Cara Mengejar Kebenaran (9)

Selama kurun waktu ini, topik persekutuan kita telah mencakup lingkup yang relatif luas, bukan? (Ya.) Ini telah mencakup beberapa masalah kemanusiaan yang lebih spesifik, dan juga telah mencakup beberapa masalah kehidupan manusia. Pada pertemuan terakhir, kita telah mempersekutukan topik yang berkaitan dengan kualitas, dan kemudian kita telah mempersekutukan cara mengidentifikasi kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak yang rusak. Persekutuan kita tentang topik kualitas pada dasarnya telah selesai; mulai sekarang, engkau dapat menilai dengan tepat bagaimana kualitas seseorang berdasarkan isi pembahasan ini. Ketika mempersekutukan ketiga aspek ini—kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak yang rusak—kita telah bersekutu tentang beberapa perwujudan dan hal-hal yang orang perlihatkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menilai apakah hal-hal ini termasuk kondisi bawaan, kemanusiaan, atau watak rusak mereka. Melalui persekutuan kita tentang ketiga aspek, yakni kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak yang rusak ini, apakah engkau sekarang memiliki pemahaman yang konkret tentang struktur dasar manusia sebagai makhluk ciptaan? (Kami dapat memahaminya sedikit lebih banyak daripada sebelumnya.) Alasan kita mempersekutukan ketiga aspek perwujudan yang orang perlihatkan dalam kehidupan mereka adalah karena manusia ciptaan terdiri dari kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak yang rusak. Entah engkau pria atau wanita, entah engkau berusia muda atau lanjut usia, termasuk ras apa pun dirimu atau di negara mana pun engkau tinggal, di periode mana pun engkau hidup, atau di lingkungan sosial dan latar belakang apa pun engkau tinggal—singkatnya, seperti apa pun penampilan luarmu—selama engkau adalah manusia ciptaan, engkau terdiri dari tiga aspek ini: kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak yang rusak. Dengan kata lain, setiap orang, yang termasuk umat manusia yang rusak, terdiri dari kondisi bawaan, kemanusiaan, dan kehidupan watak yang rusak. Dengan kata lain, setiap manusia ciptaan memiliki kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak yang rusak. Tentu saja, kondisi bawaan yang orang miliki ditetapkan oleh Tuhan. Kemanusiaan sebagian dipengaruhi oleh kondisi bawaan, dan sebagian lagi ditanamkan serta dipengaruhi oleh didikan keluarga, lingkungan sosial, dan didikan Iblis. Sementara itu, watak yang rusak adalah watak Iblis dan natur Iblis yang orang miliki yang dihasilkan oleh penyesatan dan perusakan oleh Iblis. Natur rusak ini sebagian berasal dari keluarga yang orang miliki, sebagian dari masyarakat, dan sebagian dari pengaruh serta pembelajaran dan pembiasaan yang orang alami di berbagai lingkungan. Dari perspektif ini, setiap orang yang diciptakan sebenarnya bukanlah semacam misteri, karena mereka terdiri dari tiga aspek ini: kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak yang rusak. Oleh karena itu, mengidentifikasi orang macam apa seseorang itu, seharusnya benar-benar mudah. Dengan mengesampingkan kondisi bawaan yang ditetapkan dan dianugerahkan oleh Tuhan, yang tersisa adalah mengidentifikasi seperti apa kemanusiaan seseorang dan watak rusak apa yang mereka miliki—ini menentukan seperti apa esensi orang tersebut. Mengidentifikasi dengan cara ini membuat segala sesuatunya menjadi sangat jelas. Mengidentifikasi esensi seseorang berdasarkan hal-hal ini bukanlah hal yang sulit. Mengidentifikasi dengan cara seperti ini ada dasarnya dan juga ada standar pengukurannya.

Sebelumnya, kita telah menyebutkan beberapa perwujudan spesifik dari kondisi bawaan, yang tidak ada kaitannya dengan watak yang rusak. Kondisi bawaan adalah landasan yang orang andalkan untuk bertahan hidup dan merupakan kondisi yang seharusnya dimiliki oleh manusia ciptaan. Entah kondisi itu berkaitan dengan kelahiran seseorang, seperti waktu, lingkungan, dan tempat lahir, atau aspek-aspek seperti penampilan, kualitas, kelebihan, naluri, minat dan hobi, serta kepribadian seseorang—semua ini merupakan bagian dari kondisi bawaan seseorang. Kondisi bawaan ini tidak merusak manusia, dan tentu saja, kondisi bawaan ini juga tidak mengandung watak yang rusak. Secara umum, kondisi bawaan adalah beberapa kondisi dasar yang harus dimiliki oleh manusia ciptaan agar dapat bertahan hidup dan agar dapat hidup. Kemanusiaan mengacu pada apa yang dijalani dengan melibatkan hati nurani dan nalar kemanusiaan normal yang diperlihatkan oleh tubuh yang memiliki kondisi bawaan. Mengenai watak yang rusak, ini mudah—watak yang rusak adalah hasil dari perusakan yang Iblis lakukan terhadap kehidupan tubuh yang memiliki kondisi bawaan dan kemanusiaan. Apakah ini sedikit abstrak? Secara keseluruhan, manusia ciptaan adalah makhluk ciptaan yang didominasi oleh watak yang rusak dan memiliki hati nurani dan nalar kemanusiaan yang dasar. Makhluk ciptaan ini memiliki berbagai kondisi bawaan yang Tuhan tetapkan. Ini adalah struktur dasar manusia yang diciptakan oleh Tuhan. Dengan penjelasan ini, kondisi bawaan dan watak yang rusak lebih mudah dipahami, tetapi kemanusiaan mungkin relatif abstrak. Sederhananya, kemanusiaan adalah atribut unik manusia ciptaan yang membedakan mereka dari makhluk hidup lainnya. Makhluk ciptaan, yang memiliki atribut unik ini, memiliki hati nurani dan nalar, karakter, dan juga kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah. Atribut unik yang membedakan umat manusia dari makhluk hidup lainnya ini merupakan kemanusiaan. Kemanusiaan ini tentu saja mencakup kemampuan untuk mengungkapkan diri dengan menggunakan bahasa, kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah, kemampuan untuk mengerti, kemampuan untuk menerima hal-hal baru, kemampuan untuk menerima firman Sang Pencipta, dan kemampuan untuk menerima amanat Tuhan serta menangani hal apa pun. Inilah yang dimaksud dengan kemanusiaan. Pengertian kemanusiaan yang paling sederhana adalah bahwa itu adalah atribut bawaan manusia ciptaan yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya. Karakteristik paling dasar dari atribut ini adalah hati nurani dan nalar. Ini adalah cara paling sederhana untuk mengerti arti kemanusiaan. Ada beberapa rincian di dalamnya, seperti integritas dan karakter yang seharusnya dimiliki kemanusiaan, kemampuan untuk membedakan hal positif dan hal negatif, untuk memilih dan melaksanakan hal-hal positif. Pada dasarnya, hal-hal ini adalah apa yang harus dimengerti dan diketahui orang tentang ketiga aspek, yakni kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak yang rusak. Apakah engkau semua pernah memikirkan hal-hal ini sebelumnya? (Kami belum pernah memikirkannya sebelumnya.) Ketika menghadapi hal-hal ini untuk pertama kalinya, dapatkah engkau mengerti tentangnya? Dapatkah engkau memahaminya? (Kami dapat mengerti sedikit.) Apakah ada yang merasa bahwa topik yang sedang kita bicarakan ini terlalu mendalam dan agak abstrak, dan seperti membahas falsafah, bahwa hal ini sedikit tidak dapat dipahami? Berdasarkan perwujudan spesifik dari ketiga aspek, yakni kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak yang rusak yang telah kita bahas selama beberapa hari ini, apa yang baru saja dibicarakan seharusnya tidak abstrak bagi engkau semua. Perwujudan spesifik dari ketiga aspek ini seharusnya dapat dipahami olehmu. Selain itu, bukankah hubungan di antara ketiga aspek ini juga seharusnya jelas? Kemanusiaan adalah integritas, karakter, hati nurani, dan nalar yang orang perlihatkan berdasarkan landasan dari memiliki kondisi bawaan dasar. Watak yang rusak adalah apa yang dijalani dalam kemanusiaan melalui kondisi bawaan, dan itu adalah berbagai watak yang orang jalani yang didominasi oleh hidup yang Iblis tanamkan dalam diri mereka. Dengan demikian, apa pun kondisi bawaan yang orang miliki, itu hanyalah cangkang luar yang paling dasar, sedangkan hidup yang benar-benar dapat mendominasi esensi seseorang adalah watak rusak yang Iblis tanamkan dalam diri mereka. Dengan kata lain, untuk mengidentifikasi seperti apa esensi seseorang itu, lihatlah watak yang mereka perlihatkan. Jika watak yang mereka perlihatkan adalah watak rusak berupa kecongkakan, sikap keras kepala, kelicikan, kejahatan, atau kekejaman, entah karakter mereka baik atau jahat, orang ini pada dasarnya adalah milik Iblis, karena hidup yang mereka miliki adalah watak rusak Iblis. Oleh karena itu, atribut seseorang bergantung pada hidup yang mereka miliki di dalam dirinya, bukan bergantung pada kondisi bawaan mereka. Jika hidup yang mereka miliki adalah watak rusak Iblis, maka sekalipun di luarnya kondisi bawaan mereka terlihat sangat mulia atau hebat, mereka pada esensinya adalah milik Iblis, dan mereka adalah salah seorang dari umat manusia yang rusak. Jika kehidupan seseorang adalah kehidupan di mana kebenaran adalah hidup mereka, maka sekalipun di luarnya kondisi bawaan mereka terlihat sangat biasa, normal, atau dipandang rendah—dan sekalipun mereka memperlihatkan beberapa kelemahan, kekurangan, dan cacat dalam kemanusiaan mereka—mereka tetap merupakan bagian dari umat manusia yang telah diselamatkan. Mereka pada esensinya adalah milik Tuhan, dan bukan milik Iblis. Esensi mereka berubah. Begitu esensi mereka berubah, kepemilikan atas mereka juga berubah—mereka menjadi milik kebenaran dan milik Tuhan. Oleh karena itu, faktor penentu dalam kepemilikan atas diri seseorang, esensi, dan kesudahan akhir seseorang bukanlah kondisi bawaan mereka, dan tentu saja, juga bukan sepenuhnya kemanusiaan mereka, melainkan, hidup yang mereka miliki. Jika dari awal hingga akhir, kehidupan seseorang adalah kehidupan di mana watak-watak rusak adalah hidup yang mereka miliki, dan mereka adalah milik Iblis, maka Iblislah yang memegang kepemilikan atas diri mereka; jika mereka memiliki kebenaran sebagai hidup mereka, mereka adalah milik Tuhan, dan dengan demikian Tuhanlah yang memegang kepemilikan atas diri mereka, di tempat tujuan indah yang telah Tuhan persiapkan bagi umat manusia. Berdasarkan berbagai perwujudan dan esensi manusia dalam segala aspek, milik siapakah manusia sekarang ini? Apakah orang memiliki kehidupan di mana kebenaran adalah hidup mereka? (Tidak.) Lalu, tergantung pada apa tepatnya esensi seseorang itu? (Pada apa yang mereka miliki sebagai hidup mereka.) Tepat sekali; apa pun hidup yang kaumiliki dalam dirimu, itulah esensimu. Jika hidup di dalam dirimu berubah, dan bukan lagi watak-watak rusak yang menjadi hidupmu, melainkan kebenaran, berarti dalam hal esensimu, engkau adalah milik Tuhan dan milik kebenaran. Tentu saja, atribut kemanusiaan yang orang miliki tidak berubah—manusia tetaplah manusia, dan dalam hal atributnya, mereka tetaplah manusia ciptaan. Namun, karena hidup yang kaumiliki telah berubah, kepemilikan atas dirimu juga telah berubah. Singkatnya, kondisi bawaan adalah kondisi dasar yang membentuk manusia ciptaan. Itu berarti, selama engkau disebut manusia ciptaan, kondisi bawaan ini pasti ada dalam dirimu—kondisi tersebut adalah kondisi dasar. Kemanusiaan adalah apa yang diperlihatkan dan dijalani oleh kemanusiaan normal seseorang saat mereka hidup di bawah kondisi bawaan mereka. Watak yang rusak adalah hidup yang melekat pada manusia yang rusak, tersembunyi di bawah kondisi bawaan dan cangkang kemanusiaan. Hubungan dan perbedaan di antara ketiga aspek ini, serta peran yang dimainkan setiap aspek atau fungsi yang dijalankan setiap aspek dalam diri manusia ciptaan, adalah sebagaimana yang telah dijelaskan. Sebelumnya, kita telah bersekutu tentang beberapa perwujudan yang berkaitan dengan ketiga aspek berupa kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak rusak yang orang perlihatkan. Namun, isi pembahasan yang berkaitan dengan ketiga aspek ini jauh melampaui apa yang telah kita persekutukan, jadi kita harus terus mempersekutukan topik ini pada hari ini.

Sampai di mana pembahasan terakhir kita tentang berbagai perwujudan kondisi bawaan, kemanusiaan, dan watak yang rusak? Sikap yang takut dan tidak tegas serta sikap berani, benar? (Ya.) Persekutuan tersebut telah selesai. Sekarang mari kita lihat tentang gagap dan berbicara tersendat-sendat—masalah macam apakah ini? (Kondisi bawaan.) Ini adalah kondisi bawaan dan juga sejenis cacat fisik. Tentu saja, bentuk gagap itu berbeda-beda. Ada orang gagap yang memperpanjang satu suku kata, ada yang terus mengulang satu suku kata, menghabiskan waktu seharian tanpa mampu mengucapkan kalimat lengkap. Singkatnya, ini adalah kondisi bawaan dan tentu saja, ini juga adalah sejenis cacat fisik. Apakah ini ada kaitannya dengan watak yang rusak? (Tidak.) Ini tidak ada kaitannya dengan watak yang rusak. Jika seseorang berkata, "Kau gagap saat berbicara; kau pasti licik!" atau, "Kau bahkan gagap saat berbicara; bagaimana kau bisa begitu congkak?"—apakah pernyataan seperti itu tepat? (Tidak.) Gagap, sebagai cacat atau kekurangan, tidak ada hubungannya dengan aspek apa pun dari watak rusak yang orang miliki. Oleh karena itu, gagap adalah kondisi bawaan dan sejenis cacat fisik. Jelas, itu tidak ada kaitannya dengan watak rusak seseorang dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan watak rusak mereka. Ada situasi lain yang berkaitan dengan gagap: Ada orang-orang yang biasanya tidak gagap saat berbicara, tetapi ketika engkau mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka, mereka ragu-ragu dan tersendat; mereka menghabiskan waktu seharian untuk mengucapkan satu kalimat, dan engkau tetap tidak dapat memahami apa yang berusaha mereka katakan. Ucapan mereka tidak pernah cukup spesifik, selalu membuatmu menebak-nebak maknanya—apa pun yang kautebak, itu menjadi maknanya. Jika tidak, mereka menggunakan senyuman sebagai ganti makna. Singkatnya, mereka tidak menjawab pertanyaanmu secara langsung. Misalnya, engkau bertanya kepada mereka, "Dari mana asalmu?" Mereka berkata, "Aku ... aku ... yah, hanya berkeliling dan ..." Setelah mendengar perkataan mereka, engkau tetap tidak tahu dari mana mereka berasal. Atau engkau bertanya kepada mereka, "Bagaimana caramu menilai kualitas orang itu?" Mereka berkata, "Kualitas orang itu ... yah ... semua orang, kau tahu ... kita semua ... eh ... tidak benar-benar ... jelas." Mengapa mereka berbicara dengan cara yang tersendat-sendat dan terputus-putus seperti itu? Apakah ini berarti gagap atau berbicara tersendat-sendat? Sepertinya bukan. Lalu mengapa mereka berbicara seperti ini? Jika bukan karena gagap atau berbicara tersendat-sendat, apa alasannya? (Mereka didominasi oleh watak yang rusak.) Ini jelas adalah perwujudan watak tertentu. Itu berarti, ketika mereka mengungkapkan sesuatu atau melakukan sesuatu, mereka dikuasai oleh watak tertentu, yang merupakan bagian dari hidup yang mereka miliki, yang mendorong mereka untuk berbicara dan bertindak demi mencapai tujuan tertentu. Apakah tujuan ini? Tujuannya adalah untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya, untuk menghindarkan diri mereka memberitahumu tentang fakta yang sebenarnya; mereka tidak ingin menjelaskan sesuatu dengan begitu jelas. Mengapa mereka bertindak seperti ini? Karena mereka yakin bahwa jika mereka menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi, mereka harus menanggung akibatnya—entah itu menyinggung seseorang atau menyebabkan kerugian bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak ingin menanggung akibat-akibat ini; mereka tidak ingin engkau mengetahui fakta yang sebenarnya. Inilah cara dan gaya berbicara serta bertindak di bawah dominasi watak yang rusak. Hidup yang menguasai mereka untuk bertindak seperti ini merepresentasikan natur mereka, dan tindakan mereka seperti ini membuktikan bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kebenaran. Mereka tidak berbicara berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran. Jadi, bagaimana seharusnya orang berbicara agar dapat berbicara berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran? Untuk melakukan hal ini, orang harus menjadi orang yang jujur, sebagaimana Tuhan berfirman: "Hendaknya perkataanmu demikian, jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak." Apakah mereka melakukan seperti ini? (Tidak.) Apa yang mereka lakukan? Mereka tidak mengatakan ya ketika itu ya atau tidak ketika itu tidak. Metode apa yang mereka gunakan? Mereka berbicara dengan ambigu, menggunakan cara-cara yang licik dan jahat untuk mengungkapkan maksud mereka yang bertujuan untuk melindungi diri mereka sendiri. Mereka menggunakan metode yang Iblis perintahkan dan tanamkan dalam diri mereka untuk menangani suatu masalah atau mengungkapkan sesuatu. Ini jelas merupakan watak rusak Iblis. Ini bukanlah perwujudan kemanusiaan yang dangkal melainkan perwujudan cara bertindak di bawah dominasi watak rusak Iblis.

Mari kita lanjutkan dengan perwujudan lain: menikmati sensasi dan tidak menyukai hal-hal yang hambar; melakukan segala sesuatu dan mengambil setiap pilihan gaya hidup demi merasakan sensasinya. Masalah macam apa ini? Pertama-tama, apakah ini termasuk dalam minat dan hobi yang tergolong kondisi bawaan? (Ya.) Benarkah? Pikirkan dengan saksama—apakah ini benar-benar termasuk di sana? Apakah menikmati sensasi adalah hal yang normal dalam rasionalitas seseorang? (Itu tidak normal.) Lalu, apakah tepat menggolongkannya dalam kondisi bawaan? (Tidak.) Jika melihatnya dengan cara ini, ini tidak tepat. Termasuk dalam masalah macam apakah perwujudan ini? Jika kita katakan bahwa menikmati sensasi adalah watak yang rusak, watak rusak macam apakah itu? Apakah watak congkak, watak licik, atau watak kejam? (Bukan salah satu darinya.) Ini tidak ada kaitannya dengan jenis watak rusak apa pun. Lalu, masalah macam apa ini? (Ini adalah masalah kemanusiaan.) Masalah kemanusiaan macam apa ini? Apakah ini berarti berbuat dengan cara yang kurang pantas? (Ya.) Ini berarti berperilaku dengan tidak semestinya dan dengan cara yang tidak pantas, menikmati sensasi, dan gelisah. Kegelisahan menunjukkan kekurangan dalam kemanusiaan yang normal. Ini tidak ada kaitannya dengan hati nurani tetapi terutama mencerminkan kurangnya rasionalitas dalam kemanusiaan yang normal. Orang-orang semacam itu tidak dapat bertahan dalam satu tugas atau tidak melaksanakan tugas mereka dengan cara yang menaati aturan dan patuh. Mereka tidak dapat melakukan berbagai hal seperti orang dewasa; mereka tidak memiliki pemikiran yang dewasa, cara berperilaku pribadi yang dewasa, dan cara yang dewasa dalam melakukan sesuatu. Paling tidak, ini adalah cacat dalam kemanusiaan mereka. Tentu saja, ini tidak mencapai tingkat masalah dalam karakter mereka tetapi berhubungan dengan sikap yang mereka gunakan dalam berperilaku dan bertindak. Menikmati hal-hal baru dan sensasi, tidak konsisten dalam melakukan apa pun, tidak mampu bertekun, gelisah dan berbuat dengan tidak semestinya, serta selalu ingin mencari sensasi dan mencoba hal-hal baru yang menarik—masalah sejenis ini termasuk cacat dalam kemanusiaan. Orang yang menikmati sensasi tidak memiliki rasionalitas kemanusiaan yang normal; tidak mudah bagi mereka untuk memikul tanggung jawab dan pekerjaan yang seharusnya dipikul orang dewasa. Pekerjaan apa pun yang mereka lakukan, selama mereka melakukannya dalam waktu lama dan kehilangan perasaan baru dari hal itu, mereka menganggapnya membosankan, kehilangan minat untuk melakukannya, dan ingin mencari rasa baru dan sensasi. Tanpa sensasi, mereka merasa segala sesuatunya hambar dan bahkan mungkin mengalami perasaan kekosongan rohani. Ketika mereka merasakan seperti ini, hati mereka menjadi gelisah, dan mereka ingin mencari sensasi atau hal-hal yang menarik bagi mereka. Mereka terus-menerus ingin melakukan sesuatu yang tidak konvensional. Setiap kali mereka merasa pekerjaan yang sedang mereka lakukan atau urusan yang sedang mereka tangani membosankan atau tidak menarik, mereka kehilangan keinginan untuk melanjutkannya. Sekalipun itu adalah pekerjaan yang seharusnya mereka lakukan atau pekerjaan yang bermakna dan berharga, mereka tidak dapat bertekun. Lihatlah bagaimana, di antara orang-orang tidak percaya, ada banyak orang yang sering menggunakan narkoba. Apa pun alasan di baliknya, mereka senang menggunakan narkoba untuk mencari sensasi dan mencari sensasi yang tidak rasional yang melampaui apa yang dimiliki orang normal. Orang yang menikmati sensasi mirip dengan mereka yang mengandalkan narkoba untuk stimulasi. Mereka tidak memiliki rasionalitas orang normal dalam cara mereka berperilaku dan selalu suka mengejar sensasi yang tidak realistis dan transenden ketika memilih gaya hidup mereka. Ini sangat berbahaya. Jenis orang seperti ini di luarnya sering terlihat tidak memiliki masalah besar. Jika engkau tidak mengenali orang-orang semacam itu atau tidak mengetahui yang sebenarnya tentang esensi mereka atau esensi dari masalah semacam ini, engkau mungkin berpikir, "Orang-orang ini hanya memiliki watak yang tidak stabil; mereka berusia tiga puluhan atau empat puluhan tetapi masih belum dewasa, masih seperti anak-anak." Sebenarnya, di lubuk hatinya, jenis orang ini terus-menerus mencari sensasi. Apa pun yang mereka lakukan, mereka tidak memiliki pemikiran dan kesadaran orang dewasa, serta tidak memiliki pendekatan dan sikap yang orang dewasa gunakan dalam menangani berbagai hal. Oleh karena itu, orang-orang semacam itu sangat bermasalah. Mungkin kemanusiaan mereka tidak buruk dan karakter mereka tidak terlalu keji, tetapi karena cacat dalam kemanusiaan mereka ini, sangat sulit bagi mereka untuk berkompeten dalam pekerjaan yang signifikan, terutama jenis pekerjaan penting tertentu. Ketika engkau mempersekutukan kebenaran kepada mereka, mereka berkata, "Aku mengerti segalanya; aku hanya tidak bisa melakukannya." Mereka tidak dapat hidup atau bekerja dengan semestinya dan patuh dengan pemikiran dan sikap orang normal. Hati mereka selalu gelisah. Orang dengan perwujudan seperti itu juga sangat bermasalah. Ini mengakhiri pembahasan kita tentang perwujudan menikmati sensasi.

Selanjutnya, mari kita membahas tentang sensitivitas. Mari kita gunakan cara yang paling sederhana untuk menggolongkannya, dimulai dengan metode penyingkiran. Apakah sensitivitas merupakan kondisi bawaan? (Bukan.) Lalu, apakah itu merupakan watak yang rusak? (Bukan.) Jika seseorang memiliki perwujudan sensitivitas, apakah itu berarti dia sedang memperlihatkan watak yang rusak? (Tidak.) Sensitivitas tidak mengacu pada mengalami gatal setelah makan jenis makanan tertentu, atau bersin dan mengeluarkan air mata setelah mencium aroma tertentu; sensitivitas tidak mengacu pada alergi serbuk sari, alergi kacang, atau alergi apa pun terhadap bahan pengawet atau senyawa kimia—itu tidak mengacu pada sensitivitas secara fisik. Sensitivitas secara fisik artinya memiliki keadaan tubuh yang sensitif, yang rentan terhadap reaksi alergi yang dipicu oleh bau atau zat berbahaya eksternal tertentu—inilah yang dimaksud dengan sensitivitas secara fisik. Sensitivitas secara fisik hanyalah naluri di antara kondisi bawaan yang orang miliki—itu adalah bagian dari keadaan tubuh orang sejak lahir. Namun, sensitivitas yang dibahas di sini bukan mengacu pada hal ini. Setelah mengesampingkan kondisi bawaan, dan mempertimbangkan bahwa jenis sensitivitas ini umumnya tidak mencapai tingkat watak yang rusak—yang berarti tidak ada perwujudan spesifik dari watak yang rusak—lalu jenis masalah apakah sensitivitas ini? (Ini adalah masalah dalam kemanusiaan.) Apakah ini kelebihan atau kelemahan dalam kemanusiaan? (Ini adalah kelemahan dalam kemanusiaan.) Ini jelas merupakan kelemahan dalam kemanusiaan—jika engkau bahkan tidak dapat memahami hal ini, berarti engkau terlalu bodoh. Apakah bersikap sensitif itu baik atau tidak baik? Karena itu adalah kelemahan dalam kemanusiaan, tentu saja itu tidak baik. Apa yang dimaksud dengan sensitivitas? Katakan dengan kata-katamu sendiri. (Memiliki pikiran yang terlalu sensitif.) Apakah memiliki pikiran yang terlalu sensitif merupakan penyakit mental? Katakan kepada-Ku, apakah saraf orang pada umumnya menjadi terlalu sensitif? Saraf berada di dalam jaringan otot manusia dan tidak bersentuhan dengan udara luar, debu, atau zat-zat lainnya—jadi bagaimana saraf bisa menjadi terlalu sensitif? Jika orang selalu sensitif, bukankah ini masalah dalam pemikiran mereka? Jika ada masalah dalam pemikiran mereka, apakah ini berarti ada masalah dengan pikiran mereka? (Ya.) Masalah dengan pikiran dipandu oleh pemikiran yang mereka miliki, dan jika dipandu oleh pemikiran mereka, berarti itu adalah masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan mereka. Ketika menghadapi sorot mata, perkataan, atau pilihan kalimat yang orang ungkapkan, atau ketika menghadapi lingkungan atau jenis situasi tertentu, mereka akan menafsirkannya secara berlebihan, menghubungkannya dengan diri mereka sendiri, dan kemudian terjerumus ke dalam emosi-emosi seperti perasaan cemas, tertekan, sedih, dan putus asa, terkadang bahkan terjerumus ke dalam kenegatifan, atau—bahkan yang lebih buruk lagi—memperlihatkan perwujudan ingin membalas dendam, permusuhan, dan sebagainya. Perwujudan ini sepenuhnya membuktikan bahwa sensitivitas adalah semacam cacat dalam kemanusiaan. Cacat berarti bahwa jika engkau memiliki masalah semacam ini, kemanusiaan yang kauperlihatkan tidak normal. Entah masalah ini disebabkan oleh pemikiran, keadaan mental, nalar, atau gagasan dan sudut pandang tertentu yang kaumiliki dalam beberapa hal, apa pun itu, ini adalah cacat dalam kemanusiaanmu. Ini menyebabkan kemanusiaan yang kauperlihatkan tidak normal, tidak sesuai dengan rasionalitas dan hati nurani kemanusiaan yang normal, dan juga tidak sesuai dengan pemikiran serta sudut pandang yang dihasilkan oleh pola pikir kemanusiaan yang normal, atau dengan sikap yang seharusnya orang miliki ketika berinteraksi dengan orang lain dan menangani berbagai hal. Singkatnya, apa yang diperlihatkan dalam aspek kemanusiaan ini pada esensinya adalah keadaan mental yang tidak normal. Misalnya, ada orang-orang yang menjadi terlalu sensitif karena seseorang tanpa sengaja melirik mereka—mereka berasumsi orang tersebut memandang rendah mereka, dan mereka menjadi tidak senang dan bahkan menangis karena itu membuat mereka merasa tertekan. Katakan kepada-Ku, bukankah ini keadaan mental yang tidak normal? Bukankah ini penyakit mental? Apakah yang Kukatakan akurat? (Ya.) Tepatnya, perwujudan kemanusiaan ini merupakan penyakit mental. Orang lain tidak melakukan apa pun terhadap mereka, tetapi mereka menangis tak terkendali selama beberapa hari dan tidak dapat melupakannya. Ini adalah cacat dalam kemanusiaan. Ketika engkau berada di antara orang-orang seperti ini, engkau akan merasa sangat terkekang dan dibatasi, engkau tidak tahu kapan engkau mungkin mengundang masalah dari mereka atau menimbulkan masalah bagi dirimu sendiri, dan engkau harus sangat berhati-hati saat berbicara di depan mereka, berulang kali mempertimbangkan perkataanmu: "Jika aku mengucapkan perkataan ini, apakah dia akan mengira aku memandang rendah dirinya? Jika aku tidak berbicara kepadanya, apakah dia akan mengira aku memiliki pendapat tertentu tentangnya? Jika aku hanya berbicara sedikit kepadanya, apakah dia akan mengira aku memiliki motif tersembunyi? Bagaimana sebenarnya cara yang tepat untuk bertindak?" Pada akhirnya, engkau sampai pada kesimpulan: jenis orang seperti ini benar-benar sakit jiwa—benar-benar menyusahkan! Dengan cara apa pun engkau memperlakukan mereka, itu tidak pernah benar; apa pun yang kaukatakan, atau apa pun yang kaulakukan, itu tidak pernah mereka anggap benar. Kemanusiaan mereka sangat tidak normal. Setelah menghabiskan waktu yang lama dengan orang-orang semacam itu, engkau hanya ingin menjauhkan dirimu dari mereka dan menghindari mereka, tidak ingin berhubungan lebih lanjut dengan mereka. Orang-orang semacam ini tidak memiliki cara berpikir kemanusiaan yang normal—mereka sakit jiwa. Sensitivitas mengacu pada perwujudan ini; sensitivitas adalah cacat dalam kemanusiaan. Meskipun merupakan cacat dalam kemanusiaan, ini tidak lebih sederhana daripada watak yang rusak. Jika seseorang memiliki cacat atau masalah dalam kemanusiaan, banyak masalah akan muncul ketika mereka bergaul dengan orang lain; akan sulit untuk bergaul dengan mereka, dan akan sulit juga untuk mengoreksi mereka. Ini adalah perwujudan kemanusiaan.

Mari kita membahas tentang perwujudan lainnya—sikap keras kepala. Masalah macam apa ini? (Ini adalah cacat dalam kemanusiaan.) Pertama, mari kita kesampingkan kondisi bawaan—sikap keras kepala jelas bukan kondisi bawaan, itu tidak diberikan oleh Tuhan. Selain itu, sikap keras kepala tidak meningkat ke tahap watak yang rusak. Oleh karenanya, itu adalah cacat dalam kemanusiaan. Apa sajakah perwujudan spesifik sikap keras kepala? Apakah ada korelasi tertentu antara sikap keras kepala dan sikap yang tidak masuk akal? (Ada korelasi tertentu.) Ada korelasinya hingga taraf tertentu. Jadi, apa sajakah perwujudan sikap keras kepala? Berikan sebuah contoh. Orang seperti apa yang cenderung bersikap keras kepala? Perkataan dan tindakan apa yang merupakan perwujudan sikap keras kepala? (Orang yang keras kepala cenderung terus menujukan pikiran mereka pada orang, peristiwa, dan hal tertentu yang mereka temui.) Terus menujukan pikiran pada sesuatu adalah salah satu aspek. Berikan sebuah contoh—pada hal-hal seperti apa mereka terus menujukan pikiran mereka? (Ketika seseorang menunjukkan masalah mereka, mereka suka memberi alasan dan menggunakan penalaran yang keliru. Mereka selalu berpaut pada ungkapan atau pilihan kata tertentu untuk membela diri, menolak menerima kebenaran atau menerima pemangkasan. Mereka terus bersikeras pada penalaran mereka untuk membenarkan diri sendiri, menjelaskan alasan di balik tindakan mereka.) Ketika orang lain memangkas mereka atau mempersekutukan prinsip-prinsip kebenaran kepada mereka, mereka tidak menerimanya. Sebaliknya, mereka terus-menerus menekankan alasan dan pembenaran mereka sendiri, mengeklaim bahwa niat mereka benar, tanpa sama sekali mengakui kesalahan mereka sendiri. Ini adalah salah satu perwujudan terus menujukan pikiran pada sesuatu. Ada orang-orang yang melakukan kesalahan yang sembrono dan diberhentikan, tetapi mereka tidak merenungkan diri mereka sendiri. Sebaliknya, mereka berkata, "Bagaimanapun, Tuhan tidak menyukaiku, dan aku bukanlah orang yang mencintai kebenaran, jadi begitulah—tidak ada gunanya berusaha untuk maju." Seseorang menasihati mereka, "Kau seharusnya tidak sedemikian negatif. Kualitasmu memungkinkanmu untuk memahami kebenaran—kau harus berusaha untuk maju!" Mereka menjawab, "Jika Tuhan telah menetapkan bahwa kami tidak akan mendapatkan tempat tujuan yang baik, maka sekalipun kami berusaha untuk maju, itu tidak ada gunanya. Betapa pun banyaknya upaya yang kami lakukan atau sebaik apa pun kami melakukannya, itu tidak ada gunanya." Di dalam hatinya, mereka terus-menerus salah paham terhadap Tuhan dan bertentangan dengan-Nya. Apa pun yang orang lain katakan, mereka menolak untuk menerimanya. Sekalipun apa yang kaukatakan hampir sesuai dengan keadaan mereka atau sekalipun itu benar-benar dapat membantu mereka untuk berbalik dan mengalami beberapa pertumbuhan, mereka tetap tidak menerimanya. Mereka yakin bahwa pemikiran mereka sendirilah yang benar. Apakah ini perwujudan sikap keras kepala? (Ya.) Mereka percaya dengan teguh dan yakin bahwa, "Tuhan tidak menyukaiku. Apa pun yang kulakukan, Tuhan tidak akan menunjukkan kasih karunia kepadaku—aku telah disingkirkan oleh Tuhan. Aku tahu aku bukanlah orang yang mencintai kebenaran, jadi tidak ada gunanya berusaha untuk maju. Jika aku boleh melaksanakan tugas apa pun, aku akan melakukannya sedikit saja. Jika aku disebut orang yang berjerih payah, biarlah. Pokoknya, aku hanya akan mengikuti. Selama masih ada secercah harapan, aku tidak akan pergi." Sebenarnya, berdasarkan kualitas mereka dan berbagai kondisi lainnya, mereka seharusnya tidak bersikap senegatif ini—mereka masih mampu melakukan beberapa hal yang berharga, dan mampu memperoleh beberapa hasil dalam pelaksanaan tugas mereka. Namun, karena sikap keras kepala mereka, mereka tidak mau berusaha untuk maju, tidak berbalik arah, dan tidak bertobat; di dalam hatinya, mereka yakin bahwa Tuhan tidak akan menunjukkan kasih karunia kepada mereka. Orang lain menerima terang dan pencerahan hingga berbagai taraf dan Tuhan sering memperlihatkan beberapa kasih karunia, tetapi mereka tidak dapat merasakannya, sehingga di dalam hatinya, mereka menyimpan sedikit kebencian terhadap Tuhan. Apakah ini sikap keras kepala? (Ya.) Ada orang yang berpikir, "Semua orang yang dipromosikan dan dibina di rumah Tuhan adalah orang yang mahir berbicara, memiliki karunia dan kelebihan, serta pandai menampilkan diri. Orang-orang seperti kita, yang tidak tahu bagaimana menampilkan diri dan kurang fasih, diabaikan oleh rumah Tuhan. Tuhan tidak memberi kita kesempatan apa pun. Sekalipun kita berbakat, itu tidak ada gunanya. Sekalipun kita memiliki kualitas dan kemampuan untuk memahami, itu tidak penting—kita tetap harus menyingkir. Terutama karena kita berasal dari latar belakang miskin, berpenampilan biasa-biasa saja, dan tidak tahu cara berpakaian, kita tidak akan pernah menonjol di mana pun. Seluruh hidup kita hanya akan seperti ini—tidak ada status di dunia dan tidak ada status di rumah Tuhan." Apakah ini perwujudan sikap keras kepala? (Ya.) Dari kedua contoh ini, dapatkah engkau semua menerangkan dengan jelas apa arti bersikap keras kepala? (Dengan keras kepala berpaut pada ide sendiri dan tidak mau mendengarkan siapa pun.) (Berpaut pada pandangan yang kaku.) Dalam bahasa sehari-hari, ini disebut berpaut pada pandangan yang kaku, tetapi tidak semua bentuk ini adalah sikap keras kepala—tergantung pada apakah pandangan kaku yang orang pegang itu benar atau salah. Jika pandangan kaku yang orang pegang itu benar, itu masih dapat diterima. Misalnya, jika seseorang berpaut pada pandangan kakunya dengan berkata, "Kapan pun itu, orang harus bertindak dengan hati nurani," maka pandangan ini relatif positif. Namun, jika pandangan kaku yang mereka pegang itu tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta, tetapi mereka tetap tidak mau untuk melepaskannya dan tak seorang pun dapat mengubah pemikiran dan sudut pandang mereka, apa pun yang mereka katakan, maka ini adalah sikap keras kepala. Sikap keras kepala adalah cara memahami yang menyimpang—itu terjadi ketika orang dengan keras kepala berpaut pada pemikiran dan sudut pandang yang menyimpang. Itu tidak sesuai dengan kemanusiaan atau akal sehat, dan terlebih lagi, itu tidak sesuai dengan tuntutan Tuhan; tentu saja, itu juga sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebenaran. Bersikap keras kepala berarti bersikeras berpaut pada pemikiran dan sudut pandang yang menyimpang di bawah dominasi sikap yang terburu nafsu dan emosi dalam kemanusiaan yang orang miliki. Orang yang memperlihatkan perwujudan semacam ini adalah orang yang keras kepala. Sebagai contoh, ada orang-orang yang, setelah menerima pemangkasan dan mulai mengenal dirinya sendiri, merasa bahwa mereka salah dalam hal ini dan harus bertobat. Mereka menganggapnya sebagai pelanggaran dan yakin bahwa pemangkasan adalah hal yang benar, bahwa pemangkasan itu untungnya dilakukan tepat pada waktunya, dan bahwa kesalahan besar akan terjadi jika mereka tidak dipangkas. Namun, orang yang keras kepala tidak berpikir seperti ini. Mereka berkata, "Memangkasku berarti merendahkanku—itu berarti menindasku karena mereka menganggapku tidak menyenangkan. Mungkin mereka sedang kesal dan menemukanku sebagai pelampiasan dan aku terpaksa harus bernasib buruk. Mereka kebetulan sedang marah dan tidak punya tempat untuk melampiaskannya, jadi mereka melampiaskannya kepadaku dengan memangkasku." Yang lain berkata, "Itu bukan seperti yang kaupikirkan. Mengapa kau tidak memeriksa kesalahan yang telah kaulakukan? Apakah kau menangani masalah itu sesuai dengan prinsip? Apakah kau telah melanggar prinsip-prinsip kebenaran?" Mereka tidak memeriksa hal-hal ini. Sebaliknya, mereka menganalisis, memahami, dan memperlakukan masalah dengan emosi dan sikap yang terburu nafsu. Singkatnya, orang yang keras kepala, dalam sebagian besar kasus, tidak menerima hal-hal positif atau kebenaran—mereka bahkan tidak menerima pemikiran dan sudut pandang yang positif. Apa pun yang terjadi pada mereka atau apa pun lingkungan yang mereka temui, mereka memperlakukannya dengan keras kepala dan berpaut pada sikap itu dengan keyakinan mutlak. Sekalipun engkau mempersekutukan kebenaran kepada mereka, mereka tidak menerimanya dan yakin bahwa apa yang mereka pegang sepenuhnya sesuai dengan fakta. Apa yang sering mereka katakan? "Hal yang kaudengar tidak dapat diandalkan; hanya hal yang kaulihat yang adalah nyata. Apa yang kulihat adalah fakta. Sekalipun apa yang kaukatakan adalah kebenaran, jika kau belum melihatnya, kau tidak berhak untuk membicarakannya." Mereka yakin bahwa apa yang mereka lihat adalah fakta, dan pada esensinya bagaimana fakta-fakta ini terlihat di luarnya, seperti itulah fakta tersebut. Ketika engkau berbicara tentang kebenaran, itu tidak ada gunanya—di mata mereka, kebenaran hanyalah kedok, hanyalah topeng, hanya perkataan yang terdengar muluk. Jadi, mereka tidak menerimanya. Mereka yakin secara membabi buta, "Apa yang kukatakan itu benar—bukan kebohongan—karena aku melihat fakta yang sebenarnya. Aku melihat proses ketika fakta-fakta itu terungkap." Sebagai contoh, ketika seseorang yang keras kepala melihat sepasang suami istri bertengkar, saling berteriak untuk bercerai, dia menyimpulkan bahwa mereka pasti akan bercerai. Orang lain berkata, "Hanya karena kau melihat mereka bertengkar tentang bercerai bukan berarti mereka benar-benar ingin bercerai. Orang berkata kasar saat mereka marah. Sebenarnya, pasangan ini biasanya sangat penyayang—hubungan mereka memiliki landasan yang kuat. Meskipun mereka telah bertengkar sepanjang hidup mereka, mereka tidak dapat hidup tanpa satu sama lain. Sang istri memberi tahu seseorang yang mengetahui situasi itu bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk bercerai. Jadi, berdasarkan fakta-fakta ini dan cara hidup mereka biasanya, mereka tidak mungkin bercerai." Orang yang keras kepala itu tidak memercayainya. Kemudian, dia pergi memeriksa dan mendapati bahwa pasangan itu memang belum bercerai, tetapi dia masih dengan keras kepala yakin, "Mereka di luarnya saja terlihat tidak bercerai; secara pribadi, mereka telah bercerai secara diam-diam. Mereka hanya tidak mengumumkannya kepada orang banyak demi anak-anak." Engkau melihat bahwa mereka masih dengan keras kepala berpaut pada hal ini. Mereka hanya percaya pada apa yang dilihat mata mereka dan pada penilaian mereka sendiri, dengan keras kepala bersikeras bahwa penilaian, pemikiran, dan sudut pandang mereka benar. Sekalipun kenyataannya tidak seperti itu atau esensi dan akar masalahnya tidak seperti itu, mereka tetap yakin bahwa semuanya adalah seperti itu. Pemahaman mereka tentang semua hal hanya tergantung pada prasangka, sikap terburu nafsu, dan emosi mereka sendiri—mereka tidak menilai berdasarkan natur dari kenyataannya atau akar masalahnya. Sekalipun situasinya berubah, cara mereka dalam memahami, dan pemikiran, serta sudut pandang mereka tetap tidak berubah. Seperti inilah perwujudan orang yang keras kepala.

Ketika orang yang keras kepala menghadapi masalah tertentu, cara mereka menangani masalah dan watak yang mereka perlihatkan berkaitan dengan watak yang rusak. Sikap keras kepala adalah cacat utama dalam kemanusiaan. Tentu saja, ini tidak meningkat ke tahap karakter atau integritas—ini hanya berkaitan dengan sikap, pemikiran, dan sudut pandang yang mereka gunakan saat berinteraksi dengan orang lain dan menangani masalah. Jika seseorang keras kepala, itu sudah cukup untuk memperlihatkan bahwa ada cacat dalam kemanusiaan mereka. Ketika cacat ini tersingkap dalam masalah tertentu, apa yang mereka perlihatkan bukan lagi sekadar cacat dalam kemanusiaan. Jika, dalam situasi tertentu, mereka dengan keras kepala bersikeras pada pemahaman dan sudut pandang mereka yang menyimpang, yakin bahwa ini sesuai dengan kebenaran, dan siapa pun yang mempersekutukan kebenaran kepada mereka, mereka tidak dapat menerimanya—dan bahkan mengembangkan beberapa tindakan dan pernyataan yang keras kepala—maka ini bukan lagi sekadar masalah dalam kemanusiaan mereka. Ini telah meningkat ke tahap masalah pada watak mereka—ini telah meningkat ke tahap watak yang rusak. Misalnya, dalam hal menerima pemangkasan, jika mereka melanggar prinsip dalam melakukan sesuatu dan melakukan kesalahan yang gegabah, mereka sudah seharusnya menerima pemangkasan. Sekalipun mereka tidak menerima pemangkasan, mereka harus tetap menerima hukuman dan didikan yang sesuai. Namun, bukannya memahami hal ini dengan benar, mereka malah mengeluh tentang nasib buruk mereka, dengan berkata, "Aku kebetulan saja masuk ke garis tembak. Orang yang memangkasku hanya marah dan tidak punya tempat untuk melampiaskan kemarahannya—kebetulan saja dia menemukan masalahku ini, jadi dia memangkasku." Pemikiran, sudut pandang, dan sikap mereka terhadap pemangkasan merupakan perwujudan watak yang rusak. Watak rusak apa? (Watak keras kepala dan watak yang muak akan kebenaran.) Watak yang muak akan kebenaran dan watak keras kepala. Pemikiran dan sudut pandang mereka tentang orang dan hal-hal adalah termasuk sikap keras kepala dari kemanusiaan mereka, tetapi watak rusak yang memunculkan pemikiran dan sudut pandang yang keras kepala ini adalah watak keras kepala dan watak yang muak akan kebenaran. Ini membuat esensi masalahnya menjadi serius—orang-orang semacam itu adalah pengikut yang bukan orang percaya. Sikap keras kepala adalah cacat dalam kemanusiaan. Apa sajakah ciri utama watak rusak yang berkaitan dengan sikap ini? Keras kepala dan muak akan kebenaran—ini membawa sikap ini ke tahap watak yang rusak. Apa yang engkau semua perhatikan dari hal ini? Beberapa cacat dalam kemanusiaan, yang berkaitan dengan pemikiran, sudut pandang, dan sikap orang dalam berperilaku dan bertindak, dapat meningkat menjadi watak yang rusak. Misalnya, gagap adalah cacat dalam kemanusiaan. Seseorang yang gagap akan berbicara dengan gagap apa pun yang mereka katakan. Gagap itu sendiri bukanlah watak yang rusak dan tidak meningkat ke tahap watak yang rusak. Namun, jika perkataan yang diucapkan dengan gagap mengandung pemikiran tertentu, dan pemikiran ini dihasilkan di bawah dominasi watak yang rusak, maka entah orang tersebut adalah seorang yang gagap alami atau bukan, pemikiran di balik perkataannya berkaitan dengan watak yang rusak. Gagap adalah masalah bicara—itu tidak ada hubungannya dengan watak yang rusak. Namun, pemikiran dan sudut pandang di balik penggunaan cara bicara yang gagap dipicu atau disebabkan oleh watak yang rusak. Jadi, engkau melihat bahwa ketika cacat dalam kemanusiaan berkaitan dengan kondisi bawaan, itu tidak ada hubungannya dengan watak yang rusak. Namun, ketika cacat dalam kemanusiaan berkaitan dengan unsur-unsur dalam karakter seseorang yang keji, menyimpang, atau negatif, itu memang berkaitan dengan watak yang rusak. Apakah engkau mengerti? (Ya.)

Mari kita membahas perwujudan lainnya, yaitu mati rasa. Masalah apakah ini? (Cacat dalam kemanusiaan.) Mati rasa adalah cacat dalam kemanusiaan. Apa perwujudan khas mati rasa dalam diri orang-orang? Lamban dalam bereaksi, bergerak dengan kecepatan yang lambat, dan tidak fleksibel saat melakukan sesuatu, dan ketika memikirkan masalah, hanya memiliki sedikit ide atau hanya mampu merenungkan relatif sedikit aspek dari masalah tersebut. Semua ini disebut mati rasa. Aspek kemanusiaan apa sajakah yang ada kaitannya dengan mati rasa? Ini berkaitan dengan kedalaman pandangan orang mengenai orang dan hal-hal, kedalaman orang dalam cara mereka berperilaku dan bertindak, serta kecerdasan atau kualitas yang orang miliki dalam hal memandang orang dan hal-hal serta dalam berperilaku dan bertindak. Secara umum, orang seperti apa yang digambarkan dengan istilah "mati rasa"? (Orang yang berkualitas relatif buruk.) Mati rasa berarti seseorang memiliki kualitas yang buruk, kecerdasan yang rendah, dan reaksi yang lamban—memiliki perwujudan ini disebut mati rasa. Mati rasa merupakan cacat utama dalam kemanusiaan. Mati rasa ini tidak berarti lengan atau kakimu mati rasa dan kehilangan sensasi—ini bukanlah jenis ketidakpekaan fisik semacam itu. Mati rasa juga tidak mengacu pada sifat kepribadian yang tumpul, keras, atau kaku. Sebaliknya, mati rasa merupakan reaksi mental atau perwujudan kecerdasan yang orang miliki dalam menangani masalah. Biasanya, orang semacam ini sering berada dalam keadaan mati rasa, bodoh, dan tidak bereaksi terhadap orang, peristiwa, dan hal-hal di sekitar mereka. Itu berarti, mereka melihat sesuatu tetapi tidak dapat mengetahui yang sebenarnya tentang esensi dari hal tersebut dan tidak dapat melihat masalah di dalamnya. Ketika engkau mengingatkan mereka bahwa ada sebuah masalah di sini, mereka bahkan tidak bereaksi dan tidak tahu bahwa itu adalah sebuah masalah. Sekalipun seseorang menunjukkan masalahnya kepada mereka, mereka tetap tidak dapat mengetahui yang sebenarnya tentang keseriusan masalah itu atau esensi dari masalah tersebut. Akibatnya, mereka menangani banyak hal dengan sangat lambat. Seperti inilah mati rasa itu. Mati rasa itu sendiri merupakan cacat dalam kemanusiaan. Mengenai orang yang mati rasa, berapa pun usia mereka atau apakah ada bagian tubuh fisik mereka yang mati rasa, dalam hal perwujudan kemanusiaan mereka dalam aspek ini, mereka tidak dapat melakukan pekerjaan yang spesifik dan esensial, dan mereka juga tidak dapat memikul pekerjaan yang berkaitan dengan konten teknis atau yang sifatnya sangat khusus. Tentu saja, orang-orang semacam itu juga tidak mampu menjadi pemimpin dan pekerja. Jika seorang pemimpin atau pekerja mati rasa, akan timbul masalah dalam pekerjaan yang mereka lakukan, pekerjaan akan terhenti dan lumpuh. Mereka tidak mampu memperhatikan masalah, dan tidak mampu segera menyelesaikannya, sehingga ketika berbagai masalah muncul, mereka tidak dapat memperhatikannya, dan masalahnya tidak dapat diselesaikan. Mereka tidak dapat melihat masalah dengan mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengerahkan tenaga untuk menyelesaikannya, dan mereka tidak tahu pekerjaan apa yang paling penting untuk dilakukan. Setiap hari, mereka hanya dapat melakukan sedikit pekerjaan yang dangkal secara rutin. Apa pun pengaturan kerja yang dikeluarkan oleh Yang di Atas, mereka meneruskannya kepada orang lain, tetapi setelah meneruskannya, mereka tidak tahu apakah pengaturan kerja itu dapat dilaksanakan dengan baik atau tidak, hasil apa yang dapat dicapai, atau apa dampak selanjutnya. Mereka tidak dapat mengetahui yang sebenarnya tentang apa pun. Sebanyak apa pun orang di sekitar mereka yang melakukan kejahatan, atau menyebabkan gangguan atau kekacauan, mereka tidak dapat melihatnya. Mereka juga tidak tahu berapa banyak pekerjaan yang perlu ditindaklanjuti atau pekerjaan spesifik mana yang perlu dilaksanakan. Seseorang bertanya kepada mereka: "Apakah kau telah menugaskan dan mengatur pekerjaan?" Mereka berkata: "Semuanya telah diatur. Aku pernah menyampaikan persekutuan kepada mereka dan membacakan pengaturan kerja—semua orang mengetahuinya." Apakah ini berarti melaksanakan pengaturan kerja? (Tidak.) Melaksanakan pengaturan kerja pertama-tama mengharuskan orang untuk menugaskan tanggung jawab pemimpin dan pekerja dengan semestinya, menentukan pemimpin mana yang harus menangani pekerjaan mana, dan memastikan setiap bagian dari pekerjaan ditugaskan kepada orang-orang tertentu. Selain itu, para pemimpin dan pekerja harus diberi tahu secara spesifik bagaimana cara melakukannya dan berdasarkan prinsip-prinsip yang mana. Semua hal ini harus dijelaskan dengan gamblang sehingga setiap orang tahu bagaimana cara melakukan pekerjaan tersebut. Hanya inilah yang dimaksud dengan mengalokasikan pekerjaan. Ketika melaksanakan pekerjaan, beberapa orang hanya membacakan pengaturan kerja kepada orang lain dan meminta setiap orang untuk membagikan pemahaman dan perasaan mereka mengenainya, dan itu saja. Selama mereka melihat setiap orang sibuk melaksanakan tugasnya, mereka menganggap pengaturan kerja itu telah dilaksanakan dengan semestinya. Pada saat ini, jika engkau bertanya kepada mereka, "Apakah saudara-saudari mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas mereka? Apakah masih ada masalah yang muncul? Apakah kau menyampaikan persekutuan untuk menyelesaikan masalah itu?" mereka menjawab, "Aku belum mendengar adanya masalah—aku akan memeriksanya." Sebenarnya, orang yang bertanggung jawab atas pekerjaan itu tidak mengemukakan masalah atau kesulitan apa pun, tetapi kesulitan-kesulitan itu benar-benar ada. Karena mereka terlalu mati rasa, mereka tidak dapat melihatnya. Misalnya, mereka bahkan tidak dapat melihat ketika dua orang tidak dapat saling bekerja sama dan bersaing di antara mereka sendiri untuk mendapatkan status saat melaksanakan tugas mereka, dan ini memengaruhi pekerjaan. Mereka bahkan berkata, "Hubungan mereka cukup baik—mereka mengobrol dan berkomunikasi satu sama lain. Jika mereka tidak dapat bekerja sama, mereka tidak akan saling berbicara." Orang-orang bertanya kepada mereka, "Apakah mereka saling bersaing untuk mendapatkan status? Dapatkah mereka bekerja sama secara harmonis?" mereka menjawab, "Aku tidak tahu tentang itu." Setelah penyelidikan, barulah diketahui bahwa kedua orang itu tidak dapat bekerja sama dan bersaing satu sama lain—bersaing tentang siapa yang berkhotbah lebih agung, siapa yang suaranya lebih keras, dan siapa yang berbicara lebih lama. Hal-hal ini telah lama diperhatikan oleh umat pilihan Tuhan. Jika engkau bertanya kepada orang itu, "Apakah masalah-masalah ini telah diselesaikan dengan segera?" mereka akan berkata, "Tidak, masalah-masalah ini belum diselesaikan. Aku tidak tahu bahwa ini adalah pekerjaan yang harus kulakukan." Mereka bahkan tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah besar seperti itu—bukankah mereka orang yang bodoh? (Ya.) Mereka pernah membacakan pengaturan kerja lalu mengharuskan semua orang membuat pernyataan dan bersumpah untuk melaksanakan tugas dengan baik, dan setelah itu, mereka menganggap pekerjaan mereka selesai. Mereka berkata kepada diri sendiri, "Aku ingat siapa pemimpin gerejanya, siapa yang secara khusus bertanggung jawab atas bagian pekerjaan apa, dan siapa yang bertanggung jawab atas pekerjaan pembuatan film," tetapi mereka benar-benar tidak dapat melihat bagaimana cara melakukan bagian-bagian spesifik dari pekerjaan tersebut. Seperti inilah orang yang mati rasa dan bodoh itu—mereka adalah orang-orang yang bodoh. Mereka tidak dapat melihat masalah apa pun dan tidak tahu bagaimana cara mempersekutukan aspek apa pun dari prinsip-prinsip kebenaran. Untuk masalah yang ada kaitannya dengan prinsip-prinsip kebenaran, mereka tidak tahu bagaimana mempersekutukan kebenaran untuk menyelesaikannya. Untuk masalah yang berkaitan dengan personel atau pekerjaan administratif, mereka juga tidak dapat melihat satu pun dari masalah tersebut. Sekalipun mereka melihat bahwa seseorang tidak dapat melakukan pekerjaan itu, mereka tidak tahu bagaimana menyelesaikan hal ini. Mereka tidak dapat mengetahui yang sebenarnya tentang apa pun. Inilah yang dimaksud dengan mati rasa. Mereka hanya tahu cara mengatakan beberapa doktrin tetapi mereka tidak berkompeten dalam pekerjaan—mereka memiliki penampilan yang mati rasa dan bodoh. Katakan kepada-Ku, apakah orang seperti ini adalah pemimpin yang memenuhi standar? (Tidak.) Jika para pemimpin dan pekerja mati rasa, ini menyusahkan—mereka tidak akan dapat melakukan pekerjaan apa pun. Jika mereka tidak melakukan pekerjaan yang seharusnya mereka lakukan, dan ketika seseorang melaporkan suatu masalah, mereka juga tidak menanganinya, maka ini bukan lagi sekadar masalah mati rasa, melainkan masalah tidak adanya kemanusiaan yang normal, dan kehilangan fungsi normal hati nurani dan nalar.

Mati rasa adalah cacat dalam kemanusiaan. Meskipun cacat ini tidak meningkat ke tahap watak yang rusak, masalah ini sendiri sudah fatal. Seseorang yang hidup berdiri di sana, dengan indra dan anggota tubuh yang berfungsi, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan orang normal untuk memandang orang dan hal-hal, atau untuk berperilaku dan bertindak. Ketika bekerja, mereka seperti orang tidak berguna yang tidak memiliki pemikiran—mereka tidak dapat memperhatikan masalah apa pun, mereka terlebih lagi, tidak mampu menyelesaikan masalah ketika orang lain mengemukakannya, dan mereka tidak dapat melihat pekerjaan apa yang harus dilakukan. Di benaknya, seolah-olah tidak ada yang menjadi perhatian mereka. Akibatnya, mereka tidak dapat melakukan pekerjaan apa pun—mereka adalah orang-orang tidak berguna, tidak ada gunanya. Bukankah masalah ini cukup serius? Engkau melihat bahwa orang yang keras kepala dan orang yang sensitif setidaknya memiliki pemikiran yang aktif—mereka memiliki cara berpikir orang normal; yang berarti, pikiran mereka terus-menerus bekerja. Sedangkan pikiran orang yang mati rasa itu sederhana; seolah-olah pikiran mereka lumpuh, seakan-akan mereka mati. Meskipun mereka memiliki mata, apa pun yang mereka lihat, tidak ada reaksi dalam pikiran mereka, dan mereka tidak akan merenungkannya di benak mereka; mereka tidak memiliki pemikiran dan sepenuhnya adalah patung kayu. Apa artinya patung kayu? Mereka adalah orang-orang yang diukir dari kayu; di luarnya, mereka terlihat menyerupai orang, tetapi ketika engkau berbicara kepada mereka, mereka tidak bereaksi. Engkau meminta mereka untuk menjaga rumah, tetapi ketika rumah itu dirampok, mereka tidak melakukan apa pun. Engkau bertanya kepada mereka, "Mengapa kau tidak menjaga rumah?" dan mereka tetap tidak bereaksi. Jika seseorang tidak bereaksi terhadap apa pun, ini sangat merepotkan. Dengan kata lain, fungsi yang seharusnya dilakukan oleh naluri kemanusiaan—seperti fungsi pemikiran dan kesadaran, serta fungsi yang seharusnya dilakukan oleh mata, telinga, otak, dan hati—tidak dapat dilakukan. Mereka tidak memiliki atau kurang memiliki pemikiran yang seharusnya dimiliki oleh orang dengan kemanusiaan yang normal. Inilah yang disebut mati rasa. Orang yang mati rasa tidak jauh berbeda dengan orang yang tidak ada gunanya. Ada orang yang berkata, "Menurut-Mu orang-orang semacam ini mati rasa, bahwa mata, telinga, dan otak mereka tidak dapat menjalankan fungsinya. Namun, jika Engkau menghina mereka, mereka bereaksi. Jika mereka menderita kerugian, mereka bereaksi. Jadi, apakah mereka masih dapat dianggap sebagai orang yang bodoh?" Bahkan beberapa binatang dapat memahami ucapan manusia—mereka dapat memahami hal baik dan hal buruk yang kaukatakan tentang mereka. Jika seseorang, sebagai manusia, tidak dapat memahami ucapan manusia, berarti mereka tidak memenuhi standar sebagai manusia. Oleh karena itu, untuk mengukur apakah seseorang itu adalah manusia atau bukan, standar bagi manusialah yang harus digunakan. Mengapa Aku menyebutkan binatang? Itu adalah untuk memberitahumu bahwa engkau adalah makhluk hidup yang termasuk dalam golongan manusia ciptaan, bukan binatang. Jika engkau, sebagai manusia, tidak memiliki pemikiran yang bahkan dimiliki oleh binatang, berarti engkau jauh lebih rendah dari binatang. Bahkan binatang pun tahu untuk bersikap baik dan dekat dengan orang-orang yang memperlakukan mereka dengan baik dan menyediakan makanan mereka sehari-hari. Jika engkau, sebagai manusia, tidak memiliki kemanusiaan seperti itu, apakah engkau masih layak disebut manusia? Mengapa Aku membuat perbandingan ini? Ini untuk memberitahumu bahwa engkau bukanlah binatang atau binatang dengan tingkat yang lebih tinggi; engkau adalah manusia, engkau adalah makhluk tingkat tertinggi di antara semua makhluk yang diciptakan oleh Tuhan—seorang manusia. Engkau memiliki kemampuan berbahasa, kemampuan berpikir, dan kemampuan untuk memahami kebenaran. Tuhan menciptakanmu untuk menjadi penguasa di antara semua makhluk, untuk mengelola semua makhluk dan makhluk hidup lainnya. Engkau adalah pengelola semua makhluk hidup di antara semua makhluk. Untuk mengelola mereka, engkau harus melebihi mereka. Engkau harus lebih baik daripada mereka agar memiliki kemampuan untuk mengelola mereka. Oleh karena itu, menyebut binatang bukan berarti merendahkanmu, tetapi untuk mengingatkanmu dan menyadarkanmu bahwa engkau harus lebih baik daripada mereka. Engkau harus menggunakan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh kemanusiaanmu, serta berbagai macam akal sehat dan kemampuan yang telah kauperoleh sejak lahir, untuk mengelola dan memimpin mereka, melakukan apa yang seharusnya manusia lakukan, apa yang telah Tuhan amanatkan kepadamu. Jika engkau menganggap dirimu sendiri sebagai manusia ciptaan, engkau harus menggunakan standar bagi manusia ciptaan untuk mengukur kemanusiaan dan esensi dirimu. Standar ini tidak boleh lebih rendah daripada standar yang telah Tuhan tetapkan bagi manusia. Oleh karena itu, untuk mengukur kualitas seseorang dan masalah dalam berbagai aspek kemanusiaan mereka, standar bagi manusialah yang harus digunakan. Banyak orang yang mati rasa secara mental dan lamban untuk bereaksi dalam hal kemanusiaan, yang menyebabkan mereka melakukan banyak tugas mereka dengan buruk selama pelaksanaan tugas tersebut—mereka tidak berkompeten dalam pekerjaan gereja, dan tidak mampu menerapkan berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran. Oleh karena itu, engkau harus mengenal dirimu sendiri dan mengetahui ukuranmu sendiri. Jika engkau tidak memiliki kualitas atau kemanusiaan seperti ini, atau jika engkau memiliki cacat berupa mati rasa dalam kemanusiaanmu, maka engkau tidak boleh bersaing untuk menjadi pemimpin atau pengawas. Jika engkau menjadi pemimpin atau pengawas, maka pekerjaan gereja mana pun yang menjadi tanggung jawabmu, gereja itu akan menjadi lumpuh. Bagian dari pekerjaan apa pun yang menjadi tanggung jawabmu, pekerjaan itu akan menjadi sepenuhnya kacau. Jika engkau tidak berkompeten untuk pekerjaan itu, engkau harus menyingkir dan membiarkan mereka yang mampu melakukannya untuk melaksanakannya. Apakah engkau mengerti? (Ya.) Memiliki kesadaran diri, dan kemudian belajar memberi jalan kepada mereka yang lebih mampu dan merekomendasikan orang lain—ini adalah prinsip penerapannya. Ada orang yang berkata, "Aku begitu mati rasa sampai-sampai tidak dapat membedakan siapa yang baik—bagaimana aku bisa merekomendasikan seseorang?" Jika engkau tidak dapat membedakan siapa yang berkualitas baik dan tidak dapat memberi rekomendasi, engkau perlu memetik beberapa pelajaran. Ketika bertemu dengan seseorang yang memahami kebenaran dan mampu membedakan orang lain, engkau harus belajar dari mereka. Dengan lebih banyak bersekutu dengan mereka, engkau akan dapat mempelajari beberapa hal. Karena engkau memiliki cacat berupa mati rasa dalam kemanusiaanmu, jangan pilih-pilih atau selektif tentang tugas apa yang harus kaulakukan. Engkau sendiri memiliki cacat ini, jadi tidak banyak jenis pekerjaan dan tugas yang dapat kaulakukan. Jika, dengan susah payah, posisi yang cocok ditemukan untukmu, dan engkau masih pilih-pilih dan selektif, maka ini bukan masalah mati rasa atau cacat dalam kemanusiaan, tetapi ini adalah watak yang rusak. Watak rusak apa? Itu adalah watak yang congkak, tidak tunduk, dan tidak mengetahui ukuranmu sendiri. Engkau bukan apa-apa, hanya orang yang tidak berguna, orang idiot, tetapi engkau masih ingin melaksanakan tugas yang bermartabat, yang tidak melelahkan, dan yang sangat dihormati oleh orang lain—ini menunjukkan watak yang congkak. Jika engkau sangat mati rasa, memiliki pekerjaan yang seharusnya kaulakukan dan hal-hal yang seharusnya kauurus tetapi tidak melakukannya, juga tidak memperhatikannya, jika engkau bahkan tidak mau berupaya sedikit pun ketika terjadi kesalahan, dan bahkan ketika engkau melihat sesuatu yang merugikan kepentingan rumah Tuhan, engkau mengabaikannya, berpikir, "Ini bukan masalah di rumahku sendiri, jadi aku tidak akan memedulikannya," ini bukan sekadar mati rasa tetapi ini berarti engkau tidak berhati nurani dan tidak bernalar. Jika engkau memiliki sedikit saja hati nurani dan nalar serta memperlakukan masalah rumah Tuhan sebagai masalahmu sendiri, maka engkau harus memenuhi tanggungjawabmu dan tidak membiarkan kepentingan rumah Tuhan dirugikan. Namun, jika engkau tidak memiliki niat baik ini dan tidak melakukan satu hal pun yang baik, bukankah engkau adalah orang yang bodoh dan mati rasa? Ini mengakhiri pembahasan kita tentang perwujudan mati rasa.

Sekarang mari kita membahas tentang tebal muka. Masalah macam apakah tebal muka itu? (Cacat dalam kemanusiaan.) Apakah itu sebuah cacat? (Itu adalah masalah karakter yang buruk.) Karakter yang buruk berarti kemanusiaan yang buruk. Berkaitan dengan aspek kemanusiaan apa tebal muka itu? Itu berkaitan dengan hati nurani dan nalar, juga dengan integritas dan martabat. Ini berkaitan dengan aspek dari karakter yang orang miliki. Apa sajakah perwujudan spesifik orang yang tebal muka? Hal-hal apa yang menunjukkan bahwa seseorang itu tebal muka? Hal memalukan apa pun yang mereka lakukan pasti merupakan perwujudan dari sikap mereka yang tebal muka. Menyanjung dan menjilat tanpa merasa bahwa itu memalukan—bukankah seperti inilah tebal muka itu? (Ya.) Mengapa kita menganggap ini sebagai tindakan yang tebal muka? Karena melakukan hal ini menunjukkan bahwa orang itu tidak memiliki rasa malu. Mereka bisa mengucapkan beberapa perkataan yang melanggar hati nurani kemanusiaan yang normal atau yang tidak sesuai dengan fakta, betapa pun memalukan atau tidak menyenangkannya perkataan itu, mereka tidak tersipu atau jantung mereka tidak berdebar, dan mereka tidak peduli bagaimana orang lain memandang mereka setelah mendengarnya; sekalipun orang lain mentertawakannya, mereka tidak peduli. Mereka tidak memiliki rasa malu, bukan? (Ya.) Bukankah tidak memiliki rasa malu sama artinya dengan tebal muka? Selain itu, ketika seseorang jelas bukan siapa-siapa, tetapi masih secara terbuka bersaing untuk mendapatkan status dan menjadi pemimpin—bukankah ini berarti tebal muka? (Ya.) Mereka tidak hanya bersaing secara terbuka, tetapi selama pemilihan, mereka juga memalsukan surat suara. Sementara orang lain memberikan satu suara per orang, mereka memberikan dua suara untuk diri mereka sendiri—bukankah ini berarti tebal muka? (Ya.) Ketika orang lain tidak memilih mereka, mereka memilih diri mereka sendiri. Orang-orang semacam itu bersaing ingin menjadi pemimpin tanpa malu-malu dan tanpa rasa malu—betapa tebal mukanya mereka! Umumnya, orang-orang yang mencintai status dan berambisi semuanya ingin menampilkan diri dengan baik sehingga orang lain dapat memilih mereka sebagai pemimpin. Begitu mereka terpilih sebagai pemimpin, mereka merasa cukup bangga, tetapi jika mereka tidak terpilih, mereka merasa tidak bahagia dan tidak senang—ini adalah perwujudan yang normal. Namun, orang-orang yang tebal muka tidak seperti ini. Mereka akan menggunakan segala cara yang diperlukan untuk menjadi pemimpin. Mereka berkata, "Semua orang tidak menyukaiku dan tidak akan memilihku, tetapi aku akan menemukan cara untuk menjadi pemimpin. Sekalipun aku harus menipu dan menggunakan cara-cara curang, aku akan membuat semua orang memilihku sebagai pemimpin!" Yang lain berkata, "Sekalipun kau menjadi pemimpin, semua orang tetap tidak akan menyukaimu. Kami tidak memiliki pendapat yang baik tentangmu, dan reputasimu buruk. Jika kau mengatur pekerjaan apa pun, tak seorang pun akan mendengarkanmu." Mereka menjawab, "Sekalipun kalian tidak mendengarkanku, aku akan tetap berusaha menjadi pemimpin!" Betapa tebal mukanya orang-orang semacam itu! Dinilai dari sini, bukankah orang-orang semacam itu tidak memiliki kesadaran akan dirinya sendiri? (Ya.) Mereka tidak memiliki kesadaran akan diri mereka sendiri dan terdapat sifat yang agak bengis dalam diri mereka. Dinilai dari pemikiran dan sudut pandang orang yang tebal muka tentang cara mereka berperilaku, mereka tidak memiliki rasa malu dalam kemanusiaan mereka, mereka tidak peduli dengan integritas atau karakter, dengan hati nurani ataupun rasa malu, mereka juga tidak peduli dengan moralitas dan standar dasar bagi cara mereka berperilaku—mereka mengabaikan semua ini. Dinilai dari pemikiran dan kesadaran mereka, mereka sangat bodoh, tidak mengerti, dan hina. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mereka memiliki karakter yang jelek dan buruk. Jadi, hal-hal tidak tahu malu yang mereka lakukan tentu saja didorong oleh pemikirann dan sudut pandang mereka yang keliru. Selama pemilihan gereja, mereka bersikeras untuk memilih diri mereka sendiri, memberikan suara untuk diri mereka sendiri, dan menjadi pemimpin—tidak menjadi pemimpin tidak dapat diterima oleh mereka, dan jika mereka tidak menjadi pemimpin, mereka akan membenci saudara-saudari karena tidak memilih mereka. Begitu tahu bahwa engkau tidak memilih mereka, mereka akan merasa engkau tidak menyenangkan. Apa pun yang kaukatakan, mereka menjawabmu dengan ketus. Mereka sangat kasar ketika berbicara kepadamu, seolah-olah napas mereka menyemburkan api. Mereka juga memikirkan cara untuk membalas dendam dan menyiksamu, dan bahkan mungkin menolak untuk berbicara denganmu sepanjang hidup mereka. Yang terlihat dalam tindakan spesifik orang-orang semacam itu adalah watak yang rusak. Watak rusak macam apa itu? (Watak yang kejam.) Bahasa halusnya, itu adalah watak yang congkak dan melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri—mereka benar-benar ingin menjadi pemimpin. Namun, dinilai dari cara-cara mereka dalam melakukan segala sesuatu dan berbagai perwujudannya, mereka adalah orang-orang yang memiliki watak yang kejam. Watak rusak dari orang-orang tebal muka yang memiliki kemanusiaan yang tercela ini sangat jelas. Semua tindakan mereka dapat meningkat ke tahap watak yang rusak. Tebal muka merupakan salah satu perwujudan dari karakter mereka; dalam ucapan dan tindakannya, mereka diatur oleh aspek karakter mereka tersebut, dan akibatnya mereka melakukan banyak perbuatan yang tidak tahu malu, dan memperlihatkan berbagai watak yang rusak, seperti kecongkakan dan kekejaman. Oleh karena itu, hingga taraf tertentu, perwujudan tercela yang terlihat dari karakter seseorang termasuk dalam watak yang rusak; semua perwujudan ini berhubungan dan berkaitan erat dengan esensi natur mereka, dan perwujudan spesifik dari semua watak rusak mereka berasal dari karakter mereka yang tercela. Jadi, karakter tercela dan watak rusak saling berkaitan. Watak rusak yang orang miliki dihasilkan setelah orang dirusak oleh Iblis. Misalnya, aspek karakter tercela dalam kemanusiaan yang orang miliki, seperti keras kepala, berpikiran sempit, dan tebal muka, semuanya itu adalah hasil dari perusakan manusia oleh Iblis dan bekerjanya Iblis dalam diri mereka. Sebelum menerima kebenaran, semua orang terlebih dahulu menerima perusakan dan penyesatan dari banyak pemikiran dan sudut pandang yang keliru, jahat, dan negatif—mereka menerima hal-hal yang keliru ini ke dalam hati mereka sebagai hidup mereka, dan ini berarti watak-watak rusak itu pun menjadi hidup mereka.

Tebal muka memiliki beberapa perwujudan lainnya. Beberapa pemimpin dan pekerja melakukan tindakan yang jelas-jelas menyebabkan kekacauan dan gangguan, menipu orang-orang di atas mereka sembari menyembunyikan sesuatu dari orang-orang di bawah mereka, atau menentang pengaturan kerja, dan tindakan mereka bahkan menyebabkan pekerjaan gereja menjadi sangat dirugikan. Namun, mereka bukan saja tidak merenungkan dan mulai menyadari masalah mereka sendiri atau mengakui fakta kejahatan mereka yang mengganggu pekerjaan gereja, melainkan, mereka juga bahkan yakin bahwa mereka telah melaksanakan tugas mereka dengan baik, dan ingin mencari pujian serta penghargaan, menyombongkan diri dan bersaksi di mana-mana tentang seberapa banyak pekerjaan yang telah mereka lakukan, seberapa banyak penderitaan yang telah mereka tanggung, seberapa banyak kontribusi yang telah mereka buat selama bekerja, berapa banyak orang yang telah mereka peroleh melalui pemberitaan Injil sambil bekerja, dan sebagainya. Mereka sama sekali tidak mengakui seberapa banyak kejahatan yang telah mereka lakukan atau seberapa besar mereka telah merugikan pekerjaan gereja. Tentu saja, mereka juga tidak bertobat, apalagi berbalik arah. Katakan kepada-Ku, bukankah orang-orang semacam itu tebal muka? (Ya.) Jika engkau bertanya kepada mereka, "Apakah kau melakukan pekerjaan gereja berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran? Apakah pekerjaanmu sesuai dengan pengaturan kerja rumah Tuhan?" mereka menghindari topik tersebut. Jika orang lain kemudian menyingkapkan bahwa mereka menyebabkan uang persembahan milik Tuhan sangat dirugikan selama pekerjaan mereka—ada yang kerugiannya mencapai beberapa ratus yuan, ada yang beberapa ribu, dan ada yang bahkan puluhan ribu—apa reaksi mereka ketika diminta untuk mengganti rugi? Orang normal yang memiliki hati nurani, nalar, dan rasa malu akan hancur hati setelah mendengarnya, di lubuk hatinya akan merasa sangat hina dan malu. Mereka akan yakin bahwa mereka tidak melakukan pekerjaan mereka dengan baik dan bahwa mereka sangat berutang kepada Tuhan, sehingga mereka tidak akan berusaha untuk membenarkan diri mereka sendiri; sekalipun mereka telah melakukan beberapa pekerjaan konkret dan menanggung banyak penderitaan, mereka tidak akan menganggap hal-hal itu layak untuk disebutkan. Jika pekerjaan mereka benar-benar dilakukan dengan baik, mungkinkah itu menyebabkan pekerjaan rumah Tuhan menjadi sangat dirugikan? Tidak mungkin. Hanya dengan menilai dari kerugian yang mereka sebabkan, dapat dibuktikan bahwa pekerjaan mereka dilakukan dengan buruk, sehingga mereka harus mengakui kesalahan dan bertobat. Entah kerugian yang mereka sebabkan itu mengharuskan mereka membayar ganti rugi atau tidak, setidaknya, mereka harus mengakui fakta bahwa pekerjaan mereka menyebabkan kekacauan dan gangguan terhadap pekerjaan gereja. Hanya orang yang benar-benar tak tahu malu yang akan menolak untuk mengakui fakta ini. Mereka akan berkata, "Sekalipun aku mengganti kerugian tersebut, aku tidak akan mengakui bahwa aku telah berbuat salah atau melakukan kesalahan apa pun dalam pekerjaanku. Sekalipun aku membayar utang, aku tetap orang yang berjasa, yang lebih baik daripada rata-rata orang di rumah Tuhan. Aku memiliki sejarah yang gemilang!" Kemanusiaan macam apa ini? Katakan kepada-Ku, apakah orang-orang semacam ini memiliki rasa malu? Dapatkah mereka bahkan mengeja kata "rasa malu"? Jika mereka benar-benar tidak memiliki rasa malu, itu adalah masalah. Jika di dalam hatinya, mereka tahu dengan jelas bahwa mereka telah melakukan kejahatan tetapi dengan keras kepala menolak untuk mengakuinya secara lisan, bukankah orang-orang semacam itu sangat keras kepala? Jika di dalam hatinya, mereka mengakui bahwa mereka telah berbuat jahat dan juga dapat mengakuinya secara lisan, mereka masih terhitung memiliki hati nurani—mereka masih memiliki rasa malu dalam diri mereka. Jika mereka tidak hanya menolak untuk mengakuinya secara lisan, tetapi di dalam hatinya, mereka juga melawan, terus-menerus menentang dan bahkan menyebarkan klaim di mana-mana bahwa rumah Tuhan sedang memperlakukan mereka dengan tidak adil dan bahwa mereka adalah korban dari nasib buruk, maka masalah mereka serius. Seberapa serius? Mereka sama sekali tidak berhati nurani atau tidak bernalar. Hati nurani haruslah mencakup rasa keadilan dan kebaikan. Salah satu aspek dari rasa keadilan adalah bahwa orang haruslah memiliki rasa malu. Hanya jika orang tahu malu, barulah mereka dapat bersikap jujur, memiliki rasa keadilan, dan mencintai hal-hal yang positif serta berpegang teguh pada hal-hal tersebut. Namun, jika tidak ada rasa malu dalam hati nuranimu dan dalam rasa keadilanmu, serta engkau tidak mengenal rasa malu—dan bahkan setelah melakukan kesalahan, jika engkau tidak merasa malu karenanya, dan tidak tahu bahwa engkau harus merenungkan dirimu sendiri atau membenci dirimu sendiri, tidak merasa menyesal, dan dengan cara apa pun orang lain menyingkapkanmu, engkau tidak peduli, tidak tersipu dan tidak merasa malu—berarti hati nuranimu sebagai manusia bermasalah, dan dapat juga dikatakan bahwa engkau tidak memiliki hati nurani. Jika engkau seperti ini, sulit untuk mengatakan apakah hatimu buruk ataukah jahat—mungkin hatimu jahat, mungkin hatimu seperti hati serigala; bukan positif tetapi negatif. Orang yang tidak berhati nurani dan tidak memiliki kemanusiaan adalah para setan. Jika engkau berbuat salah dan sama sekali tidak merasa malu, tidak merasa menyesal atau tidak merasa bersalah, dan engkau tidak mau merenungkan dirimu sendiri tetapi malah membantah, melawan, dan berusaha untuk membela serta membenarkan dirimu sendiri, mendandani dirimu dengan topeng agar terlihat menyenangkan, maka jika diukur berdasarkan standar kemanusiaan, kemanusiaanmu itu bermasalah. Seperti apa pun nalarmu, jika engkau tidak memiliki standar hati nurani, sulit untuk mengatakan apakah engkau sebenarnya memiliki kemanusiaan atau tidak. Kita tidak akan membahas seperti apa jiwa di dalam dirimu, dari mana engkau berasal, atau kejahatan apa yang telah kaulakukan di masa lalu; kita tidak akan membicarakan kehidupanmu yang sebelumnya. Hanya membahas tentang hati nurani yang seharusnya kaumiliki dalam hidup ini, jika engkau tidak memiliki rasa malu, berarti engkau tidak memenuhi standar sebagai manusia. Ada orang yang berkata, "Aku memang tebal muka jadi kuambil saja apa pun yang aku mau." Namun, itu tergantung di mana engkau melakukannya—melakukan hal itu di rumah Tuhan tidak akan berhasil. Rumah Tuhan bukanlah tempat yang dapat kaumanfaatkan untuk memperoleh penghidupan. Jika engkau bersikeras untuk memperoleh penghidupan darinya, engkau pasti akan mendatangkan malapetaka bagi dirimu sendiri. Ada orang yang berpikir, "Aku ini tebal muka seperti buaya. Di mana pun aku berada, aku selalu bertingkah seperti ini, berlagak seolah-olah aku pemilik tempat itu! Aku tidak peduli apa kata orang lain tentangku—siapa yang bisa berbuat sesuatu terhadapku?" Orang mungkin tidak bisa berbuat apa pun terhadapmu, tetapi karena engkau percaya kepada Tuhan, engkau harus memperhatikan bagaimana Tuhan mengukur dan menilai semua yang kaulakukan, bagaimana Tuhan mendefinisikan dirimu, dan keputusan apa yang Dia berikan kepadamu. Jika engkau tidak memperhatikan hal ini, apakah engkau masih orang yang percaya kepada Tuhan? Jika engkau bahkan tidak peduli tentang hal ini, berarti engkau adalah pengikut yang bukan orang percaya. Engkau mungkin mengabaikan apa yang orang lain katakan tentangmu, tetapi bukankah engkau seharusnya peduli tentang penilaian Tuhan terhadapmu, pandangan-Nya terhadapmu, dan keputusan yang Dia berikan kepadamu? Jika penilaian Tuhan terhadapmu adalah bahwa engkau tebal muka, mati terhadap rasa malu, dan tidak tahu malu, bahwa kemanusiaanmu tidak memiliki banyak hal, dan bahwa ada beberapa hal sangat penting yang tidak ada dalam dirimu, berarti engkau harus mulai memperbarui caramu dalam berperilaku—engkau harus bertobat dan berhenti membuat alasanmu sendiri. Sekalipun engkau memiliki ribuan alasan, satu fakta saja bahwa engkau tebal muka sudah cukup untuk menentukan bahwa ada masalah besar dengan kemanusiaan dan hati nuranimu. Diukur dari hal ini saja, masalahmu itu sangat serius. Jika engkau dapat memahami apa yang Kukatakan ini, engkau harus bertobat dan berhenti membuat alasanmu sendiri di dalam hatimu. Alasanmu itu berasal dari sikapmu yang terburu nafsu, dari emosi, dari Iblis—sekalipun engkau yakin bahwa alasanmu itu tidak salah, itu bukanlah kebenaran. Penilaian Tuhan terhadapmu tidak sepenuhnya didasarkan pada watak rusakmu. Sebelum mempertimbangkan watak rusakmu, Tuhan terlebih dahulu melihat kemanusiaanmu. Seperti apa kemanusiaanmu dan seperti apa sikapmu terhadap setiap hal ditentukan oleh karaktermu. Apa yang Tuhan amati pasti akurat, dan standar yang Dia gunakan untuk mengukurmu juga sesuai dengan kebenaran. Siapa pun yang Dia ukur, itu tidak pernah didasarkan pada penampilan luar mereka, tetapi pada apa yang sebenarnya mereka lakukan, pada hal yang mereka perlihatkan dan wujudkan dalam kehidupan sehari-hari, pada pemikiran, sudut pandang, dan sikap mereka ketika menangani setiap hal, serta sikap mereka terhadap hal-hal positif, terhadap kebenaran, dan terhadap Tuhan. Dengan cara apa pun Tuhan pada akhirnya mendefinisikan atau menilaimu, engkau tidak akan diperlakukan secara tidak adil. Penilaian itu tidak didasarkan pada perwujudan sementara atau pelanggaran sesekali yang kaulakukan; itu adalah penilaian yang didasarkan pada perwujudanmu secara keseluruhan. Oleh karena itu, penilaian Tuhan terhadap setiap orang adalah akurat dan objektif. Bukankah benar demikian? (Ya.) Perwujudan tebal muka ada kaitannya dengan karakter yang orang miliki. Tentu saja, hingga taraf tertentu, hal itu juga dapat meningkat ke tahap watak yang rusak. Karena orang-orang semacam itu memiliki aspek kemanusiaan ini, itu menuntun mereka untuk melakukan hal-hal tertentu, dan saat mereka melakukan hal-hal ini, mereka memperlihatkan watak rusak mereka. Watak rusak macam apa pun yang diperlihatkan, watak rusak yang diperlihatkan dan tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang tebal muka tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan mereka. Jadi, apakah watak rusak seseorang dapat berubah dan dibuang atau tidak, itu tergantung pada seperti apa karakter mereka. Jika karakter mereka jahat, jika mereka menentang kebenaran, jijik dan muak akan kebenaran, serta menolak untuk menerima kebenaran, maka watak rusak mereka akan sulit untuk dibuang, dan mereka tidak akan dapat memperoleh keselamatan. Namun, jika dilihat dari karakternya, mereka bukanlah orang jahat, dan mereka mampu memahami serta menerima kebenaran, tidak keras kepala, dan tidak memiliki masalah berupa karakter yang tercela, maka watak rusak mereka dapat dibuang. Semua orang memiliki watak yang rusak, tetapi hal apa yang menentukan apakah seseorang mampu membuang watak rusak mereka dan memperoleh keselamatan? (Itu tergantung pada seperti apa karakter yang mereka miliki.) Tepat sekali—itu tergantung pada apakah kemanusiaan yang orang miliki baik atau buruk.

Selanjutnya, mari kita bahas sikap yang cenderung curiga. Perwujudan mana dari yang baru kita bahas yang agak mirip dengan sikap yang cenderung curiga? (Sensitivitas.) Jenis masalah apakah sensitivitas itu? (Cacat dalam kemanusiaan.) Cenderung curiga itu satu tingkat lebih tinggi daripada sensitivitas; masalahnya lebih serius. Sensitivitas hanyalah tanda kemanusiaan yang agak tidak dewasa, seperti anak kecil, sedangkan cenderung curiga berkaitan dengan beberapa pemikiran dan sudut pandang tertentu—cenderung curiga adalah yang umumnya dikenal sebagai berpikir secara berlebihan, yang menunjukkan karakter yang buruk. Misalnya, seseorang meminta bantuan kepada orang yang cenderung curiga untuk membelikan barang seharga sepuluh yuan dan secara khusus menekankan, "Kau sama sekali tidak boleh membayar lebih dari sepuluh yuan. Jika terlalu mahal, jangan membelinya." Setelah mendengar perkataannya, orang itu merenung, "Apakah kau hanya sedang bersikap sopan? Kau sebenarnya menginginkan barang seharga seratus yuan tetapi kau terlalu malu untuk mengatakannya. Kalau begitu, aku akan membelikan yang seharga itu untukmu, untuk membuatmu senang dan membuatmu berpikir positif tentangku." Ternyata kemudian, setelah dia membelikannya, orang itu berkata, "Terlalu mahal. Aku hanya punya sepuluh yuan; aku tidak punya uang sebanyak itu." Jadi, dengan membeli barang seharga seratus yuan untuk orang itu, bukankah dia akhirnya membuat orang itu menderita kerugian? Namun, dia tidak dapat memahami orang lain itu dan malah memendam keraguan bahwa orang ini tidak ingin menghabiskan lebih banyak uang dan sedang berusaha memanfaatkan dirinya. Katakan kepada-Ku, bukankah orang yang cenderung curiga sangatlah menyusahkan? (Ya.) Dalam hal apa mereka menyusahkan? (Pemikiran mereka terlalu rumit.) Orang-orang dengan pemikiran yang terlalu rumit sulit untuk diajak bergaul. Katakan kepada-Ku, apakah orang dengan kepribadian yang berterus terang bersedia bergaul dengan orang-orang semacam itu? (Tidak.) Engkau tidak tahu apa yang mereka pikirkan di dalam hatinya atau ke mana arah pemikiran mereka, dan engkau tidak dapat mengetahui yang sebenarnya tentang niat mereka atau bagaimana mereka meragukanmu. Jadi, ketika engkau memercayakan sesuatu untuk mereka tangani, meskipun itu jelas merupakan hal kecil yang sangat sederhana, mereka akan membuatnya menjadi sangat rumit dan merepotkan. Karena selama prosesnya, mereka memperumit hal tersebut, bahkan engkau merasa lelah dan berpikir akan lebih baik untuk melakukannya sendiri. Engkau tidak ingin bergaul dengan orang-orang semacam itu dan hanya ingin menghindari mereka. Misalnya, katakanlah engkau memiliki sesuatu yang tidak lagi kaubutuhkan, dan membiarkannya begitu saja akan sia-sia, dan akan sangat disayangkan untuk membuangnya, jadi engkau memberikannya kepada seseorang yang semacam itu. Orang itu bukan saja tidak menghargainya, melainkan juga merasa di dalam hatinya: "Mengapa kau memberikan ini kepadaku? Pasti ada sesuatu di balik ini. Apakah kau sedang berusaha membuatku menganggapmu orang baik agar aku berutang budi kepadamu, atau apakah kau sedang berusaha memintaku melakukan sesuatu untukmu?" Engkau tidak pernah menyangka bahwa dia akan berpikir begitu banyak tentang hal yang sekecil itu, sehingga memberinya sesuatu yang sedikit itu dapat menimbulkan begitu banyak keraguan. Engkau harus mengatakan banyak hal untuk menghilangkan keraguannya. Bukankah ini sangat menyusahkan? Engkau mulai merasa jijik dengan orang ini dan setelah itu, jika engkau memiliki sesuatu yang bisa kauberikan, engkau lebih suka membuangnya daripada memberikannya kepada orang itu. Mengapa tidak memberikannya kepada orang itu? Bukan karena engkau kejam, tetapi karena engkau tidak ingin memicu munculnya masalah. Di masa lalu, seseorang baru saja menyewa sebuah tempat, dan tidak ada perlengkapan pembersih di dalamnya. Jadi, Aku membawakan beberapa barang pembersih dari rumah; beberapa botol bahan pembersih itu masih penuh, sementara yang lain setengah penuh. Orang yang menyewa tempat itu melihat barang-barang itu dan berkata: "Meskipun Engkau telah memberikan barang-barang ini kepadaku secara cuma-cuma, aku tidak akan berterima kasih kepada-Mu—barang-barang ini bekas. Jika barang-barang itu baru, apakah Engkau akan memberikannya kepadaku?" Bukankah perkataan ini menyakitkan? (Ya.) Mengapa menyakitkan? (Suatu niat yang baik telah diselewengkan olehnya dengan cara seperti ini.) Dia menganggap niat baik-Ku sebagai niat jahat. Aku tidak memintamu untuk berterima kasih kepada-Ku, juga tidak memintamu untuk membayar barang-barang itu. Itu hanya karena engkau menyewa tempat, dan tidak ada perlengkapan pembersih di sana, dan tidak nyaman bagimu untuk keluar dan membelinya. Aku hanya membawakanmu sebagian dari apa yang Aku miliki untuk membuat segalanya menjadi lebih mudah bagimu. Aku tidak berusaha untuk menjilatmu dengan membiarkanmu menggunakan barang-barang ini—Aku tidak berutang apa pun kepadamu, dan Aku juga tidak memintamu untuk berutang budi kepada-Ku. Dia menjadi curiga mengenai hal yang begitu sederhana: "Huh! Apa hebatnya ini? Engkau membawakanku beberapa barang dan sekarang Engkau mengira aku berutang budi kepada-Mu! Bagaimanapun, barang-barang yang Kaubawakan ini bukanlah barang bagus—bagaimana mungkin barang itu bagus jika Engkau memberikannya begitu saja?" Orang ini benar-benar sulit dihadapi. Aku tidak mengatakan bahwa ini adalah sejenis ramuan langka—itu hanyalah beberapa produk pembersih biasa. Jika engkau tidak ingin menggunakannya, engkau tidak perlu menggunakannya. Mengapa membuat semuanya menjadi begitu rumit? Aku menyadari bahwa orang ini sulit diajak bergaul dan sulit diajak berurusan. Bukankah akan lebih mudah jika Aku tidak membawa apa pun? Belum tentu. Tidak membawa apa pun juga mungkin akan menimbulkan masalah. Dia mungkin tetap akan berpikir, "Aku menyewa tempat ini, dan Engkau bahkan tidak membawakanku perlengkapan kebersihan. Kita seharusnya adalah saudara-saudari, tetapi Engkau sama sekali tidak menunjukkan kasih kepadaku!" Dia pasti tetap memiliki sesuatu untuk dikatakannya. Karakter orang-orang semacam itu sangat buruk. Mereka selalu menggunakan preferensi dan standar mereka sendiri untuk mengukur apakah orang lain itu baik atau jahat. Mereka terus-menerus meneliti dan mengukur orang lain dengan mata yang tajam, menganggap diri sendiri lebih unggul secara moral sementara semua orang lainnya memiliki sisi gelap, dan bahwa orang lain selalu memiliki motif mereka sendiri dengan cara apa pun mereka bertindak, sedangkan mereka sendiri tidak rusak dan sempurna.

Orang yang cenderung curiga memiliki karakter yang buruk. Karena karakter mereka buruk, mereka pasti akan bertindak di bawah dominasi karakter tersebut. Yang mereka perlihatkan akan berupa watak yang rusak, pasti bukan kemanusiaan yang normal. Jika bukan kemanusiaan yang normal, lalu apa tepatnya yang mereka perlihatkan? Ini berkaitan dengan watak yang rusak. Jika berkaitan dengan sikap yang cenderung curiga, watak rusak yang diperlihatkan oleh orang-orang semacam itu dalam bertindak dan berinteraksi dengan orang lain pastilah watak yang jahat dan watak yang licik. Pemikiran mereka memang serumit itu, memang sejahat dan seberbahaya itu. Karena mereka sendiri tidak mau melakukan upaya sekecil apa pun kecuali ada sesuatu yang menguntungkan mereka, mereka berasumsi bahwa semua orang sama saja. Sekalipun engkau bukan orang seperti itu, mereka tidak akan mempercayainya, dan sekalipun engkau mencoba menjelaskan, itu tidak akan membantu—memang seperti itulah cara mereka memandangmu. Mereka menggunakan cara yang jahat dan watak yang jahat untuk memandang segala sesuatu, segala hal, dan semua orang. Sekalipun apa yang kaulakukan itu adalah hal yang sudah semestinya, sesuai dengan kebutuhan kemanusiaan, sesuai dengan rasionalitas kemanusiaan, atau sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, mereka akan menaruh serangkaian tanda tanya di baliknya dan bertanya kepadamu, "Mengapa kau melakukan hal ini? Apa motifmu?" Engkau menjawab, "Aku tidak punya motif," tetapi mereka sama sekali tidak akan memercayainya—mereka bersikeras bahwa engkau memiliki motif tertentu dan memaksamu untuk mengakuinya. Bukankah orang-orang seperti itu menyusahkan? (Ya.) Sulit bagi orang yang cenderung curiga untuk bergaul dengan orang lain. Orang-orang semacam itu tentu saja tidak sederhana dan terbuka, dan tentu saja, mereka bukanlah orang yang jujur. Dalam karakter mereka, unsur-unsur kejujuran, kebaikan, dan rasionalitas pada dasarnya tidak ada. Jadi, apa saja komponen utama karakter mereka? Paranoia, kelicikan, kejahatan, tanpa kesederhanaan, dan ketidakjujuran. Mereka memandang semua orang dan semua masalah sebagai sesuatu yang sangat rumit. Sekalipun engkau berbicara jujur kepada mereka, mereka akan menganalisis dan merenungkan mengapa engkau mengatakannya. Sekalipun mereka telah berinteraksi denganmu untuk waktu yang lama dan tahu seperti apa karaktermu, mereka tetap akan sering bersikap curiga terhadapmu ketika bercakap-cakap denganmu, ketika menangani masalah, atau bergaul denganmu. Jadi, orang-orang semacam itu sangat menyusahkan. Berinteraksi dengan mereka menambah banyak beban dan formalitas, dan engkau juga harus mengumpulkan informasi dan memahami mereka dengan baik serta mengenal mereka—mengetahui hal-hal apa yang tidak mereka sukai, dan apa yang tidak senang mereka lakukan atau tidak senang untuk mereka bicarakan. Jika tidak, jika engkau tidak berhati-hati, engkau mungkin akan menyinggung mereka atau, dalam pandangan mereka, engkau sedang menyakiti mereka. Mereka memperlakukan orang dengan cara seperti ini, lalu bagaimana cara mereka memperlakukan Tuhan? (Mereka memperlakukan Tuhan dengan cara yang sama.) Akankah mereka memperlakukan Tuhan dengan tulus? (Tidak.) Misalnya, ketika gereja mengatur mereka untuk melaksanakan suatu tugas, mereka mulai berpikir, "Apakah Tuhan tahu bahwa aku sedang melaksanakan tugas ini? Apakah Dia akan mengingatnya? Seberapa besar upaya yang harus kulakukan agar tugas ini dapat dilaksanakan dan diingat di hadapan Tuhan?" Setelah melaksanakan tugas mereka selama beberapa waktu, mereka juga menyelidiki bagaimana para pemimpin dan pekerja memandang mereka dan apakah orang-orang itu memiliki penilaian negatif apa pun terhadap mereka. Kemanusiaan macam apa ini? Dinilai dari kemanusiaan yang diwujudkan melalui sikap mereka dalam menangani hal-hal, orang-orang semacam itu sangat menyusahkan, dan tidak mudah bagi mereka untuk menerima kebenaran. Mengapa demikian? Karena sulit bagi mereka untuk menjadi orang yang jujur; hati nurani mereka tidak memiliki rasa keadilan, nalar mereka tidak sehat, dan cara mereka menilai sesuatu tidak rasional. Mengapa Kukatakan itu tidak rasional? Karena mereka relatif ekstrem, cenderung terus mengarahkan pikiran mereka pada sesuatu, dan tercela—mereka tidak memandang segala sesuatu dengan cara berpikir kemanusiaan yang normal. Mereka tidak terbuka dan jujur, tetapi malah hidup dengan cara yang sangat gelap. Namun, mereka tidak pernah merasa bahwa mereka hidup dengan cara yang gelap dan bahkan berpikir bahwa mereka lebih pintar daripada orang lain, dan bahwa mereka hidup dengan lebih beradab dan memperhatikan detail dibandingkan orang lain. Mereka sangat mengagumi kepintaran mereka sendiri. Ini disebut menganggap diri sendiri pintar. Orang yang menganggap dirinya pintar sangat kurang dalam hal nalar kemanusiaan mereka, dan dalam hal rasa keadilan di dalam hati nurani mereka. Oleh karena itu, kemanusiaan orang-orang semacam itu buruk, dan orang lain tidak mau berhubungan dengan mereka. Siapa pun yang mengatakan sesuatu, orang-orang semacam itu akan mempermasalahkannya. Apa yang mereka tafsirkan semuanya adalah hal ekstrem yang menyimpang, yang berasal dari sikap yang terburu nafsu, dari Iblis, dan dari emosi—semua itu adalah hal-hal yang gelap dan negatif, hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran dan menentang kebenaran. Hal-hal ini sama sekali tidak dapat membimbing orang ke jalan yang benar. Jadi, orang-orang semacam ini sangat memuakkan dan menjijikkan. Mereka hidup di sudut-sudut gelap dan di dunia mereka sendiri. Mereka sangat narsis dan mengagumi diri sendiri, mengira bahwa mereka sedang menjalani kehidupan yang lebih indah, mulia, terhormat, dan bermartabat daripada orang lain—tak seorang pun boleh menyentuh mereka. Sebenarnya, karakter orang-orang semacam itu sangat rendah, dan mereka tidak memiliki martabat yang sejati. Yang dimaksud tidak memiliki martabat yang sejati adalah bahwa karakter mereka sangat buruk, karena yang muncul dari kemanusiaan mereka adalah semua hal yang gelap yang tidak dapat diungkapkan, bukan hal-hal yang lurus dan berterus terang. Oleh karena itu, orang-orang semacam itu sama sekali tidak bermartabat. Akibat apa yang kemungkinan besar akan ditimbulkan oleh orang-orang yang cenderung curiga? Secara sederhana, orang-orang semacam itu penuh dengan tipu daya yang licik. Cenderung curiga berarti bahwa orang-orang ini menyimpan banyak siasat licik. Lihatlah bagaimana raja-raja setan menindas dan menangkap umat pilihan Tuhan—mereka menyimpan begitu banyak siasat licik, yang pada akhirnya melukai orang sampai-sampai keluarga mereka hancur, membuat beberapa anggota keluarga meninggal, dan menjadi terpisah satu dengan lainnya. Seperti inilah perbuatan para setan dan raja-raja setan. Oleh karena itu, tak satu pun orang yang cenderung curiga adalah orang yang baik. Orang yang percaya kepada Tuhan seharusnya memandang orang dan hal-hal berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran, tidak boleh sembarangan bersikap curiga, dan harus ada bukti di balik apa yang mereka katakan. Pemikiran yang kaukembangkan ketika memandang seseorang atau suatu hal setidaknya harus positif dan menyenangkan bagi orang lain. Yang lebih baik lagi, pemikiran tersebut harus sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, membantu bagi orang lain, dan berpengaruh positif terhadap mereka. Namun, tak ada satu pun pemikiran dan sudut pandang yang dihasilkan oleh orang yang cenderung curiga yang sesuai dengan kebenaran; setidaknya, semua itu bukanlah hal yang positif—yang berarti, perspektif orang-orang semacam itu dalam memandang masalah atau pemikiran dan ide-ide yang mereka hasilkan sama sekali tidak sesuai dengan kebenaran. Oleh karena itu, orang-orang semacam ini hidup di sudut-sudut gelap dan sama sekali tidak berintegritas atau tidak bermartabat. Hal-hal yang muncul dari pemikiran mereka semuanya gelap dan jahat—hal-hal ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran dan tidak akan berpengaruh positif bagi orang-orang atau bagi kehidupan mereka. Jika engkau menerima berbagai pemikiran dan sudut pandang yang muncul dari kecurigaan orang-orang semacam itu, engkau akan teracuni dan terseret olehnya—ini sama saja dengan dirusak oleh Iblis. Namun, jika engkau mampu mengidentifikasi orang-orang semacam itu dan memperlakukan mereka sebagai contoh negatif, engkau dapat mengalami beberapa kemajuan dan engkau akan memperoleh kemampuan untuk memahami hal-hal negatif. Ini mengakhiri pembahasan kita tentang sikap yang cenderung curiga.

Selanjutnya, mari kita membahas tentang ketidakcakapan. Semua orang mengerti apa yang dimaksud dengan ketidakcakapan—itu berarti ketidakmampuan untuk menangani apa pun dengan baik, tampak tidak berdaya, sama seperti ketika orang sering berkata: "Mengapa kau begitu tidak cakap? Kau benar-benar tidak punya prospek!" Apakah ketidakcakapan adalah hal yang baik? (Tidak.) Kalau begitu, mari kita menggolongkannya—tergolong apakah ketidakcakapan? (Itu adalah cacat dalam kemanusiaan.) Ketidakcakapan jelas merupakan cacat dalam kemanusiaan. Ketidakcakapan berarti orang memiliki kecerdasan yang sangat rendah dalam menangani berbagai hal dan kemampuan bertahan hidup yang buruk—inilah arti ketidakcakapan. Ada orang-orang yang berbicara dengan canggung, tidak mampu mengekspresikan diri; ada juga yang berkepribadian pemalu dan tertutup—ketika harus berbicara di depan banyak orang atau menjadi pusat perhatian, mereka mengalami demam panggung, merasa malu, dan tidak berani berbicara, serta sering ditindas oleh orang lain. Ada orang-orang jahat yang yakin bahwa menindas orang-orang semacam itu adalah hal yang dapat dibenarkan, dan bahwa itu sangat menyenangkan dan mengasyikkan—mereka mengolok-olok dan mengejek orang-orang semacam itu setiap hari. Orang yang tidak cakap memiliki kemampuan yang buruk dalam menangani berbagai hal. Mungkin sebagian dari mereka juga memiliki kemampuan bertahan hidup yang buruk, tidak mampu menghasilkan uang, dan selalu sangat penakut serta terlalu berhati-hati saat berada di sekitar orang lain. Ketika bertemu dengan orang-orang yang tangguh, mereka menghindari orang-orang itu dan tidak berani berbicara. Bahkan ketika mereka ditindas, mereka tidak berani menentang, karena takut menyinggung orang lain. Dinilai dari perwujudan ketidakcakapan dalam kemanusiaan orang-orang semacam ini, ini hanyalah semacam cacat dalam kemanusiaan. Ketidakcakapan siapa pun tidak pernah menyebabkan mereka mengembangkan pemikiran dan sudut pandang yang keliru atau membawa dampak buruk apa pun pada diri mereka sendiri atau orang lain; oleh karena itu, ketidakcakapan hanyalah cacat dalam kemanusiaan. Adakah orang yang ingin menjadi orang yang tidak cakap? (Tidak ada.) Tak seorang pun ingin menjadi orang yang tidak cakap—mengapa demikian? Orang yang tidak cakap itu ditindas, dan semua orang memandang rendah mereka, bukan? (Ya.) Jika engkau diminta untuk memilih antara menjadi orang jahat atau orang yang tidak cakap, engkau pasti akan memilih menjadi orang jahat daripada menjadi orang yang tidak cakap. Engkau akan berpikir: "Aku tidak akan pernah menjadi orang yang tidak cakap! Di tengah masyarakat ini, orang yang tidak cakap diperlakukan dengan buruk dan ditindas, mereka tidak populer; di mana pun mereka berada, mereka dipandang rendah dan diinjak-injak oleh orang lain. Mereka tidak saja merasa kehadiran mereka tidak penting, tetapi bahkan hak mereka untuk bertahan hidup pun dapat dirampas. Sedangkan menjadi orang jahat itu berbeda—di mana pun orang jahat berada, orang lain takut kepada mereka dan memperlakukan mereka dengan sangat hormat. Tak seorang pun berani memancing kemarahan mereka. Di mana pun mereka berada, mereka menikmati hak istimewa dan bahkan dapat menindas orang lain. Orang jahat berkembang di mana pun mereka berada di dunia ini." Jika engkau semua diminta untuk memilih sekarang, tak seorang pun di antaramu akan memilih menjadi orang yang tidak cakap—engkau semua akan memilih menjadi orang jahat. Apakah sudut pandang ini benar? (Tidak.) Mengapa tidak benar? Prinsip kebenaran manakah yang bertentangan dengannya? Ketidakcakapan adalah cacat dalam kemanusiaan. Perwujudan yang paling umum adalah tidak mampu menangani apa pun dengan baik, didiskriminasi dan dikucilkan. Karena orang yang tidak cakap ditindas, dan diinjak-injak di tengah masyarakat, tak seorang pun mau menjadi orang yang tidak cakap. Semua orang merasa iri kepada mereka yang mampu dan terampil, dan mereka semua bahkan ingin lebih menonjol dari yang lain agar memperoleh kuasa dan pengaruh, bisa menindas orang lain, memiliki hak istimewa dan prestise di kelompok mana pun, agar mereka bukan saja tidak ditindas oleh orang lain melainkan juga dapat menindas orang lain sekehendak hati mereka. Apakah pemikiran dan sudut pandang seperti ini benar? Apakah ini sesuai dengan kebenaran? (Tidak.) Engkau semua telah mendengarkan begitu banyak kebenaran, tetapi bahkan sekarang pun engkau masih bersetuju dengan orang jahat—ini berarti watakmu juga cukup jahat. Siapa pun yang kautemui yang adalah orang jahat, engkau merasa iri dan mengagumi mereka. Engkau tahu betul di dalam hatimu bahwa orang jahat itu jahat, tetapi engkau merasa bahwa engkau harus mengikuti mereka, merasa bahwa melakukan hal itu memberimu sarana pendukung dan mencegah agar dirimu tidak ditindas. Ketika bertemu orang-orang yang tidak cakap, engkau merasa jijik dengan mereka dan memandang rendah mereka, bahkan ingin menginjak-injak mereka. Namun, pernahkah engkau mempertimbangkan seberapa banyak kejahatan yang akan kaulakukan dan seberapa besar balasan yang akan kauterima jika engkau mengikuti orang-orang jahat? Seberapa besar peluangmu untuk menerima keselamatan jika engkau mengikuti orang-orang jahat? Dapatkah engkau menghindarkan dirimu melakukan kejahatan jika engkau mengikuti orang-orang jahat? Anggaplah engkau mengikuti orang jahat, melayani mereka dengan setia dan bertindak sebagai bawahan mereka. Mereka mungkin berbagi sepotong kue denganmu, dan engkau mungkin dapat mengikuti mereka untuk menindas orang lain serta menikmati makanan dan minuman terbaik, mengalami kenikmatan yang luar biasa, terhindar dari penindasan, dan memperoleh status di antara orang lain dalam hidup ini. Namun, engkau harus melakukan banyak kejahatan untuk dapat menikmati semua ini! Tahukah engkau berapa banyak pembalasan dan betapa beratnya hukuman yang akan kauterima? Apakah ini jalan yang benar? (Tidak.) Jadi, apakah engkau semua masih rela berkorban dengan memilih untuk melakukan kejahatan dan menerima hukuman hanya agar engkau tidak menjadi orang yang tidak cakap dan menghindarkan dirimu ditindas—mengorbankan tempat tujuan dan takdirmu demi kesenangan dalam hidup ini? Inikah pemikiran dan sudut pandangmu? Ada orang yang benar-benar memiliki sudut pandang seperti ini—mereka lebih suka memilih menjadi orang jahat daripada menjadi orang yang tidak cakap dan ditindas. Bukankah ini berarti ingin menempuh jalan orang jahat? Ketidakcakapan hanyalah cacat dalam kemanusiaan—apa salahnya dengan hal itu? Apakah menindas orang lain dan melakukan kejahatan benar-benar pilihan yang lebih baik? Jika Tuhan tidak membiarkanmu kelaparan dan menyediakan makanan untukmu, mungkinkah engkau benar-benar akan mati kelaparan? Jika Tuhan mengizinkanmu hidup dengan memiliki sukacita, kebebasan, kebahagiaan, kegembiraan, dan kedamaian, engkau tidak akan kekurangan semua hal ini. Memangnya kenapa jika orang lain menindasmu? Tak seorang pun dapat mengambil semua ini darimu—apa yang Tuhan anugerahkan kepadamu, tak seorang pun dapat mengambilnya. Jika engkau mengikuti orang jahat dan menempuh jalan orang jahat, kesenangan yang kaunikmati semuanya akan menjadi kesenangan yang berdosa. Selain itu, semua uang atau kesenangan materi yang kauperoleh dengan melakukan kejahatan akan diperoleh dengan merampasnya secara paksa, kesenangan yang kaualami dalam hidup ini akan melebihi apa yang telah Tuhan berikan kepadamu, sehingga engkau harus membayarnya kembali dengan banyak kehidupan di masa mendatang. Memperoleh kesenangan daging dalam hidup ini dengan menerima hukuman sebagai akibatnya—bukankah ini berarti tidak menempuh jalan yang benar? Engkau semua lebih suka memilih menjadi orang jahat daripada ditindas—ini mencerminkan persepsi dan penghargaanmu terhadap kejahatan di lubuk hatimu. Jadi, apa salahnya menjadi orang yang tidak cakap? Dilihat dari perspektif kemanusiaan, itu adalah sejenis cacat, tetapi itu juga merupakan kondisi bawaan, yang merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah oleh manusia. Orang yang tidak cakap menjadi tidak cakap bukan karena pilihan mereka sendiri. Meskipun itu adalah cacat, itu bukanlah watak yang rusak, itu bukanlah masalah dengan karakter yang orang miliki. Jadi, apa salahnya tentang hal itu? Jika, karena ketidakcakapan dan statusmu yang rendah, engkau sering ditindas dan dapat memahami secara mendalam ketidakadilan dan kejahatan dunia ini serta kegelapan masyarakat ini, dan sebagai hasilnya engkau sungguh-sungguh datang di hadapan Tuhan untuk menerima kedaulatan Tuhan, dan bersedia tunduk pada kekuasaan dan pengaturan Tuhan, membiarkan Tuhan mengendalikan nasibmu—maka bukankah ketidakcakapan ini merupakan bentuk perlindungan bagimu? Ketidakcakapan bukanlah hal yang negatif; itu hanyalah sejenis cacat dalam kemanusiaan. Apa artinya cacat? Itu artinya kekurangan, masalah kecil, sebuah cela—itu hanyalah sesuatu yang tidak sempurna, agak kurang, tidak sepenuhnya sesuai dengan keinginan seseorang, atau tidak ideal, tetapi itu tidak menunjukkan karakter yang buruk atau tercela. Jadi, mengapa engkau semua tidak dapat menoleransi cacat kecil ini? Terlebih lagi, cacat kecil ini dapat membawa manfaat yang besar bagi jalan masuk kehidupanmu. Atau dapat dikatakan bahwa karena memiliki cacat dalam kemanusiaan ini, kondisi bawaan ini, ada orang-orang yang menjadi lebih mampu mengikuti Tuhan dengan sepenuh hati sampai akhir. Pada akhirnya, karena mereka mampu menerima kebenaran, tunduk kepada Tuhan, dan memiliki hati yang takut akan Tuhan, mereka mampu membuang watak rusak mereka dan menerima keselamatan. Dari perspektif ini, itu adalah suatu berkat—orang tidak seharusnya menolak untuk menjadi tidak cakap. Apa salahnya menjadi orang yang tidak cakap? Watak rusak yang orang miliki tidak akan memburuk karena ketidakcakapan. Tuhan tidak akan memandang rendah seseorang atau menolak untuk menyelamatkan mereka karena mereka tidak cakap, dan ketidakcakapan juga tidak akan memengaruhi mereka dalam menerima kebenaran atau diselamatkan. Jadi, pemikiran dan sudut pandang engkau semua harus berubah—itu masih cukup jauh dari yang seharusnya. Ada orang-orang yang berkata, "Aku lebih suka menjadi orang jahat daripada menjadi orang yang tidak cakap. Orang yang tidak cakap tidak memiliki prospek, mereka dipandang rendah oleh semua orang, dan bahkan mereka memandang rendah diri mereka sendiri. Menjadi orang yang tidak cakap itu tidak ada gunanya; menjadi orang jahat itu luar biasa—engkau dapat melakukan apa pun yang kauinginkan, menindas siapa pun yang terlihat mudah untuk ditindas, dan tak seorang pun berani menentang. Betapa gemerlapnya hidup dengan cara seperti itu!" Apa manfaatnya hidup gemerlap? Jika engkau makmur dan hidup dengan gemerlap di dunia, prospek dan tempat tujuanmu akan hancur. Engkau tidak akan dapat lagi datang ke hadapan Tuhan, dan engkau tidak akan lagi merasa melekat kepada Tuhan; Tuhan tidak akan lagi menarik bagimu, dan lingkungan hidup serta lingkungan kerja di rumah Tuhan tidak akan lagi menarik bagimu. Engkau akan meninggalkan Tuhan dan mencari lingkungan hidup di mana engkau dapat menunjukkan kelebihanmu dan mewujudkan nilai dirimu. Rumah Tuhan mengekang perbuatan jahat orang, dan tidak ada orang jahat yang bisa berhasil atau tetap teguh di rumah Tuhan. Jika engkau menyukai orang jahat dan ingin menjadi salah satunya, dapatkah engkau tetap berada di rumah Tuhan? Cepat atau lambat, engkau akan dikeluarkan. Engkau tidak saja akan gagal memperoleh tempat tujuan yang baik, tetapi setelah kematianmu, engkau juga akan menerima hukuman atas kejahatan yang kaulakukan. Oleh karena itu, meskipun ketidakcakapan merupakan cacat dalam kemanusiaan, itu bukanlah watak yang rusak, juga bukan berarti bahwa kemanusiaan orang itu jahat. Siapa yang tidak memiliki beberapa kekurangan? Ketidakcakapan itu sama seperti orang yang terlahir gagap atau orang yang terlahir agak jelek—semua ini adalah cacat bawaan. Manusia memiliki warna kulit yang berbeda—ada orang yang terlahir berkulit putih, ada yang terlahir berkulit kuning, dan ada yang terlahir berkulit hitam. Ini adalah kondisi bawaan. Orang berkulit kuning mungkin terlihat kurang sehat, dengan warna kulit yang agak pucat—ini adalah cacat kecil. Orang berkulit hitam terlihat lebih kuat, tetapi tak seorang pun ingin berkulit hitam. Orang berkulit putih umumnya membuat iri, tetapi bahkan di antara mereka, ada yang merasa bahwa terlalu pucat itu tidak baik, sehingga mereka senang mencokelatkan kulit mereka menjadi berwarna kecokelatan, yakin bahwa itu membuat mereka terlihat sehat dan membuat kulit mereka bersinar. Engkau melihat bahwa ketidakcakapan, sama halnya dengan berbagai kondisi bawaan manusia—itu hanyalah semacam cacat. Jadi, apakah itu masalah besar? (Tidak.) Oleh karena itu, meskipun masalah ini merupakan cacat dalam kemanusiaan, ini tidak memengaruhi penerimaanmu terhadap kebenaran atau pemahamanmu mengenai kebenaran. Jadi, apakah engkau semua masih menentang untuk menjadi orang yang tidak cakap? (Tidak lagi.) Apakah engkau masih akan menindas orang yang tidak cakap ketika bertemu mereka? (Tidak.) Dahulu engkau cukup sering menindas mereka, bukan? Sekarang, ketika engkau bertemu orang yang tidak cakap, apakah engkau masih akan memandang rendah dan meremehkan mereka? (Tidak.) Jika engkau sendiri adalah orang yang tidak cakap, engkau, terlebih lagi, tidak boleh memandang rendah dirimu sendiri. Jika engkau tidak cakap, biarlah begitu—berlatihlah untuk menjadi orang yang jujur berdasarkan firman Tuhan. Meskipun engkau mungkin tidak cakap, engkau harus jujur dan tidak licik, dan Tuhan menyukai orang yang seperti ini. Apa yang Tuhan sukai? Bukan ketidakcakapanmu. Namun, justru karena ketidakcakapanmu, engkau bersedia menjadi orang yang jujur; justru karena engkau dipandang rendah dan tidak disukai orang, engkau memikirkan cara untuk menjadi orang yang jujur agar menyenangkan dan memuaskan Tuhan, serta melakukan apa pun yang Tuhan firmankan. Dengan demikian, ketidakcakapanmu itu menjadi suatu keuntungan, bukan? (Ya.) Apakah sudut pandangmu sudah berubah sekarang? (Ya.) Tentu saja, tidak semua orang yang tidak cakap pasti mampu menerima kebenaran. Ada orang-orang yang selain memiliki cacat ketidakcakapan dalam kemanusiaan mereka, juga memiliki masalah dengan karakter mereka. Hal ini tidak dapat digeneralisasi. Ketidakcakapan itu sendiri bukanlah masalah besar, tetapi engkau juga harus melihat seperti apa karakter orang tersebut. Jika orang licik atau memiliki karakter yang tercela—jika mereka tebal muka, cenderung curiga, sensitif, keras kepala, atau bahkan memiliki watak yang kejam—berarti orang tersebut bukanlah orang yang baik. Jadi, orang yang tidak cakap belum tentu orang yang berkarakter baik. Baiklah, sekian pembahasan kita tentang ketidakcakapan.

Perwujudan berikutnya adalah kebaikan hati. Perwujudan ini merupakan kelebihan dalam kemanusiaan. Setelah kita membahas begitu banyak, akhirnya kita sampai pada kelebihan dalam kemanusiaan; sesungguhnya tidak terdapat banyak kelebihan di dalam kemanusiaan. Kebaikan hati adalah sejenis kelebihan dalam kemanusiaan. Karena ini adalah kelebihan, kita harus membicarakannya secara terperinci karena kebanyakan orang tidak memiliki perwujudan kelebihan dalam kemanusiaan yang sedikit ini yang dapat ditemukan dalam diri manusia. Jadi, mari kita memperhatikannya; terletak di manakah kelebihan berupa kebaikan hati ini? (Kebaikan hati berarti bahwa seseorang itu relatif tulus. Ketika mereka menangani sesuatu, orang lain merasa relatif tenang. Mereka terbeban untuk menangani tugas yang dipercayakan kepada mereka dengan baik.) (Orang baik hati yang memiliki perilaku moral yang relatif baik, akan mempertimbangkan orang lain dan memikirkan orang lain.) Memikirkan orang lain—ini adalah sikap yang mulia! Orang-orang semacam itu mulia, tetapi apakah kebaikan hati sebegitu mulianya? (Tidak.) Kebaikan hati hanya berarti bahwa pemikiran yang orang miliki tidak begitu rumit; mereka relatif sederhana, tidak suka berkhianat; mereka murah hati dan tidak kasar terhadap orang lain, serta tidak menghitung untung rugi pribadi ketika bergaul dengan orang lain. Ketika seseorang menghina mereka, mereka merasa kesal untuk sementara waktu, tetapi kemudian mereka berpikir, "Lupakan saja," lalu mereka melupakannya. Ketika seseorang berutang kepada mereka untuk waktu yang lama tanpa membayar utang tersebut, mereka merenungkan: "Akan memalukan untuk mendesaknya membayar. Selain itu, dia sedang mengalami kesulitan, dan pada saat itu, kondisi keuanganku lebih baik daripadanya. Aku meminjamkannya uang, dan hanya itu. Aku akan menganggapnya sebagai bantuan kepada orang miskin." Engkau melihat bahwa pemikiran mereka relatif murah hati dan toleran. Misalnya, ketika orang lain salah paham terhadap mereka, mereka tidak keberatan dan tidak membela diri. Ketika orang lain menghakimi dan menyebut mereka bodoh, mereka tidak peduli. Ketika melaksanakan tugas, mereka tidak merasa itu melelahkan, dan mereka melakukan hal-hal yang orang lain tidak bersedia melakukannya. Seseorang mengejek mereka dengan berkata, "Semua orang sedang beristirahat, jadi mengapa kau masih bekerja?" Mereka menjawab, "Apa salahnya bekerja sedikit lebih banyak? Itu tidak melelahkanku. Apakah bekerja benar-benar dapat melelahkan seseorang? Jika orang lain tidak melakukannya, biarkan saja mereka. Karena aku bisa melakukannya, aku akan bekerja sedikit lebih banyak." Mereka tidak meributkan hal-hal semacam itu dan mengambil tindakan untuk melakukan pekerjaan itu. Mereka tidak terlalu mempermasalahkan untung rugi, dan mereka juga tidak terlalu mempermasalahkan reputasi atau status. Bahkan ketika mereka sendiri menderita kerugian, mereka tidak menyebutkannya. Ketika orang lain menghadapi kesulitan, mereka berinisiatif untuk membantu. Bantuan mereka tidak mengandung niat dan tujuan mereka sendiri, dan jika orang lain ingin membalas kebaikan mereka, mereka merasa bahwa membantu sedikit bukanlah hal yang besar dan merupakan sesuatu yang seharusnya mereka lakukan. Sekalipun orang lain tidak menghargai bantuan mereka setelah mereka memberikannya, mereka tidak mempermasalahkan hal-hal semacam itu. Ketika tiba saatnya untuk membantu orang lain, mereka akan tetap membantu. Ada banyakkah orang yang semacam itu? (Tidak banyak.) Tidak banyak orang yang semacam itu. Meskipun mereka baik hati, mereka memiliki batasan tertentu dalam cara mereka berperilaku. Sebagai contoh, ada seseorang yang selalu ingin memanfaatkan orang semacam itu, menganggapnya orang bodoh. Setelah memanfaatkan, orang itu mengucapkan perkataan yang menyenangkan untuk membujuknya, dan tak lama kemudian, orang itu kembali memanfaatkannya. Ketika orang yang baik hati melihat bahwa ini tidak akan ada habisnya, dia tidak meributkannya, tidak bertengkar, atau tidak berselisih dengan orang itu. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa orang semacam itu tidak baik dan tidak cocok untuk diajak bergaul, jadi sejak saat itu dia mengabaikan orang itu. Namun, dia tidak menghakimi orang itu di belakangnya. Paling-paling, ketika seseorang bertanya tentang orang itu, dia akan berkata, "Orang itu hanya suka sedikit memanfaatkan." Dia tidak melebih-lebihkan, juga tidak menghakimi orang dengan sikap yang terburu nafsu; dia hanya berbicara tentang masalah yang ada. Kemanusiaan orang yang baik hati seperti itu benar-benar sangat bagus. Kelebihan mereka adalah mereka tidak terlalu banyak meributkan segala sesuatunya. Apa pun yang mereka lakukan, mereka tidak bertindak berdasarkan sikap yang terburu nafsu, berdasarkan emosi, atau perasaan; mereka hanya melakukan apa yang seharusnya orang lakukan dan memenuhi tanggung jawab yang seharusnya orang penuhi. Dalam lingkup hubungan antarpribadi yang normal, mereka melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan; apa pun yang dapat mereka lakukan, mereka berusaha sebaik mungkin untuk melakukannya, berusaha membantu orang lain, dan mereka melakukannya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Beberapa dari mereka bahkan tidak mencari imbalan apa pun, berpikir, "Aku hanya membantu. Kau tidak perlu merasa berutang banyak kepadaku, juga tidak perlu merasa tidak akan pernah bisa membayarku hanya karena kau berutang sedikit kepadaku, selalu bersikap seperti budak dan terlalu bersikap hormat di depanku. Itu tidak perlu." Orang-orang semacam itu memiliki kemanusiaan yang terbaik di antara manusia. Mereka tidak berkhianat, juga tidak kasar terhadap orang lain. Mereka peduli dan penuh perhatian, serta ada sisi baik dalam kemanusiaan mereka. Mereka melakukan apa pun yang mampu mereka lakukan, tidak terlalu mempermasalahkan untung rugi pribadi, dan tidak terlalu mempermasalahkan imbalan. Ini adalah kelebihan dalam kemanusiaan. Lihatlah sekelilingmu dan lihat siapa yang memiliki kelebihan seperti itu. Jika orang memiliki karakter semacam itu, mereka dapat dianggap sebagai orang baik, orang yang sopan, di antara manusia yang rusak. Mereka tidak mempermasalahkan berbagai hal, tidak berkhianat, tidak kasar terhadap orang lain, dan membantu orang lain tanpa mencari keuntungan. Mereka sangat toleran terhadap orang lain dan sangat murah hati dalam cara mereka berperilaku. Apa artinya sangat murah hati? Itu berarti tidak mempermasalahkan hal-hal sepele tanpa henti, dan tidak menyimpan dendam ketika orang lain memanfaatkan mereka. Inilah yang disebut murah hati, dan ini adalah kelebihan utama dalam kemanusiaan. Kebaikan hati adalah juga kelebihan, dan murah hati juga adalah kelebihan. Tidak seperti orang-orang yang picik, yang cenderung curiga, sensitif, dan keras kepala—orang-orang ini meributkan hal-hal sepele tanpa henti, mudah marah, meluapkan kemarahan, memasang ekspresi wajah dingin yang menakutkan, mengabaikan siapa pun yang berbicara kepada mereka, dan tidak memikirkan apa pun selain cara membalas dendam kepada orang lain. Manusia normal tidak seharusnya memiliki satu pun dari hal-hal ini. Orang yang baik hati tidak memiliki hal-hal rumit tersebut dalam pemikiran mereka, dan mereka juga tidak memiliki pemikiran yang penuh curiga tentang orang lain. Segala sesuatu dalam hati mereka adalah apa yang seharusnya dimiliki oleh orang normal; semua itu terutama sesuai dengan hati nurani dan nalar kemanusiaan, serta sesuai dengan standar rasa keadilan dan kebaikan dalam kemanusiaan. Ketika engkau bergaul dengan mereka, engkau merasa sangat santai dan merasa bahwa segala sesuatunya sangat sederhana—tidak ada begitu banyak hal yang menyusahkan, dan engkau tidak perlu bersikap waspada terhadap apa pun. Engkau tidak perlu berspekulasi tentang pemikiran mereka atau bermain tebak-tebakan. Sekalipun engkau secara tidak sengaja menyakiti hati mereka, engkau tidak perlu khawatir tentang konsekuensi apa pun—tentu saja, engkau juga tidak perlu menanggung konsekuensi apa pun. Mungkin saja ketika engkau marah, engkau bersikap terburu nafsu dan meneriaki mereka dengan kata-kata kasar, dan pada saat itu, mereka juga bertengkar dan berdebat denganmu, tetapi setelah perdebatan itu, mereka tidak menyimpan dendam, juga tidak akan bersiasat licik atau membalas dendam terhadapmu. Engkau tidak perlu khawatir bahwa jika mereka memperoleh status, mereka akan mempersulit dirimu atau mencari-cari kesalahanmu, dan engkau juga tidak perlu khawatir mereka akan menargetkanmu tanpa alasan. Mereka tidak memiliki hal-hal seperti itu dalam diri mereka—mereka benar-benar sesederhana ini. Mereka sama sekali tidak akan menyimpan dendam terhadapmu sejak saat itu. Setelah masalahnya selesai, itu benar-benar selesai. Setelah itu, ketika mereka berbicara kepadamu, mereka tetap memperlakukanmu secara normal. Sekalipun mereka marah pada saat itu dan bertengkar denganmu, mereka tidak menyimpan dendam terhadapmu setelahnya. Mereka tahu bahwa engkau hanya mengucapkan beberapa perkataan marah, dan mereka bisa mengerti: "Siapa yang tidak mengucapkan kata-kata kasar saat mereka marah? Itu tidak disengaja. Selain itu, setiap orang memiliki watak yang rusak, setiap orang mengalami saat-saat ketika mereka berada dalam suasana hati yang buruk, dan setiap orang memiliki sikap terburu nafsu. Setelahnya, asalkan semua orang menenangkan diri, mengakui kesalahan mereka, serta merenungkan fakta bahwa mereka memperlihatkan watak yang rusak dan tidak bertindak berdasarkan prinsip, itu tidak apa-apa." Mereka akan memaafkanmu, tidak seperti orang jahat, yang akan memburumu tanpa henti dan tidak akan berhenti sampai mereka menghancurkanmu. Orang yang baik hati umumnya tidak memiliki hati untuk membalas dendam. Jika engkau melakukan sesuatu yang menyinggung mereka, terkadang mereka mungkin akan membencimu, tetapi mereka sama sekali tidak akan melanggar moralitas kemanusiaan dan menggunakan cara-cara yang hina untuk menyiksamu. Meskipun mereka memiliki watak yang rusak dan mungkin mengatakan atau melakukan beberapa hal berdasarkan watak rusak tersebut—seperti menyebutkan kesalahan yang pernah kaulakukan di masa lalu atau memangkasmu—mereka tidak akan mengarang sesuatu tanpa dasar atau menggunakan kuasa yang mereka miliki untuk menyerang atau membalas dendam kepadamu. Sekalipun mereka ingin menyerang atau membalas dendam kepadamu dan mereka memiliki watak rusak semacam ini, tetapi karena kemanusiaan mereka memiliki kelebihan berupa kebaikan hati, saat mereka ingin membalas dendam, mereka akan mengendalikan diri, dan akan dapat menjaga hal-hal dalam batasan yang tepat. Jika manusia rusak yang memiliki kuasa masih dapat mencapai tingkat ini, itu sudah cukup terpuji. Kebanyakan orang, jika mereka tidak memiliki kelebihan ini, mereka tidak akan dapat mencapai tingkat pengendalian diri ini dan tidak akan dapat menahan diri untuk tidak menyerang dan membalas dendam kepada orang lain.

Perwujudan atau pengungkapan kebaikan hati merupakan suatu kelebihan dalam kemanusiaan. Kelebihan dalam kemanusiaan ini akan secara signifikan mengendalikan atau mendorong orang, memungkinkan mereka untuk memperoleh tingkat pengendalian dan pengekangan tertentu ketika memperlihatkan watak rusak mereka. Jika orang yang baik hati tersebut adalah orang yang memiliki pemahaman rohani, yang mampu memahami kebenaran dan menerima kebenaran, maka kelebihan dalam kemanusiaan mereka ini dapat memungkinkan mereka untuk menaati prinsip-prinsip kebenaran dengan lebih ketat ketika memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, bukankah demikian? (Ya.) Sebaliknya, orang yang licik jauh lebih curang dan berbeda dengan orang yang baik hati. Setelah melakukan sesuatu yang buruk, mereka bukan saja tidak merenungkan diri sendiri, melainkan mereka juga bahkan mengintensifkan kesalahan mereka dan terus melakukannya sampai akhir. Ini mengubah diri mereka menjadi setan, yang sepenuhnya bertentangan dengan prinsip yang berdasarkannya orang yang baik hati bertindak. Misalnya, jika seseorang adalah orang yang baik hati dan memiliki kelebihan ini dalam kemanusiaannya, maka ketika bertengkar denganmu, dia akan berbicara berdasarkan fakta. Dia tidak akan membesar-besarkan, mengarang hal-hal negatif tentangmu tanpa dasar, atau mencemarkan nama baikmu dan menghina integritasmu karena dia marah kepadamu. Dia sama sekali tidak akan melakukan hal-hal semacam itu. Ketika bertengkar denganmu, dia mungkin memperlihatkan watak yang congkak atau kejam, tetapi perkataan yang dia ucapkan benar-benar dikendalikan oleh hati nurani, nalar, dan kemanusiaannya yang baik hati. Dengan demikian, pada tingkat tertentu, tingkat kerugian yang ditimpakannya kepadamu menjadi berkurang. Sebaliknya, orang-orang jahat tidak memiliki aspek baik hati dalam kemanusiaan mereka. Bagaimana orang jahat bertengkar? "Kau perempuan jalang, pelacur! Aku menghina delapan generasi leluhurmu dan mengutuk delapan generasi leluhurmu!" Mereka akan mengatakan segala macam hal yang kasar dan kejam. Seperti inilah orang jahat itu—karakter mereka tercela. Ada orang-orang berkarakter tercela yang menghina orang lain dengan tidak berdasarkan fakta. Mengapa mereka menghina dengan tidak berdasarkan fakta? Karena mereka tidak memiliki hati nurani dan tidak memenuhi standar hati nurani. Ketika mereka menghina orang lain, mereka tidak dibatasi oleh hati nurani mereka. Mereka melontarkan makian secara sembarangan, mengucapkan hinaan apa pun yang terlintas di benak mereka. Perkataan apa pun yang dapat melampiaskan kebencian mereka, yang sangat melukai hatimu, dan yang membuatmu sangat marah—itulah perkataan yang akan mereka ucapkan. Hinaan mereka bisa saja membuatmu marah besar. Di dalam hatinya, orang-orang semacam itu tidak memiliki kebaikan dan penuh dengan kekejaman. Yang terutama diperlihatkan oleh orang jahat adalah kecongkakan dan kekejaman, kedua jenis watak ini. Pada esensinya, perkataan yang mereka lontarkan mengandung kutukan, dipenuhi dengan kekejaman Iblis, dan memiliki daya rusak yang cukup; mereka bahkan dapat melontarkan kata-kata kutukan yang paling kejam. Jika engkau memiliki kemanusiaan atau jika kemanusiaanmu baik hati, engkau tidak dapat mengucapkan hinaan seperti itu; terlebih lagi, engkau tidak dapat mengarang sesuatu tanpa dasar. Ini karena engkau memiliki perasaan hati nurani dan rasionalitas, serta aspek sifat yang baik dan aspek baik hati dalam hati nuranimu sangat menahan dan mengendalikanmu, sehingga mustahil bagimu untuk mengucapkan hinaan seperti itu. Ketika seseorang menghinamu, engkau merasa marah dan ingin menghina delapan generasi dari leluhur mereka dan mengutuk mereka, mengatakan bahwa mereka seharusnya masuk neraka, tetapi engkau merenungkan: "Apa yang membuatku berhak untuk mengutuk mereka? Aku bukan Tuhan, dan aku bukanlah penentu keputusan." Engkau juga ingin balas menghina mereka dengan kata-kata kasar, tetapi engkau merenungkan: "Jika aku menggunakan kata-kata kasar, bahkan aku akan merasa jijik—apa yang akan orang-orang sekitarku pikirkan tentangku? Bukankah itu berarti aku tidak berintegritas atau tidak bermartabat? Bukankah aku akan bertindak seperti seorang yang licik? Aku tidak akan menjadi orang seperti itu." Engkau tidak dapat memaksa dirimu untuk menghina mereka. Jadi secara signifikan, ucapanmu dikendalikan, dan yang dapat kaukatakan menjadi sangat terbatas. Paling-paling, engkau mungkin berkata, "Kau adalah Iblis, watak rusakmu sangat parah, kau tidak dapat memperoleh keselamatan, dan Tuhan tidak menyukaimu." Paling-paling engkau mungkin hanya mengatakan beberapa hal semacam itu, tetapi kemudian engkau merenungkan: "Apakah Tuhan tidak menyukai atau menyukai seseorang, bukan aku yang memutuskannya," sehingga engkau tidak yakin saat mengucapkan perkataan itu. Ketika seseorang menghina dan mengutukmu, menyuruhmu pergi ke neraka tingkat delapan belas, engkau berpikir: "Mengutuk seseorang, menyuruhnya pergi ke neraka tingkat delapan belas—perkataan itu terlalu kasar! Aku tidak boleh mengatakan sesuatu seperti itu. Aku harus lebih lembut dengan perkataanku!" Mengapa engkau bisa memiliki pemikiran ini? Karena apa yang ada dalam kemanusiaanmu berbeda dengan apa yang ada dalam kemanusiaan orang-orang jahat. Jika engkau baik hati dan memiliki sifat yang baik, dan engkau berhati nurani dan bernalar, maka perkataan yang kauucapkan akan sangat rasional. Dalam batas hati nuranimu, engkau mungkin mengucapkan sedikit kata-kata marah atau membiarkan dirimu melontarkan sedikit kata-kata kasar, tetapi setelah mengucapkannya, engkau sendiri merasa sangat sedih dan itu tidak benar-benar menyakiti lawan bicaramu—tidak terdapat daya rusak dalam perkataanmu. Orang-orang jahat, makin menghina orang lain, makin mereka merasa senang, sedangkan engkau, makin menghina orang lain, makin engkau merasa sedih—engkau berpikir: "Lupakan saja, merendahkan diri ke tingkat yang sama dengan karakter yang hina dan orang jahat seperti itu tidak ada gunanya dan tidak berarti. Aku tidak akan bertengkar lagi dengan mereka." Bertengkar dengan orang jahat sama tidak efektifnya dengan berusaha menyampaikan kebenaran kepada Iblis. Tidak perlu berdebat atau meributkan sesuatu dengan mereka. Jauhi saja orang-orang semacam itu di masa mendatang. Apakah engkau akan berpikir untuk menyakiti mereka? Apakah engkau akan berpikir untuk membalas dendam kepada mereka dan mencari kesempatan untuk memberi mereka pelajaran? Engkau tidak memiliki hati yang kejam seperti itu. Engkau terus saja berkata pada dirimu sendiri, "Lupakan saja. Beberapa hinaan dari mereka tidak membuatku rugi; aku tidak akan meributkannya dengan mereka." Ada orang-orang yang bahkan menghibur diri dengan berkata, "Lagi pula, Tuhan tidak mengutukku. Kutukan mereka tidak berpengaruh apa pun." Sebenarnya, karena engkau berhati nurani dan bernalar, serta engkau baik hati dan memiliki sifat yang baik dalam kemanusiaanmu, engkau sama sekali tidak bisa mengucapkan hinaan tersebut. Engkau merasa hinaan itu kotor dan merendahkan. Jika perkataan seperti itu keluar dari mulutmu, engkau akan merasa itu bertentangan dengan hati nuranimu. Terutama jika itu berkaitan dengan hal yang dibuat-buat atau tidak berdasar, engkau terlebih lagi merasa tidak bisa mengatakannya. Tidak bisa mengatakannya, bagimu, adalah suatu perlindungan. Perkataan mereka memiliki daya rusak yang signifikan dan telah menyakitimu—ini adalah perbuatan jahat mereka. Bagaimana perbuatan jahat seperti ini bisa muncul? Itu muncul karena kemanusiaan mereka mengandung sifat-sifat yang tercela. Ketika mereka bertengkar atau berselisih denganmu, watak rusak mereka akan meningkat tanpa batas, dan mereka bisa mengutukmu dengan semaunya. Mereka memiliki karakter yang tercela semacam ini, jadi wajar saja kalau mereka memperlihatkan watak yang rusak. Di sisi lain, jika engkau adalah orang yang baik hati dan memiliki sifat yang baik, memiliki hati nurani, nalar, dan kemanusiaan, dalam situasi seperti ini, engkau bukan saja tidak akan melampiaskan watak rusakmu, melainkan kemanusiaanmu juga akan secara signifikan mengendalikan perwujudan watak rusakmu. Ini sangat bermanfaat bagimu. Di luarnya, engkau sepertinya telah dirugikan, berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan, dan tidak dapat mengalahkan mereka dalam pertengkaran, sehingga menjadi bahan tertawaan orang lain. Sebenarnya, kemanusiaanmu telah melindungimu, mencegahmu agar tidak melakukan kejahatan, melakukan hal-hal yang tidak Tuhan sukai, atau mengucapkan perkataan yang tidak Tuhan sukai. Dengan demikian, bukankah hal ini, hingga taraf tertentu, telah melindungimu? (Ya.) Kelebihan dalam kemanusiaan ini secara signifikan telah melindungimu, mencegahmu agar tidak melakukan hal-hal yang tidak disukai atau yang dibenci Tuhan, atau mengucapkan perkataan yang dibenci dan dikutuk Tuhan, saat memperlihatkan watak yang rusak. Meskipun ini tidak termasuk perbuatan baik, paling tidak, engkau tidak melakukan kejahatan. Apa yang kaulakukan dalam situasi ini tidak akan dikutuk, dan engkau tidak akan dihukum karenanya. Sebaliknya, orang jahat tidak hanya akan dikutuk tetapi juga akan dihukum atas hal-hal yang mereka lakukan di bawah dominasi karakter mereka yang tercela. Mereka akan harus menanggung akibatnya dan memikul tanggung jawab. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki berbagai kelebihan dalam kemanusiaan mereka mungkin tampak kehilangan reputasi, status, dan martabat dalam beberapa hal, dan terutama kehilangan kesempatan untuk berinisiatif mengemukakan alasan mereka, tetapi ini bukanlah kerugian. Ada orang yang berkata, "Jika tidak mengalami kerugian, apakah itu berarti memperoleh keuntungan?" Hal ini tidak bisa diukur dari segi mengalami kerugian atau memperoleh keuntungan. Jadi, bagaimana seharusnya mengukur hal ini? Ini harus diukur seperti ini: mengalami kerugian dalam situasi tertentu tidak masalah; yang terpenting adalah engkau bisa memperoleh keuntungan darinya. Dalam situasi ini, kelebihan dalam kemanusiaanmu itulah yang telah menjaga perilakumu, mencegahmu agar tidak melakukan kejahatan, dan memastikan bahwa engkau tidak akan dikutuk oleh Tuhan. Bukankah ini berarti memperoleh keuntungan? Sekarang, engkau tidak mungkin menderita hukuman akibat melakukan kejahatan. Bukankah ini hal yang baik bagimu? (Ya.) Meskipun ini bukanlah perbuatan baik yang secara aktif kaulakukan, atau tindakan yang secara aktif menaati prinsip-prinsip kebenaran, dalam kerangka memiliki kelebihan dalam kemanusiaanmu, engkau telah melakukan sesuatu yang tidak melanggar prinsip-prinsip kebenaran. Dengan demikian, engkau terlindungi. Meskipun hal ini tidak akan diingat, setidaknya, hal ini tidak akan dikutuk. Jadi, engkau tidak perlu memikul tanggung jawab atau menderita hukuman. Bukankah ini hal yang baik? (Ya.) Dalam proses mengikuti Tuhan, entah apa yang kaulakukan sesuai dengan kebenaran atau tidak, dan dengan cara apa pun Tuhan memandangnya, paling tidak, engkau tidak akan merasa tertuduh dalam hati nuranimu. Sekalipun Tuhan tidak mengingatnya, setidaknya engkau telah menghindarkan dirimu dikutuk oleh Tuhan atau membuat Tuhan membencimu. Ini adalah prinsip paling dasar yang harus kauikuti. Bukankah kelebihan dalam kemanusiaan sangat penting untuk orang miliki? (Ya.) Jadi, jangan terus-menerus merasa tidak bersedia hanya karena engkau mengira bahwa memiliki beberapa kelebihan dalam kemanusiaan akan membuatmu tidak populer di antara orang-orang, mengira engkau akan selalu kehilangan kesempatan untuk mengambil keuntungan atau memperoleh manfaat, dan semua keuntungan akan diambil oleh orang lain sementara engkau akan selalu menjadi orang yang mengalami kerugian. Apa salahnya mengalami kerugian? Setidaknya, apa yang sedang kaunikmati adalah apa yang sejak semula telah Tuhan berikan kepadamu, dan engkau tidak mengambil apa yang menjadi milik orang lain. Jika engkau memanfaatkan orang, itu tidak benar—itu berarti engkau telah mengambil bagian orang lain. Jika engkau mengambil sesuatu yang bukan milikmu, engkau akan dikutuk oleh Tuhan. Orang tidak boleh melakukan hal-hal yang dikutuk oleh Tuhan. Ada orang yang berkata, "Aku tidak tahu tindakan seperti apa yang harus kulakukan yang akan diingat oleh Tuhan." Namun, tahukah engkau tindakan apa saja yang dikutuk oleh Tuhan? Jika engkau mengetahuinya, maka paling tidak, engkau harus mematuhi batasan ini: Jangan melakukan hal-hal yang dikutuk oleh Tuhan. Apakah engkau mengerti? (Ya.) Sekarang setelah kita lebih banyak membahas hal-hal ini, engkau seharusnya mengerti.

Kelebihan berupa kebaikan hati dalam kemanusiaan tidak ada dalam diri kebanyakan orang. Namun, jika orang benar-benar memiliki kelebihan ini, mereka benar-benar adalah orang baik di antara umat manusia yang rusak—orang-orang semacam itu sangat langka. Jika engkau benar-benar memiliki kelebihan ini, Tuhan akan memberkatimu, Tuhan akan menunjukkan kasih karunia kepadamu di setiap kesempatan. Dalam istilah manusia, itu berarti Tuhan akan memeliharamu di setiap kesempatan. Bagaimana cara Dia memeliharamu? Pemeliharaan Tuhan terhadapmu berarti bahwa meskipun engkau selalu memikirkan orang lain dan mengabaikan kepentinganmu sendiri, dan orang lain memanfaatkanmu, mereka tidak dapat menerima berkat Tuhan. Mereka hanya dapat hidup dengan memanfaatkan orang lain dan harus membayarnya di kehidupan selanjutnya. Namun, engkau hidup dengan berkat Tuhan. Meskipun orang lain mungkin memanfaatkanmu, padahal sebenarnya, engkau tidak kehilangan apa pun. Katakan kepada-Ku, apakah ini hal yang baik? (Ya.) Engkau melihat bahwa di luarnya, orang yang baik hati mungkin tampak selalu mengalami kerugian. Orang menganggap mereka sederhana dan jujur, sehingga ketika berbicara dan bertindak, orang selalu memanfaatkan orang yang baik hati itu, memperlakukan mereka seperti orang bodoh, menindas mereka, memeras uang dan keuntungan dari mereka, dan merampas banyak harta benda mereka. Namun, apakah engkau melihat orang baik hati kekurangan sesuatu? Mereka tidak kekurangan apa pun. Mereka dicukupi segala sesuatunya secara berlimpah. Ketika melakukan sesuatu, mereka memiliki kecerdasan dan hikmat serta tidak merasa khawatir. Tugas apa pun yang rumah Tuhan berikan kepadanya, mereka tidak mempermasalahkan untung ruginya, dan mereka juga tidak bertengkar atau bersaing. Mereka hanya melakukan apa pun yang diminta untuk mereka lakukan. Tugas apa pun itu, mereka jarang melakukan kesalahan. Sekalipun sesekali terjadi masalah kecil atau kesalahan kecil, itu tidak disengaja. Mereka melakukan apa pun dengan sepenuh hati, mereka melebihi batas minimum dalam hal hati nurani dan nalar mereka, dan mereka mampu menerima pemeriksaan Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang semacam itu dapat menerima berkat Tuhan. Karena engkau tahu bahwa kebaikan hati adalah kelebihan dalam kemanusiaan, haruskah engkau berusaha untuk memiliki kebaikan hati dalam perilakumu? (Ya.) Jangan meributkan masalah kecil, dan jangan menjadi seperti orang yang sangat tidak ramah dan mudah tersinggung sampai-sampai tak seorang pun berani mendekati atau memicu kemarahanmu—jangan menjadi orang seperti itu. Jika orang lain sedikit memanfaatkanmu, jangan selalu merasa seolah-olah mereka sedang menindasmu. Apa salahnya menjadi sedikit lebih sederhana dan lebih jujur? Ada orang-orang yang terlalu cerdik dan selalu ingin membuktikan bahwa mereka tidak bodoh, dengan berkata, "Jangan menganggapku bodoh. Aku punya otak! Aku dapat melihat siapa yang tidak menyukaiku atau memperlakukanku dengan buruk. Aku dapat mengetahui siapa yang meremehkanku dan perkataan siapa yang penuh dengan sarkasme atau sindiran tersembunyi." Mampu melihat dan mendengar hal-hal semacam itu tidak ada gunanya. Ini hanyalah kepintaran dan kecerdikan yang picik. Memiliki sedikit kecerdikan ini tidak berarti engkau memiliki hikmat atau bahwa engkau benar-benar pintar. Sebaliknya, orang lain akan memandang rendah dirimu, karena bahkan binatang pun memiliki kecerdikan dan pemikiran yang picik seperti ini. Mengapa Kukatakan demikian? Semua orang yang berhubungan dekat dengan binatang tahu bahwa: bahkan binatang kecil pun dapat mengerti ketika engkau mengatakan hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan tentang mereka. Misalnya, jika seekor anjing mendengarmu mengucapkan perkataan yang tidak menyenangkan, dia akan segera menjadi tidak gembira, sementara dia juga dapat mengetahui jika engkau mengucapkan perkataan yang jelas-jelas menyenangkan. Jika orang selalu menggunakan hal-hal yang bahkan binatang kecil pun memilikinya untuk mengukur dirinya sendiri, bukankah itu merendahkan atribut mereka sendiri sebagai manusia? Dengan menurunkan standar untuk mengukur manusia ciptaan, engkau sedang merendahkan dirimu sendiri. Jangan selalu mengatakan hal-hal seperti, "Jangan menganggapku bodoh dan memperlakukanku seperti anak berusia tiga tahun. Jika kau memberiku roti jagung, aku pasti tidak akan memakannya; bawakan saja aku pangsit. Siapa yang tidak tahu bahwa pangsit itu lezat?" Jangan gunakan kata-kata bodoh seperti itu untuk mencoba membuktikan bahwa engkau tidak bodoh. Jika engkau benar-benar tidak bodoh, maka berusahalah untuk memenuhi standar kemanusiaan. Apa yang seharusnya ada dalam hati nurani dan nalar manusia, apa saja perwujudan kelebihan dalam kemanusiaan, apa saja perwujudan kekurangan dalam kemanusiaan dan perwujudan karakter yang buruk—persekutukan dan pahamilah aspek-aspek ini. Persekutukan sedikit tentang apa yang seharusnya orang miliki dalam kemanusiaan mereka dan apa yang seharusnya manusia ciptaan miliki, kemudian berusahalah dan bekerja keraslah untuk memiliki hal-hal ini. Bukankah ini akan meningkatkan nilai dirimu sendiri? Apakah engkau akan pernah memperoleh apa pun dengan terus-menerus membandingkan kecerdasanmu dengan kecerdasan anak berusia tiga tahun? Apakah engkau akan pernah dapat bertumbuh dengan cara seperti itu? Anak berusia tiga tahun berkata, "Aku bisa minum susu dari botol susu plastik," dan engkau berkata, "Aku bisa minum dari botol kaca, dan aku tidak takut tanganku terbakar." Anak berusia tiga tahun berkata, "Aku bisa membedakan kiri dari kanan saat memakai sepatu," dan engkau berkata, "Aku bisa membedakan depan dari belakang saat mengenakan sweter. Dapatkah engkau membandingkan dirimu seperti itu?" Apakah engkau akan pernah memperoleh sesuatu dengan membandingkan dirimu seperti itu? Jika kecerdasan, karakter, dan berbagai kemampuan yang seharusnya dimiliki kemanusiaanmu masih terjebak pada tahap anak berusia tiga tahun atau anak di bawah umur, maka akan sangat sulit bagimu untuk menjadi orang dewasa atau membuat orang lain memperlakukanmu sebagai orang dewasa. Bagaimana engkau bisa membuat orang lain memperlakukanmu sebagai orang dewasa? Engkau perlu melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan orang dewasa dan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia ciptaan. Engkau harus memiliki kemanusiaan yang seharusnya manusia ciptaan miliki. Apa yang setidaknya harus dimiliki oleh kemanusiaan? Hati nurani, nalar, dan berbagai aspek karakter yang baik. Dengan demikian, engkau akan secara bertahap meningkat dan mengalami kemajuan dalam hal kekurangan dan masalah dalam kemanusiaanmu. Kemudian, akan jauh lebih mudah untuk masuk ke dalam kebenaran, dan akan ada lebih sedikit rintangan.

Kelebihan berupa kebaikan hati dalam kemanusiaan cukup langka dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Jadi, bagaimana orang dapat memiliki kelebihan ini? Ketika engkau tidak memahami kebenaran apa pun, akan sangat sulit untuk memiliki kelebihan ini dalam kemanusiaanmu dan menjadi orang semacam itu. Namun, setelah engkau memahami beberapa kebenaran, engkau akan memiliki jalan untuk menjadi orang semacam itu, dan akan ada harapan bagimu untuk memilikinya. Mengenai apakah engkau dapat memilikinya dan akhirnya memperoleh hasil, itu tergantung pada apakah engkau dapat memperoleh kebenaran dan memiliki jalan masuk kehidupan atau tidak. Bagaimana orang harus menerapkan untuk memiliki kelebihan ini? Apa pun yang orang lakukan atau katakan kepadamu, jangan memperlakukannya berdasarkan sikap yang terburu nafsu atau emosi. Jangan menganalisis apa niat mereka terhadapmu, seberapa besar kerugian yang telah mereka timbulkan terhadapmu secara pribadi, atau seberapa banyak mereka telah merusak reputasimu. Jangan perlakukan semua hal ini berdasarkan pikiran, kehendak manusia, atau falsafah bagi caramu dalam berinteraksi dengan orang lain. Jadi, bagaimana engkau harus memperlakukannya? Perlakukanlah segala sesuatu berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran. Berusahalah untuk memastikan bahwa di setiap lingkungan dan ketika menghadapi setiap orang, baik ketika berbicara dengan mereka, bergaul dengan mereka, atau menangani masalah tertentu, engkau mencari prinsip-prinsip kebenaran dan bertindak berdasarkannya. Pendekatan ini, hingga taraf tertentu, akan menghasilkan dampak optimalisasi pada kemanusiaanmu. Itu berarti, pendekatan ini akan memberikan dukungan tertentu pada hati nurani dan nalar kemanusiaanmu, membantumu untuk mengembangkan rasa keadilan dan memungkinkanmu untuk memandang orang dan hal-hal dari posisi dan perspektif yang benar. Inilah yang disebut optimalisasi. Optimalisasi berarti menjadikan kemanusiaanmu yang awalnya buruk menjadi baik, menjadikannya normal. Jadi, bagaimana kemanusiaanmu yang awalnya buruk itu bisa muncul? Itu muncul sebagai akibat dari pengaruh dan dominasi watak yang rusak. Sekarang, jika engkau berperilaku dan bertindak berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran, maka ketika engkau bertindak, kemanusiaanmu akan dipengaruhi oleh firman Tuhan dan kebenaran hingga taraf tertentu. Pengaruh inilah yang disebut optimalisasi. Tentu saja, optimalisasi ini tidak berarti bahwa kemanusiaanmu akan berubah dan karaktermu akan menjadi mulia melalui satu peristiwa. Sebaliknya, itu terjadi melalui penerapan dan pengalaman menjadikan firman Tuhan dan kebenaran sebagai kriteria, gaya hidup, dan arah bagimu dalam bertindak selama jangka waktu yang panjang, di mana engkau akan makin memahami kebenaran dan menangani berbagai hal dengan makin mematuhi prinsip. Dengan cara seperti ini, kemanusiaanmu lambat laun akan berubah dan berkembang ke arah yang positif. Engkau akan makin mengembangkan kepekaan hati nurani, menjadi makin baik hati, dan makin memiliki rasa keadilan. Nalarmu akan menjadi makin normal, dan engkau tidak akan lagi bertindak berdasarkan sikap yang terburu nafsu atau impulsif. Dengan demikian, secara signifikan, pengendalian kemanusiaanmu terhadap watak rusakmu akan menjadi makin kuat. Di atas landasan kondisi kemanusiaan seperti itu, pengendalian terhadap perwujudan watak rusakmu akan makin meningkat dan menjadi makin kuat. Dengan demikian, perwujudan watak rusakmu akan makin berkurang, dan kadarnya akan makin dangkal. Tindakan yang kauambil atau sudut pandang yang kauungkapkan akan makin sesuai dengan hal-hal positif dan prinsip-prinsip kebenaran. Fenomena semacam ini, perwujudan semacam ini, menunjukkan bahwa kehidupan seseorang sedang mengalami perubahan. Terutama jika engkau memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai kriteriamu, kemanusiaanmu akan menjadi makin normal, dan perwujudan watak rusakmu akan makin berkurang. Secara bertahap, engkau akan membuang watak rusakmu. Ini adalah siklus yang positif. Namun, jika engkau memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan logika Iblis, maka ini akan secara signifikan menajiskan dan merusak kemanusiaanmu. Watak rusakmu akan makin meningkat dan menjadi makin parah. Ini adalah siklus yang buruk. Memandang orang dan hal-hal, serta bersikap dan bertindak berdasarkan firman Tuhan adalah siklus yang positif. Memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan logika Iblis hanya akan membawamu untuk terus-menerus berputar dalam kehidupan dan menjalani siklus yang buruk, tidak pernah dapat melepaskan diri darinya. Jika engkau ingin memasuki siklus yang positif, cara paling sederhana dan paling lugas adalah dengan mulai merenungkan dan memahami dirimu sendiri mulai dari memahami cacat dalam kemanusiaanmu dan perwujudan kerusakanmu, membereskan watak rusakmu dengan menggunakan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran sebagai dasar, sehingga mencapai hasil, yaitu mampu menerapkan kebenaran dan tunduk kepada Tuhan. Dengan cara ini, kehidupanmu akan memasuki siklus yang positif, kemanusiaanmu akan menjadi makin normal, dan lambat laun engkau akan mengubah dan membuang watak rusakmu. Ini adalah proses jalan masuk kehidupan dan juga proses yang perlu orang alami untuk membuang watak rusak mereka dan memperoleh keselamatan. Tentu saja, ini juga merupakan jalan masuk. Cacat dan kekurangan dalam kemanusiaan, serta masalah karakter yang tercela dan kurangnya integritas, yang telah kita bahas—jika engkau mengidentifikasi masalah-masalah ini dalam dirimu, engkau harus mencari kebenaran untuk menyelesaikannya. Kemudian, gantikanlah hal-hal tersebut dengan menerapkan firman Tuhan dan kebenaran. Dengan cara ini, engkau akan memasuki siklus yang positif. Pada akhirnya, apa yang kauperoleh bukan hanya perubahan dalam kemanusiaanmu, melainkan engkau juga akan membuang watak rusakmu. Landasan berupa watak rusakmu yang kauandalkan untuk bertahan hidup akan diubah. Menerapkan dengan cara ini memberimu harapan untuk memperoleh keselamatan. Namun, jika engkau tidak mencari kebenaran atau tidak menerapkan kebenaran dengan cara ini, dan engkau berpikir dalam hatimu, "Engkau menganggapku picik, menganggapku memiliki cacat dan kekurangan dalam kemanusiaanku seperti keras kepala, tebal muka dan cenderung curiga. Memang begitulah aku, dan begitulah cara hidupku. Aku tidak akan berubah. Katakan apa pun yang kausuka! Bagaimanapun, aku hanya tidak ingin mengalami kerugian. Selama aku dapat bisa memperoleh keuntungan, aku baik-baik saja!"—jika seperti inilah pemikiran dan sudut pandangmu, maka sayang sekali, engkau akan jatuh ke dalam lingkaran siklus buruk yang mengerikan, yang darinya engkau tidak dapat keluar untuk selamanya. Apa akibat akhirnya? Itu akan menjadi akibat yang mungkin tidak ingin kaualami: watak-watak rusakmu akan selamanya menjadi hidupmu. Itu akan mengikat erat dirimu sepanjang hidupmu, menjadi berakar kuat dalam pemikiran dan kedalaman jiwamu, serta akan mustahil bagimu untuk membuangnya. Apa artinya mustahil untuk membuangnya? Itu berarti tidak ada harapan bagimu untuk memperoleh keselamatan, dan engkau tidak akan ambil bagian dalam tempat tujuan yang telah Tuhan persiapkan bagi umat manusia. Inilah akibatnya. Jika engkau tidak ingin mengalami akibat ini, maka mulailah masuk dan menerapkan di sepanjang jalan yang telah Kujelaskan, dan capailah siklus yang positif; dan pada akhirnya engkau pasti akan menuai hasilnya. Apakah engkau mengerti? (Ya.)

Meskipun kita tidak membahas banyak topik berbeda dalam persekutuan hari ini, kita telah membahas banyak konten. Mari kita akhiri persekutuan hari ini di sini. Kita akan lanjutkan dengan mempersekutukan topik dan konten lainnya. Sampai jumpa!

2 Desember 2023

Sebelumnya:  Cara Mengejar Kebenaran (8)

Selanjutnya:  Cara Mengejar Kebenaran (10)

Pengaturan

  • Teks
  • Tema

Warna Solid

Tema

Jenis Huruf

Ukuran Huruf

Spasi Baris

Spasi Baris

Lebar laman

Isi

Cari

  • Cari Teks Ini
  • Cari Buku Ini

Connect with us on Messenger