benar baik. Sejak saat itu, aku bersedia melepaskan perilaku moral tradisional semacam ini, mencari prinsip kebenaran dalam segala hal, dan berperilaku serta melaksanakan tugasku sesuai dengan tuntutan Tuhan.
Pada bulan Juni 2024, terjadi perpindahan personel dalam tim dan dua saudari masuk. Karena umumnya aku perlu membina orang, pekerjaanku berjalan lambat, tumpukan artikel menumpuk, dan beberapa pekerjaan lain tidak selesai. Aku berpikir untuk menugaskan lebih banyak pekerjaan kepada saudari-saudari yang baru datang untuk membantu mereka berlatih lebih banyak. Namun, kemudian aku juga khawatir karena mereka baru saja datang, mereka mungkin merasa sangat tertekan jika aku mengatur lebih banyak tugas untuk mereka, mengatakan bahwa sebagai pemimpin tim, aku tidak menunjukkan perhatian sama sekali kepada mereka, dan memiliki kesan buruk tentangku. Kemudian aku berpikir betapa sulitnya menangani semua pekerjaan ini sendirian, dan bagaimana kedua saudari ini masih muda dan berkualitas baik. Sekarang setelah mereka lebih akrab dengan pekerjaan itu, mereka seharusnya diberi lebih banyak beban. Jika aku terus seperti sebelumnya dan mempertahankan status serta citraku di benak orang lain dalam setiap kesempatan, melakukan semuanya sendiri, maka orang lain tidak akan bisa berlatih. Ini juga akan menunda pekerjaan. Aku teringat firman Tuhan: "Dalam segala hal yang engkau lakukan, engkau harus memeriksa apakah niatmu sudah benar. Jika engkau mampu bertindak sesuai dengan tuntutan Tuhan, hubunganmu dengan Tuhan sudah normal. Inilah standar yang paling minim. Selidikilah niatmu, dan jika engkau menemukan timbulnya niat yang tidak benar, mampu memberontak terhadapnya, dan bertindak sesuai dengan firman Tuhan, maka engkau akan menjadi orang yang tepat di hadapan Tuhan, yang pada gilirannya menunjukkan bahwa hubunganmu dengan Tuhan normal, dan bahwa semua yang engkau lakukan adalah demi Tuhan, dan bukan demi dirimu sendiri. Dalam segala hal yang engkau lakukan dan katakan, engkau harus mampu menetapkan hati yang lurus dan bertindak adil, dan tidak dituntun oleh perasaanmu, maupun bertindak sesuai dengan kehendakmu sendiri. Inilah prinsip yang harus dimiliki orang-orang yang percaya kepada Tuhan dalam berperilaku" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Bagaimana Hubunganmu dengan Tuhan?"). Maksud Tuhan adalah agar manusia memiliki niat yang benar dalam segala hal yang mereka lakukan dan melaksanakan tugas sesuai dengan tuntutan Tuhan. Hanya dengan demikian mereka dapat berkenan bagi Tuhan. Aku harus memperbaiki niatku dan melindungi pekerjaan gereja, memberi saudari-saudariku lebih banyak beban agar mereka membuat kemajuan lebih cepat dan memikul pekerjaan lebih awal. Meskipun mereka belum berlatih untuk beberapa pekerjaan, mereka mampu melakukannya berdasarkan tingkat pertumbuhan dan kualitas mereka; selama aku bersekutu dengan mereka tentang prinsip-prinsipnya, seharusnya tidak ada masalah. Setelah itu, aku menugaskan beberapa pekerjaan kepada mereka sesuai dengan tingkat pertumbuhannya dan meminta mereka mengerjakannya, dan aku mengajari mereka apa pun yang tidak mereka ketahui cara melakukannya. Setelah sekian waktu berlatih, mereka juga mampu memikul sebagian pekerjaan, dan aku bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk menangani pekerjaan lain. Setelah beberapa waktu, masalah artikel yang menumpuk terselesaikan, dan pekerjaan dapat berjalan dengan normal. Aku menyadari bahwa ketika pekerjaan diatur secara wajar sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan kualitas setiap orang, ini tidak hanya bermanfaat bagi pekerjaan, tetapi juga bagi pertumbuhan kehidupan saudara-saudariku. Dengan menerapkan cara ini, hatiku merasa jauh lebih bebas, dan aku tidak selelah sebelumnya. Syukur kepada Tuhan!