56. Kini Aku Bisa Menyikapi Kemunduran dan Kegagalan dengan Benar
Pada Mei 2024, aku berlatih menulis khotbah di gereja. Awalnya, aku menghadapi kesulitan karena pemahamanku tentang kebenaran masih dangkal, jadi tulisanku pun buruk. Saudari yang bekerja sama denganku bersekutu dan menyemangatiku, bahkan membagikan beberapa cara yang bermanfaat. Kemudian, saat menulis khotbah, aku mencari kebenaran yang relevan dan menulis sambil merenungkannya, sehingga khotbah itu cepat rampung. Aku sangat senang dan bersyukur atas bimbingan Tuhan. Dua hari kemudian, pengawas menulis surat kepadaku, mengatakan bahwa khotbahku telah terpilih, dan aku memiliki kualitas yang baik dan beberapa ide. Aku terkejut sekaligus senang saat membaca surat itu. Mereka menyadari aku punya ide-ide meski baru mulai berlatih menulis khotbah. Beberapa saudari di sekitarku telah menulis sejumlah khotbah, tetapi aku belum pernah mendengar ada khotbah yang terpilih, karena itu, aku merasa diriku sangat istimewa dan mata semua orang, aku dianggap memiliki kualitas serta ide. Beberapa hari kemudian, aku tidak sengaja membaca surat yang ditulis pengawas untuk para pemimpin. Surat itu berbunyi, "Qiao Xin cukup proaktif dalam menulis khotbah dan seorang yang punya ide serta kualitas, dan saat ini kami sedang berfokus padanya dan membinanya." Kalimatnya memang singkat, tetapi aku merasa menjadi pusat perhatian semua orang dan bahwa aku berbeda dari orang biasa. Aku teringat bagaimana tahun lalu, aku menulis beberapa artikel dalam seminggu dan segera diperhatikan oleh pengawas. Pengawas itu berkata aku memiliki bakat menulis dan memberiku tugas tulis-menulis. Kini, baru mulai pelatihan penulisan khotbah, aku kembali dilirik oleh pengawas lain. Aku membatin, "Ke mana pun aku pergi, aku selalu menjadi perhatian, aku benar-benar berkualitas dan berbakat menulis!" Setelah itu, aku menempelkan label "punya bakat khusus dalam menulis" pada diriku dan merasa berbeda dari orang lain. Aku berpikir, "Aku harus berlatih dengan rajin, dan membuat setiap khotbah lebih baik dari yang sebelumnya, agar dalam waktu sesingkat-singkatnya bisa menulis khotbah yang memenuhi standar sehingga semua orang makin memandang tinggi dan menyetujuiku." Kemudian, aku sangat proaktif dalam menulis khotbah, dan aku menulis dua khotbah berturut-turut, yang kuserahkan kepada pengawas. Pengawas sering menulis surat untuk menyemangatiku, dan di antara baris-barisnya kurasakan dia peduli serta menghargaiku. Hatiku dipenuhi kegembiraan dan aku hidup dalam perasaan puas diri.
Tak lama kemudian, aku menerima masukan tertulis atas khotbahku. Saat kubuka, hal pertama yang kulihat adalah banyaknya catatan koreksi—beberapa bagian persekutuan tidak jelas, sementara bagian lain melenceng dari topik. ... Aku sangat kecil hati dan merasa putus asa. Aku berpikir, "Logikanya, karena aku berbakat menulis, khotbahku seharusnya terus meningkat, dan aku seharusnya menunjukkan kemajuan yang nyata, jadi mengapa aku malah mundur? Apakah kesalahan seperti ini pantas dilakukan orang yang memiliki bakat menulis? Apa yang akan para pemimpin pikirkan tentangku? Apakah mereka akan mengira telah salah menilai dan bahwa aku sebenarnya tidak punya kualitas itu?" Makin kupikirkan, aku jadi makin negatif, dan aku tak lagi berminat merenungkan masalah yang disampaikan para pemimpin. Aku menyadari keadaanku salah, jadi aku mencari firman Tuhan untuk kubaca, dan aku melihat bagian ini: "Janganlah ada orang yang menganggap diri mereka sempurna, istimewa, mulia, atau berbeda dari orang lain; semua ini disebabkan oleh kebodohan dan watak congkak manusia. Selalu menganggap dirimu istimewa—ini disebabkan oleh watak yang congkak; tidak pernah bisa menerima kekuranganmu, dan tidak pernah mampu menghadapi kesalahan dan kegagalanmu—ini disebabkan oleh watak yang congkak; tidak pernah membiarkan orang lain lebih tinggi atau lebih baik daripada dirimu—ini disebabkan oleh watak yang congkak; tidak pernah membiarkan kekuatan orang lain melampaui atau melebihi kekuatan mereka sendiri—ini disebabkan oleh watak yang congkak; tidak pernah membiarkan orang lain memiliki pemikiran, saran, dan pandangan yang lebih baik daripadamu, dan, ketika engkau mendapati bahwa orang lain lebih baik daripadamu, lalu engkau menjadi negatif, tidak ingin berbicara, merasa tertekan dan sedih, serta menjadi kesal—semua ini disebabkan oleh watak yang congkak. Watak yang congkak dapat membuatmu melindungi reputasimu, tak dapat menerima koreksi orang lain, tak mampu menghadapi kekuranganmu, serta tak mampu menerima kegagalan dan kesalahanmu sendiri. Selain itu, ketika seseorang lebih baik daripadamu, hal itu dapat menyebabkan kebencian dan kecemburuan muncul di dalam hatimu, dan engkau dapat merasa terkekang, sampai-sampai engkau tak ingin melaksanakan tugasmu dan bersikap asal-asalan dalam melaksanakannya. Watak yang congkak dapat menyebabkan perilaku dan perbuatan ini muncul dalam dirimu" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Prinsip-Prinsip yang Seharusnya Menuntun Perilaku Orang"). Setelah membaca firman Tuhan, aku sadar bahwa aku tidak bisa menerima bimbingan para pemimpin tentang masalahku karena aku dikendalikan oleh watak congkak. Aku mengejar kesempurnaan dan berusaha menonjol di atas orang lain. Ketika kudengar orang lain berkata aku berkualitas dan khotbahku sarat ide-ide sendiri, aku menjadi sombong, dan aku menganggap diriku bukan orang biasa, melainkan orang yang berkualitas dan punya bakat istimewa. Aku mulai menuntut agar khotbahku lebih baik dari yang lain, dan merasa khotbahku tak seharusnya punya begitu banyak masalah karena hanya dengan begitu aku layak menyandang label berbakat menulis. Jadi, setiap kali menghadapi kegagalan, aku menjadi negatif dan tidak bisa memandang diriku dengan benar. Kenyataannya, ada masalah dalam khotbah yang ditulis itu sangatlah normal, dan mustahil untuk tahu segalanya serta menjadi sempurna saat memulai tugas ini, dan tidak membuat kesalahan sama sekali. Tuntutan seperti itu terhadap diriku tidaklah realistis. Terlebih lagi, para pemimpin menunjukkan masalahku untuk membantuku menemukan kekuranganku, belajar untuk memperbaikinya, dan bertumbuh, tetapi ketika aku menghadapi kegagalan, aku menjadi negatif dan tidak bisa menghadapi kekuranganku. Aku menilai diriku terlalu tinggi dan sungguh congkak! Setelah memikirkan ini, aku menjadi bersedia menerima bimbingan dan bantuan para pemimpin, serta berfokus mencari dan merenungkan kebenaran yang relevan saat menulis khotbah agar terhindar dari penyimpangan dan kesalahan.
Sesudah itu, kutenangkan hati serta kupelajari prinsip-prinsip yang berkaitan, dan aku memahami beberapa hal selama belajar. Namun, saat benar-benar mulai menulis, aku masih menemui kesulitan dan merasa bahwa menulis khotbah yang memenuhi standar tidaklah mudah. Seiring berjalannya waktu, aku mendapati diriku masih tanpa ide dan mulai berkecil hati, sambil berpikir, "Bagaimana jika aku tidak bisa menulis khotbah yang bagus? Bagaimana para pemimpin akan memandangku? Apa mereka akan berkata, 'Ternyata kualitas Qiao Xin sangat buruk dan dia bahkan tidak memahami prinsip-prinsip'?" Aku menjadi khawatir saat memikirkan itu, saat belajar kembali pikiranku melayang dan rasa kantuk menyerang. Pada malam hari, ketika aku mencoba tidur, aku kerap menghela napas, gelisah membolak-balikkan badan, tak juga terlelap. Aku sangat ingin segera menulis khotbah yang bagus agar bisa kutunjukkan kepada semua orang, dan dengan demikian memulihkan citraku. Namun, makin kucoba memikirkan untuk menulisnya dengan baik, makin besar tekanan yang kurasakan. Keesokan pagi, aku bangun dalam kelelahan dan kepalaku mulai nyeri. Seharian kurenungkan, tetapi tak satu pun ide muncul, rasanya seperti batu berat menekan diriku hingga aku sulit bernapas. Saudari yang bekerja sama denganku berniat mempelajari prinsip-prinsip bersamaku, tetapi aku tak berminat.
Kemudian, aku terbuka kepadanya tentang keadaan yang kualami selama beberapa hari terakhir, dan dia membacakanku satu bagian dari firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Iblis menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk mengendalikan pikiran manusia, sampai satu-satunya yang orang pikirkan adalah ketenaran dan keuntungan. Mereka berjuang demi ketenaran dan keuntungan, menderita kesukaran demi ketenaran dan keuntungan, menanggung penghinaan demi ketenaran dan keuntungan, mengorbankan semua yang mereka miliki demi ketenaran dan keuntungan, dan mereka akan melakukan penilaian atau mengambil keputusan apa pun demi ketenaran dan keuntungan. Dengan cara ini, Iblis mengikat orang dengan belenggu yang tak kasatmata, dan dengan belenggu inilah, mereka tidak punya kekuatan ataupun keberanian untuk melepaskan diri darinya. Mereka tanpa sadar menanggung belenggu ini dan berjalan maju dengan susah payah. Demi ketenaran dan keuntungan ini, umat manusia menjauhi Tuhan dan mengkhianati Dia dan menjadi semakin jahat. Jadi, dengan cara inilah, generasi demi generasi dihancurkan di tengah ketenaran dan keuntungan Iblis. Sekarang melihat tindakan Iblis, bukankah motif jahat Iblis benar-benar menjijikkan? Mungkin hari ini engkau semua masih belum dapat memahami motif jahat Iblis karena engkau semua berpikir orang tidak dapat hidup tanpa ketenaran dan keuntungan. Engkau berpikir jika orang meninggalkan ketenaran dan keuntungan, mereka tidak akan mampu lagi melihat jalan di depan, tidak mampu lagi melihat tujuan mereka, bahwa masa depan mereka akan menjadi gelap, redup, dan suram. Namun, perlahan-lahan, engkau semua suatu hari nanti akan menyadari bahwa ketenaran dan keuntungan adalah belenggu besar yang Iblis gunakan untuk mengikat manusia. Ketika hari itu tiba, engkau akan sepenuhnya menentang kendali Iblis dan sepenuhnya menentang belenggu yang Iblis gunakan untuk mengikatmu. Ketika tiba saatnya di mana engkau ingin melepaskan diri dari semua yang telah Iblis tanamkan dalam dirimu, engkau kemudian akan memutuskan dirimu sepenuhnya dari Iblis, dan engkau akan dengan sungguh-sungguh membenci semua yang telah Iblis bawa kepadamu. Baru setelah itulah, umat manusia akan memiliki kasih dan kerinduan yang nyata kepada Tuhan" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Setelah mendengarkan firman Tuhan, hatiku tiba-tiba terasa lebih terang. Aku sadar bahwa rasa tertekan beberapa hari terakhir ini disebabkan oleh diriku yang terkekang serta terbelenggu oleh ketenaran, keuntungan, dan status. Awalnya, pengawas berkata bahwa khotbahku berisi ide yang bagus, dan aku menjadi puas diri, merasa bahwa aku punya kualitas yang baik dan bakat khusus dalam menulis, sehingga kucurahkan lebih banyak upaya menulis khotbah demi mendapatkan pengakuan dan kekaguman orang lain. Namun, ketika banyak masalah ditunjukkan dalam dua khotbah yang kutulis, aku mulai khawatir orang lain akan meremehkanku, dan tidak lagi menganggapku sebagai seseorang yang berkualitas dan berbakat, jadi, aku tidak bisa tenang untuk merenungkan masalah yang ditunjukkan oleh para pemimpin, apalagi mempelajari prinsip atau mencari kebenaran untuk mengatasi kekuranganku. Aku hanya ingin cepat-cepat menulis khotbah yang bagus untuk memulihkan citraku, dan tidak mau orang lain meremehkanku. Namun, makin aku cemas, makin kacau pikiranku, dan setelah seharian bekerja, aku tetap tidak membuat kemajuan. Aku teringat ketika pertama kali mulai menulis khotbah, meskipun ada banyak kesulitan, hatiku murni bersandar kepada Tuhan. Aku sungguh-sungguh mempelajari serta mencari firman Tuhan yang relevan untuk kurenungkan, dan Tuhan mencerahkan serta membimbingku sehingga ketika menulis, ide-ide pun mengalir. Sekarang, sebaliknya, pikiranku dipenuhi gengsi dan status, keinginan mempertahankan citra baik di mata orang lain membuatku tak bisa makan ataupun tidur, membuatku merasa pusing dan limbung, bahkan aku gagal berkonsentrasi menulis khotbah. Hatiku sepenuhnya dikendalikan oleh ketenaran dan keuntungan. Jika aku tidak mengubah keadaan ini, aku hanya akan terus hidup dalam kegelapan dan penderitaan yang tak tertahankan, dan seiring waktu, aku akan kehilangan tugas ini. Aku lalu berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku tidak mau hidup dalam keadaan mengejar reputasi dan status, tetapi aku tidak tahu cara mengatasinya. Mohon cerahkan dan bimbinglah aku agar aku bisa keluar dari keadaan yang salah ini dan melaksanakan tugasku dengan baik."
Keesokan paginya, saudari itu membacakanku beberapa bagian dari firman Tuhan, dan salah satunya sangat membantuku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Semua orang tahu bahwa bukanlah hal yang baik bagi orang untuk menganggap diri mereka terhormat hanya karena mereka mampu mencapai hasil tertentu dalam tugas mereka. Jadi, mengapa orang masih cenderung menganggap diri mereka terhormat? Salah satu alasannya adalah karena kecongkakan dan kedangkalan orang. Adakah alasan lainnya? (Itu karena orang tidak menyadari bahwa Tuhanlah yang menuntun mereka untuk mencapai hasil ini. Mereka menganggap bahwa mereka pantas mendapatkan semua penghargaan, dan memiliki sarananya, jadi mereka menganggap diri mereka terhormat. Sebenarnya, tanpa pekerjaan Tuhan, manusia tidak mampu melakukan apa pun, tetapi mereka tidak mampu memahaminya.) Pernyataan ini benar, dan juga merupakan pokok permasalahannya. Jika orang tidak mengenal Tuhan dan tidak memiliki Roh Kudus untuk mencerahkan mereka, mereka akan selalu menganggap diri mereka mampu melakukan apa pun. Jadi, jika mereka memiliki sarana, mereka bisa menjadi congkak dan menganggap diri mereka terhormat. Mampukah engkau semua merasakan tuntunan Tuhan dan pencerahan Roh Kudus selama pelaksanaan tugasmu? (Ya.) Jika engkau mampu merasakan pekerjaan Roh Kudus, tetapi tetap menganggap dirimu terhormat, dan menganggap dirimu memiliki kenyataan, maka apa masalahnya di sini? (Ketika pelaksanaan tugas kami telah membuahkan sedikit hasil, kami berpikir bahwa setengah dari pujian adalah milik Tuhan, dan setengahnya lagi adalah milik kami. Kami membesar-besarkan kerja sama kami sampai sejauh mungkin, dengan berpikir bahwa tidak ada yang lebih penting daripada kerja sama kami, dan bahwa pencerahan Tuhan tidak akan mungkin terjadi tanpa kerja sama kami.) Jadi, mengapa Tuhan mencerahkanmu? Bisakah Tuhan mencerahkan orang lain juga? (Ya.) Ketika Tuhan mencerahkan seseorang, ini adalah karena kasih karunia Tuhan. Dan apa istimewanya bagian kerja sama di pihakmu yang sedikit itu? Apakah kerja samamu yang sedikit itu adalah sesuatu yang membuatmu patut menerima pujian, atau apakah itu merupakan tugas dan tanggung jawabmu? (Tugas dan tanggung jawab kami.) Jika engkau menyadari bahwa itu adalah tugas dan tanggung jawabmu, berarti engkau memiliki pola pikir yang benar, dan tidak akan berpikir untuk menuntut pujian untuk itu. Jika engkau selalu berpikir, 'Ini adalah kontribusiku. Mungkinkah pencerahan Tuhan terjadi tanpa kerja samaku? Tugas ini membutuhkan kerja sama manusia; kerja sama kita menyumbang sebagian besar dari pencapaian ini,' maka engkau keliru. Bagaimana mungkin engkau mampu bekerja sama jika Roh Kudus tidak mencerahkanmu, jika tak seorang pun mempersekutukan prinsip-prinsip kebenaran kepadamu? Engkau pasti tidak tahu apa yang Tuhan tuntut, engkau juga pasti tidak mengetahui jalan penerapannya. Sekalipun engkau ingin tunduk kepada Tuhan dan bekerja sama, engkau pasti tidak tahu caranya. Bukankah 'kerja sama'-mu ini hanyalah omong kosong? Tanpa kerja sama yang benar, engkau hanya bertindak menurut gagasanmu sendiri—dalam hal ini, dapatkah tugas yang kaulaksanakan memenuhi standar? Sama sekali tidak, dan ini menunjukkan adanya masalah. Apa masalah tersebut? Apa pun tugas yang orang laksanakan, apakah mereka mencapai hasil, melaksanakan tugas mereka sesuai dengan standar, dan mendapatkan perkenanan Tuhan atau tidak, itu bergantung pada tindakan Tuhan. Meskipun engkau memenuhi tanggung jawab dan tugasmu, jika Tuhan tidak bekerja, jika Tuhan tidak mencerahkan dan membimbingmu, engkau tidak akan mengetahui jalan, arah, atau tujuanmu. Apa yang akhirnya dihasilkan dari semua itu? Setelah bekerja keras selama itu, engkau tidak akan melakukan tugasmu dengan benar, engkau juga tidak akan mendapatkan kebenaran dan hidup—semua itu akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, apakah tugasmu dilaksanakan sesuai dengan standar, mendidik kerohanian saudara-saudari, dan mendapatkan perkenanan Tuhan atau tidak, semuanya bergantung pada Tuhan! Manusia hanya dapat melakukan hal-hal yang secara pribadi mampu mereka lakukan, yang seharusnya mereka lakukan, dan yang sesuai dengan kemampuan hakiki mereka—tidak lebih dari itu. Jadi pada akhirnya, melaksanakan tugasmu dengan cara yang efektif bergantung pada bimbingan firman Tuhan dan pencerahan serta pimpinan Roh Kudus; baru setelah itulah engkau dapat memahami kebenaran, dan menyelesaikan amanat Tuhan sesuai dengan jalan yang telah Tuhan berikan kepadamu dan prinsip-prinsip yang telah Dia tetapkan. Ini adalah kasih karunia dan berkat Tuhan, dan jika orang tidak mampu memahami ini, berarti mereka buta. Jenis pekerjaan apa pun yang rumah Tuhan lakukan, hasil seperti apakah yang harus diperoleh? Hasilnya, di satu sisi, haruslah menjadi kesaksian bagi Tuhan dan mengabarkan Injil Tuhan, dan di sisi lain, haruslah mendidik kerohanian dan bermanfaat bagi saudara-saudari. Pekerjaan rumah Tuhan harus mencapai hasil di kedua bidang ini. Apa pun tugas yang kaulaksanakan di rumah Tuhan, mampukah engkau mencapai hasil tanpa tuntunan Tuhan? Sama sekali tidak. Dapat dikatakan bahwa tanpa tuntunan Tuhan, apa yang kaulakukan pada dasarnya tidaklah berguna" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Prinsip-Prinsip yang Seharusnya Menuntun Perilaku Orang"). Setelah membaca firman Tuhan, aku sadar bahwa aku belum mampu melepaskan label "memiliki bakat khusus dalam menulis," sebab semua keberhasilan penulisan khotbah kukaitkan pada diriku sendiri. Aku mengira hasil itu murni berkat kualitasku yang baik, bakat istimewa, dan kerja kerasku. Kenyataannya, aku sangat kesulitan saat menulis, dan hanya dengan berdoa kepada Tuhan, merenungkan kebenaran yang relevan, serta menerima pencerahan dan bimbingan Tuhan, aku mendapatkan sedikit inspirasi. Namun, setelah itu, ketika orang lain mengucapkan beberapa kata pujian dan penyemangat, aku menjadi sombong, menganggap semuanya pencapaianku sendiri, bahkan menempelkan label "memiliki bakat khusus dalam menulis," dan gagal melihat diriku yang sebenarnya. Kenyataannya, apakah suatu tugas dapat dilaksanakan dengan baik atau tidak, di satu sisi bergantung pada pemahaman prinsip-prinsip tugas serta kebenaran yang relevan, dan yang terpenting pada penerimaan pencerahan serta bimbingan Tuhan. Ada kalanya kita kehabisan ide, melalui doa kepada Tuhan, mencari bimbingan-Nya, dan merenungkan firman-Nya, tanpa sadar kita memahami sejumlah kebenaran, memperoleh terang serta ide, dan barulah khotbah yang kita tulis mencapai hasil yang baik. Ini bukan karena kemampuan kita sendiri. Aku berpikir bahwa selama beberapa hari belakangan aku hidup dalam keadaan mengejar ketenaran, keuntungan, dan status sehingga tak dapat menerima pencerahan dan bimbingan Tuhan. Meskipun aku sudah berusaha keras menulis, pikiranku buntu, tak satu ide pun terlintas, dan aku benar-benar tampak dungu. Aku sungguh menyadari bahwa keberhasilan dalam tugasku berasal dari pencerahan dan bimbingan Tuhan dan bahwa tidak ada yang bisa kubanggakan. Namun, tanpa rasa malu aku meninggikan diri, mencomot semua kemuliaan bagi diriku sendiri. Ini benar-benar memalukan! Aku baru saja mulai berlatih menulis khotbah, jadi pengawas mengatakan khotbahku berisi ide itu bermaksud menyemangatiku agar aku lebih tekun menulis. Pengawas menjelaskan kepada para pemimpin bahwa dia berfokus padaku semata-mata untuk membinaku, tanpa maksud lain. Dalam beberapa kesempatan terakhir menulis khotbah, aku jelas merasakan bahwa persekutuanku tentang kebenaran masih kabur dan terkadang aku kesulitan memahami poin-poin penting. Meskipun aku telah mempelajari prinsip-prinsip yang relevan, saat menerapkannya secara praktis, aku masih kekurangan dan tetap memerlukan koreksi serta bantuan orang lain. Namun, aku merasa diriku luar biasa, seolah melayang di udara, dan benar-benar tak menyadari keterbatasanku. Makin kupikirkan, makin besar rasa maluku, aku ingin menyembunyikan wajah, dan rasanya ingin merangkak ke dalam lubang. Pada saat itu juga, kulepaskan label tinggi hati yang kupasang sendiri.
Setelah itu, kusadari bahwa aku baru mulai berlatih menulis khotbah dan masih belum memahami beberapa prinsip, maka aku belajar bersama para saudari. Dua khotbah bermasalah yang kutulis kugunakan sebagai contoh untuk dianalisis dan didiskusikan bersama. Semua orang memberikan saran, kemudian, saat merevisinya kembali, setiap kali ada bagian yang tak kupahami, aku berdoa kepada Tuhan dalam hati, mencari kebenaran, dan merenungkannya. Setelah satu khotbah kubenahi, langsung kukirimkan. Akan tetapi, saat merevisi khotbah yang satu lagi, aku menemui kesulitan. Pemahamanku tentang kebenaran masih kabur dan hatiku resah. Aku juga takut kebenaran itu tidak akan dipersekutukan dengan jelas, dan aku bertanya-tanya apa yang akan para pemimpin pikirkan tentangku setelah aku menyerahkannya. Apakah mereka akan berkata kualitasku tidak memadai? Aku tidak berani mencari bantuan dari saudara-saudari, tetapi aku tidak menemukan jalan keluar, dan tekanan di hati kian berat. Pada saat itu, aku teringat satu bagian dari firman Tuhan. "Ketika Tuhan menuntut agar orang-orang melaksanakan tugas mereka dengan baik, Dia tidak meminta mereka untuk menyelesaikan sejumlah tugas atau melakukan upaya besar apa pun, atau melakukan hal-hal besar apa pun. Yang Tuhan inginkan adalah agar orang melakukannya semampu mereka dengan praktis dan realistis, dan hidup sesuai dengan firman-Nya. Tuhan tidak menginginkanmu menjadi orang yang hebat atau mulia, atau melakukan mukjizat apa pun, dan Dia juga tidak ingin melihat kejutan yang menyenangkan dalam dirimu. Dia tidak membutuhkan hal-hal seperti itu. Yang Tuhan butuhkan adalah agar engkau dengan teguh melakukan penerapan sesuai dengan firman-Nya. Ketika engkau mendengarkan firman Tuhan, lakukanlah apa yang telah kaupahami, laksanakanlah apa yang telah kaupahami, ingatlah baik-baik apa yang telah kaudengar, dan kemudian, ketika tiba waktunya untuk menerapkannya, terapkanlah sesuai dengan firman Tuhan. Biarkan semua itu menjadi hidupmu, menjadi kenyataanmu, dan menjadi apa yang kaujalani. Dengan demikian, Tuhan akan dipuaskan. Engkau selalu mengejar kebesaran, kemuliaan, dan status; engkau selalu mengejar untuk menjadi unggul dari orang lain. Bagaimana perasaan Tuhan ketika Dia melihat hal seperti ini? Dia membencinya, dan Dia akan menjauhkan diri-Nya darimu. Makin engkau mengejar hal-hal seperti kebesaran, kemuliaan, dan menjadi lebih unggul daripada orang lain, terkemuka, luar biasa, dan patut diperhatikan, makin Tuhan menganggapmu menjijikkan. Jika engkau tidak merenungkan dirimu sendiri dan bertobat, Tuhan akan membencimu dan meninggalkanmu. Janganlah menjadi seseorang yang menurut Tuhan menjijikkan; jadilah orang yang Tuhan kasihi. Jadi, bagaimana orang dapat memperoleh kasih Tuhan? Dengan menerima kebenaran secara patuh, berdiri pada posisi sebagai makhluk ciptaan, bertindak berdasarkan firman Tuhan dengan jujur dan terbuka, melaksanakan tugas dengan benar, menjadi orang yang jujur, dan hidup dalam keserupaan dengan manusia. Ini sudah cukup, Tuhan akan dipuaskan" (Firman, Jilid 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Penyelesaian Tugas yang Benar Membutuhkan Kerja Sama yang Harmonis"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memahami bahwa tuntutan-Nya bagi manusia tidaklah tinggi dan Dia tidak meminta manusia untuk mencapai hasil yang luar biasa. Sebaliknya, Dia ingin orang-orang untuk taat dan tunduk, dan asalkan orang-orang melaksanakan tugas dengan benar serta membumi sesuai dengan tuntutan Tuhan, Tuhan akan puas. Namun, aku selalu ingin menonjol dan menulis khotbah yang bagus untuk mendapatkan pujian serta pengakuan dari orang lain, dan ini dikendalikan oleh ambisi serta keinginan. Inilah watak yang rusak. Aku teringat akan ketetapan administratif pertama yang harus ditaati oleh umat pilihan Tuhan, yang berbunyi: "Manusia tidak boleh membesarkan atau meninggikan dirinya sendiri. Dia harus menyembah dan meninggikan Tuhan" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Sepuluh Ketetapan Administratif yang Harus Ditaati Umat Pilihan Tuhan pada Zaman Kerajaan"). Namun, aku terus mengejar ketenaran, keuntungan, dan status, ingin dipuji, dihargai, dan memiliki tempat di hati orang lain. Ini adalah sesuatu yang dibenci Tuhan. Hidup dalam keadaan ini membuatku mustahil melaksanakan tugasku dengan baik, bahkan bisa menghambat pekerjaan gereja. Aku harus segera mengubah pengejaranku yang salah, dan melaksanakan tugasku dengan teguh. Meskipun aku masih memiliki banyak kekurangan dalam penulisan khotbah, aku bersedia meneduhkan hati di hadapan Tuhan, mencari kebenaran, dan bekerja sama sebaik mungkin. Aku akan menulis sebanyak yang kupahami, dan menjadikan setiap masalah yang muncul dalam proses penulisan khotbah sebagai kesempatan untuk melengkapi kekuranganku. Aku percaya bahwa dengan berlatih secara bertahap seperti ini, aku pasti akan membuat kemajuan. Ketika aku memikirkan ini, aku merasa keadaanku jauh lebih baik.
