35. Cara Menyikapi Minat dan Hobi Anak

Sejak kecil, putraku bertubuh lemah dan pertumbuhannya juga lambat. Rumah kami dekat dengan sekolah, jadi aku sering membawanya ke lapangan olahraga untuk berlari dan melatih fisiknya. Saat itu, seorang pelatih memperhatikannya. Pada tahun 2020, anakku masuk kelas tiga sekolah dasar, dan dia dipilih oleh pelatih untuk bergabung dengan tim sepak bola sekolah. Setiap sore sepulang sekolah, anakku akan pergi ke lapangan untuk berlatih, dan saat kulihat wajahnya makin merona dan tubuhnya makin kuat, aku merasa puas. Setiap malam, aku akan mendengarkan dia berbagi cerita-cerita menarik tentang sepak bola. Saat menonton anakku berlatih di lapangan, aku perhatikan beberapa pelatih memberinya perhatian khusus dan mengajarinya gerakan-gerakan tambahan. Para pelatih berbicara kepadaku dengan sangat sopan, memuji putraku karena pemahamannya yang cepat, kepatuhannya, serta daya tahannya, dan mereka sering membiarkan dia bermain dengan siswa yang lebih tua, mengatakan bahwa mereka ingin membina dia menjadi pemain kunci. Aku merasa sangat senang, dan berpikir, "Anak ini benar-benar membuatku bangga. Apakah dia benar-benar punya potensi sebagai pemain sepak bola?" Sejak saat itu, aku mulai memperhatikan perkembangan sepak bola putraku, dan selama tugasku tidak terlalu sibuk, aku akan datang untuk menonton semua pertandingannya, baik besar maupun kecil. Pelatih akan memberitahuku sebelumnya tentang pengaturan tim apa pun, dan aku merasa sangat bangga. Aku pun mulai berkhayal, "Sepertinya dia benar-benar punya bakat dalam hal ini. Dalam masyarakat yang sangat kompetitif saat ini, sulit untuk mendapat tempat jika tidak punya keahlian khusus. Aku harus membina dia dengan baik dan menjadikannya pemain bintang, lalu ketika dia meraih ketenaran dan kesuksesan, bukan hanya dia akan membuatku bangga, tetapi aku juga akan ikut menikmati kekayaan dan kemuliaannya." Pada Tahun Baru 2021, tim putraku memenangkan kejuaraan tingkat distrik. Saat dia melihat piala emas yang berkilauan, dia memelukku dan tertawa bahagia. Dalam kegembiraanku, aku diam-diam merencanakan masa depan anakku sebagai pemain sepak bola, dan berpikir, "Mulai sekarang, bersiaplah menghadapi kesulitan. Jangan salahkan aku karena bersikap keras—ini semua demi kebaikanmu sendiri. Kelak ketika kau berhasil, kau akan mengerti niatku yang tekun. Ini sudah menjadi hobimu, dan jika tidak membinamu dengan baik, aku akan gagal sebagai orang tua."

Setelah ini, aku sering menyuruh anakku menonton cuplikan-cuplikan terbaik dari para pemain bintang di seluruh dunia, dan aku akan berkata kepadanya, "Lihat betapa hebatnya dia? Menurutmu, bagaimana rasanya menjadi seperti dia?" Anakku memang sudah suka menonton pertandingan, dan dengan bimbinganku, dia menjadi lebih antusias. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, dia akan menonton pertandingan dan wawancara para pemain bintang. Tak lama kemudian, dia menjadi sangat akrab dengan acara-acara sepak bola besar dan para bintang dari berbagai negara, dan dia sering menjelaskan hal-hal ini kepadaku. Ketika melihat putraku kini berada di jalur yang benar, aku mulai mengajarinya lebih banyak lagi, "Tidak ada keberhasilan yang mudah. Kau harus menanggung kesulitan untuk mewujudkan impianmu." Anakku sangat setuju dan jarang mengeluh tentang latihan keterampilan dasar yang membosankan. Sepanjang musim panas 2021, putraku akan pergi ke lapangan untuk berlatih setiap jam 5 pagi dan baru berhenti setelah jam 9, dan dia tidak pernah melewatkan satu sesi pun. Suatu hari, putraku demam, dan hatiku cukup sedih melihatnya demikian lemah. Namun untuk membantunya mencapai tujuannya, aku tetap mengantarnya ke lapangan. Pada akhir pekan, ketika dia pergi ke klub untuk berlatih, terkadang dia sangat lelah dan ingin libur sehari, tetapi aku selalu menolaknya. Terkadang, dia menjadi sangat enggan, dan aku terus berbicara dengannya untuk mencoba mengubah pola pikirnya, "Kau harus terus menjalaninya agar pelatih melihat kerja kerasmu. Keterampilanmu harus meningkat agar pelatih membawamu ke lebih banyak pertandingan. Ketika reputasimu meningkat, pelatih yang lebih baik akan memperhatikanmu dan membawamu ke tim yang lebih baik lagi, bukankah kau akan selangkah lebih dekat untuk menjadi pemain bintang?" Anakku tidak bisa membantahku, jadi dia hanya memaksakan diri untuk berlatih.

Kemudian, karena pandemi yang parah, kompetisi skala besar dihentikan selama dua tahun berturut-turut. Anakku tidak memenangkan penghargaan apa pun, dan kami berdua merasa menyesal, tetapi dia tidak pernah berhenti berlatih. Bahkan dalam cuaca yang sangat dingin, ketika hanya ada beberapa orang di lapangan, sosoknya masih terlihat. Namun, aku tidak tahu kapan tepatnya hubunganku dengan putraku mulai berubah. Karena keinginanku untuk melihat hasil dari anakku, setiap kali setelah pulang dia ingin menceritakan kejadian-kejadian menarik saat latihan, aku akan menyela dengan tidak sabar, "Aku tidak peduli dengan hal-hal itu. Yang ingin aku tahu hanyalah: Apakah kalian menang? Berapa gol yang kau cetak? Apakah pelatih memujimu? Apakah jadi yang paling tangguh di timmu?" Putraku akan berhenti bicara karena pertanyaanku, dan dia tidak lagi merasa sedekat dahulu denganku. Jika timnya menang, dia akan menyombongkan diri kepadaku, tetapi jika kalah, dia akan menundukkan kepalanya seolah-olah telah melakukan kesalahan.

Pada tahun 2023, pembatasan pandemi dicabut, dan berbagai kompetisi diadakan sesuai jadwal. Pada akhir pekan, pelatih sering membawa anak-anak ke kota lain untuk bertanding, dan selama liburan, mereka pergi ke kota-kota yang lebih jauh untuk kompetisi besar, dan mereka bahkan berlatih bersama tim-tim seusia dari Korea Selatan. Tidak peduli berapa pun biayanya, aku akan secara aktif mendaftarkan anakku, aku pun menganggap diriku punya pandangan jauh ke depan dan adalah orang tua yang bertanggung jawab. Makin banyak penghargaan yang dimenangkan putraku, makin banggalah aku, dan kesombonganku sangat terpuaskan di hadapan semua pelatih, orang tua lain, serta teman dan kerabat kami. Tahun ini, tugasku membuatku sangat sibuk, tetapi untuk menemani anakku berlatih, aku sering memarkir mobilku di samping lapangan dan bekerja dengan komputer di dalam mobil sambil menunggunya. Karena aku sering harus keluar dari mobil untuk menonton latihan anakku, aku membuang cukup banyak waktu yang bisa kugunakan untuk melaksanakan tugasku, dan efisiensi tugasku menurun. Suatu kali, anakku mengikuti kompetisi tingkat kota, dan waktunya bersamaan dengan pertemuan dengan seorang anggota baru. Meskipun aku sangat ingin berada di pertandingan anakku, aku tidak bisa mengabaikan tugasku, jadi aku harus pergi ke pertemuan itu. Namun, sepanjang perjalanan, pikiranku tertuju pada pertandingan itu. Aku bertanya-tanya apakah anakku akan bisa bermain penuh, atau apakah timnya akan memenangkan pertandingan. Setiba di kediaman keluarga tuan rumah, kulihat anggota baru itu belum datang. Biasanya, aku akan cemas dan mencoba menghubungi anggota baru itu, tetapi hari itu, aku merasa bahwa bagus sekali anggota baru itu belum muncul, karena ini berarti aku bisa pergi ke pertandingan dan menyaksikan putraku. Aku menunggu sebentar, dan karena anggota baru itu masih belum datang, aku dengan cemas bergegas ke pertandingan. Aku tiba tepat saat dimulainya babak kedua, dan begitu gembira melihat tim putraku memenangkan pertandingan sehingga aku benar-benar lupa menghubungi anggota baru itu.

Pada bulan Oktober 2023, tim anakku mengikuti kompetisi tingkat kota tetapi tidak memenangkan piala. Aku murka. Apalagi ketika melihat tim yang setahun lebih muda dari putraku memenangkan hadiah dan para orang tua serta anak-anak itu merayakannya di grup WeChat, aku merasa hampir hancur. Dahulu, mereka hanya bisa iri pada kami, tetapi sekarang mereka benar-benar menang. Putraku pulang dengan tangan hampa dan aku tidak tahu bagaimana harus menyikapi rasa malu ini. Sesampainya di rumah, aku bahkan tidak makan malam. Aku terus melampiaskan emosi pada anakku, "Pandemi menunda kompetisi selama dua tahun, tapi aku tidak menyangka kali ini kalian tetap tidak mendapatkan hasil. Ini semua karena pelatih kalian tidak melatih kalian dengan benar sebelum kompetisi. Salah satu rekan timmu mengacau di saat genting dan menghambat semua orang. Kau juga, kurasa kau pun kurang tangguh. Jika tidak, kau pasti bisa memimpin timmu meraih kemenangan!" Dia sudah sangat sedih karena kalah dalam pertandingan, tetapi melihatku marah besar, dia mencoba menghiburku, "Ma, jangan marah. Dalam setiap kompetisi pasti ada yang menang dan kalah. Kita memang tidak sekuat mereka." Ketika melihat wajah polos putraku, hatiku cukup tergerak, "Ini hanya sebuah pertandingan; mengapa aku begitu marah?" Aku memaksa diri untuk mengucapkan beberapa kata penyemangat kepada anakku. Namun, hatiku masih kacau, dan hingga jam 1 pagi, aku masih tidak bisa tidur. Aku merasa kondisiku salah, jadi aku berdoa dalam hati, "Tuhan, aku tidak bisa mengendalikan emosiku. Engkau meminta agar kami selalu memandang orang dan segala hal serta berperilaku dan bertindak sesuai dengan firman-Mu, dengan kebenaran sebagai kriteria kami. Aspek kebenaran mana yang harus kumasuki dalam membina putraku? Mohon cerahkan dan bimbing aku." Setelah berdoa, aku teringat bagaimana Tuhan telah memberi tahu kami tentang tanggung jawab apa yang harus dipenuhi orang tua untuk anak-anak mereka, dan satu bagian firman Tuhan muncul di benakku: "Memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua berarti, di satu sisi, merawat anak-anak mereka, lalu di sisi lain, menasihati dan mengoreksi anak-anak mereka, serta memberi mereka bimbingan mengenai pemikiran dan pandangan yang benar" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). Tuhan meminta agar, sebagai orang tua, ketika anak-anak kita yang masih kecil memiliki pemikiran atau pandangan yang ekstrem, kita harus segera menasihati mereka mengenai pemikirannya. Inilah tanggung jawab sebagai orang tua. Putraku kalah bertanding hari itu, jadi seharusnya inilah waktunya dia meluapkan unek-uneknya dan mengungkapkan isi hatinya, aku pun seharusnya mendengarkan, menasihati, serta membantunya memperbaiki cara pandangnya yang keliru. Aku bukan hanya tidak menasihatinya sama sekali, tetapi malah memperburuk keadaannya. Aku sangat tidak punya nalar! Aku bahkan tidak memenuhi syarat sebagai seorang ibu. Aku sangat buruk! Setelah memikirkan ini, aku perlahan-lahan menjadi tenang, dan aku berhenti terobsesi dengan hasil pertandingan.

Kemudian, aku merenungkan mengapa aku menaruh begitu banyak tuntutan kepada putraku. Aku membaca firman Tuhan: "Dalam kesadaran subjektif orang tua, mereka membayangkan, merencanakan, dan menentukan berbagai hal tentang masa depan anak-anak mereka, dan sebagai akibatnya, mereka memunculkan pengharapan-pengharapan tersebut. Di bawah dorongan pengharapan-pengharapan ini, orang tua menuntut agar anak-anak mereka mempelajari berbagai keterampilan, belajar seni peran dan seni tari, atau seni lukis, dan sebagainya. Mereka menuntut agar anak-anak mereka menjadi orang yang berbakat, dan kemudian menjadi atasan, bukan bawahan. Mereka menuntut agar anak-anak mereka menjadi pejabat tinggi, dan bukan prajurit biasa; mereka menuntut agar anak-anak mereka menjadi manajer, CEO, dan eksekutif, bekerja untuk perusahaan Fortune Global 500, dan sebagainya. Semua ini adalah gagasan subjektif orang tua. ... Berdasarkan pada apakah pengharapan orang tua ini? Dari manakah pengharapan-pengharapan ini berasal? Semua itu berasal dari masyarakat dan dunia. Tujuan dari semua pengharapan orang tua ini adalah untuk memungkinkan agar anak-anak beradaptasi dengan dunia dan masyarakat ini, agar mereka tidak tersingkir oleh dunia atau masyarakat, dan agar mereka memiliki kedudukan yang bagus di tengah masyarakat, mendapatkan pekerjaan yang mapan, keluarga yang stabil, serta masa depan yang stabil, jadi orang tua memiliki pengharapan subjektif yang berbeda-beda terhadap anak-anak mereka. Sebagai contoh, saat ini menjadi sarjana teknik komputer merupakan hal yang sangat populer. Ada orang-orang yang berkata: 'Anakku kelak akan menjadi sarjana teknik komputer. Mereka bisa menghasilkan banyak uang di bidang ini, membawa komputer sepanjang hari, dan mengerjakan jaringan komputer. Ini juga akan membuatku terlihat baik sebagai orang tua!' Dalam keadaan seperti ini, ketika anak-anak sama sekali tidak memiliki konsep apa pun, orang tua merekalah yang menentukan masa depan mereka. Bukankah ini salah? (Ya.) Orang tua mereka menaruh pengharapan kepada anak-anak mereka sepenuhnya berdasarkan cara orang dewasa memandang segala sesuatu, serta berdasarkan pandangan, sudut pandang, dan kesukaan orang dewasa tentang hal-hal dunia. Bukankah ini bersifat subjektif? (Ya.) Sederhananya, engkau dapat mengatakan bahwa itu bersifat subjektif, tetapi apa itu sebenarnya? Apa arti lain dari subjektivitas ini? Bukankah itu artinya keegoisan? Bukankah itu pemaksaan? (Ya.) Engkau menyukai pekerjaan ini dan karier itu, engkau suka hidup mapan, menjalani kehidupan yang glamor, menjabat sebagai pejabat, atau menjadi orang kaya di tengah masyarakat, jadi engkau membuat anak-anakmu melakukan hal-hal itu juga, menjadi orang yang seperti itu juga, dan menempuh jalan seperti itu. Namun, akankah mereka suka hidup dalam lingkungan tersebut dan menggeluti pekerjaan tersebut di masa depan? Apakah mereka cocok dengan pekerjaan itu? Apa takdir mereka? Apa pengaturan dan ketetapan Tuhan mengenai mereka? Apakah engkau mengetahui hal-hal ini? Ada orang-orang yang berkata: 'Aku tidak peduli dengan hal-hal itu, yang penting adalah hal-hal yang aku sukai sebagai orang tua mereka. Aku akan menaruh pengharapan kepada mereka berdasarkan kesukaanku sendiri.' Bukankah itu sangat egois? (Ya.) Itu sangat egois!" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa orang tua membuat berbagai tuntutan pada anak-anaknya menurut selera dan pemahaman mereka sendiri tentang masyarakat, mereka kemudian meminta anak-anaknya mengejar dan mencapai tuntutan ini. Ketika bercermin pada diriku sendiri, aku sadar bahwa aku suka dipandang tinggi dan tidak mau tidak dikenal, jadi aku berharap putraku mengejar hal yang sama. Aku melihat tekanan persaingan sosial sangat besar dan kebetulan anakku punya bakat dalam olahraga, jadi aku berharap dia bisa menonjol di antara teman-temannya melalui sepak bola, untuk akhirnya menjadi selebriti, menghasilkan banyak uang, dan menjalani kehidupan yang lebih unggul. Dengan cara ini, aku juga akan mendapat manfaat dari kesuksesannya. Untuk mencapai tujuan ini, aku merampas kegembiraan anakku dalam bermain sepak bola, dan aku memaksanya untuk mengejar cita-cita menjadi pemain bintang sesuai dengan keinginanku. Tanpa mempedulikan panas atau dingin yang ekstrem, dan apakah dia bisa menahannya secara fisik, aku memaksanya untuk terus berlatih. Perlahan-lahan, anakku menjadi terlalu fokus pada menang atau kalah dan pada kehormatan, dia juga bahkan menjadi bangga serta berpuas diri karena prestasinya. Dari luarnya, sepertinya aku melakukan ini untuk kebaikan putraku, tetapi pada kenyataannya, aku ingin menggunakan kesuksesannya dalam sepak bola untuk memenuhi keinginan egoisku serta mewujudkan impianku sendiri. Yang lebih penting, harapan dan tuntutanku pada anakku sepenuhnya didorong oleh keinginan subjektif pribadiku. Putraku masih kecil dan bahkan tidak paham akan pemikiran untuk menjadi terkenal atau menghasilkan banyak uang, tetapi aku membebankan hal-hal ini padanya dan memaksanya melaksanakan rencanaku. Aku sangat egois! Apa pekerjaan putraku atau akan menjadi orang seperti apa dia nantinya, semuanya berada di bawah kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Dengan merencanakan kehidupan anakku sesuai dengan keinginanku sendiri, bukankah aku mencoba melepaskan diri dari kedaulatan Tuhan?

Kemudian, aku mencari, "Mengapa aku selalu mengharapkan anakku memenuhi tuntutanku?" Ketika aku membaca firman Tuhan, hatiku menjadi sedikit lebih terang. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Sebenarnya, seluhur apa pun cita-cita manusia, serealistis apa pun keinginan manusia, atau seberapa pantas tampaknya hal-hal tersebut, semua yang ingin dicapai manusia, semua yang dicari manusia, terkait erat dengan dua kata. Kedua kata ini sangat penting bagi kehidupan setiap orang, dan kedua kata ini adalah hal-hal yang ingin Iblis tanamkan dalam diri manusia. Apakah kedua kata ini? Kedua kata ini adalah 'ketenaran' dan 'keuntungan'. Iblis menggunakan metode yang sangat lembut, metode yang sangat sesuai dengan gagasan manusia, dan yang tidak terlalu agresif, untuk membuat orang tanpa sadar menerima cara dan hukumnya untuk bertahan hidup, mengembangkan tujuan dan arah hidup mereka, dan mulai memiliki aspirasi hidup. Betapa pun terdengar muluk perkataan yang orang gunakan untuk membicarakan aspirasi hidup mereka, aspirasi ini terkait erat dengan 'ketenaran' dan 'keuntungan'. Segala sesuatu yang dikejar oleh orang hebat atau terkenal mana pun—atau, yang sebenarnya dikejar oleh semua orang—sepanjang hidup mereka, hanya berkaitan dengan dua kata ini: 'ketenaran' dan 'keuntungan'. Orang mengira setelah memiliki ketenaran dan keuntungan, mereka memiliki modal yang dapat mereka gunakan untuk menikmati status yang tinggi dan kekayaan yang besar, serta menikmati hidup. Mereka mengira setelah memiliki ketenaran dan keuntungan, mereka memiliki modal yang bisa mereka gunakan untuk mencari kesenangan dan menikmati kesenangan daging dengan semaunya sendiri. Demi ketenaran dan keuntungan yang mereka inginkan ini, orang-orang bersedia, meskipun tanpa sadar, menyerahkan tubuh, hati, dan bahkan semua yang mereka miliki, termasuk prospek dan nasib mereka kepada Iblis. Mereka melakukannya tanpa keraguan, tanpa sejenak pun merasa ragu, dan tanpa pernah tahu bahwa mereka seharusnya mendapatkan kembali semua yang pernah mereka miliki. Dapatkah orang tetap memegang kendali atas diri mereka sendiri setelah mereka menyerahkan diri kepada Iblis dan menjadi setia kepadanya dengan cara ini? Tentu saja tidak. Mereka sama sekali dan sepenuhnya dikendalikan oleh Iblis. Mereka telah sama sekali dan sepenuhnya tenggelam dalam rawa, dan tidak mampu membebaskan dirinya. Begitu seseorang terperosok dalam ketenaran dan keuntungan, mereka tidak lagi mencari apa yang cerah, apa yang adil, atau hal-hal yang indah dan baik. Ini karena, bagi manusia, godaan ketenaran dan keuntungan terlalu besar; inilah hal yang dapat dikejar orang tanpa henti sepanjang hidup mereka dan bahkan sampai selama-lamanya. Bukankah inilah situasi sebenarnya?" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Dari firman Tuhan, kulihat bahwa penyebab aku memiliki harapan seperti itu untuk anakku adalah karena aku menjadikan pengejaran ketenaran dan keuntungan sebagai tujuan hidupku. Sejak muda, aku telah menjadikan perkataan Iblis "Manusia bergelut ke atas; air mengalir ke bawah," "Jika engkau lebih menonjol dari orang lain, engkau akan membawa kehormatan bagi nenek moyangmu," dan "Kau harus menanggung penderitaan yang sangat besar agar bisa unggul dari yang lain" sebagai keyakinan yang mesti dijalani. Aku fokus sepenuhnya pada belajar, lulus ujian, dan mencari pekerjaan bergaji tinggi. Setiap kali aku mencapai tujuan dan dipuji oleh orang lain, orang tuaku juga ikut dikagumi oleh para kerabat, teman, dan tetangga karena prestasiku, dan aku merasa bahwa entah seberapa banyak pun penderitaan yang mesti kujalani, itu semua sepadan. Setelah aku mulai bekerja, untuk mendapatkan promosi, kenaikan gaji, dan tampak menonjol, aku suka menjilat atasanku. Aku memakai topeng saat berhadapan dengan rekan-rekanku, dan aku mengatakan hal-hal yang bertentangan dengan perasaanku yang sebenarnya. Keluargaku hanya melihat betapa hebatnya aku bekerja di kota besar dan mengirim uang ke rumah setiap bulan, tetapi pada kenyataannya, aku sudah lama muak dengan kehidupan yang kujalani. Di dunia ketenaran dan keuntungan, aku kehilangan integritasku dan merasa kesepian serta hampa di dalam, dan aku bahkan tidak punya siapa pun untuk berbagi perasaanku yang sebenarnya. Setelah keluar dari pekerjaan, selama bertahun-tahun aku tidak ingin mengingat kembali masa-masa itu. Setelah menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa di akhir zaman, aku mulai melaksanakan tugasku di gereja, yang membuatku merasakan kedamaian dan ketenangan di hatiku serta menjauhi dunia perebutan ketenaran dan keuntungan yang penuh pertikaian serta pengkhianatan. Aku menyangka sudah melepaskan pengejaran ketenaran dan keuntungan itu, tetapi tak disangka, ketika menyangkut anakku bermain sepak bola, aku mulai mengejar ketenaran serta keuntungan lagi. Aku ingin membina anakku menjadi pemain bintang agar aku juga bisa menikmati kemuliaan. Esensi dari harapanku adalah aku ingin anakku mengejar ketenaran, keuntungan, dan status seperti diriku. Di lapangan, anakku bersaing dengan lawannya; di luar lapangan, aku bersaing dengan orang tua lain. Kami bersaing untuk melihat siapa yang bisa membina anaknya lebih baik, dan siapa yang anaknya bisa memberinya lebih banyak kemuliaan. Aku bahkan membayangkan setelah putraku menjadi terkenal, aku bisa menikmati kekayaan, status, dan kemuliaan bersamanya. Aku sadar bahwa tujuan yang kukejar sama sekali tidak berubah. Selama bertahun-tahun pergi ke pertandingan bersama putraku, aku menganggap olahraga kompetitif adalah tentang ketenaran dan keuntungan. Sekalipun para pemain berbakat mencapai hasil yang baik melalui usaha, penderitaan fisik dan mental yang mereka alami dalam prosesnya adalah sesuatu yang tidak dapat ditanggung oleh orang kebanyakan. Lagi pula, pencapaian sesaat ini begitu cepat memudar dan sama sekali tidak punya makna. Bahkan para pemain bintang yang pernah memiliki ketenaran dan keuntungan tidak dapat lepas dari penuaan, penyakit, dan kematian, serta masih menghadapi kesulitan dalam hidup. Bahkan jika seseorang mencapai ketenaran dan keuntungan, ini tidak dapat menghentikan penuaan atau penyakit, juga tidak dapat memperpanjang hidupnya. Sekalipun aku membina putraku menjadi pemain bintang, apa gunanya itu? Bukankah dia akan tetap menderita karena racun Iblis seperti diriku? Baru saat itulah aku melihat bahwa membawa anakku ke jalan mengejar ketenaran dan keuntungan sama seperti mendorongnya ke dalam lubang api. Anakku jelas hanya anak biasa yang suka bermain sepak bola, dan akulah yang dibutakan oleh ketenaran serta keuntungan. Aku sendiri yang memasang belenggu ketenaran dan keuntungan pada putraku.

Kemudian, dengan makan dan minum firman Tuhan, aku dapat melihat masalah ini dengan lebih jelas. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Jika orang tua ingin memenuhi tanggung jawab mereka, mereka harus berusaha memahami kepribadian, watak, minat, kualitas anak-anak mereka, serta kebutuhan kemanusiaan mereka, bukannya menjadikan pengejaran mereka sendiri sebagai orang dewasa akan dunia, ketenaran, dan keuntungan sebagai pengharapan bagi anak-anak mereka, memaksakan hal-hal ketenaran, keuntungan, dan dunia yang berasal dari masyarakat ini untuk dicapai oleh anak-anak mereka. Para orang tua menyebut hal-hal ini dengan sebutan yang terdengar menyenangkan, yaitu 'pengharapan terhadap anak-anak mereka', tetapi bukan itu yang sebenarnya. Jelas bahwa mereka berusaha mendorong anak-anak mereka ke dalam lubang api dan mengirim mereka ke pelukan setan" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). "Mengenai masa depan anak-anak mereka dan karier yang akan mereka kejar, orang tua tidak boleh menanamkan hal-hal seperti, 'Lihatlah si itu, dia adalah seorang pianis yang mulai bermain piano di usia empat atau lima tahun. Dia tidak menikmati waktu bermain, tidak punya teman ataupun mainan, dan dia berlatih piano setiap hari. Orang tuanya menemaninya mengikuti les piano, berkonsultasi dengan berbagai guru, dan mengikutsertakan mereka dalam lomba bermain piano. Lihatlah betapa terkenalnya dia sekarang, makan enak, berpakaian bagus, dikelilingi oleh pancaran kemuliaan dan dihormati di mana pun dia berada.' Apakah jenis didikan seperti ini dapat mendorong perkembangan pikiran anak yang sehat? (Tidak.) Jadi, didikan macam apa ini? Ini adalah didikan dari Iblis. Jenis didikan seperti ini merusak pikiran anak mana pun. Didikan seperti ini mendorong mereka untuk menginginkan ketenaran, mendambakan berbagai pancaran kemuliaan, kehormatan, kedudukan, dan kenikmatan. Didikan seperti ini membuat mereka mendambakan dan mengejar hal-hal ini sejak usia muda, membuat mereka merasa cemas, sangat ketakutan, serta khawatir, dan bahkan menyebabkan mereka membayar segala macam harga untuk mendapatkannya, bangun pada dini hari dan bekerja hingga larut malam untuk memeriksa pekerjaan rumah mereka dan mempelajari berbagai keterampilan, serta kehilangan masa kecil mereka, menukar tahun-tahun berharga itu dengan hal-hal ini" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Dari firman Tuhan, aku melihat bahwa orang tua menempatkan pengejaran ketenaran dan keuntungan mereka pada anak-anak mereka, dan ini ada di sepanjang proses membesarkan dan mendidik anak. Ini merusak tubuh dan pikiran anak-anak dan mendorong mereka ke dalam pelukan si Iblis. Aku teringat bagaimana putraku sedang menjalani masa kecil yang tanpa beban, tetapi sejak usia enam atau tujuh tahun, aku membuatnya berupaya menjadi pemain bintang, dan mengejar ketenaran serta kekayaan. Ini semua di luar apa yang bisa ditanggung oleh mental anak seusianya. Namun aku tetap dengan paksa menanamkan gagasan-gagasan ini ke dalam dirinya, dan aku menuntut agar dia terus berlatih, bahkan ketika dia lelah atau sakit. Sepak bola telah menjadi lebih dari sekadar minat atau hobi bagi anakku, dan dia menanggung terlalu banyak tekanan dariku. Aku memaksa anakku untuk mementingkan tentang menang dan kalah, sukses dan gagal, memaksanya bersaing dengan teman-temannya, dan aku memaksanya untuk berlatih keras agar lebih banyak pelatih memperhatikannya. Pada titik ini, anakku akan menjadi congkak dan sombong setiap kali dia memenangkan pertandingan atau menerima penghargaan, dia juga akan menjadi kecil hati serta cemburu ketika orang lain tampil lebih baik dan mendapat perhatian. Anakku kehilangan kepolosan yang seharusnya dia miliki pada usianya, dan semua ini adalah akibat dari aku memaksakan keinginanku sendiri padanya. Aku berutang permintaan maaf pada anakku. Bahkan setelah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, aku masih tidak bisa melihat bahaya yang disebabkan oleh ketenaran dan keuntungan bagi orang-orang. Aku bahkan mengajari anakku untuk mengejar ketenaran serta keuntungan, dan menunda tugasku demi hal itu. Aku benar-benar telah mengabaikan tugas-tugasku yang semestinya dan mengecewakan Tuhan. Aku merasa sangat menyesal dan berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku tidak mengerti kebenaran. Aku juga tidak memenuhi syarat sebagai orang tua. Bagaimana seharusnya aku mendidik anakku, dan bagaimana seharusnya aku memperlakukan minat dan hobinya? Mohon cerahkan dan bimbing aku."

Kemudian, aku menemukan jalan penerapan dalam firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Ketika orang tua memaksakan berbagai harapan dan tuntutan terhadap anak-anak mereka, mereka tidak sedang memenuhi tanggung jawab mereka. Jadi, apa 'tanggung jawab' mereka? Tanggung jawab paling mendasar yang harus dipenuhi oleh orang tua adalah mengajari anak-anak mereka berbicara, mendidik mereka untuk bersikap baik dan tidak menjadi orang jahat, serta membimbing mereka ke arah yang positif. Ini adalah tanggung jawab mereka yang paling mendasar. Selain itu, mereka harus mendampingi anak-anak mereka dalam mempelajari segala jenis ilmu, bakat, dan lain-lain yang sesuai dengan usia, kemampuan, serta kualitas dan minat mereka. Orang tua yang sedikit lebih baik akan membantu anak-anak mereka memahami bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan bahwa Tuhan itu ada di alam semesta ini, membimbing anak-anak mereka untuk berdoa dan membaca firman Tuhan, menceritakan kepada mereka beberapa kisah dari Alkitab, dan berharap bahwa mereka akan mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan setelah mereka dewasa, dan bukan mengikuti tren duniawi, terjebak dalam berbagai hubungan antarpribadi yang rumit, dan dihancurkan oleh berbagai tren dunia dan masyarakat ini. Tanggung jawab yang harus dipenuhi orang tua tidak ada hubungannya dengan pengharapan mereka. Tanggung jawab yang harus mereka penuhi dalam peran mereka sebagai orang tua adalah memberikan bimbingan positif dan bantuan yang tepat kepada anak-anak mereka sebelum mereka menjadi dewasa, serta segera merawat mereka dalam kehidupan jasmaniah mereka sehubungan dengan makanan, pakaian, rumah, atau terkadang ketika mereka jatuh sakit. Jika anak-anak mereka jatuh sakit, orang tua harus mengobati penyakit apa pun yang perlu diobati; mereka tidak boleh mengabaikan anak-anak mereka atau berkata kepada mereka, 'Teruslah bersekolah, teruslah belajar. Kau tidak boleh tertinggal di kelasmu. Jika kau tertinggal terlalu jauh, kau tidak akan mampu mengejarnya.' Ketika anak-anak mereka perlu istirahat, orang tua harus membiarkan mereka beristirahat; ketika anak-anak mereka sakit, orang tua harus merawat mereka sampai sembuh. Inilah tanggung jawab orang tua. Di satu sisi, mereka harus menjaga kesehatan jasmaniah anak-anak mereka; di sisi lain, mereka harus membimbing, mendidik, dan membantu anak-anak mereka dalam hal kesehatan mental mereka. Inilah tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang tua, dan bukan memaksakan pengharapan atau tuntutan yang tidak realistis terhadap anak-anak mereka. Orang tua harus memenuhi tanggung jawab mereka baik dalam hal kebutuhan mental anak-anak mereka maupun hal-hal yang dibutuhkan anak-anak mereka dalam kehidupan jasmaniah mereka. Orang tua tidak boleh membiarkan anak-anak mereka kedinginan di musim dingin, mereka harus mengajari anak-anak mereka beberapa pengetahuan umum tentang kehidupan, seperti dalam keadaan apa mereka akan masuk angin, bahwa mereka harus memakan makanan yang hangat, bahwa perut mereka akan sakit jika mereka memakan makanan yang dingin, dan bahwa mereka tidak boleh dengan sembarangan membiarkan diri mereka terkena angin atau menanggalkan pakaian di tempat yang berangin saat cuaca dingin, membantu mereka belajar menjaga kesehatan mereka sendiri. Selain itu, jika ada gagasan yang kekanak-kanakan dan belum dewasa mengenai masa depan mereka, atau ada pemikiran-pemikiran ekstrem yang muncul di pikiran anak-anak mereka, orang tua harus segera memberi mereka bimbingan yang benar segera setelah mereka mengetahui hal ini, dan bukan menekan mereka secara paksa; mereka seharusnya mengajarkan anak-anak mereka untuk mengutarakan dan menyampaikan gagasan mereka, sehingga masalahnya benar-benar dapat terselesaikan. Inilah yang dimaksud dengan memenuhi tanggung jawab mereka. Memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua berarti, di satu sisi, merawat anak-anak mereka, lalu di sisi lain, menasihati dan mengoreksi anak-anak mereka, serta memberi mereka bimbingan mengenai pemikiran dan pandangan yang benar" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). Dari firman Tuhan, aku melihat bahwa tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak mereka yang masih kecil di satu sisi meliputi merawat kebutuhan fisik mereka dan memastikan mereka tumbuh sehat, dan di sisi lain, lebih banyak berkomunikasi dengan anak-anak, serta menasihati mereka serta mengatasi masalah psikologis mereka dengan segera. Yang lebih baik lagi adalah membawa anak-anaknya ke hadapan Tuhan. Firman Tuhan adalah apa yang benar-benar dibutuhkan manusia. Dia secara nyata mengajari kita bagaimana berperilaku dan bagaimana memperlakukan anak-anak kita. Aku telah menjadi orang tua selama bertahun-tahun, dan aku tidak tahu apa artinya melakukan yang terbaik untuk anakku. Pada titik ini, aku melihat bahwa hanya dengan mengikuti firman Tuhan aku dapat benar-benar memenuhi tanggung jawabku sebagai orang tua, dan ini juga dapat memungkinkan anakku untuk tumbuh sehat. Setelah menyadari hal-hal ini, aku tidak lagi memaksa anakku untuk berpartisipasi dalam latihan atau kompetisi, dan sebaliknya, aku menghormati keinginannya. Pada saat yang sama, aku berkomunikasi dengannya, dan berkata, "Kita tidak akan berusaha menjadikanmu pemain bintang. Karena kau suka bermain sepak bola, fokus saja untuk bersenang-senang saat bermain." Dia terkejut sekaligus senang ketika mendengarku mengatakan ini. Aku juga merasa jauh lebih lega, dan aku tidak lagi mengharapkan anakku menjadi pemain bintang. Setelah itu, aku memprioritaskan tugasku, dan membiarkan putraku mengatur sendiri kapan dia mau berlatih atau bertanding. Aku menenangkan diri untuk fokus pada tugasku sendiri dan berhenti mengkhawatirkan hal-hal itu. Pada bulan Mei 2024, menjelang waktu kelulusan sekolah dasar, putraku menjalani pertandingan. Ketika melihat tangguhnya tim-tim yang bertanding, aku mengkhawatirkan ketatnya persaingan, jadi aku tidak ingin anakku terseret kembali ke dalam pusaran ketenaran dan keuntungan, dan karena itu, aku menyarankan agar dia tidak berpartisipasi. Namun, dia bersikeras untuk pergi. Hasilnya, kesalahan rekan-rekan setimnya membuat mereka kebobolan dua gol, dan dalam adu penalti terakhir, anakku gagal mencetak gol karena gugup. Anakku sedikit kesal dan merasa agak menyesal, tetapi dengan sabar aku menasihatinya serta mendorongnya untuk menghadapi masalah itu dengan tenang. Setelah mendengar ini, anakku merasa sangat lega. Biasanya, aku menemukan saat yang tepat untuk bersaksi kepada anakku tentang ciptaan Tuhan. Aku berbicara dengannya tentang bagaimana manusia diciptakan oleh Tuhan dan tentang bagaimana Iblis merusak manusia. Anakku sangat tertarik dan bisa mengerti. Aku terus mengajari anakku untuk mengandalkan Tuhan saat menghadapi kesulitan, untuk jujur dalam perkataan dan perbuatannya, dan tidak melakukan hal-hal buruk.

Keinginan akan ketenaran dan keuntungan masih sesekali muncul di hatiku, terutama ketika aku melihat anak-anak orang lain mencapai kesuksesan dalam minat atau hobi tertentu, aku merasa gelisah. Namun, aku tidak lagi memaksakan keinginanku pada anakku. Suatu malam, aku menemukan satu bagian firman Tuhan. Itu adalah sesuatu yang kami berdua butuhkan, jadi aku memanggilnya untuk membacanya bersamaku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Tuhan memberimu minat, hobi, atau kelebihan tertentu bukan berarti bahwa Tuhan harus memintamu untuk melaksanakan beberapa tugas atau pekerjaan yang berkaitan dengan minat, hobi, atau kelebihanmu. Ada orang yang berkata, 'Karena aku tidak diminta untuk melaksanakan tugas di bidang ini atau melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan ini, lalu mengapa aku diberikan minat, hobi, atau kelebihan seperti itu?' Tuhan telah memberi sebagian besar orang minat dan hobi tertentu berdasarkan berbagai kondisi setiap orang. Tentu saja, ada banyak hal yang dipertimbangkan: Di satu sisi, itu untuk mata pencaharian dan kelangsungan hidup orang; di sisi lain, itu untuk memperkaya kehidupan orang. Terkadang, kehidupan seseorang membutuhkan minat dan hobi tertentu, baik untuk hiburan maupun kesenangan atau agar mereka dapat melakukan beberapa tugas yang semestinya, dengan demikian membuat kehidupan mereka sebagai manusia memuaskan. Tentu saja, dari aspek mana pun itu dipandang, ada alasan di balik pemberian Tuhan, dan Tuhan juga memiliki alasan dan dasar-Nya untuk tidak memberi. Mungkin saja kehidupan manusiamu atau kelangsungan hidupmu tidak mengharuskan Tuhan memberimu minat, hobi, dan kelebihan, dan engkau dapat memenuhi kebutuhan hidupmu atau memperkaya kehidupan manusiamu serta membuatnya memuaskan melalui cara lain. Singkatnya, entah Tuhan telah memberi orang minat, hobi, dan kelebihan atau tidak, ini bukanlah masalah dengan orang-orang itu sendiri. Sekalipun orang tidak memiliki kelebihan, ini bukanlah cacat dalam kemanusiaan mereka. Orang harus memahami hal ini dengan benar dan memperlakukannya dengan benar. Jika orang memiliki minat, hobi, dan kelebihan tertentu, mereka harus menghargainya dan menerapkannya dengan benar; jika mereka tidak memilikinya, mereka tidak boleh mengeluh" (Firman, Jilid 7, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (12)"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa Tuhan memberi manusia minat dan hobi, sehingga di satu sisi, hal itu memperkaya kehidupan manusia, dan di sisi lain, memungkinkan manusia untuk mencari nafkah melaluinya. Namun, apakah pada akhirnya seseorang dapat bekerja di bidang yang berkaitan dengan minat atau hobinya, itu masih bergantung pada ketetapan Tuhan. Itu mungkin hanya akan tetap menjadi hobi. Aku mempersekutukan pemahamanku tentang cara menyikapi minat dan hobi kepada anakku. Anakku berkata, "Syukur kepada Tuhan karena mengizinkanku menyukai sepak bola. Itu telah memberiku banyak sukacita, tetapi apakah nanti aku bisa berkarier di bidang yang berhubungan dengan sepak bola, atau bagaimana aku akan mencari nafkah di masa mendatang, itu masih bergantung pada ketetapan Tuhan." Aku berkata, "Benar. Hanya firman Tuhanlah kebenaran, dan seperti inilah seharusnya kita memahami hal ini." Aku merasa bahwa percaya kepada Tuhan itu sangat luar biasa. Firman Tuhan adalah kebenaran, dan itu memberi kita prinsip-prinsip penerapan dalam segala hal, memberi kita jalan untuk diikuti, dan juga membebaskan serta melegakan hati kita.

Sebelumnya:  34. Yang Kudapatkan Seusai Kegagalan Pahit

Selanjutnya:  40. Renungan dan Pemahaman tentang Sifat Egoisku

Konten Terkait

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger