47. Kini Aku Tahu Caranya Menyikapi Pernikahan

Nenekku memberitakan Injil Tuhan Yang Mahakuasa di akhir zaman kepadaku ketika aku berusia 18 tahun. Dengan membaca firman Tuhan Yang Mahakuasa, aku mengerti bahwa di akhir zaman, Tuhan menyatakan kebenaran dan melakukan pekerjaan penghakiman untuk menyucikan dan menyelamatkan manusia, mengelompokkan mereka menurut jenisnya, dan pada akhirnya mengakhiri zaman ini. Aku belum pernah percaya kepada Tuhan Yesus sebelumnya, dan aku beruntung bisa mengikuti tahap akhir pekerjaan Tuhan. Ini adalah kasih karunia Tuhan kepadaku. Aku harus sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku untuk membalas kasih Tuhan. Sejak saat itu, aku bersemangat mengejar, sering membaca firman Tuhan dan menghadiri pertemuan bersama orang tua serta nenekku. Aku juga aktif dalam melaksanakan tugasku. Setelah enam bulan, aku pergi dari rumah untuk melaksanakan tugasku karena kebutuhan pekerjaan. Kadang-kadang, aku menyempatkan diri untuk pulang saat melewati kampung halamanku.

Pada tahun 2019, usiaku 25 tahun. Suatu kali, saat aku pulang, ayahku berkata kepadaku, "Nak, kau sudah cukup umur untuk menikah, sebaiknya kau mulai berumah tangga. Lihatlah sepupumu dan istrinya. Setelah menikah, mereka tetap bisa melaksanakan tugas di gereja, dan semuanya berjalan dengan baik." Dia juga menyebutkan contoh beberapa saudara-saudari muda yang menikah, berusaha membujukku untuk menikah juga. Aku berkata, "Aku sedang sibuk melaksanakan tugasku. Aku benar-benar tidak berniat menikah dan menjalani kehidupan berkeluarga. Dalam hidup ini, aku hanya ingin mencurahkan seluruh waktuku untuk percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku. Hidup kita hanya akan bermakna jika kita mengejar kebenaran dan melaksanakan tugas dengan baik. Tuhan berfirman: 'Beberapa orang ditindas oleh keluarganya sehingga mereka tidak dapat percaya kepada Tuhan kecuali mereka menikah. Dengan demikian, pernikahan, sebaliknya, menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Bagi yang lain, pernikahan bukan saja tidak bermanfaat, tetapi malah membuat mereka kehilangan apa yang pernah mereka miliki' (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penerapan (7)"). Tak ada orang di keluarga kami yang menganiaya aku, jadi aku ingin membaktikan seluruh waktuku untuk melaksanakan tugasku. Hal ini akan bermanfaat bagi pengejaran hidupku." Sambil aku berbicara, kulihat ayahku berbaring di ranjang dengan wajah kecewa. Dia bergumam dengan suara pelan, "Menggunakan seluruh waktumu untuk melaksanakan tugas berarti menempuh jalan yang benar. Kalau kau memilih untuk tidak menikah, itu terserah dirimu dan Ayah tidak akan menghalangimu. Namun, saat memikirkan keluarga kita yang selama tiga generasi selalu diteruskan oleh anak laki-laki tunggal, dan bagaimana jika kau tidak menikah, maka garis keturunan keluarga kita akan berakhir pada dirimu, hati Ayah rasanya sedih. Karena itulah Ayah terpikir untuk membicarakan ini denganmu, supaya kau mempertimbangkan untuk menikah seperti sepupumu." Sejak saat itu, ayahku tidak pernah mencoba membujukku seperti itu lagi.