Lain kali saat menulis khotbah, aku akan menulis dulu apa yang kupahami, untuk hal-hal yang belum kupahami, aku akan mencari, merenungkan, atau berdiskusi dengan saudara-saudari. Setelah hatiku tercerahkan, barulah aku menulis. Dengan cara ini, hasil dari khotbah yang kutulis jauh lebih baik. Tidak lama kemudian, para pemimpin mengirimkan beberapa khotbah yang bermutu untuk kami pelajari dan jadikan bahan referensi. Khotbah-khotbah itu bukan hanya segar dan mengena, melainkan juga sangat menyentuh, dan persekutuan kebenarannya sungguh praktis serta jelas. Sebagai perbandingan, kusadari khotbahku hanya penuh dengan kata-kata dan doktrin, serta kebenaran itu tidak dipersekutukan dengan jelas. Pada saat itu, aku menyadari betapa banyak kekuranganku. Dibandingkan dengan saudara-saudariku, aku jauh tertinggal! Namun, ketika mereka menulis tentang pemikiran dan perolehan mereka, mereka sama sekali tidak membanggakan diri, justru mereka mengakui masih banyak kekurangan, dan mengatakan bahwa kemampuan menulis khotbah yang memenuhi standar bukan berasal dari kualitas mereka ataupun karena pemahaman kebenaran yang sudah jelas, melainkan karena pencerahan Roh Kudus yang diperoleh lewat doa, pencarian, dan perenungan kebenaran yang relevan. Saat melihat hal itu, aku merasa sangat malu. Aku baru mulai belajar menulis khotbah, dan dengan pemahaman yang dangkal saja kupikir aku sudah melakukannya dengan baik dan merasa di atas rata-rata. Aku bahkan menyematkan pada diriku sendiri label punya bakat khusus dalam menulis yang tidak bisa kulepaskan. Aku benar-benar melebih-lebihkan diri tanpa kesadaran diri!
Sekarang, saat menulis khotbah, aku dapat menyikapi saran dari para pemimpin dengan benar, bila ada hal yang tak kupahami atau tak mampu kulakukan, aku berinisiatif untuk mencari jawaban, dan mutu khotbahku meningkat dibandingkan sebelumnya. Aku tahu di dalam hatiku bahwa kemajuan yang telah kubuat adalah berkat pencerahan dan bimbingan Tuhan. Melalui pengalaman ini, aku telah memperoleh pemahaman tentang watakku yang rusak, dan meraih kemajuan dalam jalan masuk kehidupan. Aku juga melihat betapa dangkal pemahamanku akan kebenaran sehingga harus berfokus pada prinsip-prinsip kebenaran dan melaksanakan tugasku dengan teguh. Andaikata tidak ada penyingkapan ini, aku akan terus terjebak dalam kepuasan diri dan tidak maju sedikit pun dalam tugasku. Kegagalan serta kemunduran ini memberiku keuntungan besar dan aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku!