99. Bisakah Kebahagiaan Diraih dengan Mengejar Pernikahan yang Sempurna?
Saat aku masih sekolah, aku suka mendengarkan lagu dan membaca puisi kuno. Sebagian besar karya-karya ini bertemakan cinta. Aku dibentuk oleh pandangan tentang cinta seperti "Cinta di atas segalanya" serta "bergandengan tangan dan menjadi tua bersama". Aku tertarik pada gagasan pernikahan romantis yang langgeng, dan sangat ingin bertemu seseorang yang akan menjagaku serta menjadi tua bersamaku. Setelah mulai bekerja, aku bertemu dengan suamiku. Setelah kami menikah, dia sangat perhatian dan menjagaku. Terkadang, dia akan bersikeras agar aku pergi ke rumah sakit untuk berobat meskipun aku hanya sakit ringan seperti sakit kepala atau demam. Saat kami menyusuri jalan, dia selalu menyuruhku berjalan di sebelah kanannya karena dia takut aku tertabrak mobil. Kapan pun ada gesekan kecil dalam hidup kami, dia akan mengalah dan memaklumiku. Selain itu, dia sangat romantis. Setiap kali pulang dari perjalanan bisnis, dan di setiap perayaan sekecil apa pun, dia akan membelikanku hadiah. Saat aku melihat bagaimana suamiku memperlakukanku dengan penuh perhatian, aku merasa seperti wanita paling beruntung di dunia. Aku memercayakan seluruh kebahagiaanku dalam hidup ini kepadanya.
Pada bulan Juli 2013, aku mulai percaya kepada Tuhan. Dari firman Tuhan, aku mengetahui bahwa Tuhan Yang Mahakuasalah yang menciptakan langit dan bumi beserta segala sesuatu dan berdaulat atas segalanya. Dia adalah Juruselamat umat manusia. Aku adalah makhluk ciptaan, dan harus percaya kepada Tuhan dengan benar, mengikuti Tuhan, serta melaksanakan tugasku. Pada waktu itu, setiap kali ada waktu luang, aku akan membaca firman Tuhan dan secara aktif memberitakan Injil. Suamiku tidak menentang kepercayaanku kepada Tuhan. Menjelang Juni 2014, dia mendengar rumor tak berdasar dari PKT yang menjelek-jelekkan Gereja Tuhan Yang Mahakuasa. Dia takut akan kehilangan muka karena kepercayaanku kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan mulai menghalangiku percaya kepada Tuhan. Aku memberitahukan kebenarannya dan memintanya untuk tidak memercayai rumor yang tidak berdasar itu. Ketika melihatku tidak mau mematuhinya, sejak saat itu, dia terus-menerus bertengkar denganku.
Pada bulan Juni 2018, suamiku pulang dalam keadaan mabuk sekitar pukul sepuluh malam. Dia mendobrak pintu kamar tidur, menjambak rambutku, dan menyeretku dari tempat tidur ke lantai kemudian mulai memukuli kepalaku. Dia memukul dengan sangat kuat, dan setiap tamparan membuat kepalaku berdengung. Selanjutnya, dia mulai menampar wajahku, dan setelah selesai, dia pergi mengambil pisau dari dapur. Sambil memaki-maki, dia berkata, "Kalau kau percaya kepada Tuhan lagi, aku akan membunuhmu lalu aku akan bunuh diri." Sambil berbicara, dia menekankan punggung pisau itu ke leherku. Dalam hatiku, aku terus-menerus berseru kepada Tuhan. Aku tidak berani melawan secara fisik. Setelah waktu yang terasa sangat lama, dia meletakkan pisaunya. Saat aku melihat suamiku yang dulu penuh perhatian dan kasih sayang berubah menjadi begitu kasar, hatiku hancur berkeping-keping. Keesokan harinya, dia meminta maaf kepadaku dan berkata bahwa dia salah. Dia mohon supaya aku memaafkannya. Aku berpikir dalam hati, "Kami sudah menikah selama bertahun-tahun dan dia selalu baik padaku. Kali ini, mungkin karena dia mabuk dan kehilangan kendali." Jadi aku memaafkannya. Namun, sejak saat itu, aku mulai merasa terkekang saat menghadiri pertemuan dan melaksanakan tugasku. Setiap kali aku kembali dari pertemuan dan melihat suamiku tidak ada di rumah, aku akan bernapas lega. Jika dia di rumah dengan wajah muram, aku akan secara aktif mengajaknya bicara, atau bertanya apa yang ingin dia makan dan bergegas ke dapur untuk menyiapkannya. Aku menjadi lebih memberi perhatian kepadanya ketimbang sebelumnya.
Pada bulan Juni 2019, aku terpilih menjadi pemimpin di gereja. Saat mendengar berita ini, aku sangat senang, dan berpikir bahwa sebagai seorang pemimpin aku akan memiliki banyak kesempatan untuk berlatih dan juga mendapatkan banyak kebenaran. Namun, aku juga sangat waswas, "Sebelum ini, suamiku selalu memberiku tatapan sinis atau mengeluh saat aku pergi ke pertemuan. Jika aku menjadi seorang pemimpin, aku akan memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, dan aku harus sering pergi ke pertemuan. Akankah dia berusaha lebih menghalangiku lagi? Jika itu terjadi, maka kami tidak akan pernah memiliki kehidupan yang harmonis dan bahagia lagi." Di satu sisi, tugasku; di sisi lain, pernikahanku. Aku merasa bimbang. Aku berdoa kepada Tuhan untuk mencari, dan teringat akan firman Tuhan: "Jika engkau memiliki peran penting dalam penyebaran Injil dan meninggalkan tugasmu tanpa seizin Tuhan, tidak ada pelanggaran yang lebih besar daripada tindakan ini. Bukankah ini bisa dianggap tindakan pengkhianatan terhadap Tuhan?" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Memberitakan Injil adalah Tugas yang Harus Dilaksanakan dengan Baik oleh Semua Orang Percaya"). Jika aku menolak tugasku demi mempertahankan pernikahanku, itu akan menjadi satu pelanggaran berat. Aku ini makhluk ciptaan, dan melaksanakan tugasku adalah tanggung jawab serta kewajibanku. Aku tidak boleh berhenti melaksanakan tugasku demi menjalani kehidupanku yang tenang. Oleh karena itu, tugas menjadi pemimpin itu pun kuterima. Pada saat itu, kebetulan suamiku sedang cuti. Setiap hari dia melihatku pergi pagi-pagi dan pulang larut, dan setiap beberapa hari kami pun bertengkar. Berkali-kali, dia menghalangiku di pintu dan tidak mengizinkanku pergi ke pertemuan. Dia bahkan mengatakan bahwa aku tidak mengurus keluarga dan dirinya, dan jika aku terus percaya kepada Tuhan, dia akan menceraikanku. Meskipun mulutku mengucapkan kata-kata, "Baiklah, ceraikan saja aku!" hatiku lemah. Aku takut suamiku benar-benar akan menceraikanku. Akan seperti apa hidupku setelah itu? Begitu aku berpikir tentang perceraian, aku merasa seolah-olah tidak akan ada lagi kebahagiaan setelahnya. Hatiku sangat sakit rasanya seperti ditusuk pisau. Aku tidak ingin lagi keluar setiap hari untuk melaksanakan tugasku. Namun, aku adalah seorang pemimpin di gereja, dan aku harus memikul pekerjaan gereja. Jika aku melepaskan tugasku, aku akan benar-benar tidak punya hati nurani. Aku harus memberanikan diri dan terus bertahan. Di pertemuan, aku hanya bersikap asal-asalan, menanyakan keadaan semua orang dan sedikit mencari tahu tentang urusan pekerjaan. Aku terlibat dalam beberapa persekutuan sederhana, tetapi tidak mencari hasil. Terkadang, pekerjaan itu belum selesai dilaksanakan, tetapi begitu kulihat sudah waktunya mengakhiri pertemuan, aku bergegas pulang. Ini artinya keadaan saudara-saudariku tidak diatasi tepat waktu, dan beberapa pekerjaan tidak dapat dilakukan dengan segera.
Suatu kali, kakak perempuanku mengikutiku ke rumah seorang saudari untuk menghentikanku percaya kepada Tuhan. Demi keselamatan saudari ini, para pemimpin tingkat atas memintaku untuk tinggal di rumah sebentar dan tidak berhubungan dengan saudara-saudariku, serta melaksanakan tugasku sebisa mungkin sesuai dengan keadaanku. Di beberapa hari pertama di rumah, aku merasa tersesat dan sedih karena tidak bisa melaksanakan tugasku. Namun, saat aku melihat suamiku memasak untukku setiap hari dan berusaha keras untuk menghiburku, aku segera kembali terjerumus ke dalam pernikahan bahagia yang telah aku kejar. Aku sadar bahwa saudari yang bekerja denganku baru saja terpilih dan belum terbiasa dengan pekerjaan gereja. Ada banyak pekerjaan yang pelaksanaan dan tindak lanjutnya sangat membutuhkan kerja sama dari kami berdua. Selain itu, suamiku tidak mengawasiku setiap saat. Aku memang punya kesempatan untuk pergi keluar dan melaksanakan tugasku, tetapi aku takut suamiku akan marah jika dia tahu, dan hubungan kami yang baru pulih akan rusak lagi. Aku tidak ingin menghancurkan situasi bahagia ini, jadi aku tidak berusaha semampuku melaksanakan tugasku. Aku tidak menanyakan pekerjaan gereja selama dua bulan, dengan dalih "menjaga keadaan". Ini artinya semua aspek pekerjaan menjadi ikut terdampak dalam tingkatan yang berbeda-beda. Para pemimpin tingkat atas melihat bahwa aku sepenuhnya hidup dalam daging dan keluarga, dan tidak melakukan pekerjaan gereja, lalu memberhentikanku karena kinerjaku itu. Saat itu, aku menangis. Aku punya kesempatan untuk melaksanakan tugasku dalam dua bulan ini, tetapi aku tidak setia menjalankannya. Bukankah aku seorang pembelot? Dalam hati, aku menyesali diriku dan merasa bersalah. Di sebuah pertemuan, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan, yang masih jelas kuingat seolah baru kemarin. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Seandainya Aku menaruh sejumlah uang di hadapan engkau semua sekarang ini dan memberimu kebebasan untuk memilih, dan Aku tidak mengutuk engkau semua karena pilihanmu, maka sebagian besar dari engkau semua akan memilih uang dan meninggalkan kebenaran. Orang yang lebih baik di antara engkau semua akan meninggalkan uang dan memilih kebenaran dengan enggan, sedangkan mereka yang berada di tengah-tengah akan memegang uang itu dengan satu tangan dan kebenaran dengan tangan yang lain. Bukankah dengan demikian dirimu yang sesungguhnya akan terbukti dengan sendirinya? Ketika memilih antara kebenaran dan apa pun yang kepadanya engkau setia, engkau semua akan memilih dengan cara ini, dan sikap engkau semua akan tetap sama. Bukankah demikian? Bukankah banyak di antaramu yang pernah bimbang antara yang benar dan yang salah? Dalam semua pergumulan antara yang positif dan negatif, hitam dan putih—antara keluarga dan Tuhan, anak-anak dan Tuhan, keharmonisan dan keretakan, kekayaan dan kemiskinan, status tinggi dan status biasa, didukung dan ditolak, dan sebagainya—engkau semua tentu mengetahui pilihanmu! Antara keluarga yang harmonis dan yang retak, engkau semua memilih yang pertama, dan memilihnya tanpa keraguan; antara kekayaan dan tugas, lagi-lagi engkau semua memilih yang pertama, tanpa sedikit pun keinginan untuk berbalik; antara kemewahan dan kemiskinan, engkau semua memilih yang pertama; ketika memilih antara anak-anak, istri atau suami, dan Aku, engkau semua memilih yang pertama; dan antara gagasan dan kebenaran, engkau semua tetap memilih yang pertama. Dihadapkan pada segala macam perbuatan jahatmu, Aku sama sekali kehilangan keyakinan akan dirimu, Aku benar-benar tercengang. Ternyata hatimu begitu sulit untuk dilunakkan" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Kepada Siapakah Engkau Setia?"). Firman Tuhan menghakimiku, dan aku tidak bisa menahan tangis. Aku adalah salah satu orang yang setengah-setengah, yang diungkapkan Tuhan. Satu tanganku memegang erat pernikahan serta keluargaku, tidak mau melepaskannya; dan tanganku yang lain memegang keselamatan Tuhan, tidak ingin ditinggalkan. Ketika menjadi pemimpin, dari luar aku tampak pergi melaksanakan tugasku setiap hari. Namun, aku tidak ingin kepercayaanku kepada Tuhan membuat suamiku marah dan memengaruhi hubungan kami. Ketika pergi melaksanakan tugasku, aku hanya bersikap asal-asalan. Aku tidak mencurahkan upaya untuk mempersekutukan dan menyelesaikan keadaan saudara-saudariku maupun kesulitan serta masalah yang mereka hadapi dalam pekerjaannya. Saat di rumah untuk menjaga keadaan, aku menjadikannya kesempatan untuk mengabaikan tugasku sambil menikmati apa yang disebut kehidupan bahagia yang aku kejar. Selama dua bulan diisolasi di rumah, aku sangat sadar bahwa saudari yang bekerja denganku baru saja menjadi seorang pemimpin dan tidak dapat mengurus semua pekerjaan itu sendirian. Suamiku tidak mengawasiku setiap hari, jadi aku bisa saja bekerja sama dengan saudariku untuk melakukan beberapa pekerjaan. Namun, aku takut merusak hubunganku dengan suami dan sama sekali tidak memedulikan pekerjaan gereja. Terjebak di antara tugasku dan keluarga yang harmonis, aku memilih untuk mempertahankan keluargaku dan dengan mudah melepaskan tugasku. Aku sama sekali tidak memiliki kesetiaan kepada Tuhan, dan selama dua bulan mempertahankan keluargaku, aku bahkan sama sekali tidak menyesali diri atau merasa bersalah. Aku telah membaca begitu banyak firman Tuhan, tetapi ketika sebuah keadaan benar-benar menimpaku, di luar dugaan aku berperilaku seperti ini. Aku benar-benar mengecewakan Tuhan, dan tidak memiliki sedikit pun hati nurani atau nalar! Tuhan berfirman: "Dihadapkan pada segala macam perbuatan jahatmu, Aku sama sekali kehilangan keyakinan akan dirimu, Aku benar-benar tercengang. Ternyata hatimu begitu sulit untuk dilunakkan." Sebagai seorang pemimpin di gereja, aku memiliki tanggung jawab yang berat. Seharusnya aku bertanggung jawab atas berbagai pekerjaan di gereja untuk memastikan semuanya berjalan normal, dan seharusnya membantu saudara-saudariku dalam memahami kebenaran serta melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun, aku justru tidak peduli jika jalan masuk kehidupan saudara-saudariku terpengaruh, atau jika pekerjaan gereja dirugikan. Yang kupikirkan hanyalah mempertahankan pernikahan dan keluargaku sendiri, lalu meninggalkan tugasku begitu saja. Aku sungguh begitu egois dan hina! Aku adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri karena diberhentikan. Aku merasa sangat menyesal, dan diam-diam bertekad bahwa jika mendapat panggilan tugas lagi, aku tidak boleh meninggalkannya demi mempertahankan pernikahan serta keluargaku. Kemudian, aku mulai melaksanakan tugas di gereja lagi. Suamiku menggunakan cara halus dan kasar untuk membujukku agar berhenti. Ketika melihatku tidak mau mendengarkannya, setiap hari dia terus mengungkit-ungkit tentang perceraian untuk mengancamku. Aku berdoa kepada Tuhan dan memohon agar Dia memberiku iman dan kekuatan. Dengan cara ini, aku selalu bertahan untuk pergi ke pertemuan dan melaksanakan tugasku. Perlahan-lahan, suamiku berhenti mengendalikanku dengan begitu ketat, hanya menuntut agar aku pulang setiap hari.
Pada bulan Juli 2023, para pemimpin mengatur agar aku melaksanakan sebuah tugas. Karena pekerjaan itu melibatkan cukup banyak hal, aku hanya bisa pulang sekali dalam beberapa minggu atau lebih. Aku merasa sedikit terkekang, "Jika aku hanya pulang sekali dalam beberapa minggu atau lebih, bukankah ini akan melanggar garis batas suamiku? Jika aku tidak rutin di rumah, dan tidak berada di sisinya untuk menemani serta merawatnya, maka secara perlahan dan pasti pernikahan kami akan retak." Namun, aku teringat pengalaman sebelumnya saat gagal melaksanakan tugasku. Kali ini, aku tidak ingin ada penyesalan, dan aku setuju untuk melaksanakan tugas ini. Setelah beberapa waktu, aku sedikit khawatir, "Jika aku tidak pulang setiap hari, hubunganku dengan suami akan makin renggang. Jika kasih sayangnya berpindah ke lain hati, maka pernikahan kami akan berakhir. Jika aku kehilangan pernikahanku, masih bisakah aku memiliki kehidupan yang bahagia di masa mendatang?" Di permukaan, aku sibuk dengan pekerjaan setiap hari, tetapi hatiku terus-menerus merasa terganggu. Begitu pekerjaan selesai, aku akan mulai menghitung hari sampai aku bisa pulang. Aku bahkan berpikir untuk meminta para pemimpin mengubah tugasku menjadi tugas yang bisa kukerjakan di rumah. Dengan cara ini aku akan punya waktu untuk mempertahankan pernikahanku. Namun, aku sadar bahwa ini berarti memilih-milih tugas. Itu tidak masuk akal, jadi aku tidak mengatakannya. Dalam ketidakberdayaan, aku menceritakan isi hatiku kepada Tuhan dan memohon agar Tuhan mencerahkan dan membimbingku.
Suatu hari ketika melakukan saat teduh, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan yang sangat membantuku. Tuhan berfirman: "Bahkan ada orang-orang yang, setelah mereka percaya kepada Tuhan, menerima tugas dan amanat yang diberikan kepada mereka oleh rumah Tuhan, tetapi demi mempertahankan kebahagiaan dan kepuasan pernikahannya, mereka justru mengabaikan pelaksanaan tugas mereka. Mereka seharusnya pergi ke tempat yang jauh untuk memberitakan Injil, pulang ke rumah seminggu sekali atau sesekali, atau mereka bisa meninggalkan rumah dan melaksanakan tugas mereka penuh waktu sesuai dengan berbagai kualitas dan kondisi mereka, tetapi mereka takut pasangan mereka tidak akan puas dengan mereka, bahwa pernikahan mereka tidak akan bahagia, atau mereka akan kehilangan pernikahan mereka sepenuhnya, dan demi mempertahankan kebahagiaan pernikahannya, mereka melepaskan banyak waktu yang seharusnya digunakan untuk melaksanakan tugas mereka. Terutama saat mendengar pasangan mereka mengeluh atau terdengar tidak puas atau berkeluh kesah, mereka menjadi lebih berhati-hati untuk mempertahankan pernikahan mereka. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk memuaskan pasangan mereka dan bekerja keras untuk membuat pernikahan mereka bahagia agar tidak hancur. Tentu saja, yang jauh lebih serius daripada ini adalah bahwa ada orang-orang yang menolak panggilan rumah Tuhan dan menolak melaksanakan tugas mereka demi mempertahankan kebahagiaan pernikahan mereka. Ketika mereka harus meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugas mereka, karena mereka tidak sanggup berpisah dengan pasangannya atau karena orang tua pasangan mereka menentang kepercayaan mereka kepada Tuhan dan menentang mereka meninggalkan pekerjaan dan meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugas mereka, mereka berkompromi dan meninggalkan tugas mereka, dan malah memilih untuk mempertahankan kebahagiaan pernikahan dan keutuhan pernikahan mereka. Demi mempertahankan kebahagiaan pernikahan dan keutuhan pernikahan mereka, serta mencegah agar pernikahan mereka tidak hancur dan berakhir, mereka memilih hanya untuk memenuhi tanggung jawab dan kewajiban dalam kehidupan pernikahan dan meninggalkan misi sebagai makhluk ciptaan. Engkau tidak menyadari bahwa, peran apa pun yang kaumiliki dalam keluarga atau di tengah masyarakat—entah sebagai istri, suami, anak, orang tua, karyawan, atau apa pun juga—dan apakah peranmu dalam kehidupan pernikahan adalah peran yang penting atau tidak, engkau hanya memiliki satu identitas di hadapan Tuhan, yaitu sebagai makhluk ciptaan. Engkau tidak memiliki identitas kedua di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, ketika rumah Tuhan memanggilmu, itulah saatnya engkau harus memenuhi misimu. Dengan kata lain, sebagai makhluk ciptaan, engkau harus memenuhi misimu bukan hanya ketika syarat untuk mempertahankan kebahagiaan pernikahan dan keutuhan pernikahanmu terpenuhi, melainkan juga, selama engkau adalah makhluk ciptaan, maka misi yang Tuhan berikan dan percayakan kepadamu harus dipenuhi tanpa syarat; apa pun keadaannya, engkau selalu berkewajiban untuk memprioritaskan misi yang dipercayakan Tuhan kepadamu. Sedangkan misi dan tanggung jawab yang diberikan kepadamu melalui pernikahan berada di urutan kedua" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (10)"). Setelah membaca bagian firman Tuhan ini, rasanya seolah seberkas cahaya menyinari hatiku. Aku tiba-tiba merasa jernih dan tercerahkan. Seperti yang Tuhan katakan, aku terlalu mementingkan keutuhan dan kebahagiaan pernikahanku. Aku hanya ingin melaksanakan tugasku asalkan aku bisa mempertahankan kebahagiaan pernikahanku. Begitu tugasku memengaruhi pernikahanku, aku tidak bisa melaksanakan tugasku dengan hati yang damai, dan bahkan ingin melepaskan tugasku untuk mempertahankan pernikahanku. Aku tidak menjadikan tugas sebagai makhluk ciptaan sebagai yang utama. Aku teringat saat masih sekolah, aku sangat terpengaruh oleh pandangan tentang pernikahan seperti "bergandengan tangan dan menjadi tua bersama," dan "berharap memenangkan hati seseorang dan tetap bersama sampai rambut kami memutih." Aku selalu ingin bertemu dengan belahan jiwaku, yang akan memperlakukanku dengan tulus, menunjukkan perhatian, menjagaku, dan menemaniku seumur hidup. Karena itu, aku memperlakukan pernikahanku sebagai hal yang paling penting, dan selalu berusaha untuk mempertahankannya. Setelah aku mulai percaya kepada Tuhan, suamiku mendengarkan rumor tak berdasar dan mencoba menghentikanku. Aku khawatir akan timbul keretakan dalam pernikahan kami, jadi aku mencari cara untuk menyenangkannya. Saat melaksanakan tugas sebagai pemimpin, aku bersikap asal-asalan dan seenaknya saja. Setiap hari, aku datang dan pergi tepat waktu seolah-olah hendak bekerja. Pelaksanaan beberapa tugas tidak selesai, tetapi ketika teringat bahwa suamiku mungkin sudah selesai bekerja dan pulang, aku buru-buru menyelesaikan pertemuan lalu pulang. Saat dalam perjalanan pulang, aku bahkan berpikir tentang bagaimana cara mengambil hati suamiku dan mempertahankan hubunganku dengannya. Selama dua bulan di rumah menjaga keadaan, aku bisa saja melaksanakan beberapa tugas. Namun, demi mempertahankan hubunganku dengan suami, aku sama sekali mengabaikan pekerjaan gereja. Ini tidak hanya menunda jalan masuk kehidupan saudara-saudariku, tetapi juga merugikan pekerjaan gereja. Selain itu, saat keluar melaksanakan tugasku kali ini, kelihatannya saja aku menerimanya; tetapi tidak kulakukan dengan sepenuh hati. Begitu aku punya waktu luang, aku mulai menghitung kapan aku akan pulang. Aku bahkan berpikir untuk mengubah tugasku agar bisa pulang setiap hari. Aku terlalu mementingkan kebahagiaan dan keutuhan pernikahanku; seolah-olah kehilangan pernikahanku adalah peristiwa besar seperti langit runtuh. Aku adalah makhluk ciptaan. Tuhanlah yang memberiku kehidupan dan menganugerahkan segalanya kepadaku. Misiku adalah untuk melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan dengan baik. Namun, demi mempertahankan kebahagiaan pernikahanku, aku terus-menerus melaksanakan tugas dengan sikap asal-asalan. Aku sangat malu di hadapan Tuhan! Aku tidak memiliki sedikit pun hati nurani dan nalar sebagai makhluk ciptaan. Setelah memahami ini, aku menyesali diriku dan hatiku merasa tidak nyaman. Aku diam-diam bertekad: Ke depannya, aku mau menerapkan kebenaran dan membalas kasih Tuhan, juga menggunakan seluruh waktu serta pikiranku demi tugasku.
Suatu hari di bulan September 2023, aku pulang ke rumah. Suamiku pulang setelah minum-minum di malam hari dan dengan agresif bertanya kepadaku, "Kau sering tidak di rumah. Di mana kau tinggal? Apa yang kau lakukan?" Dia juga menyuruhku untuk berhenti percaya kepada Tuhan. Aku tidak setuju, jadi dia mulai memukulku. Aku sangat marah sehingga pergi dari rumah. Suatu hari di bulan November, aku pergi ke rumah ibuku. Ibuku berkata, "Suamimu bilang dia tidak bisa terus hidup seperti ini. Dia ingin kau pulang dan mengurus proses perceraian." Saat mendengar ini, aku menghela napas panjang lega. Aku berpikir dalam hati, "Meskipun dia telah menunjukkan banyak kebaikan dan perhatian kepadaku selama bertahun-tahun ini, dia juga banyak menganiayaku dan mencoba menghentikanku percaya kepada Tuhan. Jika kami bercerai, aku bisa percaya kepada Tuhan dengan bebas dan tidak akan dikekang olehnya lagi." Namun, saat berjalan keluar pintu dan melihat para pasangan suami istri menyusuri jalanan, aku teringat bagaimana aku telah menikah dengannya selama dua puluh tahun. Jika kami bercerai, itu berarti sejak saat itu tidak akan ada hubungan apa pun lagi di antara kami berdua. Jika aku sakit, siapa yang akan merawatku? Tanpa ditemani olehnya, akankah sisa hidupku menjadi sunyi dan sepi? Bisakah aku benar-benar mengakhiri dua puluh tahun kehidupan pernikahan begitu saja? Saat memikirkan ini, hatiku terasa seperti disiram air cuka, dan air mata membanjiri mataku. Aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku tahu bahwa tidak ada lagi kebutuhan untuk mempertahankan pernikahanku dengan suamiku. Aku bersedia menceraikannya, tetapi begitu aku membayangkan perceraian itu benar-benar terjadi, hatiku terasa begitu pedih tak tertahankan. Tuhan, kiranya Engkau memberiku iman dan kekuatan untuk memampukanku membuat pilihan yang benar."
Setelah itu, aku membaca firman Tuhan: "Tuhan telah menetapkan pernikahan untukmu dan memberimu pasangan hidup. Engkau masuk ke dalam pernikahan, tetapi identitas dan statusmu di hadapan Tuhan tidak berubah—engkau tetaplah dirimu. Jika engkau adalah seorang perempuan, maka engkau tetap seorang perempuan di hadapan Tuhan; jika engkau adalah seorang laki-laki, maka engkau tetap seorang laki-laki di hadapan Tuhan. Namun, engkau berdua punya satu kesamaan, yaitu, apakah engkau adalah laki-laki atau perempuan, engkau semua adalah makhluk ciptaan di hadapan Sang Pencipta. Di dalam kerangka pernikahan, engkau berdua saling menoleransi dan saling mencintai, engkau saling membantu dan saling mendukung, dan ini artinya memenuhi tanggung jawabmu. Namun di hadapan Tuhan, tanggung jawab yang harus kaupenuhi dan misi yang harus kauselesaikan tidak dapat digantikan dengan tanggung jawab yang kaupenuhi terhadap pasanganmu. Oleh karena itu, jika ada konflik antara tanggung jawabmu terhadap pasanganmu dan tugas yang harus kaulaksanakan sebagai makhluk ciptaan di hadapan Tuhan, yang harus kaupilih adalah melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan dan tidak memenuhi tanggung jawabmu terhadap pasanganmu. Inilah arah dan tujuan yang harus kaupilih dan, tentu saja, ini juga merupakan misi yang harus kauselesaikan. Namun, ada orang-orang yang secara keliru menjadikan pengejaran akan kebahagiaan pernikahan, atau hal memenuhi tanggung jawab mereka terhadap pasangannya, atau menjaga, mengurus, dan mencintai pasangan mereka sebagai misi hidup mereka, dan mereka menganggap pasangan mereka sebagai segalanya bagi mereka, nasib mereka—ini salah. ... Dalam hal pernikahan, yang bisa orang lakukan hanyalah menerima bahwa itu adalah dari Tuhan dan mematuhi definisi pernikahan yang telah Tuhan takdirkan bagi manusia, dengan baik suami maupun istri memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka satu sama lain. Yang tidak boleh mereka lakukan adalah menentukan nasib, kehidupan sebelumnya, kehidupan sekarang, atau kehidupan selanjutnya, apalagi menentukan kekekalan pasangan mereka. Tempat tujuanmu, nasibmu, dan jalan yang kautempuh hanya boleh ditentukan oleh Sang Pencipta. Oleh karena itu, sebagai makhluk ciptaan, entah peranmu sebagai istri atau suami, kebahagiaan yang seharusnya kaukejar dalam kehidupan ini berasal dari pelaksanaan tugasmu sebagai makhluk ciptaan dan penyelesaian misi sebagai makhluk ciptaan. Kebahagiaan tidak berasal dari pernikahan itu sendiri, apalagi dari pemenuhan tanggung jawabmu sebagai istri atau suami di dalam kerangka pernikahan. Tentu saja, jalan yang kaupilih untuk ditempuh dan pandangan hidup yang kaumiliki tidak boleh dibangun di atas kebahagiaan pernikahan, apalagi ditentukan oleh salah satu pasangan—ini adalah sesuatu yang harus kaupahami" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (11)"). "Mengenai pernikahan, selama itu tidak bertentangan dengan pengejaranmu akan kebenaran, maka kewajiban yang harus kaupenuhi, misi yang harus kauselesaikan, dan peran yang harus kaumainkan dalam kerangka pernikahan tidak akan berubah. Oleh karena itu, memintamu melepaskan pengejaran akan kebahagiaan pernikahan bukan berarti memintamu untuk meninggalkan pernikahan atau bercerai secara resmi, melainkan itu berarti memintamu untuk memenuhi misimu sebagai makhluk ciptaan dan melaksanakan tugas yang harus kaulaksanakan secara benar dengan dasar pemikiran memenuhi tanggung jawab yang seharusnya kaupenuhi dalam pernikahan. Tentu saja, jika pengejaranmu akan kebahagiaan pernikahan memengaruhi, menghalangi, atau bahkan merusak pelaksanaan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, engkau tidak hanya harus meninggalkan pengejaranmu akan kebahagiaan pernikahan, tetapi juga meninggalkan seluruh pernikahanmu. ... Jika engkau ingin menjadi orang yang mengejar kebenaran, maka hal yang harus paling kaupikirkan adalah bagaimana melepaskan apa yang Tuhan minta untuk kaulepaskan dan bagaimana mencapai apa yang Tuhan minta untuk kaucapai. Jika kelak engkau tidak menikah dan tidak memiliki pasangan di sisimu, di masa yang akan datang, engkau tetap dapat hidup hingga usia tua dan tetap menjalani hidup dengan baik. Namun, jika engkau melepaskan kesempatan ini, itu sama saja dengan melepaskan tugasmu dan misi yang Tuhan percayakan kepadamu. Bagi Tuhan, itu berarti engkau bukan orang yang mengejar kebenaran, bukan orang yang benar-benar menginginkan Tuhan, ataupun orang yang mengejar keselamatan. Jika engkau secara aktif ingin melepaskan kesempatan dan hakmu untuk memperoleh keselamatan dan misimu dan engkau malah memilih pernikahan, engkau memutuskan untuk tetap bersatu sebagai suami dan istri, engkau memutuskan untuk mendampingi dan memuaskan pasanganmu, dan engkau memilih untuk menjaga pernikahanmu tetap utuh, kemudian pada akhirnya engkau akan mendapatkan beberapa hal dan kehilangan beberapa hal. Engkau mengerti apa yang akan hilang darimu, bukan? Pernikahan bukanlah segala-galanya, demikian pula kebahagiaan pernikahan—pernikahan tidak dapat menentukan nasibmu, tidak dapat menentukan masa depanmu, apalagi menentukan tempat tujuanmu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (10)"). Setelah selesai membaca firman Tuhan, hatiku terasa sangat terang dan jernih. Tuhan telah menetapkan bahwa bagi manusia, arti pernikahan hanyalah untuk memungkinkan orang saling menemani dan saling menjaga. Aku telah melangkah ke dalam pernikahan, dan di dalam pernikahan, aku dapat memenuhi tanggung jawabku untuk menemani serta menjaga pasanganku. Namun tanggung jawab pernikahan tidak dapat menggantikan misi sebagai makhluk ciptaan. Saat tugas memanggil, aku harus memprioritaskan pelaksanaan tugas sebagai makhluk ciptaan dengan baik. Jika aku meninggalkan tugasku demi mengejar pernikahan yang bahagia, aku tidak akan bisa mendapatkan kebenaran dan menerima keselamatan Tuhan. Pada akhirnya, aku akan jatuh ke dalam malapetaka dahsyat dan dihancurkan. Dahulu, aku hanya berpikir untuk mengejar pernikahan yang bahagia. Aku menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mempertahankan hubunganku dengan suami. Aku ingin memegang pernikahanku dengan satu tangan, dan kebenaran dengan tangan yang lain. Aku ingin mengurus kedua hal itu. Pada akhirnya, aku percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun tetapi masih tidak memahami kebenaran. Aku telah menyia-nyiakan banyak waktu. Demi mempertahankan apa yang disebut kebahagiaan pernikahanku, aku membuat diriku lelah sampai benar-benar kelelahan. Di mana letak kebahagiaannya!? Aku juga menyadari bahwa percaya kepada Tuhan adalah hal yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan. Suamiku tidak percaya kepada Tuhan dan juga mencoba menghentikanku untuk percaya. Begitu aku menyebutkan apa pun yang berhubungan dengan percaya kepada Tuhan, dia akan marah padaku. Dia bahkan akan menuduh, memukul, dan mengutukku, serta sering mengancamku dengan perceraian. Esensinya, dia adalah setan. Seperti yang Tuhan katakan, "Orang percaya dan orang tidak percaya sama sekali tidak sesuai; sebaliknya mereka saling bertentangan" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan dan Manusia akan Masuk ke Tempat Perhentian Bersama-sama"). Kami adalah dua tipe orang yang tidak cocok, dan berjalan di dua jalan yang sangat berbeda. Sama sekali tidak mungkin bagiku untuk menjadi tua bergandengan tangan dengan setan yang menentang Tuhan seperti suamiku. Namun aku masih mengupayakan pernikahan yang langgeng dengannya, di mana kami akan menjadi tua bersama. Dengan bodohnya aku merawat pernikahan ini dengan cermat. Bukankah ini sama saja dengan mengikuti setan secara buta? Pikiranku terlalu kacau! Aku terlalu bodoh! Ketika mempertahankan hubunganku dengan setan, itu hanya akan membuatku menjauhi Tuhan, mengkhianati Tuhan, dan memutus kesempatanku sendiri untuk diselamatkan. Dengan mengandalkan pandangan yang keliru tentang cinta, aku menjadikan mengejar pernikahan bahagia sebagai misiku, dan kasih sayang daging menyelubungi hatiku. Aku tidak mau menilai suamiku menurut esensi naturnya. Jika Tuhan tidak mengatur keadaan ini, dan tanpa pencerahan serta bimbingan firman Tuhan, aku tetap tidak akan bisa mengenali semua ini dengan benar; aku akan tetap berkeras dan bodoh. Aku benar-benar buta dan tidak tahu apa-apa! Aku tidak bisa terus hidup dalam pikiran dan pandangan yang keliru ini. Bahkan jika suamiku ingin menceraikanku, aku tetap harus melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan. Inilah misiku yang sebenarnya!
Selama saat teduhku, aku mendengar sebuah lagu pujian dari firman Tuhan yang sangat menyentuhku.
Biarkanlah Tuhan Masuk ke Dalam Hatimu
Tuhan hanya dapat masuk ke dalam hatimu jika engkau membukakan hatimu bagi-Nya. Engkau hanya dapat melihat apa yang Tuhan miliki dan siapa diri-Nya, dan engkau hanya dapat melihat maksud-maksud-Nya bagimu, jika Dia telah masuk ke dalam hatimu.
1 Pada saat itu, engkau akan mendapati bahwa segala sesuatu mengenai Tuhan begitu berharga, bahwa apa yang Dia miliki dan siapa diri-Nya sangatlah pantas untuk dihargai. Dibandingkan dengan itu, orang, peristiwa, dan hal-hal di sekitarmu, dan bahkan orang-orang terkasihmu, pasanganmu, dan hal-hal yang engkau kasihi, tidaklah layak bahkan hanya untuk disebutkan. Semua itu begitu kecil, begitu hina; engkau akan merasa bahwa tidak ada lagi benda materiel yang akan mampu membuatmu tertarik, atau tidak ada benda materiel yang akan dapat memikatmu lagi untuk membayar harga apa pun demi mendapatkannya. Dalam kerendahhatian Tuhan, engkau akan melihat kebesaran-Nya dan keunggulan-Nya. Terlebih dari itu, dalam beberapa perbuatan Tuhan yang sebelumnya engkau pandang kecil, engkau akan melihat hikmat-Nya yang tak terhingga dan toleransi-Nya, dan engkau akan melihat kesabaran-Nya, toleransi-Nya, dan pemahaman-Nya akan dirimu. Ini akan menimbulkan kasih yang mendalam dalam dirimu terhadap-Nya.
2 Pada hari itu, engkau akan merasa bahwa umat manusia sedang hidup dalam dunia yang begitu kotor, bahwa orang-orang di sampingmu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupmu, dan bahkan mereka yang engkau kasihi, kasih mereka kepadamu, bahkan apa yang mereka sebut perlindungan dan kepedulian mereka terhadapmu, semuanya itu tidak pantas bahkan hanya untuk disebut-sebut—hanya Tuhanlah kekasihmu, dan hanya Tuhanlah yang paling berharga bagimu. Kasih Tuhan sungguh luar biasa, dan esensi-Nya begitu kudus—di dalam Tuhan tidak ada tipu muslihat, tidak ada kejahatan, tidak ada iri hati, dan tidak ada perselisihan, melainkan hanya ada kebenaran dan autentisitas, dan segala sesuatu yang Tuhan miliki dan siapa diri-Nya haruslah didambakan oleh manusia. Manusia harus memperjuangkan dan mencita-citakan hal itu.
—Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri III"
Aku sangat tersentuh saat mendengar lagu pujian dari firman Tuhan ini. Cinta di antara manusia dibangun di atas dasar pertukaran. Saat aku menemani suamiku dan merawatnya serta anak-anak, dia memperlakukanku dengan baik; saat aku tidak punya waktu untuk merawatnya, dia mulai marah dan ingin bercerai karena tidak mendapatkan keuntungan apa pun dariku. Begitu manusia dirusak oleh Iblis, mereka semua mengutamakan keuntungan. Tidak ada cinta sejati di antara manusia. Bahkan jika ada sedikit yang disebut cinta, itu tetap didorong oleh keuntungan. Pada tahun-tahun itu, aku pernah mengesampingkan tugasku dan mengkhianati Tuhan demi mempertahankan kebahagiaan pernikahanku. Namun, Tuhan tidak memperlakukanku sesuai dengan perbuatanku. Tuhan tetap menunjukkan belas kasihan dan kasih karunia-Nya kepadaku, secara nyata mengatur sebuah keadaan untuk menyelamatkanku dan memberiku kesempatan untuk bertobat, serta menggunakan firman-Nya untuk mencerahkanku agar aku bisa memahami siasat Iblis. Dia membawaku keluar dari pandangan keliruku tentang pernikahan sehingga aku tidak akan lagi disakiti oleh Iblis. Aku menyadari bahwa hanya Tuhan yang paling mengasihi manusia, dan hanya kasih Tuhan yang tulus dan kudus.
Kemudian, aku setuju untuk menceraikan suamiku, tetapi suamiku tidak mau lagi. Dia bahkan berkata bahwa selama aku pulang, dia akan memperlakukanku dengan baik seperti yang telah dilakukannya sebelumnya, dan tidak akan mencoba menghentikanku percaya kepada Tuhan lagi. Aku teringat bagaimana suamiku telah menggunakan ancaman, kekerasan, dan kutukan untuk memaksaku meninggalkan kepercayaanku kepada Tuhan. Ketika dia melihat bahwa tipu muslihat itu tidak berhasil, dia menggunakan kata-kata manis untuk menipuku. Tidak peduli bagaimana tipu muslihatnya berubah, esensinya adalah esensi setan. Esensinya sebagai musuh Tuhan tidak akan pernah berubah. Dia telah mencoba menghentikanku percaya kepada Tuhan selama satu dekade. Jika dia mampu berubah, dia pasti sudah berubah sejak lama. Jika aku memercayai perkataannya lagi, aku hanya akan tertipu dan akhirnya dikelabui, dan aku akan kehilangan kesempatanku sendiri untuk diselamatkan oleh Tuhan. Jadi aku mengabaikan perkataannya. Aku berpikir, "Bahkan jika kami tidak bercerai, aku tidak bisa membiarkannya menghalangi kepercayaanku kepada Tuhan dan pelaksanaan tugasku." Setelah itu, aku selalu melaksanakan tugasku di gereja, dan hatiku menjadi damai. Aku berhenti berpikir tentang bagaimana mempertahankan pernikahan dan keluargaku, dan akhirnya bisa terbebas dari belenggu serta kekangan suamiku. Aku sekarang bebas untuk percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku. Ini sangat bermanfaat bagi kemajuan hidupku. Syukur kepada Tuhan atas keselamatan-Nya!