57. Apa yang Kuperoleh dari Penugasan Kembali Tugasku
Pada Januari 2024, pemimpin daerah mengirimiku surat dan memintaku menjadi ketua pemimpin tim penyiraman. Aku mulai bimbang dan berpikir, "Sebagai pemimpin tim penyiraman, aku akan bertanggung jawab atas pekerjaan penyiraman di sekitar selusin gereja. Pasti akan sangat sibuk dan melelahkan! Sekarang aku hanya bertanggung jawab atas pekerjaan penyiraman di dua gereja, jadi dagingku tidak terlalu lelah. Seperti ini saja sudah cukup. Selain itu, aku menderita spondilosis servikal. Sebelumnya aku pernah mengalami hernia diskus servikal yang menekan saraf hingga membuat separuh tubuhku mati rasa, pusing karena kurangnya suplai darah ke otak, insomnia, dan nyeri jantung. Meskipun sekarang aku merasa lebih baik, betapa khawatirnya aku jika harus bertanggung jawab atas pekerjaan penyiraman di begitu banyak gereja! Dahulu, aku menderita beberapa penyakit karena sering bergadang. Beban kerja ini akan sangat berat. Bagaimana jika aku jatuh sakit karena terlalu lelah bekerja? Jika pada akhirnya aku bahkan tidak dapat melaksanakan tugasku saat ini, apakah aku masih akan diselamatkan di masa depan? Tidak, aku harus cerdas. Aku tak boleh terlalu serius dalam melaksanakan tugasku." Ketika aku berpikir demikian, aku berkata kepada pemimpin, "Kemampuan kerjaku buruk dan aku tidak dapat memikul begitu banyak pekerjaan. Akan lebih baik jika mencari orang lain yang lebih cocok." Setelah beberapa hari, pemimpin kembali mengirimiku surat untuk bersekutu dan berkata, "Kau juga bisa lihat bahwa hasil pekerjaan penyiraman kita belum baik. Banyak penyiram baru saja mulai berlatih. Mereka tidak terbiasa dengan pekerjaan itu dan masih perlu dibina. Kau sudah lama melaksanakan tugas ini dan punya pengalaman. Saat ini, kau harus memperhatikan maksud Tuhan dan memikul beban ini. Tuntutan Tuhan terhadap kita tidaklah tinggi. Asalkan kita mengerahkan segenap kemampuan, Dia akan puas." Setelah membaca surat dari saudariku, aku merasa sangat bersalah. Banyak pendatang baru bergabung dengan gereja dan kami benar-benar membutuhkan orang untuk pekerjaan penyiraman. Seharusnya aku melepaskan kepentingan dagingku sendiri dan menerima tugas ini.
Aku teringat Tuhan bersekutu tentang Nuh dan sikapnya terhadap amanat Tuhan, jadi kucari dan kubaca bagian itu. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Selama proses pembangunan bahtera, hal pertama yang Nuh harus hadapi adalah tidak adanya pemahaman dari keluarganya, omelan, keluhan, dan bahkan fitnah mereka. Yang kedua adalah difitnah, diejek, dan dihakimi oleh orang-orang di sekitarnya—kerabatnya, teman-temannya, dan segala macam orang lainnya. Namun, Nuh hanya memiliki satu sikap, yaitu menaati firman Tuhan, menerapkannya sampai akhir, dan tidak pernah goyah karenanya. Apa yang menjadi tekad Nuh? 'Asalkan aku masih hidup, asalkan aku masih bisa bergerak, aku tidak akan meninggalkan amanat Tuhan.' Inilah motivasinya saat dia melaksanakan tugas besar membangun bahtera, serta sikapnya ketika dihadapkan dengan perintah Tuhan dan setelah mendengar firman Tuhan. Menghadapi berbagai macam masalah, situasi yang sulit, dan tantangan, Nuh tidak mundur. Ketika beberapa tugas teknisnya yang lebih sulit sering kali gagal dan mengalami kerusakan, meskipun Nuh merasa sedih dan cemas di dalam hatinya, ketika dia merenungkan firman Tuhan, ketika dia mengingat setiap firman yang Tuhan perintahkan kepadanya, dan peninggian Tuhan terhadap dirinya, dia sering kali merasa sangat termotivasi: 'Aku tidak boleh menyerah, aku tidak boleh membuang apa yang Tuhan perintahkan dan percayakan untuk kulakukan; ini adalah amanat Tuhan, dan karena aku menerimanya, karena aku mendengar firman yang diucapkan oleh Tuhan dan suara Tuhan, dan karena aku menerima amanat ini dari Tuhan, aku harus tunduk secara mutlak, itulah yang seharusnya dicapai oleh seorang manusia.' Jadi, apa pun jenis kesulitan yang dia hadapi, apa pun ejekan atau fitnah yang dia hadapi, betapapun lelah tubuhnya, betapapun letihnya, dia tidak meninggalkan apa yang telah dipercayakan oleh Tuhan kepadanya, dan selalu mengingat setiap kata yang telah Tuhan katakan dan perintahkan. Bagaimanapun lingkungannya berubah, sebesar apa pun kesulitan yang dia hadapi, dia percaya bahwa semua ini tidak akan berlangsung selamanya, bahwa hanya firman Tuhan yang tidak akan pernah berlalu, dan hanya apa yang Tuhan perintahkan untuk dilakukan pasti akan diselesaikan. Nuh memiliki iman sejati kepada Tuhan di dalam dirinya, dan ketundukan yang sudah seharusnya dia miliki, dan dia terus membangun bahtera yang Tuhan minta untuk dibangun olehnya. Hari demi hari, tahun demi tahun, Nuh bertambah tua, tetapi imannya tidak berkurang, dan tidak ada perubahan dalam sikap dan tekadnya untuk menyelesaikan amanat Tuhan. Meskipun ada kalanya tubuhnya merasa lelah dan letih, dan dia jatuh sakit, dan di dalam hatinya dia merasa lemah, tekad dan ketekunannya untuk menyelesaikan amanat Tuhan dan tunduk kepada firman Tuhan tidak berkurang. Selama bertahun-tahun Nuh membangun bahtera, Nuh berlatih untuk mendengarkan dan tunduk kepada firman yang telah Tuhan ucapkan, dan dia juga menerapkan kebenaran penting sebagai makhluk ciptaan dan manusia biasa yang perlu menyelesaikan amanat Tuhan" (Firman, Jilid 4, Menyingkapkan Antikristus, Lampiran Tiga (Bagian Dua)). Pengalaman Nuh benar-benar menyentuhku. Aku melihat bahwa ketika Tuhan memerintahkan Nuh untuk membangun bahtera, hatinya murni. Dia mendengarkan firman Tuhan dan tunduk kepada-Nya. Bahkan ketika dihadapkan pada tugas besar membangun bahtera, dia tidak menolak atau mencoba menghindarinya, dan dia tidak pernah berkata bahwa dia terlalu tua untuk membangun bahtera. Sebaliknya, dia dengan rasional meninggalkan pekerjaan yang sedang dilakukannya dan mulai mempersiapkan berbagai bahan untuk membangun bahtera. Nuh juga menghadapi banyak kesulitan saat membangun bahtera. Terlebih lagi, dia makin tua. Tubuhnya lekas letih ketika bekerja keras, dan dia juga menderita sakit serta nyeri, tetapi tekadnya untuk membangun bahtera tidak pernah goyah. Dia selalu mengingat amanat Tuhan dan akhirnya bersandar kepada-Nya untuk menyelesaikan bahtera itu. Saat membandingkan diriku sendiri, aku merasa sangat malu dan bersalah. Aku telah mendengarkan begitu banyak firman Tuhan dan gereja telah membinaku selama bertahun-tahun. Hasil pekerjaan penyiraman belum baik, dan pemimpin memintaku untuk bertanggung jawab atasnya, tetapi aku tidak mau menerimanya. Aku khawatir tubuhku tidak akan mampu menahan stres dan kelelahan mental dari beban kerja yang berat dan penyakitku akan memburuk, jadi aku mencari berbagai alasan untuk menolak. Jika saja aku punya sedikit saja nalar, aku akan menerima tugas ini tanpa tawar-menawar. Namun, aku menganggap tugas sebagai beban, dan enggan khawatir atau menguras pikiran karena takut kelelahan. Aku sama sekali tidak punya hati yang tunduk kepada Tuhan, apalagi memperhatikan maksud-Nya. Aku sangat jauh dibandingkan Nuh! Setelah memahami maksud Tuhan, aku bersedia belajar dari Nuh, tunduk, menanggalkan kepentingan diri, memberontak terhadap daging, dan melaksanakan tugasku dengan baik. Setelah itu, kutulis balasan surat kepada pemimpin bahwa aku bersedia melaksanakan tugas ini.
Kemudian, aku merenung dan bertanya, "Mengapa aku selalu memikirkan penyakit serta penderitaan dagingku, dan bahkan menolak melaksanakan tugasku? Watak rusak apa yang mengendalikanku?" Saat itu, pemimpin mengirimiku satu bagian firman Tuhan: "Selama bertahun-tahun, pemikiran yang diandalkan oleh orang-orang untuk bertahan hidup telah sedemikian merusak hati mereka hingga mencapai titik di mana mereka menjadi orang-orang yang licik, pengecut dan tercela. Bukan hanya tidak memiliki kemauan keras atau tekad, mereka juga telah menjadi tamak, congkak dan degil. Mereka sama sekali tidak memiliki tekad yang melampaui diri sendiri, bahkan mereka tidak mempunyai keberanian sedikit pun untuk bebas dari kendali pengaruh kegelapan ini. Pemikiran dan kehidupan orang-orang telah sedemikian rusaknya, sehingga perspektif mereka tentang percaya kepada Tuhan masih teramat jelek, bahkan ketika orang-orang membicarakan perspektif mereka tentang percaya kepada Tuhan, itu benar-benar tak tertahankan untuk didengar. Orang-orang semuanya pengecut, tidak kompeten, hina dan rapuh. Mereka tidak merasa muak akan kekuatan kegelapan dan mereka tidak menyukai terang dan kebenaran; sebaliknya mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkannya" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mengapa Engkau Enggan Menjadi Sebuah Kontras?"). Tuhan menyingkapkan bahwa begitu manusia dirusak oleh Iblis, mereka dipenuhi dengan berbagai racun Iblis. Mereka bertindak dan bertingkah laku dengan mengandalkan pemikiran yang ditanamkan Iblis, seperti prinsip "Jika orang tidak memikirkan dirinya sendiri, langit dan bumi akan menghukumnya," "Rawatlah dirimu dengan baik," dan sebagainya. Saat aku hidup dengan aturan keberadaan Iblis ini, aku menjadi makin egois dan tercela, dan dalam perkataan dan tindakanku hanya memikirkan kepentinganku sendiri. Aku sadar betul bahwa tidak ada orang yang cocok untuk membina para penyiram, dan masalah para pendatang baru tidak tertangani dengan segera sehingga sangat memengaruhi pekerjaan penyiraman. Namun, aku hanya ingin memilih tugas mudah, menghindari pekerjaan berat, dan tidak mau memikul beban ini. Aku selalu ingin memilih melaksanakan tugas ringan. Aku merasa, sebagai orang yang sakit, aku harus memperhatikan kesehatanku di masa depan dan tidak boleh lagi bekerja terlalu keras. Aku bahkan menyesal karena dahulu tidak merawat diri dengan baik sebab sering bergadang, yang membuatku menderita beberapa penyakit. Aku berpikir bahwa sekarang aku harus lebih cerdas dan tidak boleh terlalu serius dalam melaksanakan tugasku. Aku tidak memperhatikan maksud Tuhan, sebaliknya aku selalu memikirkan dagingku sendiri. Aku bahkan berkelit dengan segudang alasan untuk menghindari tugasku dan sama sekali tidak memikirkan pekerjaan gereja. Semua pikiranku sungguh egois dan tercela, tanpa kemanusiaan sedikit pun! Dahulu, aku bahkan pernah berdoa kepada Tuhan dan bertekad bahwa aku akan selalu melaksanakan tugasku dengan baik dan senantiasa memuaskan Tuhan. Namun kini, baru sedikit saja rasa sakit dan nyeri menimpaku, aku memikirkan daging dan kehilangan tekadku untuk bekerja. Aku menyadari bahwa semua yang kukatakan kepada Tuhan adalah kebohongan serta tipu daya, dan tidak menunjukkan kesetiaan. Dahulu, aku bahkan bersekutu dengan para pendatang baru tentang arti melaksanakan tugas, dan berkata, "Melaksanakan tugasmu itu sangat penting. Kau bisa mendapatkan kebenaran dan diselamatkan. Menderita demi melaksanakan tugasmu dengan baik itu sepadan!" Namun, ketika tugas memanggil, aku memikirkan daging dan tidak mau menderita. Bukankah persekutuanku kepada para pendatang baru itu hanyalah kata-kata dan doktrin? Bagi orang sepertiku yang tanpa kenyataan kebenaran sedikit pun, masih ingin diselamatkan oleh Tuhan dan menerima berkat Tuhan adalah hal yang benar-benar tidak tahu malu! Ketika memahami ini, aku merasa berutang kepada Tuhan, jadi aku berdoa kepada-Nya, "Tuhan, aku tidak ingin menyakiti hati-Mu lagi. Aku bersedia menyerahkan penyakitku ke dalam tangan-Mu, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Aku bersedia mencurahkan hatiku pada tugasku dan menanggung pekerjaan ini."
Selanjutnya, pemimpin memintaku untuk merangkum masalah serta penyimpangan dalam tugas para penyiram, dan pada saat yang sama, mengumpulkan masalah para pendatang baru serta mencari firman Tuhan untuk menyelesaikannya. Tiba-tiba, ada begitu banyak hal di hadapanku, dan selain itu, aku masih harus menulis khotbah untuk memberitakan Injil. Aku merasa makin tertekan dan hatiku tegang setiap hari. Begitu aku menyelesaikan satu pekerjaan, pekerjaan lain sudah menanti, dan aku mulai khawatir, "Semua pekerjaan ini menyita waktu dan tenaga pikiran. Jika kulakukan semuanya dengan baik, aku tidak akan punya banyak waktu istirahat. Jika begini terus, apakah tubuhku akan sanggup bertahan? Apakah penyakitku akan makin parah?" Saat itu, kusadari bawah keadaanku tidak benar, aku memikirkan kedagingan dan ingin menghindari tugasku lagi. Ini bukanlah sikap setia kepada Tuhan! Aku memikirkan tuntutan Tuhan terhadap kita tidaklah tinggi. Asalkan orang berusaha sekuat tenaga sesuai kemampuan fisik, itu sudah cukup. Tuhan tidak meminta manusia sampai menguras habis diri mereka atau bekerja mati-matian untuk-Nya. Aku teringat firman Tuhan: "Tuhan tidak memintamu untuk menjadi manusia super atau orang terkemuka, dan Dia juga tidak memberimu sayap untuk terbang di langit. Dia hanya memberimu dua tangan dan dua kaki yang memungkinkanmu untuk berjalan di tanah selangkah demi selangkah, dan untuk berlari bila diperlukan. Organ bagian dalam yang Tuhan ciptakan untuk engkau mencerna dan menyerap makanan, dan menyediakan nutrisi untuk seluruh tubuhmu, jadi engkau harus mengikuti aturan rutin makan tiga kali sehari. Tuhan telah memberimu kehendak bebas, kecerdasan kemanusiaan yang normal, dan hati nurani serta akal sehat yang seharusnya manusia miliki. Jika engkau menggunakan hal-hal ini dengan baik dan benar, mengikuti hukum untuk kelangsungan hidup tubuh fisikmu, menjaga kesehatanmu dengan baik, melakukan dengan teguh apa yang Tuhan minta darimu, dan mencapai apa yang Tuhan tuntut untuk engkau capai, maka itu sudah cukup, dan itu juga sangat sederhana. Pernahkah Tuhan menuntutmu untuk berusaha sekuat tenaga melaksanakan tugas sampai hari kematianmu? Pernahkah Dia memintamu untuk menyiksa dirimu sendiri? (Tidak.) Tuhan tidak menuntut hal-hal semacam itu. Orang seharusnya tidak menyiksa diri mereka sendiri, tetapi harus memiliki akal sehat dan memenuhi berbagai kebutuhan tubuh dengan benar. Minumlah air saat haus, makanlah saat lapar, beristirahatlah saat lelah, berolahragalah setelah duduk lama, pergilah ke dokter saat sakit, ikutilah aturan makan tiga kali sehari, dan pertahankanlah kehidupan kemanusiaan yang normal. Tentu saja, engkau juga harus tetap melaksanakan tugas normalmu. Jika tugasmu melibatkan pengetahuan khusus tertentu yang tidak kaumengerti, engkau harus belajar dan berlatih. Inilah kehidupan yang normal" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (12)"). Tuhan memberitahu kita untuk memahami akal sehat dalam hidup dan memenuhi kebutuhan tubuh dengan benar. Kita harus makan saat lapar dan beristirahat saat lelah; ketika kita duduk terlalu lama saat melaksanakan tugas dan merasa tidak nyaman, kita harus bangun dan berolahraga; ketika kita sakit, kita harus ke dokter. Saat percaya kepada Tuhan, kita tidak bisa memiliki kepercayaan yang samar, dan kita tidak bisa melanggar hukum alami tubuh. Dahulu, aku selalu percaya bahwa banyaknya keluhan fisik yang kualami disebabkan oleh beban kerja berat dan kekhawatiranku dalam melaksanakan tugasku. Padahal kenyataannya, Tuhan tidak ingin orang-orang membanting tulang dan berusaha sekuat tenaga sampai akhir kematian mereka. Sebaliknya, Dia ingin orang-orang memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan istirahat dalam melaksanakan tugas mereka. Sebelumnya, aku tidak tahu cara merencanakan jadwal kerja-istirahat secara wajar. Aku selalu menunda-nunda, bekerja tidak efisien, dan aku terus-menerus bergadang, melanggar hukum alami tubuh. Ini disebabkan oleh kebodohanku sendiri dan bukan akibat kelelahan karena melaksanakan tugasku. Sekarang, aku dapat mengatur waktuku dengan baik. Pada siang hari, kuupayakan efisiensi kerja setinggi mungkin dan tidak lagi bergadang. Setelah itu, kususun tugasku menurut prioritas lalu mengerjakannya satu per satu. Setelah sebulan, aku mulai terbiasa dengan tugas ini. Di satu sisi, aku membina para penyiram; di sisi lain, aku turun tangan menyirami beberapa pendatang baru dan menyelesaikan masalah mereka. Sisa waktuku kugunakan untuk menulis khotbah dan artikel kesaksian pengalaman. Terkadang, ketika pegal setelah lama duduk di depan komputer, aku berolahraga ringan. Meskipun agak melelahkan melaksanakan tugasku seperti ini, kondisiku tidak memburuk dan aku mampu melaksanakan tugasku dengan baik. Setiap hari terasa sangat memuaskan dan hatiku damai serta tenteram.
Aku teringat satu bagian firman Tuhan yang kubaca saat waktu teduhku, dan menyadari bagaimana seseorang seharusnya hidup agar benar-benar bermakna. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Apa nilai kehidupan seseorang? Apakah nilai hidup seseorang hanyalah demi menikmati kesenangan daging seperti makan, minum, dan menikmati hiburan? (Tidak, bukan itu.) Lalu apa nilai hidup seseorang? Silakan bagikan pemikiranmu. (Untuk melaksanakan tugas makhluk ciptaan, inilah yang setidaknya harus dicapai seseorang dalam hidupnya.) Benar. Katakan kepada-Ku, jika seseorang seumur hidupnya memfokuskan tindakan dan pemikirannya sehari-hari hanya untuk menghindarkan dirinya dari penyakit dan kematian, menjaga tubuhnya tetap sehat dan bebas dari penyakit, serta berjuang keras untuk memiliki umur panjang, inikah nilai yang seharusnya orang miliki dalam hidupnya? (Tidak, bukan itu.) Itu bukanlah nilai yang seharusnya orang miliki dalam hidupnya. Jadi, apa nilai yang seharusnya orang miliki dalam hidupnya? Seseorang baru saja menjawab bahwa nilai hidup seseorang adalah melaksanakan tugas makhluk ciptaan dengan baik, yang merupakan salah satu aspek spesifik. Apakah ada hal lainnya? Katakan kepada-Ku keinginan yang biasanya engkau semua miliki ketika berdoa atau membuat tekad. (Tunduk pada penataan dan pengaturan Tuhan bagi kami.) (Memainkan peran yang telah Tuhan tetapkan bagi kami dengan baik, dan memenuhi misi dan tanggung jawab kami.) Ada lagi yang lain? Di satu sisi, ini adalah tentang melaksanakan tugas makhluk ciptaan dengan baik. Di sisi lain, ini adalah tentang melakukan segala sesuatu sesuai dengan kemampuan dan kapasitasmu dengan sebaik mungkin, setidaknya mencapai titik di mana hati nuranimu tidak menuduhmu, di mana engkau bisa berdamai dengan hati nuranimu sendiri dan terbukti dapat diterima di mata orang lain. Lebih jauh lagi, di sepanjang hidupmu, di keluarga mana pun engkau dilahirkan, dan apa pun latar belakang pendidikanmu atau kualitas dirimu, engkau harus memiliki beberapa pemahaman tentang prinsip-prinsip yang seharusnya orang pahami dalam hidup ini. Sebagai contoh, jalan seperti apa yang harus orang tempuh, bagaimana mereka harus hidup, dan bagaimana menjalani kehidupan yang bermakna—engkau setidaknya harus menelusuri sedikit tentang nilai hidup yang benar. Di satu sisi, hidup ini tidak boleh dijalani dengan sia-sia, dan orang tidak boleh dilahirkan ke dunia ini dengan sia-sia. Di sisi lain, selama masa hidupmu, engkau harus memenuhi misimu; inilah yang terpenting. Kita tidak akan berbicara tentang menyelesaikan misi, tugas, atau tanggung jawab yang sangat besar, tetapi setidaknya, engkau harus menyelesaikan sesuatu. ... Jangan menuntut standar yang tinggi terhadap orang lain. Mari kita pertimbangkan keadaan di mana orang dihadapkan dengan tugas yang harus mereka lakukan atau yang bersedia mereka lakukan dalam hidup mereka. Setelah menemukan tempatnya, mereka tetap berdiri teguh pada posisinya dan mempertahankan posisinya, mencurahkan hati dan usaha serta seluruh tenaga mereka, dan mencapai serta menyelesaikan apa yang harus mereka kerjakan dan selesaikan. Ketika akhirnya mereka berdiri di hadapan Tuhan untuk memberikan pertanggungjawaban, mereka merasa relatif puas, tanpa merasa tertuduh atau tanpa penyesalan di hati mereka. Mereka merasa terhibur dan merasa telah memperoleh sesuatu, merasa hidup mereka begitu bernilai" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (6)"). Saat merenungkan firman Tuhan, aku memahami bahwa nilai dan makna hidup manusia terletak pada melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan di dalam pekerjaan Tuhan menyelamatkan umat manusia, memberikan kesaksian tentang pekerjaan dan firman-Nya sejauh kemampuan kita, serta menuntun lebih banyak orang ke hadapan Tuhan untuk menerima keselamatan-Nya. Inilah hal yang paling menyenangkan Tuhan. Meskipun melaksanakan tugasmu terkadang menyebabkan penderitaan daging, melalui pengejaran kebenaran dalam proses ini, kita dapat memahami banyak prinsip kebenaran serta melihat hakikat banyak hal; kita juga dapat mengenali kerusakan dan kekurangan kita sendiri. Betapa hebatnya hal ini! Jika aku hanya memikirkan cara merawat diri atau menjaga kesehatanku dengan berbagai cara seperti orang tidak percaya, meskipun tubuhku penuh vitalitas dan sehat, pada akhirnya, semua itu akan sia-sia jika aku tidak melaksanakan tugasku dengan baik. Sama sekali tidak akan ada nilainya. Aku teringat beberapa tahun yang lalu, ketika aku pergi ke rumah sakit kota untuk berobat. Saat itu tepat ketika COVID-19 merebak. Jumlah korban jiwa terus meningkat dan semua orang hidup dalam kepanikan. Dalam lingkungan ini, saudara-saudariku tetap gigih memberitakan Injil. Meskipun mereka takut tertular COVID-19, mereka tidak pernah melupakan tanggung jawab mereka dan tetap gigih memberitakan Injil kepada mereka yang merindukan penampakan Tuhan. Hanya dengan cara inilah hidup mereka bisa bermakna. Aku teringat sebuah lagu pujian firman Tuhan yang sering kunyanyikan, "Engkau Harus Mengejar Kemajuan yang Positif": "Seluruh hidup manusia ada di tangan Tuhan dan jika bukan karena resolusi mereka di hadapan Tuhan, siapakah yang mau hidup sia-sia dalam dunia manusia yang kosong ini? Mengapa harus repot-repot? Bergegas masuk dan keluar dunia, jika mereka tidak melakukan sesuatu bagi Tuhan, bukankah seluruh hidup mereka akan sia-sia? Bahkan jika Tuhan tidak mengganggap perbuatanmu layak untuk disebut, akankah engkau memberikan senyum yang penuh kepuasan di saat kematianmu? Engkau seharusnya mengejar kemajuan yang positif, bukan kemunduran yang negatif—bukankah ini penerapan yang lebih baik?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 39"). Itu benar. Manusia harus berbuat sesuatu bagi Tuhan selagi masih hidup. Mereka tidak boleh hidup sia-sia. Jika seseorang hidup dalam daging, makan, minum, dan bersenang-senang, sebaik apa pun dia merawat dirinya, semuanya sia-sia. Seseorang tidak mengenal Sang Pencipta dan tidak melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan. Hidup seperti ini tak bermakna. Sekarang, bencana makin parah dan pekerjaan Tuhan mendekati akhir. Kesempatan melaksanakan tugasku makin sedikit, jadi harus kupergunakan sebaik-baiknya. Aku harus membagikan prinsip kebenaran yang kupahami kepada para penyiram agar mereka dapat memahami kebenaran, menguasai prinsip itu, dan menyiram para pendatang baru dengan lebih efektif. Aku harus berusaha melakukan semua yang kubisa tanpa penyesalan. Bahkan jika penyakitku benar-benar memburuk di masa depan, aku harus belajar untuk tunduk, dan menyerahkan penyakitku ke tangan Tuhan, tunduk pada pengaturan serta penataan-Nya.
Setelah itu, kubaca lagi satu bagian firman Tuhan yang mengatasi keraguan dan kekhawatiranku tentang sakit-penyakit. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Jika engkau benar-benar percaya bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan, engkau harus percaya bahwa hal-hal ini—penyakit serius, penyakit berat, penyakit ringan, dan kesehatan—semuanya berada di bawah kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Kemunculan penyakit serius dan akan seperti apa kesehatan seseorang pada usia tertentu, itu bukanlah hal yang terjadi secara kebetulan, dan memahami hal ini berarti memiliki pemahaman yang positif dan akurat. Apakah ini sesuai dengan kebenaran? (Ya.) Ini sesuai dengan kebenaran, ini adalah kebenaran, engkau harus menerimanya, dan sikap serta pandanganmu mengenai hal ini harus berubah. Dan hal apa yang dibereskan setelah hal-hal ini diubah? Bukankah kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiranmu dapat dibereskan? Setidaknya, emosi negatif kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiranmu tentang penyakit telah dibereskan secara teori. Karena pemahamanmu telah mengubah pemikiran dan pandanganmu, maka pemahaman itu juga membereskan emosi negatifmu. Ini adalah salah satu aspeknya: apakah orang akan jatuh sakit atau tidak, penyakit serius apa yang akan mereka derita, dan akan seperti apa kesehatan mereka pada setiap tahap kehidupan, semua itu tidak dapat diubah oleh kehendak manusia, tetapi semua itu telah ditentukan sejak semula oleh Tuhan. ... Kita sedang membahas tentang penyakit; ini adalah sesuatu yang kebanyakan orang akan mengalaminya sepanjang hidup mereka. Jadi, jenis penyakit yang akan diderita tubuh manusia pada waktu atau pada usia tertentu, dan akan seperti apa kesehatan mereka, semua itu adalah hal-hal yang diatur oleh Tuhan dan manusia tidak dapat menentukan sendiri hal-hal ini; sama seperti kapan orang dilahirkan, mereka tidak dapat menentukannya sendiri. Jadi, bukankah bodoh merasa tertekan, cemas, dan khawatir tentang hal-hal yang tidak dapat kautentukan sendiri? (Ya.) Orang seharusnya mengatasi hal-hal yang mampu mereka atasi sendiri, sedangkan untuk hal-hal yang tak mampu mereka lakukan sendiri, mereka harus menunggu Tuhan; orang harus tunduk di dalam hatinya dan memohon kepada Tuhan untuk melindungi mereka—inilah pola pikir yang harus orang miliki. Ketika penyakit benar-benar menyerang dan kematian sudah dekat, orang harus tunduk dan tidak mengeluh atau memberontak terhadap Tuhan atau mengatakan hal-hal yang menghujat Tuhan atau hal-hal yang menyerang diri-Nya. Sebaliknya, orang harus bersikap sebagai makhluk ciptaan, dan mengalami serta menghargai semua yang berasal dari Tuhan—mereka tidak boleh berusaha membuat pilihan mereka sendiri. Ini seharusnya menjadi pengalaman istimewa yang memperkaya hidupmu, dan ini belum tentu hal yang buruk, bukan? Jadi, dalam hal penyakit, orang harus terlebih dahulu membereskan pemikiran dan pandangan mereka yang keliru tentang asal muasal penyakit, sehingga mereka tidak akan lagi mengkhawatirkan hal ini; selain itu, manusia tidak berhak untuk mengendalikan hal-hal yang mereka ketahui dan tidak mereka ketahui, mereka juga tidak mampu mengendalikan semua ini, karena semua hal ini berada di bawah kedaulatan Tuhan. Sikap dan prinsip penerapan yang harus orang miliki adalah menunggu dan tunduk. Dari memahami hingga menerapkan hal ini, semuanya harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran—inilah yang dimaksud dengan mengejar kebenaran" (Firman, Jilid 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Cara Mengejar Kebenaran (4)"). Melalui firman Tuhan, aku memahami bahwa Tuhan itu berdaulat dan menetapkan kesehatan seseorang di setiap tahap kehidupannya, penyakit apa yang mereka derita dan apakah penyakit itu akan parah. Semua ini berada di luar kendali manusia, dan kekhawatiran serta keraguan tidak ada gunanya. Ketika penyakit menimpamu, kau harus belajar bagaimana menanganinya dengan benar, dan belajar untuk tunduk pada kedaulatan serta pengaturan Tuhan. Dahulu, aku sering khawatir dan tertekan karena penyakitku hingga hidup dalam emosi negatif. Ini karena aku tidak memahami kedaulatan Tuhan. Aku bahkan percaya bahwa jika aku melaksanakan banyak tugas, memiliki beban kerja yang berat, dan kelelahan fisik akan memperburuk kondisiku. Oleh karena itu, aku terus khawatir suatu hari aku tidak sanggup menanggungnya lagi dan bahkan tidak bisa melaksanakan tugasku saat ini. Faktanya, apakah kondisiku akan memburuk atau tidak, semuanya ada di tangan Tuhan. Itu tidak ada hubungannya dengan beban kerja tugasku. Ada saudara-saudari yang kesehatannya buruk, dan beban mereka lebih berat dariku, tetapi mereka tidak jatuh sakit. Sudut pandangku tentang berbagai hal begitu menyimpang. Kekhawatiran dan keraguan itu tidak perlu dan merupakan perwujudan dari kebodohan dan ketidaktahuan. Bahkan jika suatu hari nanti kondisiku benar-benar memburuk, ini terjadi seizin Tuhan, dan aku harus tunduk pada kedaulatan serta pengaturan Tuhan. Aku teringat ketika ujian menimpa Ayub dan tubuhnya dipenuhi bisul parah, dia mampu menerimanya sebagai datang dari Tuhan, dan tidak mengeluh tentang Tuhan. Dia mampu menghadapinya dengan tenang dan akhirnya tetap teguh dalam kesaksiannya kepada Tuhan. Ketika memikirkan itu, aku merasa sangat malu, dan bersedia meninggalkan kekhawatiran serta keraguanku sendiri, memercayakan penyakitku ke tangan Tuhan, dan mendedikasikan hatiku untuk tugasku. Aku mencari pengobatan saat membutuhkannya dan berolahraga secukupnya di waktu luangku. Ketika aku menerapkannya seperti ini, hatiku jauh lebih santai serta lega, dan tidak lagi terlalu terpengaruh oleh penyakit.
Melalui penugasan kembali tugasku ini, aku memetik banyak pelajaran, dan menyadari bahwa sebagai makhluk ciptaan, aku harus berpegang setiap saat pada tugas tanpa memikirkan daging. Pada saat yang sama, aku juga memahami bahwa nilai hidup manusia adalah mengikuti firman Tuhan dan dengan setia melaksanakan tugasnya. Hanya dengan hidup seperti ini, seseorang bisa merasa lapang, teguh, dan bebas dari penyesalan.