Setelah Festival Musim Semi tahun 2024, beberapa saudara-saudari ditangkap di daerah tempat aku melaksanakan tugas. Untuk sementara, tidak ada tempat tinggal keluarga tuan rumah yang cocok untuk kutempati, jadi aku mengusulkan kepada para pemimpin agar aku pulang ke rumah untuk sementara. Selama aku berada di rumah, ibuku sesekali membicarakan soal pernikahan denganku. Suatu kali, dia memperkenalkan beberapa anak gadis dari dua saudari. Dia merasa salah satu gadis itu cukup baik, dan dia menanyakan pendapatku tentang hal itu. Begitu mendengarnya, aku langsung berpikir, "Rupanya urusan pernikahanku terus membebani pikiran orang tuaku, dan sekarang mereka sudah bertindak. Kalau aku langsung menolaknya, itu akan terlalu menyakitkan bagi ibuku." Jadi aku mengalihkan pembicaraan ke topik lain, dengan sengaja berusaha menghindarinya. Suatu malam, aku mengobrol dengan ibuku. Dengan nada serius, ibuku berkata, "Nak, kau tahu kenapa ibu menyimpan semua uang ini? Satu alasannya adalah untuk biaya pengobatan nenekmu, dan alasan lainnya adalah untuk pernikahanmu. Sekarang nenekmu sudah meninggal, dan satu-satunya hal besar yang tersisa dalam keluarga kita adalah pernikahanmu. Kalau kau bertemu seseorang yang cocok, menikahlah! Itu tidak akan menghalangimu dalam percaya kepada Tuhan. Kau sudah berusia tiga puluh tahun, dan tidak akan menjadi lebih muda. Kalau kau tidak menikah, tidak akan ada yang akan menemanimu, dan akhirnya kau akan kesepian. Ibu dan ayahmu juga sudah tidak muda lagi, kami tidak bisa menemanimu seumur hidupmu." Ketika mendengar ucapan Ibu, hatiku terasa sedikit pilu. Selama bertahun-tahun, pendirianku tentang pernikahan selalu sangat teguh, tetapi kali ini aku benar-benar goyah. Aku teringat saat nenek meninggal tahun lalu. Aku merasa bahwa dengan berkurangnya satu kerabat di dunia, berkurang pula satu orang yang bisa menemaniku, aku merasakan kehampaan di dalam hatiku, "Kalau aku tidak menikah, saat orang tuaku meninggal nanti, aku akan menjalani hari tuaku dengan kesepian." Selain itu, sejak aku kecil, orang tuaku tidak pernah menuntut macam-macam terhadapku. Selama bertahun-tahun, mereka telah mendukungku ketika aku melaksanakan tugas jauh dari rumah. Aku belum bisa memenuhi satu-satunya harapan kecil yang mereka miliki dalam hidup ini. Aku merasa telah mengecewakan mereka. Namun kemudian aku berpikir, "Kalau aku menikah dan punya anak, akan ada lebih banyak ikatan dalam hidupku, waktu serta tenagaku untuk melaksanakan tugas pasti berkurang. Bahkan bisa jadi aku tidak mampu lagi melaksanakan tugas. Itu yang terjadi pada seorang saudara, yang setelah menikah, terpaksa harus kembali ke dunia untuk mencari uang. Dia bahkan tidak bisa rutin menghadiri pertemuan. Aku menerima kasih karunia Tuhan sehingga bisa datang ke rumah Tuhan untuk melaksanakan tugasku, dan selama bertahun-tahun ini, aku telah menerima begitu banyak dari Tuhan. Kalau aku tidak melaksanakan tugas dan malah memilih menjalani kehidupan berkeluarga, aku pasti mengecewakan Tuhan!" Jadi aku berkata kepada ibuku, "Aku tidak mau berumah tangga. Begitu berumah tangga, akan ada terlalu banyak ikatan dan tugasku pasti terganggu. Aku baik-baik saja hidup sendiri. Ibu cukup menjalani hidup saja dengan baik, tak perlu khawatir tentang aku." Begitu mendengar ini, ibuku begitu sedih sampai menundukkan kepala dan tak berkata apa-apa lagi. Hal itu membuatku teringat pada raut sedih dan kecewa ayahku beberapa tahun lalu, dan hatiku tiba-tiba melembut. Aku berpikir, "Kalau aku bahkan tidak bisa memenuhi satu keinginan orang tuaku ini, dan malah membuat mereka malu di hadapan kerabat dan teman-temannya, serta menjadi bahan cemoohan dan dihakimi orang, bukankah aku terlalu egois? Akulah anak satu-satunya yang telah dilahirkan dan dibesarkan orang tuaku, Kalau aku tidak menikah dan tidak memiliki anak, keluarga kami tidak akan memiliki penerus. Aku akan mengecewakan orang tua dan leluhurku. Bukankah ini artinya tidak berbakti? Semua kerabat dan teman-teman kami bertanya kapan aku akan menikah. Beberapa berkata orang tuaku tidak menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Mereka berkata, meskipun usiaku sudah lebih dari cukup, aku bahkan belum punya istri, apalagi anak, dan aku memutus garis keturunan keluarga. Kalau aku tidak segera berumah tangga dan meniti karier, entah apa lagi yang akan mereka katakan di belakangku!" Selama waktu itu, aku terus-menerus terganggu oleh perkara ini, terkadang aku tidak bisa tidur bahkan hingga lewat tengah malam. Aku berpikir dalam hati, "Sudah bertahun-tahun aku melaksanakan tugas jauh dari rumah, dan aku melihat beberapa saudara-saudari seusiaku yang sudah menikah dan punya anak. Meski mereka memiliki banyak ikatan, mereka tetap bisa melaksanakan sebagian tugas. Bagaimana kalau aku mencari saja pasangan yang cocok, menikah, dan di saat yang sama percaya kepada Tuhan sambil menjalani kehidupan seperti itu? Jangan sampai kerabat dan teman-temanku mengatakan bahwa aku memutus garis keturunan, karena itu akan mempermalukan orang tuaku di depan mereka. Namun, menikah dan mempunyai anak akan menghasilkan ikatan yang berat bagiku dan akan sangat membatasi pelaksanaan tugasku. Itu tidak akan sedikit pun memberi manfaat bagi kepercayaanku kepada Tuhan ataupun dalam pencarianku akan kebenaran ..." Aku berada dalam dilema. Tak lama kemudian, para pemimpin menemukan keluarga yang menjadi tuan rumah yang cocok untukku, dan mengirim surat yang memintaku segera pergi dan melaksanakan tugas. Ibuku menangis saat melepas kepergianku. Aku merasa sangat sedih, kutahan air mataku agar ibuku tidak melihatnya. Aku merasa telah mengecewakan orang tuaku dalam hidup ini. Bukan hanya karena sebagai anak aku tidak bisa menemani mereka, tetapi juga karena aku membuat mereka mencemaskanku dan menjadi bahan gosip di belakang mereka. Hidup dalam kondisi seperti ini menyiksaku, dan pelaksanaan tugasku juga ikut terpengaruh. Aku tahu bahwa keadaanku salah, jadi secara sadar, aku membaca firman Tuhan untuk mengatasi masalahku.

Suatu sore, tiba-tiba aku teringat sebuah lagu pujian firman Tuhan yang pernah kudengar sebelumnya, "Yang Harus Kaum Muda Kejar". Lalu, aku mencari bagian firman Tuhan ini dan membacanya. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Kaum muda tidak seharusnya tanpa aspirasi, dorongan, dan semangat yang penuh daya hidup untuk berusaha maju; mereka tidak boleh berkecil hati tentang masa depan mereka, juga tidak boleh kehilangan harapan dalam hidup atau keyakinan akan masa depan mereka; mereka harus memiliki ketekunan untuk terus menjalani jalan kebenaran yang sekarang ini telah mereka pilih—untuk mewujudkan keinginan mereka mengorbankan seluruh hidup mereka bagi-Ku. Mereka tidak seharusnya tanpa kebenaran, juga tidak boleh menyembunyikan kemunafikan dan ketidakadilan—mereka harus tetap teguh pada pendirian yang tepat yang mereka miliki. Mereka tidak boleh mengikuti arus, tetapi harus memiliki semangat berani berkorban dan berjuang demi keadilan dan kebenaran. Orang-orang muda harus memiliki keberanian untuk tidak menyerah pada penindasan kekuatan kegelapan dan untuk mengubah makna keberadaan mereka. Mereka tidak boleh mudah menyerah saat menghadapi kesulitan, melainkan harus terbuka dan jujur, disertai semangat pengampunan terhadap saudara-saudari mereka. Tentu saja, ini adalah tuntutan-Ku terhadap semua orang, dan nasihat-Ku bagi semua orang. Namun terlebih dari itu, ini adalah firman-Ku yang menenangkan bagi semua orang muda. Engkau semua haruslah menerapkan pengamalan sesuai dengan firman-Ku. Orang-orang muda, terutama, haruslah memiliki tekad untuk mengetahui yang sebenarnya tentang berbagai hal dan mencari keadilan dan kebenaran. Engkau semua haruslah mengejar segala hal yang indah dan bagus, dan engkau harus mendapatkan kenyataan dari semua hal yang positif. Engkau, terlebih lagi, harus bertanggung jawab terhadap kehidupanmu, dan tidak boleh menganggapnya enteng. Manusia datang ke bumi dan jarang bertemu dengan-Ku, dan juga jarang ada kesempatan untuk mencari dan memperoleh kebenaran. Mengapa engkau semua tidak menghargai waktu yang indah ini sebagai jalur yang tepat untuk kaukejar dalam kehidupan ini? Dan mengapa engkau selalu begitu meremehkan kebenaran dan keadilan? Mengapa engkau selalu menginjak-injak dan merusak dirimu sendiri demi ketidakbenaran dan kenajisan yang mempermainkan manusia?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman bagi Orang-Orang Muda dan Orang-Orang Tua"). Saat membaca firman Tuhan, aku merasa seakan-akan Tuhan sedang membimbingku secara langsung. Aku sangat dikuatkan. Aku melihat bahwa Tuhan menaruh harapan besar kepada kaum muda untuk mengejar kebenaran. Sebagai anak muda, percaya kepada Tuhan tidak hanya menuntutku agar memiliki cita-cita dan tujuan untuk mengejar kebenaran dan memperolehnya, tetapi juga menuntutku untuk berpendirian: Aku tidak bisa mengikuti arus, tetapi aku harus mampu berlatih membedakan dalam masalah-masalah. Aku teringat akan Petrus. Dia mulai percaya kepada Tuhan saat masih muda. Dia mendambakan keadilan dan haus akan kebenaran. Orang tuanya menuntutnya untuk bersekolah agar saat dewasa dia bisa mendapatkan jabatan resmi, tetapi Petrus tahu bahwa itu bertentangan dengan pengejaran akan jalan yang benar, bahwa itu adalah kehidupan yang hampa. Dia tidak terkekang oleh orang tuanya dan tetap memilih untuk menempuh jalan kepercayaan kepada Tuhan. Petrus mampu membedakan antara yang benar dan yang salah serta memegang pendirian yang teguh. Dia mampu membenci, menolak, dan tidak mengikuti hal-hal yang berasal dari manusia, dan dia sanggup menanggung penghinaan, bahkan mengorbankan nyawanya demi mengikuti hal yang berasal dari Tuhan. Pada akhirnya, dia disempurnakan oleh Tuhan dan menjalani hidup yang paling bermakna. Saat membandingkan diriku dengan pengalaman Petrus, aku merasa sangat malu. Ketika aku mendapat kecaman dari orang-orang tidak percaya soal pernikahan, dan menanggung sedikit penghinaan dan penderitaan, aku kehilangan pendirianku. Aku menganggap bahwa menikah dan memiliki anak demi memenuhi baktiku kepada orang tua sama pentingnya dengan melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan. Aku seperti berdiri di atas dua perahu sekaligus, menjejakkan satu kaki di masing-masing perahu: Kedua sisi pun menjadi goyah karena aku belum menentukan pilihan. Sekarang adalah masa yang genting, di mana Tuhan sedang bekerja untuk menyelamatkan manusia. Jika aku menikah dan memiliki anak-anak di masa seperti ini, aku harus bekerja keras untuk menghidupi mereka dan aku tidak akan memiliki waktu dan tenaga sebanyak sekarang untuk melaksanakan tugasku atau mengejar kebenaran. Jika aku melewatkan kondisi menguntungkan yang kumiliki sekarang, itu akan menjadi penyesalan seumur hidup. Ketika memahami hal ini, aku menyadari bahwa keinginanku untuk berkeluarga sambil dengan sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugas di saat yang sama ternyata tidak realistis. Begitu aku menikah, mungkin keadaannya sudah tidak bisa kuatur sendiri lagi. Aku tidak boleh terpengaruh oleh orang tuaku. Aku harus teguh dalam pengejaranku. Setelah menyadari hal ini, hatiku tidak lagi merasa begitu bimbang dan tersiksa. Namun, setelah itu, setiap kali menemui lingkungan yang mendukung, aku masih terpikir untuk menikah dan menjalani kehidupan seperti itu. Suatu kali, aku dengan sungguh-sungguh berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, pada hari aku kembali kepada-Mu, aku telah bertekad untuk mengikuti-Mu seumur hidupku, mengorbankan diriku untuk-Mu, dan melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan. Namun belakangan ini, aku terus-menerus berpikir tentang mencari pasangan, berumah tangga, dan menjalani kehidupan berkeluarga sambil percaya kepada-Mu. Aku tidak rela jatuh seperti ini, tetapi aku tidak memiliki kekuatan untuk meneguhkan tekadku. Tolong tuntunlah aku keluar dari keadaan yang salah ini."

Suatu hari, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan dan mendapatkan sedikit pemahaman tentang masalahku sendiri. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Orang itu tidak tahan mendengar omelan orang tuanya. Awalnya, dia menganggap betapa menyenangkan hidup melajang dan hanya perlu mengurus dirinya sendiri. Terutama setelah percaya kepada Tuhan, dia sangat sibuk melaksanakan tugasnya setiap hari dan tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal ini, sehingga dia tidak berkencan dan kelak dia tidak akan menikah. Namun, dia tidak dapat lepas dari pengawasan orang tuanya. Orang tuanya tidak setuju, selalu mendesak dan menekan dirinya. Setiap kali bertemu dengan anaknya tersebut, mereka mulai mengomel, 'Apakah kau sedang berkencan dengan seseorang? Adakah seseorang yang kausukai? Segeralah bawa dia ke rumah agar kami bisa memeriksa latar belakangnya untukmu. Jika dia cocok, segeralah menikah dengannya; usiamu kan terus bertambah! Wanita berusia tiga puluh tahun dan belum menikah, sedangkan pria berumur tiga puluh lima tahun dan tidak mencari pasangan. Apa maksudnya? Apakah ini upaya untuk menjungkirbalikkan dunia? Siapa yang akan merawatmu saat kau sudah tua jika kau tidak menikah?' Orang tua selalu mengkhawatirkan dan menyibukkan diri dengan hal ini, ingin agar engkau mencari orang semacam ini atau semacam itu, mendesakmu untuk menikah dan mencari pasangan. Dan setelah engkau menikah, orang tuamu terus saja mengganggumu: 'Cepatlah punya anak selagi aku masih muda. Aku akan membantumu mengurusnya.' Engkau berkata, 'Aku tidak membutuhkanmu untuk mengurus anak-anakku. Jangan khawatir.' Mereka menjawab, 'Apa maksudmu, "Jangan khawatir"? Cepatlah punya anak! Setelah anakmu lahir, aku akan mengurusnya untukmu. Setelah dia sedikit lebih besar, kau bisa mengambil alih.' Apa pun pengharapan orang tua terhadap anak-anak mereka—bagaimanapun sikap mereka atau entah pengharapan ini benar atau salah—hal ini selalu terasa seperti beban bagi anak-anak. Jika akhirnya mereka menuruti perkataan orang tua, mereka akan merasa tidak nyaman dan tidak bahagia. Jika mereka tidak menurutinya, mereka akan merasa bersalah: 'Orang tuaku tidak salah. Mereka sudah sangat tua dan belum melihatku menikah dan punya anak. Mereka merasa sedih, jadi mereka mendesakku untuk menikah dan punya anak. Ini juga merupakan tanggung jawab mereka.' Jadi, dalam hal menangani pengharapan orang tua dalam hal ini, di lubuk hatinya, orang selalu memiliki perasaan samar-samar bahwa hal ini adalah beban. Apakah mereka menurutinya atau tidak, itu tampak salah, dan bagaimanapun juga, mereka merasa diri mereka sangat tercela dan tidak bermoral jika tidak menaati tuntutan atau keinginan orang tua mereka. Ini adalah hal yang membebani hati nurani mereka. Ada orang tua yang bahkan ikut campur dalam kehidupan anak-anak mereka: 'Cepatlah menikah dan punya anak. Beri aku cucu laki-laki yang besar dan sehat terlebih dahulu.' Dengan cara ini mereka bahkan ikut campur mengenai jenis kelamin bayi. Ada orang tua yang juga berkata, 'Kau sudah punya seorang anak perempuan, cepatlah beri aku cucu laki-laki, aku ingin punya cucu laki-laki dan cucu perempuan. Kau dan pasanganmu sibuk percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugas sepanjang hari. Kau tidak melakukan pekerjaanmu yang semestinya; memiliki anak adalah hal yang sangat penting. Tidak tahukah kau bahwa, "Dari ketiga perilaku tidak berbakti, tidak memiliki keturunan adalah yang terburuk"? Apakah menurutmu memiliki seorang anak perempuan sudah cukup? Sebaiknya kau segera memberiku cucu laki-laki juga! Kau adalah anak tunggal di keluarga kita; jika kau tidak memberiku cucu laki-laki, bukankah garis keturunan keluarga kita akan berakhir?' Engkau merenungkannya, 'Benar juga, jika garis keturunan keluarga berakhir denganku, bukankah aku akan mengecewakan leluhurku?' Jadi, tidak menikah itu salah, dan menikah tetapi tidak punya anak juga salah; tetapi memiliki anak perempuan juga tidak cukup baik, kita juga harus memiliki anak laki-laki. Ada seseorang yang memiliki anak laki-laki terlebih dahulu, tetapi orang tuanya berkata, 'Satu anak tidak cukup. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Ayo punya anak satu lagi agar mereka bisa saling menemani.' Dalam hal anak, perkataan orang tua adalah hukum dan mereka mampu mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal, mengutarakan cara berpikir yang paling menyimpang. Anak-anak mereka sama sekali tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Orang tua ikut campur dan mengkritik kehidupan, pekerjaan, pernikahan, dan sikap anak-anak mereka terhadap berbagai hal. Anak-anak hanya dapat menelan amarah mereka. Mereka tidak dapat bersembunyi dari orang tua atau mengabaikan mereka. Mereka tidak dapat memarahi atau menasihati orang tua mereka sendiri, jadi apa yang dapat mereka lakukan? Mereka menanggungnya, berusaha bertemu mereka sejarang mungkin, dan menghindari percakapan tentang hal-hal ini jika mereka terpaksa harus bertemu. Dan jika hal-hal ini disinggung, mereka akan langsung menghentikannya dan pergi bersembunyi. Namun, ada orang-orang yang, demi memenuhi harapan orang tua dan agar tidak mengecewakan mereka, setuju untuk memenuhi tuntutan orang tua mereka. Engkau mungkin dengan enggan segera berkencan, menikah, dan memiliki anak. Namun, memiliki satu anak tidak cukup; engkau harus memiliki beberapa anak. Engkau melakukan hal ini untuk memenuhi tuntutan orang tuamu dan membuat mereka merasa senang dan bersukacita. Entah engkau mampu memenuhi keinginan orang tuamu atau tidak, tuntutan seperti itu dari orang tua tentunya sangat menyusahkan anak, siapa pun mereka. Orang tuamu tidak melakukan apa pun yang melanggar hukum, dan engkau tidak dapat mengkritik mereka, membicarakannya dengan orang lain, atau bertukar pikiran dengan mereka. Jika engkau terus-menerus seperti ini, hal ini menjadi beban bagimu. Engkau selalu merasa selama engkau tidak dapat memenuhi tuntutan orang tuamu untuk menikah dan punya anak, engkau tidak akan mampu menghadapi orang tua dan leluhurmu dengan tanpa rasa bersalah. Jika engkau belum memenuhi tuntutan orang tuamu, yang berarti, engkau belum berkencan, belum memasuki jenjang pernikahan, dan belum memiliki anak dan melanjutkan garis keturunan keluarga seperti yang mereka minta, batinmu akan merasa tertekan. Engkau hanya dapat merasa sedikit tenang jika orang tuamu berkata bahwa mereka tidak akan ikut campur dalam hal-hal ini, memberimu kebebasan untuk membiarkan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Namun, jika tanggapan sosial yang berasal dari kerabat jauhmu, teman-teman, teman sekelas, rekan kerja, dan semua orang lainnya adalah mengutukmu dan menggunjingkanmu, maka ini juga menjadi beban bagimu. Jika engkau berusia 25 tahun dan belum menikah, engkau tidak terlalu memikirkan hal ini, tetapi ketika engkau telah berusia 30 tahun, engkau mulai merasa sepertinya hal ini tidak begitu baik, jadi engkau menghindari para kerabat dan anggota keluarga tersebut, dan tidak mengungkit masalah ini. Dan jika engkau masih belum menikah saat sudah berusia 35 tahun, orang-orang akan berkata, 'Mengapa kau belum menikah? Apakah ada sesuatu yang salah denganmu? Kau agak aneh, ya?' Jika engkau menikah tetapi tidak ingin punya anak, mereka akan berkata, 'Mengapa kau belum punya anak setelah menikah? Orang lain menikah dan memiliki anak perempuan, lalu anak laki-laki, atau mereka memiliki anak laki-laki, lalu anak perempuan. Mengapa kau tidak mau punya anak? Ada apa denganmu? Bukankah kau memiliki perasaan manusia? Apakah kau benar-benar manusia normal?' Entah perkataan itu berasal dari orang tuamu atau dari masyarakat, masalah ini menjadi beban bagimu di berbagai lingkungan dan latar belakang. Engkau merasa bersalah, terutama pada saat engkau mencapai usia tertentu. Sebagai contoh, jika engkau berusia antara tiga puluhan dan lima puluhan dan belum menikah, engkau tidak berani bertemu orang lain. Mereka berkata, 'Wanita itu belum pernah menikah seumur hidupnya, dia itu perawan tua, tidak ada yang menginginkan dirinya, tak seorang pun akan menikahinya.' 'Pria itu, dia belum pernah punya istri seumur hidupnya.' 'Mengapa dia tidak menikah?' 'Siapa tahu, mungkin ada sesuatu yang salah dengannya.' Engkau merenung. 'Tidak ada yang salah denganku. Jadi, mengapa aku tidak menikah? Aku tidak menuruti perkataan orang tuaku dan aku mengecewakan mereka.' Orang-orang berkata, 'Pria itu belum menikah, gadis itu belum menikah. Lihat kasihan sekali orang tua mereka sekarang. Orang tua lain punya cucu dan buyut, sedangkan mereka masih melajang. Leluhur mereka pasti telah melakukan sesuatu yang mengerikan, bukan? Bukankah ini berarti membuat keluarganya tidak punya pewaris? Mereka tidak akan memiliki keturunan untuk melanjutkan garis keturunan keluarga. Ada apa dengan keluarga itu?' Betapapun kerasnya sikapmu saat ini, selama engkau adalah manusia fana, manusia biasa dan jika engkau tidak memiliki cukup kebenaran untuk memahami hal ini, cepat atau lambat, engkau akan merasa terganggu dan terpengaruh karenanya" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Pengungkapan firman Tuhan persis seperti keadaanku. Aku tahu bahwa menikah adalah satu belenggu besar dan tidak membawa manfaat apa pun bagi pencarian kebenaran ataupun pelaksanaan tugasku, jadi aku tidak ingin menikah. Namun, ketika aku masih belum menikah atau memiliki anak saat usiaku menginjak tiga puluh tahun, aku diejek dan dikritik oleh kerabat serta teman-temanku. Baik aku maupun orang tuaku merasa seolah kehilangan muka. Ini membuat orang tuaku berulang kali mendesakku untuk menikah agar garis keturunan keluarga tidak terputus. Mereka bahkan secara aktif mengenalkan beberapa calon pasangan kepadaku. Semua ini merupakan akibat terbelenggu oleh gagasan tradisional seperti, "Dari ketiga perilaku tidak berbakti, tidak memiliki keturunan adalah yang terburuk," dan "Laki-laki harus menikah jika sudah dewasa, perempuan harus bersuami jika sudah cukup umur." Kami telah menggunakan gagasan-gagasan keliru yang ditanamkan oleh Iblis ini sebagai prinsip untuk menuntun perilaku dan tindakan kami. Kami percaya bahwa orang tua harus memikirkan pernikahan dan karier anak-anaknya agar kelak ada keturunan yang meneruskan garis keturunan keluarga, sementara anak-anak harus tunduk pada hal ini dan memiliki anak demi memastikan ada banyak keturunan, agar orang tua dapat menikmati kebahagiaan dari rumah yang dipenuhi anak dan cucu. Jika anak-anak tidak memenuhi hal ini, mereka dianggap sangat memberontak dan tidak berbakti. Aku tidak mampu memenuhi harapan orang tuaku, membuat mereka khawatir dan sedih karena diriku, serta merusak nama baik mereka. Aku merasa bahwa sebagai seorang anak laki-laki, aku sangat egois dan tidak berbakti. Aku tidak sanggup menanggung kecaman dari kerabat dan teman-teman, dan sempat terpikir untuk menikah demi membalas budi kepada orang tuaku. Namun, aku juga tidak ingin kehilangan kondisi yang mendukungku untuk mencari kebenaran dan melaksanakan tugasku. Akibatnya, aku tidak bisa makan atau tidur dengan baik dan hidupku tertekan. Tuhan telah memberi manusia hak untuk memutuskan apakah mereka akan memiliki keturunan atau tidak, dan apa pun pilihannya, itu dapat dibenarkan. Namun, Iblis menggunakan gagasan tradisional seperti, "Dari ketiga perilaku tidak berbakti, tidak memiliki keturunan adalah yang terburuk," dan "Laki-laki harus menikah jika sudah dewasa, perempuan harus bersuami jika sudah cukup umur" digunakan untuk membelenggu orang, sehingga ada tidaknya kemanusiaan serta bakti seseorang akan dinilai dari status pernikahan serta apakah mereka memiliki anak atau tidak, bukan berdasarkan karakternya, apalagi berdasarkan firman Tuhan. Dengan begitu, mereka bukan hanya tidak bisa menilai seseorang secara objektif, tetapi semua orang dipaksa hidup demi menikah dan meneruskan garis keturunan karena takut dikecam dan dijauhi oleh orang lain. Padahal, tidak menikah bukan berarti tidak berbakti kepada orang tua. Ada orang yang tidak ingin menjalin hubungan serius karena sibuk dengan kariernya. Ada yang tidak menikah karena tekanan hidup. Aku memilih untuk tidak menikah agar dapat melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan dengan baik. Ini adalah kebebasanku dan pilihan yang paling benar. Namun, karena aku tidak memiliki kebenaran dan tidak dapat melihat esensi masalah, aku pun terbelenggu oleh gagasan tradisional dan tidak bisa mendapatkan kebebasan. Yang bisa kulakukan hanyalah dengan pasrah menahan tekanan dari keluargaku dan kecaman dari pendapat masyarakat. Sudah bertahun-tahun aku dan ayahku percaya kepada Tuhan, tetapi kami masih memandang segala sesuatu dengan bergantung pada pandangan yang keliru ini dan masih terikat serta terbelenggu oleh gagasan-gagasan tradisional ini. Kami benar-benar sangat bodoh!

Suatu hari, aku membaca firman Tuhan: "Memangnya kenapa jika garis keturunan keluarga terputus? Bukankah itu hanya masalah nama keluarga dari tubuh jasmaniah? Jiwa tidak memiliki hubungan satu sama lain; sama sekali tidak ada ahli waris atau keturunan di antara jiwa dengan jiwa lainnya. Umat manusia hanya memiliki satu nenek moyang; semua orang adalah keturunan dari nenek moyang tersebut, jadi sama sekali tidak ada garis keturunan manusia yang terputus. Melanjutkan garis keturunan bukanlah tanggung jawabmu. Menempuh jalan yang benar dalam hidup, menjalani kehidupan yang lepas dan bebas, dan menjadi makhluk ciptaan sejati adalah hal-hal yang seharusnya manusia kejar. Menjadi mesin untuk mereproduksi manusia bukanlah beban yang harus kaupikul. Juga bukan tanggung jawabmu untuk bereproduksi atau melanjutkan garis keturunan keluarga demi keluarga tertentu. Tuhan tidak memberimu tanggung jawab ini. Siapa pun yang ingin beranak pinak, silakan saja melakukannya; siapa pun yang ingin melanjutkan garis keturunan, silakan saja melanjutkannya; siapa pun yang bersedia memikul tanggung jawab ini, silakan saja memikulnya; hal ini tidak ada hubungannya dengan dirimu. Jika engkau tidak bersedia memikul tanggung jawab ini dan engkau tidak bersedia memenuhi kewajiban ini, itu tidak masalah, itu adalah hakmu. Bukankah sudah sepantasnya demikian? (Ya.)" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Firman Tuhan sangat memberikan kejelasan dan pencerahan, seolah-olah beban berat di hatiku telah terangkat. Aku mengerti bahwa manusia tidak memiliki tanggung jawab untuk meneruskan garis keturunan keluarga. Pada mulanya, Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, nenek moyang umat manusia, dan dengan terus berkembang biak, umat manusia membentuk banyak marga dan keluarga. Namun, jiwa seseorang tidak secara eksklusif dimiliki oleh satu keluarga atau marga mana pun. Tuhanlah yang berdaulat dan mengatur siapa yang akan dilahirkan dalam keluarga mana. Di kehidupan ini, mungkin kau dilahirkan di keluarga Li. Di kehidupan berikutnya, mungkin kau dilahirkan di keluarga Zhao, dan di kehidupan setelah itu, Tuhan mungkin mengatur agar kau dilahirkan di negara asing. Nama marga hanyalah sebuah penanda identitas seseorang, dan apa pun marganya, pada akhirnya kita semua adalah umat ciptaan dan sumber kehidupan kita adalah Tuhan. Sebelumnya, aku tidak melihat persoalan ini dengan jelas. Aku selalu berpikir bahwa karena tiga generasi keluargaku selalu diteruskan oleh anak laki-laki saja, maka jika di generasiku, aku tidak menikah dan memiliki anak, berarti aku telah memutus garis keturunan keluarga, dan mengecewakan orang tua serta leluhurku. Karena itu, aku pun mengecam diriku sendiri dalam hati. Firman Tuhan membuatku mengerti bahwa jiwa orang-orang tidak saling berkaitan. Jika aku memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak, itu tidak ada hubungannya dengan apakah aku berbakti atau tidak. Aku dan orang tuaku datang ke dunia ini dengan misi masing-masing. Tuhan menganugerahiku dengan memperbolehkanku datang ke rumah Tuhan dan melaksanakan tugasku dan aku memilih untuk melepaskan keterikatan duniawi demi berfokus melaksanakan tugasku. Inilah jalan yang benar dan pelaksanaan tugas yang sepatutnya. Itu berkenan bagi Tuhan.

Belakangan, aku membaca firman Tuhan lainnya: "Dalam hal pernikahan, mari kita kesampingkan dahulu fakta bahwa pernikahan ditetapkan oleh Tuhan. Sikap Tuhan terhadap pernikahan adalah memberi hak kepada manusia untuk memilih. Engkau boleh memilih untuk melajang, atau memilih untuk menikah; engkau boleh memilih untuk menjalani kehidupan sebagai pasangan, atau memilih untuk memiliki keluarga besar. Ini adalah kebebasanmu. Apa pun yang menjadi dasarmu dalam menentukan pilihan tersebut atau apa pun tujuan atau hasil yang ingin kaucapai, singkatnya, hak ini diberikan kepadamu oleh Tuhan; engkau berhak untuk memilih. ... Meskipun Tuhan telah memberimu hak seperti itu, ketika engkau menggunakan hak ini, engkau harus mempertimbangkan dengan saksama pilihan apa yang akan kauambil dan konsekuensi apa yang akan diakibatkan oleh pilihanmu tersebut. Apa pun konsekuensi yang akan diakibatkan oleh pilihanmu, engkau tidak boleh menyalahkan orang lain, dan juga tidak boleh menyalahkan Tuhan. Engkau harus bertanggung jawab atas konsekuensi dari pilihanmu sendiri. ... Di satu sisi, memilih untuk menikah bukan berarti engkau telah membalas kebaikan orang tuamu atau memenuhi tanggung jawabmu untuk berbakti; tentu saja, memilih untuk melajang juga bukan berarti engkau sedang menentang orang tuamu. Di sisi lain, memilih untuk menikah atau memiliki banyak anak bukan berarti engkau tidak menaati Tuhan, juga bukan berarti engkau memberontak terhadap-Nya. Engkau tidak akan dihukum karenanya. Memilih untuk melajang juga tidak akan menjadi alasan bagi Tuhan untuk memberimu keselamatan pada akhirnya. Singkatnya, apakah engkau melajang, menikah, atau memiliki banyak anak, Tuhan tidak akan menentukan apakah engkau pada akhirnya dapat diselamatkan atau tidak berdasarkan faktor-faktor ini. Tuhan tidak melihat latar belakang pernikahanmu atau status pernikahanmu; Dia hanya melihat apakah engkau mengejar kebenaran atau tidak; bagaimana sikapmu terhadap pelaksanaan tugasmu, berapa banyak kebenaran yang telah kauterima dan tunduk padanya, dan apakah engkau bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran atau tidak. Pada akhirnya, Tuhan juga akan mengesampingkan status pernikahanmu ketika memeriksa jalan hidup yang kautempuh, prinsip apa kaujadikan landasan hidupmu, dan aturan hidup apa yang kaupilih dalam bertahan hidup untuk menentukan apakah engkau akan diselamatkan atau tidak. Tentu saja, ada satu fakta yang harus kita sebutkan. Orang-orang yang melajang atau sudah bercerai, dan orang-orang yang belum menikah atau yang telah meninggalkan pernikahan, ada satu keuntungan yang mereka miliki, yaitu mereka tidak perlu bertanggung jawab terhadap siapa pun atau apa pun di dalam kerangka pernikahan. Mereka tidak perlu memikul tanggung jawab atau kewajiban ini, sehingga mereka relatif lebih bebas. Mereka memiliki lebih banyak kebebasan dalam hal waktu, mereka lebih berlimpah dalam hal tenaga, dan hingga taraf tertentu, mereka memiliki lebih banyak kebebasan pribadi. Sebagai contoh, sebagai orang dewasa, ketika engkau pergi untuk melaksanakan tugasmu, tak seorang pun akan membatasimu, bahkan orang tuamu pun tidak berhak membatasimu. Engkau sendiri berdoa kepada Tuhan, Dia akan membuat pengaturan untukmu, dan engkau bisa mengemas tasmu lalu pergi. Sedangkan jika engkau menikah dan memiliki keluarga, engkau tidak sebebas itu. Engkau harus bertanggung jawab terhadap mereka. Pertama-tama, dalam hal keadaan kehidupan mereka dan sumber daya keuangan, engkau harus setidaknya menyediakan makanan dan pakaian untuk mereka, dan ketika anak-anakmu masih kecil, engkau harus menyekolahkan mereka. Engkau harus memikul tanggung jawab ini. Dalam keadaan ini, orang-orang yang menikah tidak bebas karena mereka memiliki kewajiban keluarga dan sosial yang harus mereka penuhi. Hal ini lebih mudah bagi mereka yang tidak menikah dan tidak memiliki anak. Ketika melaksanakan tugas mereka di rumah Tuhan, mereka tidak akan kelaparan atau kedinginan; mereka akan memiliki baik makanan maupun tempat berteduh. Mereka tidak perlu menyibukkan diri mereka untuk mencari uang dan bekerja karena kebutuhan hidup keluarga. Itulah perbedaannya. Pada akhirnya, dalam hal pernikahan, intinya tetap sama: engkau tidak perlu memikul beban apa pun. Baik itu harapan orang tuamu, pandangan tradisional dari masyarakat, maupun keinginanmu sendiri yang berlebihan, engkau tidak perlu memikul beban apa pun" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa manusia tidak seharusnya memikul beban apa pun dalam memilih akan menikah atau tidak. Tuhan telah memberi kita hak untuk memilih secara bebas. Tuhan tidak akan mengutukku jika aku memilih untuk menikah, Dia juga tidak akan memutuskan bahwa aku bisa diselamatkan hanya karena aku memilih tidak menikah. Tuhan tidak menentukan kesudahan seseorang berdasarkan status pernikahannya. Yang dilihat-Nya adalah apakah seseorang telah memasuki kebenaran dalam kepercayaannya kepada Tuhan dan apakah dia telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Semua orang setara dalam hal mengejar kebenaran. Sebenarnya, aku juga menyadari bahwa saudara-saudari lajang memiliki sejumlah keunggulan dalam mengejar kebenaran dan melaksanakan tugas. Tanpa keterikatan keluarga, mereka punya lebih banyak waktu dan energi yang bisa dibaktikan untuk melaksanakan tugas mereka serta merenungkan firman Tuhan. Hal ini berguna bagi orang dalam memasuki kebenaran. Ketika melihat bahwa banyak orang percaya baru di seluruh dunia telah mulai memberitakan Injil dan bersaksi bagi Tuhan, aku pun teringat akan firman Tuhan: "Bukti keruntuhan progresif si naga merah yang sangat besar dapat terlihat dalam kedewasaan yang berlanjut dari umat Tuhan; ini dapat terlihat jelas oleh manusia. Kedewasaan umat Tuhan tersebut merupakan tanda kematian musuh" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 10"). Pekerjaan Tuhan hampir berakhir, dan sekarang, bencana makin bertambah serius. Jika sekarang kita tidak mencurahkan lebih banyak waktu dan energi pada tugas kita, mungkin nanti tidak akan ada lagi kesempatan untuk mengejar kebenaran atau melaksanakan tugas dengan baik, sekalipun kita ingin. Saat ini, saudara-saudari dari seluruh dunia sedang aktif melaksanakan tugas mereka, serta menyebarluaskan dan bersaksi tentang pekerjaan Tuhan. Ini adalah perbuatan baik yang diingat oleh Tuhan. Hari ini, aku memilih untuk tidak menikah. Aku harus melaksanakan tugasku dengan sepatutnya, secara teratur merenungkan firman Tuhan untuk mengatasi watak rusak dalam diriku, dan menggunakan waktuku untuk mengejar kebenaran. Hanya jika aku dapat bersaksi bagi Tuhan dan melaksanakan tugasku dengan baik, hidup ini tidak akan menjadi sia-sia. Setelah memahami hal ini, aku pun berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, aku sudah memutuskan untuk tidak menikah dan dengan sukarela memilih untuk menggunakan seluruh waktuku demi melaksanakan tugasku. Kiranya Engkau menuntunku untuk menempuh jalan pengejaran kebenaran, serta menerapkan dan mengalami firman-Mu untuk mengatasi watak rusakku."

Lalu, aku membaca firman Tuhan lainnya: "Dalam bersikap terhadap orang tuamu, engkau harus terlebih dahulu keluar dari hubungan darah ini secara rasional dan mengenali yang sebenarnya tentang orang tuamu dengan menggunakan kebenaran yang telah kauterima dan pahami. Ketahuilah yang sebenarnya tentang orang tuamu berdasarkan pemikiran, pandangan, dan motif mereka dalam berperilaku, dan berdasarkan prinsip serta cara mereka berperilaku, yang akan menegaskan bahwa mereka juga adalah orang-orang yang telah dirusak oleh Iblis. Pandanglah mereka dan kenalilah mereka dari sudut pandang kebenaran, bukan dari sudut pandang yang selalu menganggap orang tuamu luhur, tanpa pamrih, dan baik kepadamu, karena jika engkau memandang mereka dengan cara seperti itu, engkau tidak akan pernah menemukan masalah apa yang mereka miliki. Jangan pandang orang tuamu dari sudut pandang ikatan keluargamu, atau dari peranmu sebagai anak. Keluarlah dari lingkup ini dan lihatlah bagaimana cara mereka berinteraksi dengan orang lain, cara mereka memperlakukan kebenaran, orang, peristiwa, dan berbagai hal. Selain itu, yang lebih spesifik, lihatlah gagasan dan pandangan yang telah orang tuamu tanamkan dalam dirimu tentang bagaimana engkau harus memandang orang serta berbagai hal, dan bagaimana engkau harus berperilaku dan bertindak. Dengan cara inilah engkau harus mengenali dan mengetahui yang sebenarnya tentang mereka. Dengan cara ini, kualitas kemanusiaan mereka dan fakta bahwa mereka telah dirusak oleh Iblis akan menjadi jelas sedikit demi sedikit. Orang macam apa mereka? Jika mereka bukan orang percaya, bagaimana sikap mereka terhadap orang yang percaya kepada Tuhan? Jika mereka adalah orang percaya, bagaimana sikap mereka terhadap kebenaran? Apakah mereka orang-orang yang mengejar kebenaran? Apakah mereka mencintai kebenaran? Apakah mereka menyukai hal-hal positif? Apa pandangan mereka terhadap kehidupan dan dunia? Dan sebagainya. Jika engkau dapat mengenali orang tuamu berdasarkan hal-hal ini, engkau akan memiliki pemahaman yang jelas. Setelah hal-hal ini jelas, status orang tuamu yang luhur, mulia, dan tak tergoyahkan di benakmu akan berubah. Dan setelah itu berubah, kasih sayang keibuan dan kebapakan yang diperlihatkan oleh orang tuamu—beserta dengan perkataan dan tindakan spesifik mereka, dan citra luhur yang kaumiliki tentang mereka—tidak akan lagi terpatri sedemikian dalamnya di benakmu. Sikap tanpa pamrih dan kebesaran kasih orang tuamu kepadamu, serta pengabdian mereka dalam merawatmu, melindungimu, dan bahkan menyayangimu, tanpa kausadari tidak akan lagi menempati posisi yang penting di dalam benakmu" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (13)"). Firman Tuhan membuatku tersadar. Aku teringat bagaimana orang tuaku berulang kali mendesakku untuk menikah. Di luarnya, mereka tampak memikirkanku dan khawatir aku akan kesepian, tetapi pada esensinya, mereka hidup dengan bersandar pada gagasan-gagasan tradisional yang akan membuatku terjebak dalam kehidupan berumah tangga yang bersifat daging, sehingga aku akan kehilangan kondisi yang mendukungku untuk mengejar kebenaran. Semua ini asalnya dari gangguan Iblis. Sebelumnya, aku selalu memandang segala sesuatu dari sudut pandang daging dan kasih kekeluargaan; aku tidak membedakan segala sesuatu menurut kebenaran. Aku selalu mengira bahwa desakan orang tuaku untuk menikah adalah demi kebaikanku dan aku merasa bersalah karena menolak mereka. Jika bukan karena firman Tuhan yang berulang kali menuntunku, aku sama sekali tidak akan mampu membedakan nilai-nilai budaya tradisional ini. Sekarang, aku harus mengikuti firman Tuhan dalam memercayai Tuhan dan memilih jalanku. Aku tidak boleh dipengaruhi oleh orang tuaku. Jika apa yang mereka katakan sejalan dengan firman Tuhan, aku dapat menaatinya. Namun, jika itu bertentangan dengan kebenaran dan tidak bermanfaat bagi kehidupanku, aku harus menolaknya. Setelah memahami hal ini, aku tidak lagi merasakan adanya tekanan dalam hatiku terhadap keputusanku untuk tidak menikah.

Setelah itu, aku menyempatkan diri untuk menyurati ayahku dan mempersekutukan pemahamanku yang berdasarkan pada pengalaman agar ayahku juga dapat memahami kebenaran dari firman Tuhan dan meninggalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh gagasan-gagasan tradisional. Kemudian, ayahku membalas suratku, "Pengalamanmu ditulis dengan sangat baik. Dahulu, Ayah mendesakmu untuk mencari pasangan karena terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran tradisional. Setelah membaca suratmu, Ayah benar-benar mengagumi pilihanmu. Setelah membaca firman Tuhan yang kau temukan untuk Ayah, pandangan Ayah pun berubah. Dahulu, Ayah mengganggumu karena didorong oleh kasih sayang jasmani, tetapi sekarang ayah mengerti bahwa kau rela memutuskan tidak menikah demi mencurahkan seluruh waktumu untuk melaksanakan tugas, dan itu adalah hal yang paling bermakna!" Melihat balasan ayahku, aku merasa sangat bersyukur. Firman Tuhan adalah kebenaran. Firman itu sudah mengubah pikiran dan pandangan kami yang keliru. Firman itu membebaskan kami dari kekangan gagasan tradisional, sehingga kami dapat melaksanakan tugas dengan bebas dan merdeka. Aku mengalami keselamatan Tuhan dan kasih Tuhan secara nyata. Syukur dan terpujilah Tuhan Yang Mahakuasa!

Sebelumnya:  40. Selamat Tinggal Tahun-Tahun Pahit Mengejar Uang, Ketenaran, dan Keuntungan

Selanjutnya:  50. Siapa yang Menghalangi Jalanku Menuju Kerajaan Surga?

Konten Terkait

4. Ujian bagi Keturunan Moab

Oleh Saudari Zhuan Yi, TiongkokTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Semua pekerjaan yang dilakukan sekarang ini bertujuan agar manusia dapat...

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger